Rabu, 16 Juli 2025

Dilema Anggaran Daerah

DISKUSI hangat dalam Sarasehan Perubahan Geopolitik Dunia pada 20 Mei lalu mengungkap dilema akut yang dihadapi para kepala daerah. Saat ditanya mengenai efektivitas anggaran dan kinerja aparatur sipil negara (ASN) dalam melayani publik, jawaban mereka mengerucut pada satu titik: anggaran yang efisien justru memicu stagnasi dan melambatkan pelayanan publik. Bahkan, ada keluhan tentang penurunan produktivitas ASN, seolah mengonfirmasi bahwa kebijakan efisiensi anggaran tanpa adaptasi yang memadai justru berujung pada lesunya belanja daerah dan akhirnya melemahkan daya beli masyarakat.

Keraguan para kepala daerah dalam menyalurkan belanja daerah memiliki akar yang dalam. Pertama, kekhawatiran kebijakan belanja lokal akan bertentangan dengan instruksi pusat, terutama program-program strategis nasional yang cenderung top-down. Kedua, dinamika regulasi yang terus berubah tanpa mekanisme transisi yang jelas kerap membuat kepala daerah ragu untuk mengeksekusi program inovatif. Ketiga, keterbatasan anggaran karena alokasi fiskal yang sudah “disetel” untuk membiayai program pusat, sehingga ruang gerak fiskal daerah menjadi sangat terbatas.

Penguatan Ekonomi Lokal

Sinyal pelemahan ekonomi nasional kian nyata. Pada kuartal I-2025, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87 persen, melambat dari kuartal sebelumnya (5,02 persen) dan setahun lalu (5,11 persen). Angka ini tak lepas dari tekanan eksternal seperti kebijakan tarif resiprokal AS yang mengeruhkan perdagangan global, serta ketidakpastian geopolitik yang terus menekan investasi.

Di balik data makroekonomi ini, tersimpan persoalan struktural yang lebih kompleks di tingkat daerah: mandeknya efektivitas belanja pemerintah daerah dalam mendorong pemulihan ekonomi lokal. Kepala daerah berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka dibebani janji kampanye Pilkada 2024. Di sisi lain, ruang fiskal mereka kian sempit, dibayangi kerumitan regulasi yang dinamis dan koordinasi vertikal yang kaku dengan pemerintah pusat.

Pemerintah memang telah membuka blokir anggaran Kementerian/Lembaga sebesar Rp86,6 triliun dari total Rp256,1 triliun per 25 April 2025. Langkah ini patut diapresiasi, namun membuka blokir saja tidak cukup. Perlu pengawalan kualitas belanja agar benar-benar diarahkan pada program prioritas yang mampu menjaga daya beli masyarakat dan mendorong produktivitas sektor riil. Jika tidak, belanja hanya akan menjadi rutinitas birokratis yang minim efek pengganda ekonomi.

Baca Juga:  Empat Ruas Jalan Mulai Diperbaiki

Koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan seluruh pemerintah daerah seharusnya melampaui ketaatan administratif. Kemendagri, sebagai pembina utama, perlu “memvaksin” para kepala daerah dengan teknokratisme agar mereka bisa berkreasi meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Jika belanja daerah hanya menjadi alat formalitas untuk menyerap anggaran tanpa strategi pembangunan terukur, seluruh upaya efisiensi akan kehilangan maknanya. Belanja akan kembali ke pola lama: belanja birokrasi dan seremoni yang cepat habis tanpa menyisakan nilai pembangunan jangka panjang.

Situasi ini menuntut lebih dari sekadar kepatuhan. Kepala daerah tidak cukup hanya menjadi manajer program, melainkan juga harus menjadi inovator fiskal. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah agenda krusial yang kerap terabaikan; ketergantungan pada transfer pusat tak boleh menjadi alibi stagnasi fiskal lokal. Kreativitas fiskal ini takkan tumbuh dalam ruang yang kering dari dukungan teknokratis. Oleh karena itu, Kemendagri harus bergeser dari sekadar pengawas administratif menjadi agen pemberi “vaksin” teknokratisme, membina dan memfasilitasi kepala daerah dalam peningkatan kapasitas perencanaan, manajemen fiskal, hingga tata kelola investasi.

Kemendagri dan Kementerian Investasi/BKPM telah menunjukkan ikhtiar positif dalam memperbaiki iklim investasi melalui deregulasi dan penyederhanaan perizinan. Namun, pada praktiknya, produk kebijakan Kemendagri kerap menjadi penghambat, baik karena tumpang tindih regulasi maupun proses birokrasi yang berbelit-belit. Stagnasi belanja daerah, rendahnya realisasi APBD, dan lambatnya investasi akan menyebabkan kontraksi jumlah uang beredar di masyarakat dan memukul sektor swasta, yang sejatinya menjadi pelengkap fiskal negara. Dalam struktur ekonomi daerah, belanja pemerintah masih menjadi tulang punggung utama perekonomian.

Kepala daerah harus berupaya lebih keras meningkatkan kapasitas fiskal agar tidak sekadar menjadi ‘operator’ kebijakan pusat. Kapasitas fiskal yang kuat melalui optimalisasi pajak daerah, retribusi, maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang produktif, diharapkan memberi ruang bagi pemerintah daerah menyelamatkan ekonomi lokal, terutama di tengah efisiensi anggaran dan tekanan ekonomi global.

Baca Juga:  Minus Kuansing, APBD 11 Kabupaten/Kota Selesai Dievaluasi

Tantangan terbesar kepala daerah saat ini bukan hanya soal infrastruktur atau layanan publik, tetapi bagaimana mereka mampu menjadi “buffer zone” terhadap guncangan ekonomi nasional dan global yang perlahan memengaruhi kantong rakyat kecil. Saat inflasi merangkak naik, daya beli masyarakat tergerus. Kepala daerah harus sensitif menyadari bahwa melonjaknya harga bahan pokok di pasar tradisional bisa memicu keresahan yang jauh lebih dalam daripada angka statistik di laporan.

Tantangan Korupsi Sistemik

Seluruh agenda penguatan ekonomi daerah akan sia-sia jika tidak diiringi oleh pemberantasan korupsi yang nyata dan sistemik. Korupsi di level daerah yang kian membesar, bahkan menyeret banyak kepala daerah aktif, merupakan sinyal buruk bagi stabilitas fiskal dan kepercayaan publik. Ini adalah pola dari state capture corruption, di mana korupsi bukan lagi diorkestrasi oleh segelintir orang, melainkan sistem pemberantasan korupsi yang lemah dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab.

Indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) inisiasi KPK harus dilihat bukan sebagai beban administratif, melainkan alat bantu sistemik untuk menata perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP), manajemen ASN, pengelolaan aset daerah (BMD), hingga optimalisasi pajak daerah. Daerah yang abai terhadap MCP sesungguhnya membiarkan dirinya terjebak dalam inefisiensi dan kerentanan korupsi.

Mengelola daerah di tengah perlambatan ekonomi nasional dan keterbatasan fiskal memang tidak mudah. Namun, di sinilah esensi kepemimpinan teknokratik diuji. Kepala daerah hari ini harus mampu mentransformasikan kebimbangan menjadi kepemimpinan yang membangun agenda fiskal berbasis data, mengutamakan belanja berkualitas, mengedepankan sistem pencegahan korupsi, serta memperkuat kemandirian fiskal dengan keberanian inovatif.***

 

Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Alumni Kebangsaan Lemhannas RI

DISKUSI hangat dalam Sarasehan Perubahan Geopolitik Dunia pada 20 Mei lalu mengungkap dilema akut yang dihadapi para kepala daerah. Saat ditanya mengenai efektivitas anggaran dan kinerja aparatur sipil negara (ASN) dalam melayani publik, jawaban mereka mengerucut pada satu titik: anggaran yang efisien justru memicu stagnasi dan melambatkan pelayanan publik. Bahkan, ada keluhan tentang penurunan produktivitas ASN, seolah mengonfirmasi bahwa kebijakan efisiensi anggaran tanpa adaptasi yang memadai justru berujung pada lesunya belanja daerah dan akhirnya melemahkan daya beli masyarakat.

Keraguan para kepala daerah dalam menyalurkan belanja daerah memiliki akar yang dalam. Pertama, kekhawatiran kebijakan belanja lokal akan bertentangan dengan instruksi pusat, terutama program-program strategis nasional yang cenderung top-down. Kedua, dinamika regulasi yang terus berubah tanpa mekanisme transisi yang jelas kerap membuat kepala daerah ragu untuk mengeksekusi program inovatif. Ketiga, keterbatasan anggaran karena alokasi fiskal yang sudah “disetel” untuk membiayai program pusat, sehingga ruang gerak fiskal daerah menjadi sangat terbatas.

Penguatan Ekonomi Lokal

Sinyal pelemahan ekonomi nasional kian nyata. Pada kuartal I-2025, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87 persen, melambat dari kuartal sebelumnya (5,02 persen) dan setahun lalu (5,11 persen). Angka ini tak lepas dari tekanan eksternal seperti kebijakan tarif resiprokal AS yang mengeruhkan perdagangan global, serta ketidakpastian geopolitik yang terus menekan investasi.

Di balik data makroekonomi ini, tersimpan persoalan struktural yang lebih kompleks di tingkat daerah: mandeknya efektivitas belanja pemerintah daerah dalam mendorong pemulihan ekonomi lokal. Kepala daerah berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka dibebani janji kampanye Pilkada 2024. Di sisi lain, ruang fiskal mereka kian sempit, dibayangi kerumitan regulasi yang dinamis dan koordinasi vertikal yang kaku dengan pemerintah pusat.

- Advertisement -

Pemerintah memang telah membuka blokir anggaran Kementerian/Lembaga sebesar Rp86,6 triliun dari total Rp256,1 triliun per 25 April 2025. Langkah ini patut diapresiasi, namun membuka blokir saja tidak cukup. Perlu pengawalan kualitas belanja agar benar-benar diarahkan pada program prioritas yang mampu menjaga daya beli masyarakat dan mendorong produktivitas sektor riil. Jika tidak, belanja hanya akan menjadi rutinitas birokratis yang minim efek pengganda ekonomi.

Baca Juga:  Kado Terindah atau Kabar Buruk? (Kuansing Jadi Percontohan Kegiatan Tambang Rakyat)

Koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan seluruh pemerintah daerah seharusnya melampaui ketaatan administratif. Kemendagri, sebagai pembina utama, perlu “memvaksin” para kepala daerah dengan teknokratisme agar mereka bisa berkreasi meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Jika belanja daerah hanya menjadi alat formalitas untuk menyerap anggaran tanpa strategi pembangunan terukur, seluruh upaya efisiensi akan kehilangan maknanya. Belanja akan kembali ke pola lama: belanja birokrasi dan seremoni yang cepat habis tanpa menyisakan nilai pembangunan jangka panjang.

- Advertisement -

Situasi ini menuntut lebih dari sekadar kepatuhan. Kepala daerah tidak cukup hanya menjadi manajer program, melainkan juga harus menjadi inovator fiskal. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah agenda krusial yang kerap terabaikan; ketergantungan pada transfer pusat tak boleh menjadi alibi stagnasi fiskal lokal. Kreativitas fiskal ini takkan tumbuh dalam ruang yang kering dari dukungan teknokratis. Oleh karena itu, Kemendagri harus bergeser dari sekadar pengawas administratif menjadi agen pemberi “vaksin” teknokratisme, membina dan memfasilitasi kepala daerah dalam peningkatan kapasitas perencanaan, manajemen fiskal, hingga tata kelola investasi.

Kemendagri dan Kementerian Investasi/BKPM telah menunjukkan ikhtiar positif dalam memperbaiki iklim investasi melalui deregulasi dan penyederhanaan perizinan. Namun, pada praktiknya, produk kebijakan Kemendagri kerap menjadi penghambat, baik karena tumpang tindih regulasi maupun proses birokrasi yang berbelit-belit. Stagnasi belanja daerah, rendahnya realisasi APBD, dan lambatnya investasi akan menyebabkan kontraksi jumlah uang beredar di masyarakat dan memukul sektor swasta, yang sejatinya menjadi pelengkap fiskal negara. Dalam struktur ekonomi daerah, belanja pemerintah masih menjadi tulang punggung utama perekonomian.

Kepala daerah harus berupaya lebih keras meningkatkan kapasitas fiskal agar tidak sekadar menjadi ‘operator’ kebijakan pusat. Kapasitas fiskal yang kuat melalui optimalisasi pajak daerah, retribusi, maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang produktif, diharapkan memberi ruang bagi pemerintah daerah menyelamatkan ekonomi lokal, terutama di tengah efisiensi anggaran dan tekanan ekonomi global.

Baca Juga:  Menebak Kejadian Shifting di Tahun 2020

Tantangan terbesar kepala daerah saat ini bukan hanya soal infrastruktur atau layanan publik, tetapi bagaimana mereka mampu menjadi “buffer zone” terhadap guncangan ekonomi nasional dan global yang perlahan memengaruhi kantong rakyat kecil. Saat inflasi merangkak naik, daya beli masyarakat tergerus. Kepala daerah harus sensitif menyadari bahwa melonjaknya harga bahan pokok di pasar tradisional bisa memicu keresahan yang jauh lebih dalam daripada angka statistik di laporan.

Tantangan Korupsi Sistemik

Seluruh agenda penguatan ekonomi daerah akan sia-sia jika tidak diiringi oleh pemberantasan korupsi yang nyata dan sistemik. Korupsi di level daerah yang kian membesar, bahkan menyeret banyak kepala daerah aktif, merupakan sinyal buruk bagi stabilitas fiskal dan kepercayaan publik. Ini adalah pola dari state capture corruption, di mana korupsi bukan lagi diorkestrasi oleh segelintir orang, melainkan sistem pemberantasan korupsi yang lemah dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab.

Indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) inisiasi KPK harus dilihat bukan sebagai beban administratif, melainkan alat bantu sistemik untuk menata perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP), manajemen ASN, pengelolaan aset daerah (BMD), hingga optimalisasi pajak daerah. Daerah yang abai terhadap MCP sesungguhnya membiarkan dirinya terjebak dalam inefisiensi dan kerentanan korupsi.

Mengelola daerah di tengah perlambatan ekonomi nasional dan keterbatasan fiskal memang tidak mudah. Namun, di sinilah esensi kepemimpinan teknokratik diuji. Kepala daerah hari ini harus mampu mentransformasikan kebimbangan menjadi kepemimpinan yang membangun agenda fiskal berbasis data, mengutamakan belanja berkualitas, mengedepankan sistem pencegahan korupsi, serta memperkuat kemandirian fiskal dengan keberanian inovatif.***

 

Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Alumni Kebangsaan Lemhannas RI

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos
spot_img

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

DISKUSI hangat dalam Sarasehan Perubahan Geopolitik Dunia pada 20 Mei lalu mengungkap dilema akut yang dihadapi para kepala daerah. Saat ditanya mengenai efektivitas anggaran dan kinerja aparatur sipil negara (ASN) dalam melayani publik, jawaban mereka mengerucut pada satu titik: anggaran yang efisien justru memicu stagnasi dan melambatkan pelayanan publik. Bahkan, ada keluhan tentang penurunan produktivitas ASN, seolah mengonfirmasi bahwa kebijakan efisiensi anggaran tanpa adaptasi yang memadai justru berujung pada lesunya belanja daerah dan akhirnya melemahkan daya beli masyarakat.

Keraguan para kepala daerah dalam menyalurkan belanja daerah memiliki akar yang dalam. Pertama, kekhawatiran kebijakan belanja lokal akan bertentangan dengan instruksi pusat, terutama program-program strategis nasional yang cenderung top-down. Kedua, dinamika regulasi yang terus berubah tanpa mekanisme transisi yang jelas kerap membuat kepala daerah ragu untuk mengeksekusi program inovatif. Ketiga, keterbatasan anggaran karena alokasi fiskal yang sudah “disetel” untuk membiayai program pusat, sehingga ruang gerak fiskal daerah menjadi sangat terbatas.

Penguatan Ekonomi Lokal

Sinyal pelemahan ekonomi nasional kian nyata. Pada kuartal I-2025, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87 persen, melambat dari kuartal sebelumnya (5,02 persen) dan setahun lalu (5,11 persen). Angka ini tak lepas dari tekanan eksternal seperti kebijakan tarif resiprokal AS yang mengeruhkan perdagangan global, serta ketidakpastian geopolitik yang terus menekan investasi.

Di balik data makroekonomi ini, tersimpan persoalan struktural yang lebih kompleks di tingkat daerah: mandeknya efektivitas belanja pemerintah daerah dalam mendorong pemulihan ekonomi lokal. Kepala daerah berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka dibebani janji kampanye Pilkada 2024. Di sisi lain, ruang fiskal mereka kian sempit, dibayangi kerumitan regulasi yang dinamis dan koordinasi vertikal yang kaku dengan pemerintah pusat.

Pemerintah memang telah membuka blokir anggaran Kementerian/Lembaga sebesar Rp86,6 triliun dari total Rp256,1 triliun per 25 April 2025. Langkah ini patut diapresiasi, namun membuka blokir saja tidak cukup. Perlu pengawalan kualitas belanja agar benar-benar diarahkan pada program prioritas yang mampu menjaga daya beli masyarakat dan mendorong produktivitas sektor riil. Jika tidak, belanja hanya akan menjadi rutinitas birokratis yang minim efek pengganda ekonomi.

Baca Juga:  Menggelar Pemungutan Suara Ulang Perlu Rp840 Miliar

Koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan seluruh pemerintah daerah seharusnya melampaui ketaatan administratif. Kemendagri, sebagai pembina utama, perlu “memvaksin” para kepala daerah dengan teknokratisme agar mereka bisa berkreasi meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Jika belanja daerah hanya menjadi alat formalitas untuk menyerap anggaran tanpa strategi pembangunan terukur, seluruh upaya efisiensi akan kehilangan maknanya. Belanja akan kembali ke pola lama: belanja birokrasi dan seremoni yang cepat habis tanpa menyisakan nilai pembangunan jangka panjang.

Situasi ini menuntut lebih dari sekadar kepatuhan. Kepala daerah tidak cukup hanya menjadi manajer program, melainkan juga harus menjadi inovator fiskal. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah agenda krusial yang kerap terabaikan; ketergantungan pada transfer pusat tak boleh menjadi alibi stagnasi fiskal lokal. Kreativitas fiskal ini takkan tumbuh dalam ruang yang kering dari dukungan teknokratis. Oleh karena itu, Kemendagri harus bergeser dari sekadar pengawas administratif menjadi agen pemberi “vaksin” teknokratisme, membina dan memfasilitasi kepala daerah dalam peningkatan kapasitas perencanaan, manajemen fiskal, hingga tata kelola investasi.

Kemendagri dan Kementerian Investasi/BKPM telah menunjukkan ikhtiar positif dalam memperbaiki iklim investasi melalui deregulasi dan penyederhanaan perizinan. Namun, pada praktiknya, produk kebijakan Kemendagri kerap menjadi penghambat, baik karena tumpang tindih regulasi maupun proses birokrasi yang berbelit-belit. Stagnasi belanja daerah, rendahnya realisasi APBD, dan lambatnya investasi akan menyebabkan kontraksi jumlah uang beredar di masyarakat dan memukul sektor swasta, yang sejatinya menjadi pelengkap fiskal negara. Dalam struktur ekonomi daerah, belanja pemerintah masih menjadi tulang punggung utama perekonomian.

Kepala daerah harus berupaya lebih keras meningkatkan kapasitas fiskal agar tidak sekadar menjadi ‘operator’ kebijakan pusat. Kapasitas fiskal yang kuat melalui optimalisasi pajak daerah, retribusi, maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang produktif, diharapkan memberi ruang bagi pemerintah daerah menyelamatkan ekonomi lokal, terutama di tengah efisiensi anggaran dan tekanan ekonomi global.

Baca Juga:  Kado Terindah atau Kabar Buruk? (Kuansing Jadi Percontohan Kegiatan Tambang Rakyat)

Tantangan terbesar kepala daerah saat ini bukan hanya soal infrastruktur atau layanan publik, tetapi bagaimana mereka mampu menjadi “buffer zone” terhadap guncangan ekonomi nasional dan global yang perlahan memengaruhi kantong rakyat kecil. Saat inflasi merangkak naik, daya beli masyarakat tergerus. Kepala daerah harus sensitif menyadari bahwa melonjaknya harga bahan pokok di pasar tradisional bisa memicu keresahan yang jauh lebih dalam daripada angka statistik di laporan.

Tantangan Korupsi Sistemik

Seluruh agenda penguatan ekonomi daerah akan sia-sia jika tidak diiringi oleh pemberantasan korupsi yang nyata dan sistemik. Korupsi di level daerah yang kian membesar, bahkan menyeret banyak kepala daerah aktif, merupakan sinyal buruk bagi stabilitas fiskal dan kepercayaan publik. Ini adalah pola dari state capture corruption, di mana korupsi bukan lagi diorkestrasi oleh segelintir orang, melainkan sistem pemberantasan korupsi yang lemah dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab.

Indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) inisiasi KPK harus dilihat bukan sebagai beban administratif, melainkan alat bantu sistemik untuk menata perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP), manajemen ASN, pengelolaan aset daerah (BMD), hingga optimalisasi pajak daerah. Daerah yang abai terhadap MCP sesungguhnya membiarkan dirinya terjebak dalam inefisiensi dan kerentanan korupsi.

Mengelola daerah di tengah perlambatan ekonomi nasional dan keterbatasan fiskal memang tidak mudah. Namun, di sinilah esensi kepemimpinan teknokratik diuji. Kepala daerah hari ini harus mampu mentransformasikan kebimbangan menjadi kepemimpinan yang membangun agenda fiskal berbasis data, mengutamakan belanja berkualitas, mengedepankan sistem pencegahan korupsi, serta memperkuat kemandirian fiskal dengan keberanian inovatif.***

 

Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Alumni Kebangsaan Lemhannas RI

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari