Rabu, 1 Mei 2024

Belajar Jujur dari Puasa Ramadan

Alhamdulillah umat muslim kembali dipertemukan Bulan Ramadan 1445 H, bulan istimewa yang sangat dinanti dan selalu diharapkan dapat bertemu oleh setiap muslim yang beriman (mukmin). Allah SWT menempatkan secara khusus bulan Ramadan di antara sebelas bulan yang lainnya, dengan keutamaan yang agung, bulan yang dimuliakan dan bulan yang istimewa.

Keistimewaan dan kemuliaan Ramadan yang pertama, diturunkannya Al-Qur’an (sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al Baqarah ayat 185) sebagai petunjuk atau tuntunan bagi seluruh umat manusia (hudal linnas) agar selamat dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat. Sebagai petunjuk, kandungan Al-Quran berisi pedoman hidup sesuai syariat Islam, terkait bagaimana menjalani kehidupan duniawi sesuai pedoman Islam, baik

Yamaha

itu dari sisi akidah, ibadah, hingga muamalah (hubungan dengan sesama manusia), serta berdasarkan hidayah dari Allah SWT, segala sesuatu yang berkaitan dengan penciptaan manusia, ilmu pengetahuan, hukum alam, dan sebagainya.

Keistimewaan yang kedua, adanya lailatul qadar (sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an dalam Surah Al Qadr), malam yang penuh dengan karunia dan kemuliaan, yang lebih baik dari seribu bulan. Apabila ibadah seorang muslim diterima pada malam lailatul qadar tersebut, maka nilai ibadah (amal shalih) setara dengan melakukan ibadah selama seribu bulan (lebih kurang 83 tahun 4 bulan).

Ramadan menjadi bulan yang utama dan istimewa sehingga bulan ini sangat ditunggu oleh umat muslim tersebab pada bulan ini Allah SWT memberikan berkah yang sangat luas dan peluang yang sangat besar kepada seorang muslim berupa pengampunan (maghfirah) atas dosa-dosa dan terhapusnya berbagai kesalahan yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

- Advertisement -

Puasa Ramadan dan Taqwa
Bulan Ramadan yang di dalamnya Allah SWT memerintahkan secara khusus kepada setiap mukmin (muslim yang beriman) untuk berpuasa sebulan penuh, juga menjadi sarana bagi muslim dan mukmin untuk mencapai derajat taqwa (muttaqin), sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi : “Yaa ayyuhallazina amanuu kutiba ‘alaikumush-shiyamu kama kutiba ‘alallazina ming qablikum la’allakum tattaquun”.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

- Advertisement -

Secara terminologi, taqwa adalah takut kepada Allaah dan dengan kesadaran mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa. Taqwa terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 259 kali dengan makna yang cukup beragam, di antaranya: memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan. Taqwa adalah konsep sentral dan penting dalam Islam yang membentuk inti kehidupan spiritual seorang manusia. Taqwa dalam konteks keshalehan, kebenaran, kejujuran, kerendahan hati, rasa takut, kesadaran atas adanya Allah, memiliki makna yang sangat dalam dan memiliki pengaruh besar pada bagaimana seseorang menjalani hidupnya dan implementasi dari ketaatannya kepada Allaah Pencipta Alam Semesta. Taqwa dalam hati kitalah yang membuat ritual fisik sederhana (berpuasa) ini memiliki arti khusus di mata Allah.

Ibnu Qayyim berkata, “Hakikat taqwa adalah menaati Allah atas dasar iman dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintahkan atau pun perkara yang dilarang. Oleh karena itu, seseorang melakukan perintah itu karena imannya, yang diperintahkan-Nya disertai dengan pembenaran terhadap janji-janji-Nya. Dengan imannya itu pula, ia meninggalkan yang dilarang Allah dan takut terhadap ancaman-Nya”.

Takwa dalam Al-Qur’an memiliki tiga makna yaitu:

1. Takut kepada Allah dan pengakuan superioritas Allah SWT. Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 41, yang artinya, “Dan hanya kepada-Ku lah kamu harus bertakwa.

2. Bermakna taat dan beribadah, sebagaimana sebagaimana Firman Allaah dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 102 yang berarti, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa.”

3. Dengan makna pembersihan hati dari noda dan dosa. Maka inilah hakikat dari makna taqwa, selain pertama dan kedua. Sebagaimana Firman Allaah dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 52 ; “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah dan bertakwa, maka itulah orang-orang yang beruntung.”

Baca Juga:  Puasa Ramadan, Kampus Sehat, Aman, dan Nyaman

Secara lebih luas, makna Taqwa mencakup aspek berikut: Pertama, kesadaran akan Allah. Taqwa mencerminkan kesadaran akan keberadaan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Ini menciptakan rasa hormat dan ketaatan yang mendalam terhadap-Nya. Kedua, ketaatan. Taqwa mengarahkan individu untuk taat kepada perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ini mencakup pelaksanaan ibadah dan pengekangan diri terhadap dosa. Ketiga, kejujuran. Seorang yang memiliki taqwa selalu jujur dan adil dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan dengan sesama manusia. Keempat, kesabaran. Taqwa juga mencakup sifat kesabaran dalam menghadapi cobaan dan ujian hidup. Individu yang taqwa tahu bahwa Allah akan menguji mereka, dan mereka harus bersabar.

Adapun beberapa alasan mengapa taqwa sangat penting dalam Islam antara lain adalah: Pertama, mendekatkan diri kepada Allah. Taqwa adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketika seseorang menjalani hidup dengan taqwa, ia merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta dan memiliki hubungan spiritual yang kuat. Kedua, mencegah dari perilaku buruk. Taqwa membantu mencegah individu dari perilaku buruk dan dosa. Kesadaran akan Allah mendorong mereka untuk menjauhi tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ketiga, meraih kesejahteraan. Taqwa juga dianggap sebagai kunci menuju kesejahteraan sejati, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Allah menjanjikan berkah dan perlindungan bagi mereka yang memiliki taqwa.

Puasa dan Korupsi
Perintah puasa, sebenarnya bukan hanya untuk umat muslim dan tetapi juga satu di antara amalan (aktivitas ritual) yang dilakukan oleh umat agama lain. Hal tersebut juga ditegaskan dan dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Balqarah ayat 183 yang menjadi dasar hukum mukmin untuk berpuasa di bulan Ramadan. Puasa, praktik yang telah lama menjadi bagian penting dalam banyak agama, bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum. Secara umum puasa pada hakikatnya memberikan banyak pembelajaran. Selain sebagai wujud kesholehan, puasa juga memiliki hikmah yang mendalam dalam konteks sosial. Ketika seseorang yang berpuasa merasakan rasa lapar dan haus, sejatinya mereka lebih mampu merasakan penderitaan orang lain yang mungkin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Solidaritas dan empati yang diperoleh dari pengalaman ini diharapkan dapat memperkuat hubungan sosial dan mengilhami tindakan kebaikan.

Dalam konteks perintah puasa Ramadan, apabila pelaksanaan perintah tersebut tidak didasari dari hati (keikhlasan) atau dengan kata lain kita lakukan karena terpaksa dan faktor lain berkaitan dengan lingkungan sosial, maka secara hakikat seseorang yang menjalankan puasa tidak mendapatkan keutamaan dan imbalan pahala serta hakikat berpuasa untuk mencapai derajat taqwa (tattaqun/muttaqin), kecuali hanya rasa haus dan lapar, sebagaimana hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Betapa banyak orang yang puasa, namun yang ia dapatkan hanya rasa lapar dan dahaga (haus).” (HR. Ahmad no. 8693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 1083). Hadits ini secara jelas memberikan suatu pengertian bahwa betapa banyak orang melakukan puasa dan sukses mencegah dirinya dari hal-hal yang membatalkan puasa, hanya saja tidak mandapatkan pahala dan hakikat dari tujuan berpuasa yakni menjadi insan mukhlisin dan muttaqin.

Puasa pada hakikatnya mengajarkan dan mendidik kita agar sanggup konsisten dalam sikap jujur, senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran. Ibadah puasa pada dasarnya memerlukan kejujuran dari setiap orang yang melaksanakannya, baik jujur terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Tersebab, hanya pribadi orang berpuasa itu sendiri dan Allaah SWT saja yang mengetahui apakah ia benar-benar sedang berpuasa atau berpura-pura puasa di hadapan orang.

Di dalam menjalankan puasa, seseorang dilarang dan diharamkan untuk makan dan minum, sekalipun makanan dan minuman tersebut adalah barang yang halal, baik dari makna “wujud makanan dan minumannya” maupun dari sumber perolehannya, walaupun makanan dan minuman itu milik kita sendiri. Bahkan, kalaupun kita mau makan atau minum secara diam-diam dan ditempat yang sangat tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapapun dapat saja dilakukan, tetapi orang yang berpuasa tidak mau melakukannya.

Ibadah Puasa Ramadan berbeda dengan ibadah lain seperti salat, sadaqah dan haji/umrah. Seseorang bisa saja mengerjakan ibadah selain puasa karena faktor riya dan motif sosial, namun tidak dapat disamakan untuk puasa Ramadan, karena pada bulan tersebut semua umat muslim menunaikan ibadah puasa. Ibadah puasa sejatinya dilakukan atas dasar kesadaran dan keinsyafan dan tidak ada pemaksaan ataupun pengawasan dari orang lain.

Baca Juga:  Urgensi Transformasi Metode Dakwah

Namun suatu yang ironis dan paradoks, di saat puasa mengajarkan untuk konsisten dalam kejujuran, kita semua dihebohkan dengan terungkapnya kasus korupsi timah dengan nilai yang sangat fantastis (kerugian negara Rp271 Triliun), mencatatkan rekor baru pada sejarah kasus mega korupsi di Indonesia. Miris dan memprihatinkan, tindak korupsi di negeri ini sudah sangat parah dan kronis. Saat ini, ternyata nilai korupsi semakin besar dan sangat massif, angka korupsinya pun tak tanggung-tanggung, tidak lagi puluhan atau ratusan miliar, tetapi sudah di level ratusan triliun. Agaknya kita masih ingat skandal korupsi Bank Century di tahun 2008 sebesar Rp6,7 Triliun, ini saja sudah angka yang sangat besar dan menggemparkan.

Tak terkecuali Riau, Negeri Melayu yang berasaskan nilai-nilai Islami dengan falsafah “Adat Bersendi Syara’, Syara Bersendi Kitabullah (Al Qur’an)”. Sejak otonomi daerah yang diiringi oleh kucuran dana pembangunan yang sangat besar, sejatinya akan dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di Riau. Namun justru fakta membentangkan, bahwa harapan tersebut masih sangat jauh untuk diwujudkan. Hampir semua Gubernur Riau era otonomi daerah dan reformasi tersandung kasus korupsi, pun demikian dengan bupati dan walikota di 12 kabupaten/kota di Riau, hampir semuanya tersandung kasus korupsi, terakhir adalah kasus korupsi Bupati Kepulauan Meranti yang tersandung tindak pidana korupsi. Agaknya “saat ini” hanya Wali Kota Pekanbaru yang belum tersandung. Tindak pidana yang korupsi oleh Pemimpin dan Peneraju Negeri Melayu ini, secara masif juga banyak dilakukan oleh oknum pejabat daerah, yang sepertinya tak peduli dan mis-nurani terhadap nasib dan penderitaan rakyat dari himpitan beban ekonomi yang sangat berat.

Pelaku korupsi seakan menyatakan dunia ini milik mereka saja, masyarakat yang lain seolah menumpang dan patut dijadikan obyek permainan kesenangan mereka. Di tengah hantaman kesulitan hidup dan himpitan ekonomi yang diderita rakyat kecil, walau hanya untuk makan dan membeli beraspun, para koruptur dengan vulgar mempertontonkan gaya hidup mewah (hedonisme), bahkan dengan mudahnya menghadiahkan pesawat jet pribadi sebagai hadiah ulang tahun anak mereka.

Di sisi yang lain, masyarakat semestinya kembali sadar dan tegas, janganlah dibutakan dan permisif dengan kedermawanan pelaku korupsi yang menghambur-hamburkan uang korupsi, apalagi menempatkan para koruptur ini bagaikan dewa dan pahlawan. Masyarakat patutnya memberikan sanksi moral dan sosial kepada para koruptor, bukan sebaliknya mengelu-elukan dan mera’ikan mereka saat keluar dari hukuman penjara.

Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara juga memerlukan kejujuran semua pihak. Jika tidak ada kejujuran niscaya akan menimbulkan kegoncangan dan kekacauan di tengah-tengah kehidupan dari masyarakat atau bangsa tersebut. Kejujuran adalah kunci keberkahan, kalau kejujuran sudah hilang di tengah-tengah masyarakat, keberkahannya pun akan hilang pula. Apabila keberkahan sudah hilang, kehidupan menjadi kering, hampa tanpa makna.

Rasullallah bersabda : “Yang paling berat adalah hidup jujur. Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada salat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur”. (HR Ahmad Bazzar).

Di antara faktor yang menyebabkan Rasulullah Muhammad SAW berhasil dalam membangun masyarakat Islam adalah karena sifat-sifatnya dan akhlaknya yang terpuji. Salah satu sifatnya yang menonjol adalah kejujurannya sejak masa kecil sampai akhir hayatnya, sehingga beliau mendapat gelar “Al-Amin” (orang yang terpercaya atau orang yang jujur).

Ibadah puasa yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Sunnah akan membentuk para pelakunya menjadi orang-orang yang bersikap adil, menegakkan kebenaran dan berlaku jujur serta yang paling utama adalah “menghadirkan Allah” dalam segala aspek kehidupannya. Semoga kita dapat belajar dan menerapkan sikap jujur dari Tarbiyah Ramadhan tahun ini, Insan Kamil yang selalu naik kelas dari tingkatan pertama sebagai seorang Muslim (umat Islam), menjadi Mukmin (beriman), naik lagi menjadi muhsin (selalu merasa diawasi oleh Allaah SWT), kemudian mukhlisin (orang ikhlas), dan puncaknya sebagai Insan muttaqin (bertaqwa).***

Muhammad Herwan

*) Wakil Sekjen Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)
*) Ketua Umum DPW APVOKASI (Aliansi Pendidikan Vokasi Seluruh Indonesia) Riau

Alhamdulillah umat muslim kembali dipertemukan Bulan Ramadan 1445 H, bulan istimewa yang sangat dinanti dan selalu diharapkan dapat bertemu oleh setiap muslim yang beriman (mukmin). Allah SWT menempatkan secara khusus bulan Ramadan di antara sebelas bulan yang lainnya, dengan keutamaan yang agung, bulan yang dimuliakan dan bulan yang istimewa.

Keistimewaan dan kemuliaan Ramadan yang pertama, diturunkannya Al-Qur’an (sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al Baqarah ayat 185) sebagai petunjuk atau tuntunan bagi seluruh umat manusia (hudal linnas) agar selamat dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat. Sebagai petunjuk, kandungan Al-Quran berisi pedoman hidup sesuai syariat Islam, terkait bagaimana menjalani kehidupan duniawi sesuai pedoman Islam, baik

itu dari sisi akidah, ibadah, hingga muamalah (hubungan dengan sesama manusia), serta berdasarkan hidayah dari Allah SWT, segala sesuatu yang berkaitan dengan penciptaan manusia, ilmu pengetahuan, hukum alam, dan sebagainya.

Keistimewaan yang kedua, adanya lailatul qadar (sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an dalam Surah Al Qadr), malam yang penuh dengan karunia dan kemuliaan, yang lebih baik dari seribu bulan. Apabila ibadah seorang muslim diterima pada malam lailatul qadar tersebut, maka nilai ibadah (amal shalih) setara dengan melakukan ibadah selama seribu bulan (lebih kurang 83 tahun 4 bulan).

Ramadan menjadi bulan yang utama dan istimewa sehingga bulan ini sangat ditunggu oleh umat muslim tersebab pada bulan ini Allah SWT memberikan berkah yang sangat luas dan peluang yang sangat besar kepada seorang muslim berupa pengampunan (maghfirah) atas dosa-dosa dan terhapusnya berbagai kesalahan yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Puasa Ramadan dan Taqwa
Bulan Ramadan yang di dalamnya Allah SWT memerintahkan secara khusus kepada setiap mukmin (muslim yang beriman) untuk berpuasa sebulan penuh, juga menjadi sarana bagi muslim dan mukmin untuk mencapai derajat taqwa (muttaqin), sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi : “Yaa ayyuhallazina amanuu kutiba ‘alaikumush-shiyamu kama kutiba ‘alallazina ming qablikum la’allakum tattaquun”.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Secara terminologi, taqwa adalah takut kepada Allaah dan dengan kesadaran mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa. Taqwa terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 259 kali dengan makna yang cukup beragam, di antaranya: memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan. Taqwa adalah konsep sentral dan penting dalam Islam yang membentuk inti kehidupan spiritual seorang manusia. Taqwa dalam konteks keshalehan, kebenaran, kejujuran, kerendahan hati, rasa takut, kesadaran atas adanya Allah, memiliki makna yang sangat dalam dan memiliki pengaruh besar pada bagaimana seseorang menjalani hidupnya dan implementasi dari ketaatannya kepada Allaah Pencipta Alam Semesta. Taqwa dalam hati kitalah yang membuat ritual fisik sederhana (berpuasa) ini memiliki arti khusus di mata Allah.

Ibnu Qayyim berkata, “Hakikat taqwa adalah menaati Allah atas dasar iman dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintahkan atau pun perkara yang dilarang. Oleh karena itu, seseorang melakukan perintah itu karena imannya, yang diperintahkan-Nya disertai dengan pembenaran terhadap janji-janji-Nya. Dengan imannya itu pula, ia meninggalkan yang dilarang Allah dan takut terhadap ancaman-Nya”.

Takwa dalam Al-Qur’an memiliki tiga makna yaitu:

1. Takut kepada Allah dan pengakuan superioritas Allah SWT. Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 41, yang artinya, “Dan hanya kepada-Ku lah kamu harus bertakwa.

2. Bermakna taat dan beribadah, sebagaimana sebagaimana Firman Allaah dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 102 yang berarti, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa.”

3. Dengan makna pembersihan hati dari noda dan dosa. Maka inilah hakikat dari makna taqwa, selain pertama dan kedua. Sebagaimana Firman Allaah dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 52 ; “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah dan bertakwa, maka itulah orang-orang yang beruntung.”

Baca Juga:  Urgensi Transformasi Metode Dakwah

Secara lebih luas, makna Taqwa mencakup aspek berikut: Pertama, kesadaran akan Allah. Taqwa mencerminkan kesadaran akan keberadaan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Ini menciptakan rasa hormat dan ketaatan yang mendalam terhadap-Nya. Kedua, ketaatan. Taqwa mengarahkan individu untuk taat kepada perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ini mencakup pelaksanaan ibadah dan pengekangan diri terhadap dosa. Ketiga, kejujuran. Seorang yang memiliki taqwa selalu jujur dan adil dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan dengan sesama manusia. Keempat, kesabaran. Taqwa juga mencakup sifat kesabaran dalam menghadapi cobaan dan ujian hidup. Individu yang taqwa tahu bahwa Allah akan menguji mereka, dan mereka harus bersabar.

Adapun beberapa alasan mengapa taqwa sangat penting dalam Islam antara lain adalah: Pertama, mendekatkan diri kepada Allah. Taqwa adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketika seseorang menjalani hidup dengan taqwa, ia merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta dan memiliki hubungan spiritual yang kuat. Kedua, mencegah dari perilaku buruk. Taqwa membantu mencegah individu dari perilaku buruk dan dosa. Kesadaran akan Allah mendorong mereka untuk menjauhi tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ketiga, meraih kesejahteraan. Taqwa juga dianggap sebagai kunci menuju kesejahteraan sejati, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Allah menjanjikan berkah dan perlindungan bagi mereka yang memiliki taqwa.

Puasa dan Korupsi
Perintah puasa, sebenarnya bukan hanya untuk umat muslim dan tetapi juga satu di antara amalan (aktivitas ritual) yang dilakukan oleh umat agama lain. Hal tersebut juga ditegaskan dan dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Balqarah ayat 183 yang menjadi dasar hukum mukmin untuk berpuasa di bulan Ramadan. Puasa, praktik yang telah lama menjadi bagian penting dalam banyak agama, bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum. Secara umum puasa pada hakikatnya memberikan banyak pembelajaran. Selain sebagai wujud kesholehan, puasa juga memiliki hikmah yang mendalam dalam konteks sosial. Ketika seseorang yang berpuasa merasakan rasa lapar dan haus, sejatinya mereka lebih mampu merasakan penderitaan orang lain yang mungkin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Solidaritas dan empati yang diperoleh dari pengalaman ini diharapkan dapat memperkuat hubungan sosial dan mengilhami tindakan kebaikan.

Dalam konteks perintah puasa Ramadan, apabila pelaksanaan perintah tersebut tidak didasari dari hati (keikhlasan) atau dengan kata lain kita lakukan karena terpaksa dan faktor lain berkaitan dengan lingkungan sosial, maka secara hakikat seseorang yang menjalankan puasa tidak mendapatkan keutamaan dan imbalan pahala serta hakikat berpuasa untuk mencapai derajat taqwa (tattaqun/muttaqin), kecuali hanya rasa haus dan lapar, sebagaimana hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Betapa banyak orang yang puasa, namun yang ia dapatkan hanya rasa lapar dan dahaga (haus).” (HR. Ahmad no. 8693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 1083). Hadits ini secara jelas memberikan suatu pengertian bahwa betapa banyak orang melakukan puasa dan sukses mencegah dirinya dari hal-hal yang membatalkan puasa, hanya saja tidak mandapatkan pahala dan hakikat dari tujuan berpuasa yakni menjadi insan mukhlisin dan muttaqin.

Puasa pada hakikatnya mengajarkan dan mendidik kita agar sanggup konsisten dalam sikap jujur, senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran. Ibadah puasa pada dasarnya memerlukan kejujuran dari setiap orang yang melaksanakannya, baik jujur terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Tersebab, hanya pribadi orang berpuasa itu sendiri dan Allaah SWT saja yang mengetahui apakah ia benar-benar sedang berpuasa atau berpura-pura puasa di hadapan orang.

Di dalam menjalankan puasa, seseorang dilarang dan diharamkan untuk makan dan minum, sekalipun makanan dan minuman tersebut adalah barang yang halal, baik dari makna “wujud makanan dan minumannya” maupun dari sumber perolehannya, walaupun makanan dan minuman itu milik kita sendiri. Bahkan, kalaupun kita mau makan atau minum secara diam-diam dan ditempat yang sangat tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapapun dapat saja dilakukan, tetapi orang yang berpuasa tidak mau melakukannya.

Ibadah Puasa Ramadan berbeda dengan ibadah lain seperti salat, sadaqah dan haji/umrah. Seseorang bisa saja mengerjakan ibadah selain puasa karena faktor riya dan motif sosial, namun tidak dapat disamakan untuk puasa Ramadan, karena pada bulan tersebut semua umat muslim menunaikan ibadah puasa. Ibadah puasa sejatinya dilakukan atas dasar kesadaran dan keinsyafan dan tidak ada pemaksaan ataupun pengawasan dari orang lain.

Baca Juga:  Cermin Ramadan

Namun suatu yang ironis dan paradoks, di saat puasa mengajarkan untuk konsisten dalam kejujuran, kita semua dihebohkan dengan terungkapnya kasus korupsi timah dengan nilai yang sangat fantastis (kerugian negara Rp271 Triliun), mencatatkan rekor baru pada sejarah kasus mega korupsi di Indonesia. Miris dan memprihatinkan, tindak korupsi di negeri ini sudah sangat parah dan kronis. Saat ini, ternyata nilai korupsi semakin besar dan sangat massif, angka korupsinya pun tak tanggung-tanggung, tidak lagi puluhan atau ratusan miliar, tetapi sudah di level ratusan triliun. Agaknya kita masih ingat skandal korupsi Bank Century di tahun 2008 sebesar Rp6,7 Triliun, ini saja sudah angka yang sangat besar dan menggemparkan.

Tak terkecuali Riau, Negeri Melayu yang berasaskan nilai-nilai Islami dengan falsafah “Adat Bersendi Syara’, Syara Bersendi Kitabullah (Al Qur’an)”. Sejak otonomi daerah yang diiringi oleh kucuran dana pembangunan yang sangat besar, sejatinya akan dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di Riau. Namun justru fakta membentangkan, bahwa harapan tersebut masih sangat jauh untuk diwujudkan. Hampir semua Gubernur Riau era otonomi daerah dan reformasi tersandung kasus korupsi, pun demikian dengan bupati dan walikota di 12 kabupaten/kota di Riau, hampir semuanya tersandung kasus korupsi, terakhir adalah kasus korupsi Bupati Kepulauan Meranti yang tersandung tindak pidana korupsi. Agaknya “saat ini” hanya Wali Kota Pekanbaru yang belum tersandung. Tindak pidana yang korupsi oleh Pemimpin dan Peneraju Negeri Melayu ini, secara masif juga banyak dilakukan oleh oknum pejabat daerah, yang sepertinya tak peduli dan mis-nurani terhadap nasib dan penderitaan rakyat dari himpitan beban ekonomi yang sangat berat.

Pelaku korupsi seakan menyatakan dunia ini milik mereka saja, masyarakat yang lain seolah menumpang dan patut dijadikan obyek permainan kesenangan mereka. Di tengah hantaman kesulitan hidup dan himpitan ekonomi yang diderita rakyat kecil, walau hanya untuk makan dan membeli beraspun, para koruptur dengan vulgar mempertontonkan gaya hidup mewah (hedonisme), bahkan dengan mudahnya menghadiahkan pesawat jet pribadi sebagai hadiah ulang tahun anak mereka.

Di sisi yang lain, masyarakat semestinya kembali sadar dan tegas, janganlah dibutakan dan permisif dengan kedermawanan pelaku korupsi yang menghambur-hamburkan uang korupsi, apalagi menempatkan para koruptur ini bagaikan dewa dan pahlawan. Masyarakat patutnya memberikan sanksi moral dan sosial kepada para koruptor, bukan sebaliknya mengelu-elukan dan mera’ikan mereka saat keluar dari hukuman penjara.

Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara juga memerlukan kejujuran semua pihak. Jika tidak ada kejujuran niscaya akan menimbulkan kegoncangan dan kekacauan di tengah-tengah kehidupan dari masyarakat atau bangsa tersebut. Kejujuran adalah kunci keberkahan, kalau kejujuran sudah hilang di tengah-tengah masyarakat, keberkahannya pun akan hilang pula. Apabila keberkahan sudah hilang, kehidupan menjadi kering, hampa tanpa makna.

Rasullallah bersabda : “Yang paling berat adalah hidup jujur. Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada salat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur”. (HR Ahmad Bazzar).

Di antara faktor yang menyebabkan Rasulullah Muhammad SAW berhasil dalam membangun masyarakat Islam adalah karena sifat-sifatnya dan akhlaknya yang terpuji. Salah satu sifatnya yang menonjol adalah kejujurannya sejak masa kecil sampai akhir hayatnya, sehingga beliau mendapat gelar “Al-Amin” (orang yang terpercaya atau orang yang jujur).

Ibadah puasa yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Sunnah akan membentuk para pelakunya menjadi orang-orang yang bersikap adil, menegakkan kebenaran dan berlaku jujur serta yang paling utama adalah “menghadirkan Allah” dalam segala aspek kehidupannya. Semoga kita dapat belajar dan menerapkan sikap jujur dari Tarbiyah Ramadhan tahun ini, Insan Kamil yang selalu naik kelas dari tingkatan pertama sebagai seorang Muslim (umat Islam), menjadi Mukmin (beriman), naik lagi menjadi muhsin (selalu merasa diawasi oleh Allaah SWT), kemudian mukhlisin (orang ikhlas), dan puncaknya sebagai Insan muttaqin (bertaqwa).***

Muhammad Herwan

*) Wakil Sekjen Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)
*) Ketua Umum DPW APVOKASI (Aliansi Pendidikan Vokasi Seluruh Indonesia) Riau

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Cermin Ramadan

Jalani Puasa, Sehatkan Otak

Takwa Puncak Puasa

Puasa dan Kepekaan Sosial

Tiga Makna Titah Kewajiban Puasa

Tak Dapat Buat Bekawan

Gembira Sejati dan Palsu

Abrasi Moral di Era Digital

Takwa Puncak Puasa

Puasa dan Kepekaan Sosial

Tiga Makna Titah Kewajiban Puasa

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari