Minggu, 28 April 2024

Imron Rosidi

Tiga Makna Titah Kewajiban Puasa

Perintah kewajiban berpuasa di bulan suci Ramadan didasarkan pada Surah al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas Kalian berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum Kalian agar Kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” Perintah Allah SWT tersebut mengindikasikan tiga makna krusial.

Pertama, seruan tersebut disampaikan secara tegas kepada orang-orang yang beriman. Dalam perspektif sosiologi Islam, orang beriman adalah individu yang tidak hanya menjalankan aspek spiritualitas dalam agama, tetapi juga memperjuangkan prinsip-prinsip sosial dan moral yang diatur oleh Islam. Sosiologi Islam memandang orang beriman sebagai agen perubahan sosial yang memiliki tanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang adil, harmonis, dan berkeadilan.

Yamaha

Hal ini berbeda dengan muslim nominal. Muslim nominal merujuk kepada individu yang mengidentifikasi diri sebagai muslim, tetapi keterlibatannya dalam praktek keagamaan dan pemahaman terhadap ajaran Islam mungkin terbatas atau dangkal. Mereka mungkin tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban ritual seperti salat atau puasa atau hanya melaksanakan ritual yang diwajibkan secara mekanis, tanpa pemahaman yang dalam tentang makna atau tujuan di balik praktik-praktik tersebut. Muslim nominal sering kali tidak mencerminkan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai Islam di luar aspek keagamaan formal.

Clifford Geertz (1960), seorang antropolog terkenal, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami masyarakat dan agama, termasuk Islam di Indonesia. Salah satu konsep yang diperkenalkan oleh Geertz adalah “Islam Jawa”, yang merujuk pada Islam yang diakulturasi dengan tradisi Jawa dan budaya lokal. Meskipun Geertz tidak secara khusus menyebutkan “tipe muslim Indonesia” dalam karyanya, beberapa pemikiran dan konsepnya dapat membantu kita memahami variasi dalam praktik Islam di Indonesia. Geertz menyebutkan tipe muslim di Jawa, yang mungkin bisa diterapkan juga di daerah lain di Indonesia, terdiri dari 3 jenis, yaitu muslim santri, abangan, dan priyayi. Tipologi yang diajukan Geertz tersebut mengindikasikan bahwa orang Islam dan orang beriman memiliki perbedaan. Orang beriman memiliki makna yang lebih mendalam, sementara orang Islam atau muslim lebih pada identitas yang mungkin belum sepenuhnya menjalankan ajaran Islam secara total. Hal ini menunjukkan seruan dan titah Allah SWT dalam surah al-Baqarah yang ditujukan kepada orang-orang beriman, bukan kepada muslim, menjadi rasional dan relevan.

Baca Juga:  Ramadan Menebar Kasih Sayang dan Silaturahmi

Kedua, Allah SWT memberikan pernyataan di Surah tersebut “sebagaimana orang-orang sebelum kamu”. Salah satu pesan penting dalam titah tersebut adalah puasa yang kita lakukan adalah ibadah yang inklusif dan bernilai positif. Puasa bernilai inklusif karena ada nilai kontinuitas dalam praktik ibadah puasa yang kita lakukan selama bulan suci ini. Ayat tersebut menekankan bahwa praktik ibadah puasa bukanlah sesuatu yang baru dalam agama Islam, tetapi telah menjadi bagian dari tradisi dan praktik spiritual umat Allah sejak zaman dahulu. Dalam tradisi Kekristenan, puasa sering kali terjadi selama masa-masa tertentu dalam tahun liturgis, seperti pada musim Pra-Paskah (40 hari sebelum Paskah) dan pada hari-hari tertentu dalam masa puasa lainnya.

- Advertisement -

Selama puasa, umat Kristen mungkin memilih untuk menahan diri dari makanan, minuman, atau aktivitas tertentu sebagai bentuk refleksi spiritual dan persiapan untuk perayaan-perayaan penting, seperti Paskah. Namun demikian, makna yang paling penting dari pesan tersebut adalah Allah SWT ingin memotivasi kita agar ikhlas menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini sebab puasa memiliki nilai-nilai positif bagi kita. Kalau kita ingin menyampaikan pesan kepada anak kita nomor dua, agar ia melakukan kegiatan positif, biasanya kita menambahkan kata-kata “sebagaimana yang dilakukan abang atau kakakmu”. Setiap perintah yang diikuti dengan menunjukkan agar mencontoh kegiatan yang pernah dilakukan orang sebelum kita, maka maknanya adalah kegiatan tersebut berguna dan bermanfaat bagi kita. Dan terbukti bahwa puasa memiliki banyak kegunaan dan nilai positif.

Puasa membantu dalam membersihkan tubuh dari racun dan zat-zat berbahaya. Selama puasa, tubuh memiliki waktu untuk memproses dan mengeluarkan racun yang terakumulasi dalam sistem pencernaan dan metabolisme. Puasa juga dapat membantu dalam mengendalikan faktor risiko penyakit jantung, seperti kolesterol dan tekanan darah tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa puasa secara periodik dapat membantu meningkatkan kesehatan jantung dengan mengurangi risiko penyakit jantung koroner.

- Advertisement -

Ketiga, ujung dari titah Allah SWT tersebut adalah “agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”. Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang selalu menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya di mana pun dan kapan pun. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap rutinitas hidupnya. Puasa mengajarkan kepada kita bahwa kita selalu merasa diawasi oleh Allah SWT sehingga di mana pun dan kapan pun kita tidak mau membatalkan puasa. Di rumah yang sepi tanpa ada manusia lain pun, kita tidak mau membatalkan puasa. Hal ini secara sebenarnya dipengaruhi oleh kesadaran bahwa Allah SWT mengetahui segala aktivitas kita sehingga kita tak mau membatalkan puasa. Hal ini menggambarkan pentingnya kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam setiap tindakan dan aktivitas kita, yang dicontohkan dalam perilaku kita ketika kita menjalankan ibadah puasa.

Baca Juga:  Rahasia Puasa dan Kesabaran Batiniah

Puasa dengan demikian tidak hanya mengajarkan untuk sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga mengajarkan kesadaran spiritual dan hubungan yang dalam antara individu dengan Sang Pencipta. Ketika seseorang berpuasa, kesadaran akan kehadiran Allah SWT menjadi lebih kuat. Orang yang berpuasa menyadari bahwa Allah SWT melihat segala sesuatu yang kita lakukan, baik di tempat umum maupun di tempat yang sepi. Kesadaran ini memotivasi kita untuk mempertahankan integritas spiritual dan menjalankan puasa dengan penuh kesungguhan, bahkan ketika tidak ada orang lain yang melihat atau memantau kita.

Kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam setiap aktivitas kita ini, yang dilatih melalui ritual puasa selama satu bulan penuh, membantu dalam membentuk karakter orang-orang yang bertakwa. Hal ini karena orang yang sadar akan kehadiran Allah SWT dalam setiap perilakunya akan mendorong mereka untuk menjauhi perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran-Nya. Kesadaran akan kehadiran Allah SWT adalah landasan utama dalam membentuk karakter orang-orang yang bertakwa. Hal itu memotivasi kita untuk hidup sesuai dengan ajaran-Nya, menjauhi perbuatan dosa, berperilaku jujur dan bertanggung jawab, serta berbuat baik kepada sesama manusia.***

Imron Rosidi, Guru Besar Sosiologi Islam dan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau

Perintah kewajiban berpuasa di bulan suci Ramadan didasarkan pada Surah al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas Kalian berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum Kalian agar Kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” Perintah Allah SWT tersebut mengindikasikan tiga makna krusial.

Pertama, seruan tersebut disampaikan secara tegas kepada orang-orang yang beriman. Dalam perspektif sosiologi Islam, orang beriman adalah individu yang tidak hanya menjalankan aspek spiritualitas dalam agama, tetapi juga memperjuangkan prinsip-prinsip sosial dan moral yang diatur oleh Islam. Sosiologi Islam memandang orang beriman sebagai agen perubahan sosial yang memiliki tanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang adil, harmonis, dan berkeadilan.

Hal ini berbeda dengan muslim nominal. Muslim nominal merujuk kepada individu yang mengidentifikasi diri sebagai muslim, tetapi keterlibatannya dalam praktek keagamaan dan pemahaman terhadap ajaran Islam mungkin terbatas atau dangkal. Mereka mungkin tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban ritual seperti salat atau puasa atau hanya melaksanakan ritual yang diwajibkan secara mekanis, tanpa pemahaman yang dalam tentang makna atau tujuan di balik praktik-praktik tersebut. Muslim nominal sering kali tidak mencerminkan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai Islam di luar aspek keagamaan formal.

Clifford Geertz (1960), seorang antropolog terkenal, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami masyarakat dan agama, termasuk Islam di Indonesia. Salah satu konsep yang diperkenalkan oleh Geertz adalah “Islam Jawa”, yang merujuk pada Islam yang diakulturasi dengan tradisi Jawa dan budaya lokal. Meskipun Geertz tidak secara khusus menyebutkan “tipe muslim Indonesia” dalam karyanya, beberapa pemikiran dan konsepnya dapat membantu kita memahami variasi dalam praktik Islam di Indonesia. Geertz menyebutkan tipe muslim di Jawa, yang mungkin bisa diterapkan juga di daerah lain di Indonesia, terdiri dari 3 jenis, yaitu muslim santri, abangan, dan priyayi. Tipologi yang diajukan Geertz tersebut mengindikasikan bahwa orang Islam dan orang beriman memiliki perbedaan. Orang beriman memiliki makna yang lebih mendalam, sementara orang Islam atau muslim lebih pada identitas yang mungkin belum sepenuhnya menjalankan ajaran Islam secara total. Hal ini menunjukkan seruan dan titah Allah SWT dalam surah al-Baqarah yang ditujukan kepada orang-orang beriman, bukan kepada muslim, menjadi rasional dan relevan.

Baca Juga:  Puasa Momentum Berbagi dan Saling Toleransi

Kedua, Allah SWT memberikan pernyataan di Surah tersebut “sebagaimana orang-orang sebelum kamu”. Salah satu pesan penting dalam titah tersebut adalah puasa yang kita lakukan adalah ibadah yang inklusif dan bernilai positif. Puasa bernilai inklusif karena ada nilai kontinuitas dalam praktik ibadah puasa yang kita lakukan selama bulan suci ini. Ayat tersebut menekankan bahwa praktik ibadah puasa bukanlah sesuatu yang baru dalam agama Islam, tetapi telah menjadi bagian dari tradisi dan praktik spiritual umat Allah sejak zaman dahulu. Dalam tradisi Kekristenan, puasa sering kali terjadi selama masa-masa tertentu dalam tahun liturgis, seperti pada musim Pra-Paskah (40 hari sebelum Paskah) dan pada hari-hari tertentu dalam masa puasa lainnya.

Selama puasa, umat Kristen mungkin memilih untuk menahan diri dari makanan, minuman, atau aktivitas tertentu sebagai bentuk refleksi spiritual dan persiapan untuk perayaan-perayaan penting, seperti Paskah. Namun demikian, makna yang paling penting dari pesan tersebut adalah Allah SWT ingin memotivasi kita agar ikhlas menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini sebab puasa memiliki nilai-nilai positif bagi kita. Kalau kita ingin menyampaikan pesan kepada anak kita nomor dua, agar ia melakukan kegiatan positif, biasanya kita menambahkan kata-kata “sebagaimana yang dilakukan abang atau kakakmu”. Setiap perintah yang diikuti dengan menunjukkan agar mencontoh kegiatan yang pernah dilakukan orang sebelum kita, maka maknanya adalah kegiatan tersebut berguna dan bermanfaat bagi kita. Dan terbukti bahwa puasa memiliki banyak kegunaan dan nilai positif.

Puasa membantu dalam membersihkan tubuh dari racun dan zat-zat berbahaya. Selama puasa, tubuh memiliki waktu untuk memproses dan mengeluarkan racun yang terakumulasi dalam sistem pencernaan dan metabolisme. Puasa juga dapat membantu dalam mengendalikan faktor risiko penyakit jantung, seperti kolesterol dan tekanan darah tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa puasa secara periodik dapat membantu meningkatkan kesehatan jantung dengan mengurangi risiko penyakit jantung koroner.

Ketiga, ujung dari titah Allah SWT tersebut adalah “agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”. Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang selalu menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya di mana pun dan kapan pun. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap rutinitas hidupnya. Puasa mengajarkan kepada kita bahwa kita selalu merasa diawasi oleh Allah SWT sehingga di mana pun dan kapan pun kita tidak mau membatalkan puasa. Di rumah yang sepi tanpa ada manusia lain pun, kita tidak mau membatalkan puasa. Hal ini secara sebenarnya dipengaruhi oleh kesadaran bahwa Allah SWT mengetahui segala aktivitas kita sehingga kita tak mau membatalkan puasa. Hal ini menggambarkan pentingnya kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam setiap tindakan dan aktivitas kita, yang dicontohkan dalam perilaku kita ketika kita menjalankan ibadah puasa.

Baca Juga:  Ramadan Menempa Kita Menjadi Insan yang Terbaik

Puasa dengan demikian tidak hanya mengajarkan untuk sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga mengajarkan kesadaran spiritual dan hubungan yang dalam antara individu dengan Sang Pencipta. Ketika seseorang berpuasa, kesadaran akan kehadiran Allah SWT menjadi lebih kuat. Orang yang berpuasa menyadari bahwa Allah SWT melihat segala sesuatu yang kita lakukan, baik di tempat umum maupun di tempat yang sepi. Kesadaran ini memotivasi kita untuk mempertahankan integritas spiritual dan menjalankan puasa dengan penuh kesungguhan, bahkan ketika tidak ada orang lain yang melihat atau memantau kita.

Kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam setiap aktivitas kita ini, yang dilatih melalui ritual puasa selama satu bulan penuh, membantu dalam membentuk karakter orang-orang yang bertakwa. Hal ini karena orang yang sadar akan kehadiran Allah SWT dalam setiap perilakunya akan mendorong mereka untuk menjauhi perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran-Nya. Kesadaran akan kehadiran Allah SWT adalah landasan utama dalam membentuk karakter orang-orang yang bertakwa. Hal itu memotivasi kita untuk hidup sesuai dengan ajaran-Nya, menjauhi perbuatan dosa, berperilaku jujur dan bertanggung jawab, serta berbuat baik kepada sesama manusia.***

Imron Rosidi, Guru Besar Sosiologi Islam dan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Belajar Jujur dari Puasa Ramadan

Cermin Ramadan

Takwa Puncak Puasa

Puasa dan Kepekaan Sosial

Tak Dapat Buat Bekawan

Gembira Sejati dan Palsu

Abrasi Moral di Era Digital

Ilmu dan Ibadah

Takwa Puncak Puasa

Puasa dan Kepekaan Sosial

Tak Dapat Buat Bekawan

Gembira Sejati dan Palsu

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari