Rabu, 4 Desember 2024

Gembira Sejati dan Palsu

RIAUPOS.CO – “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika nanti bertemu dengan Rab-Nya” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Berarti setelah beberapa hari kita berpuasa tentunya sudah sekian kali pula kita merasa gembira. Mudah-mudahan gembira yang kita dapatkan adalah gembira sejati, bukan gembira palsu yang bersifat sementara dan menipu.

Kegembiraan sejati bersifat abadi; kegembiraan tersebut memanjang dan berterusan mulai dari gembira ketika berbuka puasa di dunia ini hingga saat bertemu dengan Allah SWT. Kegembiraan sejati tidak berakhir dengan kematian, bahkan tidak akan lenyap oleh musibah yang menimpa. Kegembiraan sejati tetap terasa didalam hati meskipun jasad di penjara dan dianiaya, meskipun manusia satu dunia sekalipun mencaci dan membenci.

Kita bersyukur kepada Allah yang telah memberikan peluang bagi kita untuk menggapai kegembiraan sejati melalui puasa yang istimewa ini. Alangkah ruginya apabila bulan puasa berlalu tetapi kita tidak mendapatkan gembira yang sejati!

Sungguh ramai orang bergembira nanti di Idulfitri dengan gembira sejati, dan kita pula mungkin bergembira tetapi rupanya gembira palsu; kita menyantap juga berbagai menu, memakai juga baju baru dan bergelak ketawa pula saat bertemu bertemu, tetapi rupanya kita telah tertipu! Na’uzubillaah min zaalik!

Salah satu penggunaan kata didalam Al-Qur’an untuk menerangkan makna gembira adalah perkataan “fariha” – “yafrahu” – “farhan”. Dalam Surah Yunus Ayat 58 disebutkan, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bergembira, bahkan ada di antara ulama tafsir menjelaskan hukum dalam menjalankan perintah tersebut adalah wajib.

Maksudnya, adalah wajib bagi orang-orang beriman untuk bergembira sebagai menjalankan perintah Allah SWT. Tentu yang dimaksudkan adalah gembira sejati yang mendatangkan kebaikan dan manfaat, bukan gembira palsu yang sia-sia. Berarti apabila ada orang beriman yang tidak mendapatkan gembira yang sejati maka ia telah gagal dalam ujian hidup, ia merugi bahkan ia pasti merana dan menderita.

Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa kegembiraan yang dimaksudkan adalah kegembiraan yang terhasil dari karunia dan rahmat Allah. Yaitu pemberian Allah yang hanya diberikan kepada orang-orang beriman. Apabila kita kaitkan dengan orang yang berpuasa; maka hamba yang berpuasa karena keimanannya kepada Allah maka ganjaran yang akan diberikan kepadanya adalah berupa Kurnia dan Rahmat yang pasti membuatnya gembira.

Berarti urutannya adalah sebagai berikut; keimanan di hati hendaklah dibuktikan dengan berpuasa, ganjaran puasa adalah karunia dan rahmat Allah, ganjaran tersebut adalah sebab untuk mendapatkan kegembiraan yang sejati. Iman-Amal-Ganjaran-Gembira.

Sebenarnya bukan hanya puasa sebagai sarana untuk kita mendapatkan gembira yang sejati. Apa saja amal shaleh sebagai membuktikan keimanan adalah sebab untuk mendapatkan kegembiraan. Membaca Al-Qur’an, mengetahui maknanya, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, menyampaikan kandungannya, mengajarkannya adalah usaha pembuktian keimanan yang akan dibalas oleh Allah dengan karunia dan rahmat-Nya.

Itulah yang membuat kita gembira bersama Al-Qur’an. Meskipun badan kita penat, harta habis, bahkan kita dibenci dan dimusuhi sekalipun, namun hati kita gembira. Kita merasakannya, hamba beriman lainnya juga pasti merasakannya; tetapi seperti apa kegembiraan yang dirasakan pasti akan berbeda-beda antara satu dengan lainnya.

Semakin kuat keimanan seseorang dalam beramal saleh maka semakin banyak ia mendapatkan karunia dan rahmat Allah, maka tentulah ia lebih bergembira dari yang lainnya. Inilah gembira sejati; yaitu gembira karena iman. Ia terpelihara dalam dada, dan tidak ada sesiapa yang berkuasa untuk merenggutnya. Gembira sejati itu bersifat abadi; gembira yang tidak akan pernah berkurang dan tidak ada penghujungnya selama iman bersemayam didalam dada.

Baca Juga:  Pasar Murah di Tiga Kabupaten

Kita semakin paham apabila ada yang gembira dengan menginfakkan hartanya. Padahal jumlahnya sangat besar sekali dan ia sendiri sebenarnya memerlukan dan mencintainya.

Kita tidak merasa aneh lagi apabila ada yang gembira karena baru pulang dari Tanah Suci menunaikan ibadah umrah atau haji ingin segera kembali untuk dapat menunaikannya lagi. Dan kita juga semakin mengerti apabila ada yang sangat gembira di medan jihad padahal keadaan sangat berat.

Bahkan mereka ini disebutkan di dalam Al-Qur’an di Surah Ali Imran Ayat 169 bahwa ketika mereka telah gugur sebagai syuhada, sebenarnya mereka tetap hidup di sisi Allah dan mereka diberi rezeki. Selepas kematian itu mereka berada dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.

Dan apabila hari ini kita gembira maka apakah kita gembira karena iman atau karena hawa nafsu? Apabila kita gembira ketika berbuka puasa karena sampainya keinginan hawa nafsu dengan menyantap makanan maka berarti gembira tersebut bukanlah gembira sejati.

Apabila pada suatu ketika ia hanya ditakdirkan berbuka dengan sebutir kurma maka ketika itu ia tidak lagi merasa gembira. Bahkan jangankan dengan hanya sebutir kurma, apabila menu yang diinginkan oleh hawa nafsunya tidak tersedia pada waktu itu maka hilanglah kegembiraannya.

Itulah yang disebut dengan kegembiraan yang palsu. Apalagi apabila dipahami dari tabiat hawa nafsu yang tidak pernah merasa puas, maka orang yang bergembira karena hawa nafsunya sebenarnya tidak pernah merasakan gembira yang sejati, meskipun berbuka di hotel bintang lima dan dengan menu yang beraneka.

Gembira sejati melahirkan kerendahan hati dihadapan Allah yang Maha Pemberi, namun gembira yang palsu bisa membuat pelakunya sombong dan angkuh. Qorun dinasehati oleh kaumnya karena “gembira” dengan harta yang berlimpah padanya; yaitu gembira yang membuatnya menjadi sombong: “Sesungguhnya Qorun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu ‘gembira’ sehingga terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri”. (QS. Al-Qashash Ayat 76)

Apakah Qorun merasa “gembira”? Ya. Apakah ia gembira karena imannya? Tidak. Apakah ia gembira selama-lamanya sampai ia mati? Tidak. Tidak berapa sesudah itu Allah membenamkan Qorun dan istananya kedalam perut bumi. Ketika itu hilanglah kegembiraannya.

Gembira palsu tidak bertahan lama, bahkan kegembiraan yang palsu tidak mengandung kenikmatan yang sejati. Mungkin mulutnya tertawa, mungkin ia merasa senang dalam pesta pora, mungkin ia berjoget dan melompat kegirangan, tetapi ia telah tertipu, gembiranya adalah gembira palsu, gembira yang berakhir dengan penyesalan dan penderitaan. Allah melarang kita bergembira seperti Qorun bergembira; yaitu gembira karena hawa nafsu, gembira yang melupakan Allah sehingga menyombongkan diri.

Baca Juga:  Ramadan Menempa Kita Menjadi Insan yang Terbaik

Mari kita bawa ke diri kita! Kita diberi harta yang banyak, gembira yang mana yang kita rasakan? Kita dipanggil dengan gelar kehormatan yang istimewa, gembira yang mana yang kita rasakan? Kita dianugerahkan anak yang cerdas, gembira yang mana yang kita rasakan? Kita diberi kekuasaan yang besar, gembira yang mana yang kita rasakan? Kita diberi popularitas yang luas, gembira yang mana yang kita rasakan? Apakah gembira sejati atau gembira palsu? Kegembiraan sejati membuat kita lebih banyak bersyukur, adapun kegembiraan palsu membuat manusia menjadi lebih kufur! Kegembiraan sejati bersifat abadi, adapun kegembiraan palsu membuat manusia menjadi tertipu!

Orang yang berilmu tentang hakikat gembira tidak akan terpedaya dengan harta, tidak akan silau dengan kuasa, tidak akan tertipu dengan ilmu, baik semua itu pada orang lain, ataupun pada dirinya sendiri. Orang kafir juga gembira ketika memiliki harta. Orang munafik juga gembira ketika memegang kuasa. Orang pengejar maslahat dunia juga gembira ketika ia menjual ayat-ayat Allah dengan yang murah.

Allah berfirman: “Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat hanyalah kesenangan (yang sedikit)” (QS. Ar-Ra’d Ayat 26)

Orang yang berilmu tentang hakekat gembira; pastilah kesenangan akhirat tidak akan dikorbankan hanya karena ingin bergembira dengan kesenangan dunia yang tidak seberapa.

Apabila kita kembali kepada orang yang berpuasa; ia berpuasa sebagai membuktikan keimanannya kepada Allah karena Allah yang memerintahkannya untuk berpuasa, maka karena keimanan itulah ia berpuasa. Maka apabila waktu berbuka puasa tiba berarti sempurnalah ia menunaikan ketaatan kepada Allah, maka itulah yang membuatnya gembira.

Meskipun ia gembira karena keinginan hawa nafsunya telah tercapai juga; yaitu ingin makan dan minum, tetapi penyebab utama ia gembira adalah karena tercapainya keinginan imannya. Keinginan iman tercapai dan keinginan hawa nafsu yang tidak bertentangan dengan keinginan iman juga tercapai, maka disaat itulah kegembiraan yang lebih sempurna dirasakan. Sehingga puncaknya di saat Hari Raya Idulfitri nanti.

Kegembiraan yang lebih sempurna itulah yang dirasakan oleh setiap orang yang berpuasa. Mereka gembira karena berhasil sebulan penuh membuktikan keimanan dengan ketaatan kepada Allah SWT. Memang mereka juga memiliki keinginan hawa nafsu, tetapi mereka berhasil menundukkan dan menguasai keinginan hawa nafsu tersebut untuk selanjutnya diarahkan supaya menambah keinginan iman untuk lebih sempurna dalam bergembira.

Apabila kita perhatikan penutup dari Surah Yunus Ayat 58: “… Kurnia Allah dan Rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apapun yang mereka kumpulkan”. Ulama tafsir memahami bahwa mereka yang dimaksudkan didalam ayat ini adalah orang-orang kafir.

Berarti apapun dan sebanyak apapun yang dikumpulkan oleh orang-orang kafir dalam menyampaikan keinginan hawa nafsu mereka dalam mengumpulkan harta benda dunia, yang dengan itu mereka bergembira ria, maka jangan sampai membuat kita terpedaya karena kegembiraan kita disebabkan karunia dan rahmat-Nya adalah lebih baik dari semua yang mereka dapatkan itu.

Kegembiraan kita adalah sejati, sedangkan kegembiraan mereka adalah palsu. Dua kegembiraan yang tidak sama, bahkan tidak tepat untuk dibandingkan karena memang bukan bandingannya. Wallahu a’lam..!***

oleh Musthafa Umar, Pimpinan Ma’had Tafaqquh

RIAUPOS.CO – “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika nanti bertemu dengan Rab-Nya” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Berarti setelah beberapa hari kita berpuasa tentunya sudah sekian kali pula kita merasa gembira. Mudah-mudahan gembira yang kita dapatkan adalah gembira sejati, bukan gembira palsu yang bersifat sementara dan menipu.

- Advertisement -

Kegembiraan sejati bersifat abadi; kegembiraan tersebut memanjang dan berterusan mulai dari gembira ketika berbuka puasa di dunia ini hingga saat bertemu dengan Allah SWT. Kegembiraan sejati tidak berakhir dengan kematian, bahkan tidak akan lenyap oleh musibah yang menimpa. Kegembiraan sejati tetap terasa didalam hati meskipun jasad di penjara dan dianiaya, meskipun manusia satu dunia sekalipun mencaci dan membenci.

Kita bersyukur kepada Allah yang telah memberikan peluang bagi kita untuk menggapai kegembiraan sejati melalui puasa yang istimewa ini. Alangkah ruginya apabila bulan puasa berlalu tetapi kita tidak mendapatkan gembira yang sejati!

- Advertisement -

Sungguh ramai orang bergembira nanti di Idulfitri dengan gembira sejati, dan kita pula mungkin bergembira tetapi rupanya gembira palsu; kita menyantap juga berbagai menu, memakai juga baju baru dan bergelak ketawa pula saat bertemu bertemu, tetapi rupanya kita telah tertipu! Na’uzubillaah min zaalik!

Salah satu penggunaan kata didalam Al-Qur’an untuk menerangkan makna gembira adalah perkataan “fariha” – “yafrahu” – “farhan”. Dalam Surah Yunus Ayat 58 disebutkan, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bergembira, bahkan ada di antara ulama tafsir menjelaskan hukum dalam menjalankan perintah tersebut adalah wajib.

Maksudnya, adalah wajib bagi orang-orang beriman untuk bergembira sebagai menjalankan perintah Allah SWT. Tentu yang dimaksudkan adalah gembira sejati yang mendatangkan kebaikan dan manfaat, bukan gembira palsu yang sia-sia. Berarti apabila ada orang beriman yang tidak mendapatkan gembira yang sejati maka ia telah gagal dalam ujian hidup, ia merugi bahkan ia pasti merana dan menderita.

Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa kegembiraan yang dimaksudkan adalah kegembiraan yang terhasil dari karunia dan rahmat Allah. Yaitu pemberian Allah yang hanya diberikan kepada orang-orang beriman. Apabila kita kaitkan dengan orang yang berpuasa; maka hamba yang berpuasa karena keimanannya kepada Allah maka ganjaran yang akan diberikan kepadanya adalah berupa Kurnia dan Rahmat yang pasti membuatnya gembira.

Berarti urutannya adalah sebagai berikut; keimanan di hati hendaklah dibuktikan dengan berpuasa, ganjaran puasa adalah karunia dan rahmat Allah, ganjaran tersebut adalah sebab untuk mendapatkan kegembiraan yang sejati. Iman-Amal-Ganjaran-Gembira.

Sebenarnya bukan hanya puasa sebagai sarana untuk kita mendapatkan gembira yang sejati. Apa saja amal shaleh sebagai membuktikan keimanan adalah sebab untuk mendapatkan kegembiraan. Membaca Al-Qur’an, mengetahui maknanya, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, menyampaikan kandungannya, mengajarkannya adalah usaha pembuktian keimanan yang akan dibalas oleh Allah dengan karunia dan rahmat-Nya.

Itulah yang membuat kita gembira bersama Al-Qur’an. Meskipun badan kita penat, harta habis, bahkan kita dibenci dan dimusuhi sekalipun, namun hati kita gembira. Kita merasakannya, hamba beriman lainnya juga pasti merasakannya; tetapi seperti apa kegembiraan yang dirasakan pasti akan berbeda-beda antara satu dengan lainnya.

Semakin kuat keimanan seseorang dalam beramal saleh maka semakin banyak ia mendapatkan karunia dan rahmat Allah, maka tentulah ia lebih bergembira dari yang lainnya. Inilah gembira sejati; yaitu gembira karena iman. Ia terpelihara dalam dada, dan tidak ada sesiapa yang berkuasa untuk merenggutnya. Gembira sejati itu bersifat abadi; gembira yang tidak akan pernah berkurang dan tidak ada penghujungnya selama iman bersemayam didalam dada.

Baca Juga:  Abrasi Moral di Era Digital

Kita semakin paham apabila ada yang gembira dengan menginfakkan hartanya. Padahal jumlahnya sangat besar sekali dan ia sendiri sebenarnya memerlukan dan mencintainya.

Kita tidak merasa aneh lagi apabila ada yang gembira karena baru pulang dari Tanah Suci menunaikan ibadah umrah atau haji ingin segera kembali untuk dapat menunaikannya lagi. Dan kita juga semakin mengerti apabila ada yang sangat gembira di medan jihad padahal keadaan sangat berat.

Bahkan mereka ini disebutkan di dalam Al-Qur’an di Surah Ali Imran Ayat 169 bahwa ketika mereka telah gugur sebagai syuhada, sebenarnya mereka tetap hidup di sisi Allah dan mereka diberi rezeki. Selepas kematian itu mereka berada dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.

Dan apabila hari ini kita gembira maka apakah kita gembira karena iman atau karena hawa nafsu? Apabila kita gembira ketika berbuka puasa karena sampainya keinginan hawa nafsu dengan menyantap makanan maka berarti gembira tersebut bukanlah gembira sejati.

Apabila pada suatu ketika ia hanya ditakdirkan berbuka dengan sebutir kurma maka ketika itu ia tidak lagi merasa gembira. Bahkan jangankan dengan hanya sebutir kurma, apabila menu yang diinginkan oleh hawa nafsunya tidak tersedia pada waktu itu maka hilanglah kegembiraannya.

Itulah yang disebut dengan kegembiraan yang palsu. Apalagi apabila dipahami dari tabiat hawa nafsu yang tidak pernah merasa puas, maka orang yang bergembira karena hawa nafsunya sebenarnya tidak pernah merasakan gembira yang sejati, meskipun berbuka di hotel bintang lima dan dengan menu yang beraneka.

Gembira sejati melahirkan kerendahan hati dihadapan Allah yang Maha Pemberi, namun gembira yang palsu bisa membuat pelakunya sombong dan angkuh. Qorun dinasehati oleh kaumnya karena “gembira” dengan harta yang berlimpah padanya; yaitu gembira yang membuatnya menjadi sombong: “Sesungguhnya Qorun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu ‘gembira’ sehingga terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri”. (QS. Al-Qashash Ayat 76)

Apakah Qorun merasa “gembira”? Ya. Apakah ia gembira karena imannya? Tidak. Apakah ia gembira selama-lamanya sampai ia mati? Tidak. Tidak berapa sesudah itu Allah membenamkan Qorun dan istananya kedalam perut bumi. Ketika itu hilanglah kegembiraannya.

Gembira palsu tidak bertahan lama, bahkan kegembiraan yang palsu tidak mengandung kenikmatan yang sejati. Mungkin mulutnya tertawa, mungkin ia merasa senang dalam pesta pora, mungkin ia berjoget dan melompat kegirangan, tetapi ia telah tertipu, gembiranya adalah gembira palsu, gembira yang berakhir dengan penyesalan dan penderitaan. Allah melarang kita bergembira seperti Qorun bergembira; yaitu gembira karena hawa nafsu, gembira yang melupakan Allah sehingga menyombongkan diri.

Baca Juga:  Pasar Murah di Tiga Kabupaten

Mari kita bawa ke diri kita! Kita diberi harta yang banyak, gembira yang mana yang kita rasakan? Kita dipanggil dengan gelar kehormatan yang istimewa, gembira yang mana yang kita rasakan? Kita dianugerahkan anak yang cerdas, gembira yang mana yang kita rasakan? Kita diberi kekuasaan yang besar, gembira yang mana yang kita rasakan? Kita diberi popularitas yang luas, gembira yang mana yang kita rasakan? Apakah gembira sejati atau gembira palsu? Kegembiraan sejati membuat kita lebih banyak bersyukur, adapun kegembiraan palsu membuat manusia menjadi lebih kufur! Kegembiraan sejati bersifat abadi, adapun kegembiraan palsu membuat manusia menjadi tertipu!

Orang yang berilmu tentang hakikat gembira tidak akan terpedaya dengan harta, tidak akan silau dengan kuasa, tidak akan tertipu dengan ilmu, baik semua itu pada orang lain, ataupun pada dirinya sendiri. Orang kafir juga gembira ketika memiliki harta. Orang munafik juga gembira ketika memegang kuasa. Orang pengejar maslahat dunia juga gembira ketika ia menjual ayat-ayat Allah dengan yang murah.

Allah berfirman: “Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat hanyalah kesenangan (yang sedikit)” (QS. Ar-Ra’d Ayat 26)

Orang yang berilmu tentang hakekat gembira; pastilah kesenangan akhirat tidak akan dikorbankan hanya karena ingin bergembira dengan kesenangan dunia yang tidak seberapa.

Apabila kita kembali kepada orang yang berpuasa; ia berpuasa sebagai membuktikan keimanannya kepada Allah karena Allah yang memerintahkannya untuk berpuasa, maka karena keimanan itulah ia berpuasa. Maka apabila waktu berbuka puasa tiba berarti sempurnalah ia menunaikan ketaatan kepada Allah, maka itulah yang membuatnya gembira.

Meskipun ia gembira karena keinginan hawa nafsunya telah tercapai juga; yaitu ingin makan dan minum, tetapi penyebab utama ia gembira adalah karena tercapainya keinginan imannya. Keinginan iman tercapai dan keinginan hawa nafsu yang tidak bertentangan dengan keinginan iman juga tercapai, maka disaat itulah kegembiraan yang lebih sempurna dirasakan. Sehingga puncaknya di saat Hari Raya Idulfitri nanti.

Kegembiraan yang lebih sempurna itulah yang dirasakan oleh setiap orang yang berpuasa. Mereka gembira karena berhasil sebulan penuh membuktikan keimanan dengan ketaatan kepada Allah SWT. Memang mereka juga memiliki keinginan hawa nafsu, tetapi mereka berhasil menundukkan dan menguasai keinginan hawa nafsu tersebut untuk selanjutnya diarahkan supaya menambah keinginan iman untuk lebih sempurna dalam bergembira.

Apabila kita perhatikan penutup dari Surah Yunus Ayat 58: “… Kurnia Allah dan Rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apapun yang mereka kumpulkan”. Ulama tafsir memahami bahwa mereka yang dimaksudkan didalam ayat ini adalah orang-orang kafir.

Berarti apapun dan sebanyak apapun yang dikumpulkan oleh orang-orang kafir dalam menyampaikan keinginan hawa nafsu mereka dalam mengumpulkan harta benda dunia, yang dengan itu mereka bergembira ria, maka jangan sampai membuat kita terpedaya karena kegembiraan kita disebabkan karunia dan rahmat-Nya adalah lebih baik dari semua yang mereka dapatkan itu.

Kegembiraan kita adalah sejati, sedangkan kegembiraan mereka adalah palsu. Dua kegembiraan yang tidak sama, bahkan tidak tepat untuk dibandingkan karena memang bukan bandingannya. Wallahu a’lam..!***

oleh Musthafa Umar, Pimpinan Ma’had Tafaqquh

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Takwa Puncak Puasa

Puasa dan Kepekaan Sosial

Tiga Makna Titah Kewajiban Puasa

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari