ERA digital membawa tantangan baru bagi perlindungan anak, khususnya fenomena cyberbullying yang semakin masif. Kasus yang menimpa anak komedian Kiky Saputri yang mendapat ujaran kebencian hingga disumpahi meninggal menunjukkan urgensi implementasi maqashid syariah dalam memperkuat Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Integrasi nilai-nilai Islam dengan hukum positif dapat menciptakan sistem perlindungan anak digital yang lebih komprehensif dan efektif.
Cyberbullying telah menjadi ancaman serius bagi anak-anak Indonesia di ruang digital. Penelitian Center of Digital Society (2021) mengungkap bahwa 45,35 % dari 3.077 siswa SMP dan SMA menjadi korban cyberbullying, sementara 38,41 % menjadi pelaku (Herlambang et al., 2025). Data UNICEF (2022) memperkuat temuan ini dengan melaporkan 45,35 % dari 2.777 siswa Indonesia mengalami cyberbullying. Fenomena ini diperparah dengan minimnya regulasi spesifik yang mengakomodasi karakteristik unik cyberbullying terhadap anak, serta lemahnya koordinasi antarlembaga dalam penegakan hukum (Putra, 2024).
Kasus Kiky Saputri merepresentasikan kompleksitas masalah, di mana ujaran kebencian tidak hanya menyasar figur publik, tetapi meluas kepada keluarga, termasuk anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan khusus.
Maqashid syariah, yang didefinisikan Ibn Ashur sebagai “nilai atau hikmah yang menjadi perhatian syari’ dalam seluruh kandungan syariat, baik yang bersifat terperinci atau global” (Toriquddin, 2013), menyediakan kerangka filosofis yang kuat untuk perlindungan anak di era digital. Wahbah al-Zuhaili memperkuat definisi ini dengan menyatakan bahwa maqashid syariah adalah “makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh atau sebagian besar hukumnya” (Toriquddin, 2013). Cyberbullying, yang menurut UNICEF merupakan “penindasan atau perundungan dengan menggunakan teknologi digital yang dilakukan secara berulang untuk menakut-nakuti, membuat marah, atau mempermalukan orang-orang yang menjadi sasaran” (Siroj & Zulfa, 2024), dapat diatasi melalui lima prinsip dasar maqashid syariah (al-kulliyyat al-khams).
Prinsip-prinsip tersebut meliputi: Hifdz al-nafs (perlindungan jiwa) yang melindungi anak dari dampak psikologis cyberbullying yang dapat berujung pada depresi hingga bunuh diri, sejalan dengan Pasal 4 UU Perlindungan Anak tentang hak anak untuk hidup dan berkembang (Yusefri, 2024). Kemudian, hifdz al-aql (perlindungan akal) yang menjaga perkembangan kognitif anak dari paparan konten negatif yang dapat mengganggu proses pembelajaran, mendukung ketentuan UU ITE dalam melindungi anak dari konten berbahaya. Selanjutnya, prinsip hifdz al-nasl (perlindungan keturunan) memastikan anak tumbuh dalam lingkungan digital yang aman untuk menjamin keberlangsungan generasi berkualitas (Heryaniputri et al., 2025). Ada pula hifdz al-din (perlindungan agama) yang mengamankan anak dari konten yang dapat merusak akidah dan moral, serta hifdz al-mal (perlindungan harta) yang mencegah eksploitasi ekonomi anak melalui platform digital.
Al-Syatibi dalam Al-Muwafaqat menegaskan bahwa “tujuan utama Allah menetapkan syariat adalah demi terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat” (Toriquddin, 2013). Konsep maslahah dalam maqashid syariah menekankan pengambilan kebijakan yang mengutamakan kepentingan terbaik anak, sejalan dengan prinsip “best interest of the child” dalam konvensi internasional.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE telah memberikan fondasi hukum perlindungan anak digital, namun implementasinya masih menghadapi tantangan signifikan. Pasal 76C UU Perlindungan Anak melarang kekerasan terhadap anak, sementara Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengatur pencemaran nama baik dan ujaran kebencian (Adnan et al., 2024). Namun, penelitian menunjukkan kelemahan dalam: kurangnya koordinasi antarlembaga, terbatasnya pemahaman aparat tentang dampak psikologis cyberbullying pada anak, dan minimnya mekanisme perlindungan korban yang komprehensif (Jelita & Setiyono, 2024). Pemerintah telah merespons dengan PP Nomor 17 Tahun 2025 yang mewajibkan penyedia layanan elektronik mengimplementasikan perlindungan anak, namun efektivitasnya masih perlu dievaluasi.
Integrasi maqashid syariah dengan hukum positif Indonesia menciptakan sinergi yang memperkuat perlindungan anak digital. Pendekatan maqashid syariah memberikan dimensi spiritual dan moral yang melengkapi aspek legal formal, menciptakan sistem perlindungan yang holistik (Hudaefi & Badeges, 2021). Prinsip hifdz al-din memperkuat pendidikan karakter digital, hifdz al-nafs mendukung perlindungan psikologis anak, dan hifdz al-aql menguatkan literasi digital berbasis nilai. Studi perbandingan dengan Korea Selatan menunjukkan pentingnya pendekatan multistakeholder yang mengintegrasikan nilai budaya dan agama dalam kebijakan cyberbullying (Silvyana & Pratiwi, 2024). Harmonisasi ini memerlukan sensitivitas terhadap pluralitas masyarakat Indonesia sambil mempertahankan nilai universal perlindungan anak.
Berdasarkan analisis integratif, diperlukan transformasi kebijakan melalui beberapa langkah strategis. Pertama, revisi Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU ITE untuk memasukkan definisi spesifik cyberbullying dengan sanksi tegas dan mekanisme perlindungan korban yang komprehensif. Kedua, pembentukan task force cyberbullying yang melibatkan Kementerian Agama, Kominfo, KPAI, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat koordinasi antarlembaga. Ketiga, pengembangan kurikulum pendidikan karakter digital berbasis maqashid syariah di sekolah untuk pencegahan cyberbullying sejak dini (Noho et al., 2021). Keempat, implementasi sistem pelaporan cyberbullying yang responsif dengan dukungan psikologis dan spiritual bagi korban. Kelima, penguatan peran orang tua melalui program literasi digital yang mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam pengasuhan digital.
Maqashid syariah menawarkan solusi komprehensif untuk memperkuat perlindungan anak di ruang digital melalui integrasi dengan sistem hukum positif Indonesia. Kasus Kiky Saputri menjadi momentum penting untuk mentransformasi pendekatan perlindungan anak dari reaktif menjadi proaktif. Implementasi rekomendasi kebijakan yang mengintegrasikan maqashid syariah dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU ITE dapat mewujudkan ruang digital yang aman bagi anak-anak Indonesia. Komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan (stakeholder) diperlukan untuk menciptakan ekosistem digital yang sejalan dengan cita-cita maqashid syariah dalam menjamin kemaslahatan generasi mendatang. Saatnya Indonesia menjadi pionir dalam implementasi perlindungan anak digital berbasis nilai-nilai Islam yang universal dan inklusif.***
MUSLIH, Mahasiswa Pascasarjana S3 UIN Suska Riau