Sabtu, 27 April 2024

Puasa dan Kepekaan Sosial

Bulan Ramadan tahun ini, ada hal yang menyesakkan saya karena didatangi dua orang dari kalangan yang berbeda dan pada waktu yang berlainan pula. Pertama, seorang juru parkir yang memungut retribusi parkir di salah satu toko es krim di daerah Panam.

Ia menceritakan bahwa posisi juru parkir seperti dia, terjepit di tengah-tengah antara masyarakat yang dia pungut retribusi parkirnya dan juragannya yang menagih setoran parkir setiap hari.

Yamaha

Di tengah persoalan parkir di Pekanbaru yang semrawut saat ini, masyarakat seringkali mengutuk para tukang parkir, ada yang menolak membayar, ada pula yang membayar kurang dari besaran resminya.

Tetapi, di sisi lain para tukang parkir ini dipatok harus menyetor mulai dari Rp100 ribu sampai ada yang Rp1,5 juta per hari kepada bos masing-masing.

Bapak yang mengadu tadi bercerita, kalau hari hujan, pendapatannya akan drop. Bahkan untuk mengejar setoran saja kadang tidak cukup karena orang malas beli es krim waktu hari hujan. Sementara itu, setoran tidak boleh berkurang, bahkan kadang dia harus menombok pula.

- Advertisement -

Kalau setoran tidak cukup, dirinya diancam akan diganti oleh orang lain yang mengantre untuk jadi tukang parkir. Mau tidak mau, dirinya tetap menjalani profesi tukang parkir ini.

Yang membuat hatinya teriris adalah ketika melihat bosnya hidup berfoya-foya, mewah, sangat menikmati setoran dari tukang-tukang parkir yang berada di bawah kuasanya, meskipun dengan memeras habis masyarakat dan juga tukang parkir tadi.

- Advertisement -
Baca Juga:  Abrasi Moral di Era Digital

Orang kedua yang datang kepada saya adalah pekerja taman dan pemeliharaan fasilitas di salah satu kampus besar di Pekanbaru. Mereka bekerja full time 8 jam per hari, 5 hari sepekan, tetapi karena perubahan sistem kerja dan administrasi, gaji mereka diturunkan dari yang biasa didapat Rp2,7 juta menjadi hanya Rp 2,2 juta per bulan, meskipun dihitung sebagai pekerja harian dengan beban kerja tetap 8 jam per hari.

Padahal mereka sudah belasan tahun bekerja di sana. Kalau mereka mau mendapat tambahan pendapatan, maka harus mau lembur di hari libur. Astaghfirullah. Apa pula ini? Kata saya dalam hati. Padahal upah minimum di Pekanbaru untuk pekerja full time tahun 2024 ini sudah mencapai Rp3,4 juta.

Apa salahnya kalau pihak kampus menaikkan gaji mereka sampai menjadi UMK Rp3,4 juta ini? Kalaupun mereka dibayar harian, apa yang memberatkan pihak kampus seandainya mereka dibayar Rp170 ribu per hari? Itu pun sebenarnya sudah batas minimum yang harus ditetapkan oleh pemerintah sendiri.

Toh, mereka membayar itu bukan dari kantong pribadi mereka, tetapi dari kas negara juga! Apa salahnya negara membayar rakyatnya yang bekerja dengan keringat dan panas mendera tubuh mereka dengan harga yang pantas? Mereka bukan ongkang-ongkang kaki rapat di ruang ber-AC dan disuguhi dengan makanan/minuman enak?

Ketidakadilan apa pula ini? Pikir saya. Apa yang kita rasakan seandainya nasib kita seperti pada posisi mereka. Sebagai tulang punggung keluarga, apa yang akan kita bawa pulang ke rumah dengan uang Rp2,2 juta sebulan saat ini? Untuk transpor saja sudah habis Rp500 ribu sebulan.

Baca Juga:  Ramadan di Tengah Badai

Dua peristiwa di atas, mungkin mewakili banyak ketidakadilan dan kesewenangan di tengah-tengah kita, tetapi tidak terlihat karena tampilan birokrasi dan dunia pendidikan kita penuh dengan kemegahan dan pencapaian target-target yang mentereng.

Kepedulian dan kepekaan sosial kita harus juga mengiringi kepemimpinan yang kita jalani. Apa susahnya menaikkan upah pekerja-pekerja, terkhusus yang bekerja di lembaga pemerintah, dengan UMR masing-masing. Toh, yang dipakai bukan uang pribadi, tetapi uang negara juga yang kalau dibayar ke pekerjanya pun mereka sebagai warga negara yang memang berhak untuk hidup layak.

Berteori tentang pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan merencanakan program pembangunan yang komprehensif dan rumit, tidak ada artinya kalau urusan UMR saja lembaga pemerintah tidak komitmen, apalagi sektor swasta.

Mumpung bulan Ramadan ini, ketika kita sedang berpuasa, perut lapar, kerongkongan haus kering, tubuh lemah, maka hendaknya kita bisa lebih berempati kepada dua kasus di atas. Kullukum roin, wakullukum mas ulun arroiyah, kata Nabi Muhammad SAW. Setiap kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.***






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos

Bulan Ramadan tahun ini, ada hal yang menyesakkan saya karena didatangi dua orang dari kalangan yang berbeda dan pada waktu yang berlainan pula. Pertama, seorang juru parkir yang memungut retribusi parkir di salah satu toko es krim di daerah Panam.

Ia menceritakan bahwa posisi juru parkir seperti dia, terjepit di tengah-tengah antara masyarakat yang dia pungut retribusi parkirnya dan juragannya yang menagih setoran parkir setiap hari.

Di tengah persoalan parkir di Pekanbaru yang semrawut saat ini, masyarakat seringkali mengutuk para tukang parkir, ada yang menolak membayar, ada pula yang membayar kurang dari besaran resminya.

Tetapi, di sisi lain para tukang parkir ini dipatok harus menyetor mulai dari Rp100 ribu sampai ada yang Rp1,5 juta per hari kepada bos masing-masing.

Bapak yang mengadu tadi bercerita, kalau hari hujan, pendapatannya akan drop. Bahkan untuk mengejar setoran saja kadang tidak cukup karena orang malas beli es krim waktu hari hujan. Sementara itu, setoran tidak boleh berkurang, bahkan kadang dia harus menombok pula.

Kalau setoran tidak cukup, dirinya diancam akan diganti oleh orang lain yang mengantre untuk jadi tukang parkir. Mau tidak mau, dirinya tetap menjalani profesi tukang parkir ini.

Yang membuat hatinya teriris adalah ketika melihat bosnya hidup berfoya-foya, mewah, sangat menikmati setoran dari tukang-tukang parkir yang berada di bawah kuasanya, meskipun dengan memeras habis masyarakat dan juga tukang parkir tadi.

Baca Juga:  Puasa Ramadan, Kampus Sehat, Aman, dan Nyaman

Orang kedua yang datang kepada saya adalah pekerja taman dan pemeliharaan fasilitas di salah satu kampus besar di Pekanbaru. Mereka bekerja full time 8 jam per hari, 5 hari sepekan, tetapi karena perubahan sistem kerja dan administrasi, gaji mereka diturunkan dari yang biasa didapat Rp2,7 juta menjadi hanya Rp 2,2 juta per bulan, meskipun dihitung sebagai pekerja harian dengan beban kerja tetap 8 jam per hari.

Padahal mereka sudah belasan tahun bekerja di sana. Kalau mereka mau mendapat tambahan pendapatan, maka harus mau lembur di hari libur. Astaghfirullah. Apa pula ini? Kata saya dalam hati. Padahal upah minimum di Pekanbaru untuk pekerja full time tahun 2024 ini sudah mencapai Rp3,4 juta.

Apa salahnya kalau pihak kampus menaikkan gaji mereka sampai menjadi UMK Rp3,4 juta ini? Kalaupun mereka dibayar harian, apa yang memberatkan pihak kampus seandainya mereka dibayar Rp170 ribu per hari? Itu pun sebenarnya sudah batas minimum yang harus ditetapkan oleh pemerintah sendiri.

Toh, mereka membayar itu bukan dari kantong pribadi mereka, tetapi dari kas negara juga! Apa salahnya negara membayar rakyatnya yang bekerja dengan keringat dan panas mendera tubuh mereka dengan harga yang pantas? Mereka bukan ongkang-ongkang kaki rapat di ruang ber-AC dan disuguhi dengan makanan/minuman enak?

Ketidakadilan apa pula ini? Pikir saya. Apa yang kita rasakan seandainya nasib kita seperti pada posisi mereka. Sebagai tulang punggung keluarga, apa yang akan kita bawa pulang ke rumah dengan uang Rp2,2 juta sebulan saat ini? Untuk transpor saja sudah habis Rp500 ribu sebulan.

Baca Juga:  Rahasia Puasa dan Kesabaran Batiniah

Dua peristiwa di atas, mungkin mewakili banyak ketidakadilan dan kesewenangan di tengah-tengah kita, tetapi tidak terlihat karena tampilan birokrasi dan dunia pendidikan kita penuh dengan kemegahan dan pencapaian target-target yang mentereng.

Kepedulian dan kepekaan sosial kita harus juga mengiringi kepemimpinan yang kita jalani. Apa susahnya menaikkan upah pekerja-pekerja, terkhusus yang bekerja di lembaga pemerintah, dengan UMR masing-masing. Toh, yang dipakai bukan uang pribadi, tetapi uang negara juga yang kalau dibayar ke pekerjanya pun mereka sebagai warga negara yang memang berhak untuk hidup layak.

Berteori tentang pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan merencanakan program pembangunan yang komprehensif dan rumit, tidak ada artinya kalau urusan UMR saja lembaga pemerintah tidak komitmen, apalagi sektor swasta.

Mumpung bulan Ramadan ini, ketika kita sedang berpuasa, perut lapar, kerongkongan haus kering, tubuh lemah, maka hendaknya kita bisa lebih berempati kepada dua kasus di atas. Kullukum roin, wakullukum mas ulun arroiyah, kata Nabi Muhammad SAW. Setiap kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.***






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Belajar Jujur dari Puasa Ramadan

Cermin Ramadan

Takwa Puncak Puasa

Tiga Makna Titah Kewajiban Puasa

Tak Dapat Buat Bekawan

Gembira Sejati dan Palsu

Abrasi Moral di Era Digital

Ilmu dan Ibadah

Takwa Puncak Puasa

Tiga Makna Titah Kewajiban Puasa

Tak Dapat Buat Bekawan

Gembira Sejati dan Palsu

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari