Kamis, 9 Mei 2024

Korupsi sebagai Kejahatan Terorganisir

Apabila ditanya, pasti mayoritas rakyat negeri ini sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Sebab, korupsi bukan hanya merugikan negara, tapi juga merampas hak-hak sesama warga negara, terutama kaum miskin. Parahnya lagi, korupsi seringkali dilakukan secara sistematis dan terorganisir (organized crime), sehingga jejaring praktik korupsi kerap begitu rumit dan berbelit untuk diungkap.

Sayangnya di Indonesia, perspektif korupsi sebagai kejahatan terorganisir masih mengundang pro dan kontra. Yang pro mengatakan korupsi kerap melibatkan begitu banyak pihak, sehingga lahirlah istilah “mafia” untuk menyebut sifat terorganisir kejahatan dalam satu praktik koruptif di satu lingkungan tertentu. Makanya, kita kenal istilah “mafia pajak” untuk korupsi di lingkungan pajak, “mafia hukum” untuk praktik koruptif di lingkungan hukum, “mafia politik” untuk aksi korupsi di ranah politik, dan lain sebagainya.

Yamaha

Sementara itu, yang kontra—utamanya diwakili oleh institusi yang “oknum” anggotanya terseret kasus korupsi—berpendapat bahwa korupsi secara umum adalah perilaku individual, sehingga pelaku praktik korupsi dalam satu institusi selalu dijuluki “oknum” yang sama sekali tidak mencerminkan watak koruptif instansi bersangkutan secara keseluruhan. Padahal, jika begitu banyak oknum secara terpola dan berulang kedapatan melakukan tindak pidana korupsi di satu institusi, apakah masih layak praktik korupsi itu dikatakan tidak terorganisir lagi tidak sistematis?

Maka itu, penyangkalan sebagian praktik korupsi sebagai kejahatan terorganisir membuat mayoritas kasus korupsi hanya berhenti pada penindakan terhadap pelaku individual atau “oknum” itu tadi tanpa menyentuh institusi tempat “oknum” itu menjadi anggota. Karena itu, pendefinisian persis (exact definition) korupsi sebagai kejahatan terorganisir haruslah dilakukan untuk memberikan justifikasi ilmiah kuat bagi kemungkinan perluasan aksi penindakan hukum yang menjangkau institusi tempat “oknum koruptor” bernaung.
Kriteria

Baca Juga:  Buronan Tersangka Korupsi Ditangkap

Sebagai peranti untuk menarik garis demarkasi tegas bahwa korupsi kerap juga merupakan kejahatan terorganisir, kita bisa menengok peranti indikator dari Elvins. Dalam artikelnya, “Europe’s response to transnational organised crime” (dalam Edwards, A. and P. Gill [editors), Crime: Perspectives on global security, London: Routledge, 2003, hal. 29-41), Elvins mengemukakan sebelas indikator kejahatan terorganisir versi masyarakat Uni Eropa (UE) yang bisa diringkaskan sebagai berikut. Pertama, kejahatan terorganisir merupakan kolaborasi lebih dari dua orang. Kedua, setiap kolaborator memiliki tugasnya masing-masing. Ketiga, kejahatan terorganisir terjadi selama kurun waktu lama, bahkan hingga tak tentu. Keempat, kejahatan terorganisir menggunakan semacam tindakan disiplin atau kontrol. Kelima, kejahatan terorganisir patut diduga melakukan pelanggaran pidana serius atau kelas berat.

- Advertisement -

Keenam, kejahatan terorganisir beroperasi dalam skala internasional. Ketujuh, kejahatan terorganisir menggunakan kekerasan atau sarana lain yang efektif dalam melakukan intimidasi. Kedelapan, kejahatan terorganisir memiliki struktur layaknya sebuah bisnis, yaitu ada semacam CEO, komisaris, manajer, staf pelaksana, perantara, dan lain sebagainya. Kesembilan, kejahatan terorganisir juga melakukan praktik pencucian uang (money laundering). Kesepuluh, kejahatan terorganisir menebarkan pengaruh pada politik, media, pemerintahan publik, otoritas pengadilan, atau ekonomi. Kesebelas, kejahatan terorganisir dimotivasi oleh hasrat mengejar laba atau kekuasaan.

Nah, menurut Evans, satu kejahatan bisa disebut terorganisir apabila minimal memenuhi enam dari sebelas kriteria, yang empat di antaranya adalah kriteria nomor 1, 3, 5, dan 11: yaitu, dilakukan lebih dari dua orang, terjadi selama kurun waktu lama, melakukan tindak pidana serius, dan mengejar laba atau kekuasaan politik.

- Advertisement -
Baca Juga:  Motif Keuntungan dan Sosial

Bagaimana di Indonesia?

Berdasarkan kriteria di atas, tentu akan lebih mudah bagi kita dan aparat penegak hukum—termasuk kepolisian, jaksa, penyidik negeri sipil dan hakim—untuk mengidentifikasi apakah satu praktik korupsi itu layak disebut kejahatan terorganisir atau tidak. Sebagai ilustrasi, jika katakanlah satu partai politik mendapati sejumlah “oknum” kadernya melakukan praktik korupsi—kita bisa menyebut kasus Watergate di AS pada era pemerintahan Nixon sebagai salah satu contoh—maka aparat penegak hukum harus menelisik apakah praktik itu dilakukan lebih dari dua orang, terjadi berulang-ulang, melanggar pasal pidana kelas berat yang diancam hukuman pidana di atas lima tahun sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau produk perundangan khusus lain (lex specialis), dilakukan untuk meraup logistik demi pemenangan pemilihan umum, plus dua kriteria lainnya.

Jika enam kriteria itu terpenuhi, maka praktik korupsi dalam partai yang bersangkutan bisa dikatakan sebagai kejahatan terorganisir. Sehingga, partai tersebut sebagai institusi atau korporasi harusnya juga dapat dikenai sanksi pidana mulai dari denda, pembekuan operasi, hingga pembubaran. Dengan begini, praktik korupsi sebagai kejahatan terorganisir dapat dibongkar hingga ke akar-akarnya demi memberikan efek jera (deterrent effect) yang lebih ampuh bagi institusi atau individu-individu lain yang ingin coba-coba melakukan praktik lancung korupsi atau pencucian uang.

Akhirulkalam, berbekal perangkat teoretis dan praktis yang sudah dipraktikkan luas di dunia, semoga di masa depan Indonesia dapat menyaksikan terbongkarnya kasus korupsi secara lebih masif yang tidak hanya berhenti pada tataran individu atau aktor pelaksana. Melainkan, juga dapat menggulung para aktor intelektual (mastermind) di dalam satu kejahatan luar biasa bernama korupsi.***

Apabila ditanya, pasti mayoritas rakyat negeri ini sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Sebab, korupsi bukan hanya merugikan negara, tapi juga merampas hak-hak sesama warga negara, terutama kaum miskin. Parahnya lagi, korupsi seringkali dilakukan secara sistematis dan terorganisir (organized crime), sehingga jejaring praktik korupsi kerap begitu rumit dan berbelit untuk diungkap.

Sayangnya di Indonesia, perspektif korupsi sebagai kejahatan terorganisir masih mengundang pro dan kontra. Yang pro mengatakan korupsi kerap melibatkan begitu banyak pihak, sehingga lahirlah istilah “mafia” untuk menyebut sifat terorganisir kejahatan dalam satu praktik koruptif di satu lingkungan tertentu. Makanya, kita kenal istilah “mafia pajak” untuk korupsi di lingkungan pajak, “mafia hukum” untuk praktik koruptif di lingkungan hukum, “mafia politik” untuk aksi korupsi di ranah politik, dan lain sebagainya.

Sementara itu, yang kontra—utamanya diwakili oleh institusi yang “oknum” anggotanya terseret kasus korupsi—berpendapat bahwa korupsi secara umum adalah perilaku individual, sehingga pelaku praktik korupsi dalam satu institusi selalu dijuluki “oknum” yang sama sekali tidak mencerminkan watak koruptif instansi bersangkutan secara keseluruhan. Padahal, jika begitu banyak oknum secara terpola dan berulang kedapatan melakukan tindak pidana korupsi di satu institusi, apakah masih layak praktik korupsi itu dikatakan tidak terorganisir lagi tidak sistematis?

Maka itu, penyangkalan sebagian praktik korupsi sebagai kejahatan terorganisir membuat mayoritas kasus korupsi hanya berhenti pada penindakan terhadap pelaku individual atau “oknum” itu tadi tanpa menyentuh institusi tempat “oknum” itu menjadi anggota. Karena itu, pendefinisian persis (exact definition) korupsi sebagai kejahatan terorganisir haruslah dilakukan untuk memberikan justifikasi ilmiah kuat bagi kemungkinan perluasan aksi penindakan hukum yang menjangkau institusi tempat “oknum koruptor” bernaung.
Kriteria

Baca Juga:  Dugaan Korupsi BLUD Bangkinang, Polisi Kembali Tetapkan Dua Tersangka Baru

Sebagai peranti untuk menarik garis demarkasi tegas bahwa korupsi kerap juga merupakan kejahatan terorganisir, kita bisa menengok peranti indikator dari Elvins. Dalam artikelnya, “Europe’s response to transnational organised crime” (dalam Edwards, A. and P. Gill [editors), Crime: Perspectives on global security, London: Routledge, 2003, hal. 29-41), Elvins mengemukakan sebelas indikator kejahatan terorganisir versi masyarakat Uni Eropa (UE) yang bisa diringkaskan sebagai berikut. Pertama, kejahatan terorganisir merupakan kolaborasi lebih dari dua orang. Kedua, setiap kolaborator memiliki tugasnya masing-masing. Ketiga, kejahatan terorganisir terjadi selama kurun waktu lama, bahkan hingga tak tentu. Keempat, kejahatan terorganisir menggunakan semacam tindakan disiplin atau kontrol. Kelima, kejahatan terorganisir patut diduga melakukan pelanggaran pidana serius atau kelas berat.

Keenam, kejahatan terorganisir beroperasi dalam skala internasional. Ketujuh, kejahatan terorganisir menggunakan kekerasan atau sarana lain yang efektif dalam melakukan intimidasi. Kedelapan, kejahatan terorganisir memiliki struktur layaknya sebuah bisnis, yaitu ada semacam CEO, komisaris, manajer, staf pelaksana, perantara, dan lain sebagainya. Kesembilan, kejahatan terorganisir juga melakukan praktik pencucian uang (money laundering). Kesepuluh, kejahatan terorganisir menebarkan pengaruh pada politik, media, pemerintahan publik, otoritas pengadilan, atau ekonomi. Kesebelas, kejahatan terorganisir dimotivasi oleh hasrat mengejar laba atau kekuasaan.

Nah, menurut Evans, satu kejahatan bisa disebut terorganisir apabila minimal memenuhi enam dari sebelas kriteria, yang empat di antaranya adalah kriteria nomor 1, 3, 5, dan 11: yaitu, dilakukan lebih dari dua orang, terjadi selama kurun waktu lama, melakukan tindak pidana serius, dan mengejar laba atau kekuasaan politik.

Baca Juga:  Mantan Rektor UIN Didakwa Korupsi Rp7,61 Miliar

Bagaimana di Indonesia?

Berdasarkan kriteria di atas, tentu akan lebih mudah bagi kita dan aparat penegak hukum—termasuk kepolisian, jaksa, penyidik negeri sipil dan hakim—untuk mengidentifikasi apakah satu praktik korupsi itu layak disebut kejahatan terorganisir atau tidak. Sebagai ilustrasi, jika katakanlah satu partai politik mendapati sejumlah “oknum” kadernya melakukan praktik korupsi—kita bisa menyebut kasus Watergate di AS pada era pemerintahan Nixon sebagai salah satu contoh—maka aparat penegak hukum harus menelisik apakah praktik itu dilakukan lebih dari dua orang, terjadi berulang-ulang, melanggar pasal pidana kelas berat yang diancam hukuman pidana di atas lima tahun sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau produk perundangan khusus lain (lex specialis), dilakukan untuk meraup logistik demi pemenangan pemilihan umum, plus dua kriteria lainnya.

Jika enam kriteria itu terpenuhi, maka praktik korupsi dalam partai yang bersangkutan bisa dikatakan sebagai kejahatan terorganisir. Sehingga, partai tersebut sebagai institusi atau korporasi harusnya juga dapat dikenai sanksi pidana mulai dari denda, pembekuan operasi, hingga pembubaran. Dengan begini, praktik korupsi sebagai kejahatan terorganisir dapat dibongkar hingga ke akar-akarnya demi memberikan efek jera (deterrent effect) yang lebih ampuh bagi institusi atau individu-individu lain yang ingin coba-coba melakukan praktik lancung korupsi atau pencucian uang.

Akhirulkalam, berbekal perangkat teoretis dan praktis yang sudah dipraktikkan luas di dunia, semoga di masa depan Indonesia dapat menyaksikan terbongkarnya kasus korupsi secara lebih masif yang tidak hanya berhenti pada tataran individu atau aktor pelaksana. Melainkan, juga dapat menggulung para aktor intelektual (mastermind) di dalam satu kejahatan luar biasa bernama korupsi.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari