Praktik Sertifikat Palsu dan Jalur Titipan Masih Ditemui

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ombudsman RI (ORI) masih mene­mukan sejumlah masalah terkait pelaksanaan PPDB 2024/2025 di sejumlah daerah. Beberapa di antaranya masalah klasik. Jual beli sertifikat prestasi dan adanya jalur titipan. Beberapa daerah juga dinilai tak paham dengan kebijakan zonasi dari pemerintah pusat.

Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais mengatakan, saat ini pihaknya se­dang mengumpulkan hasil rekap terkait permasalahan PPDB ini. Dari beberapa pelaporan yang masuk, memang ditemukan sejumlah masalah. Salah satunya saat Ombudsman me­lakukan inisiatif pemeriksaan di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).

- Advertisement -

“Masalahnya terkait penerimaan di jalur prestasi,” terangnya kepada Jawa Pos (JPG), Rabu (3/7). Ada anak yang nilainya lebih tinggi tidak diterima, tapi nilai lebih rendah diterima. Dari laporan satu dua calon murid kemudian berkembang. Ada 900 anak yang “dimainkan” dalam jalur itu.

Dari laporan pemeriksaan inisiatif itu, Ombudsman ternyata juga menemukan praktik jual beli sertifikat aspal (asli tapi palsu). Sertifikatnya asli, tapi bukan sesuai kemampuan siswanya. Jual beli itu melibatkan oknum KONI di sana.

- Advertisement -

Permasalahan itu, saat ini sudah ditangani oleh Pj Gubernur Sumsel dan Dispendik. Dari sana, mereka yang terlempar lewat praktik curang ini beberapa sudah diterima ke sekolah. Masalah ini akan menjadi catatan penting ORI.

Masalah lain ada di jalur afirmasi. Laporan yang diterima ORI sementara, ada praktik jalur Program Indonesia Pintar (PIP) dana aspriasi anggota legislatif. Temuan ini banyak dan menjadi masalah di berbagai daerah. Lantaran si anak yang masuk jalur titipan ini ternyata tak tercatat dalam program PIP Kemendikbud. Yang biasanya penerima program ini adalah mereka yang berasal dari keluarga PKH (Program Keluarga Harapan).

Pemberian PIP dana aspirasi ini diduga erat kaitannya dengan masalah merawat konstituen bagi anggota legislatif di daerah untuk menambah dan mempertahankan suaranya. “Ini menjadi masalah yang sulit diterima dan dikeluhkan oleh instansi pendidikan,” kata Indra.

Selain dua masalah itu, Indra juga melihat di daerah ada yang belum memahami mengenai sistem zonasi. Yang diatur dalam Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nomor 47/M/2023. Di mana, daerah diminta untuk membuat kawasan zona.

“Jadi tidak sekadar hitung-hitungan jarak. Ini kan artinya bukan sistem zonasi. Tapi sistem berjarak,” katanya. Indra menemukan masalah ini terjadi Makassar ketika dia kemarin mengunjungi wilayah itu.

Per hari ini, rencananya ORI akan melakukan rekap terkait dengan permasalahan PPDB di berbagai daerah itu. Hasil rekap itu nantinya akan dianalisis untuk kemudian dijadikan rekomendasi untuk perbaikan PPDB ke depan. “Jumat (5/7) ini akan kami sampaikan ke publik hasilnya,” katanya.

Karut-marut PPDB zonasi yang terus berulang membuat banyak pihak mengusulkan agar jalur ini dihapuskan. Mereka meminta agar seleksi dikembalikan ke jalur seleksi akademik seperti sebelum-sebelumnya.

Menanggapi hal ini, Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang menegaskan, bahwa PPDB diterapkan dalam empat jalur, termasuk jalur zonasi di dalamnya, merupakan bagian penting dari upaya pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia.

Menurutnya, pendidikan merupakan hak dasar yang harus dijamin untuk setiap warga negara dan ini sesuai dengan program pemerintah untuk meningkatkan wajib belajar 12 tahun sampai tingkat SMA.

Selain itu, lanjut dia, jika PPDB hanya mengandalkan jalur akademik maka berpotensi menimbulkan beberapa masalah. Misalnya, anak yang tidak lolos jalur akademik berpotensi tidak mendapatkan pendidikan atau tidak bersekolah.

Kemudian, jika hanya menggunakan jalur akademik saja, bisa jadi pemerintah daerah tidak akan menambah daya tampung sekolah negeri dengan membangun sekolah baru yang sesuai dengan kebutuhan.

Sebab, anak-anak yang tidak lolos tes dianggap tidak membutuhkan fasilitas pendidikan tambahan. ”Hal ini dapat menghambat upaya peningkatan jumlah dan pemerataan sekolah,” ungkapnya, Rabu (3/7).

Padahal, kata dia, salah satu akar permasalahan terjadinta kecurangan pada PPDB adalah ketersediaan daya tampung sekolah negeri. Maka, perlu ada kerja sama intensif antara pusat dengan daerah dalam memenuhi keperluam jumlah dan memeratakan mutu sekolah SMP dan SMA secara konsisten.

Selain itu, tes akademik seringkali berfokus pada mata pelajaran tertentu tanpa memperhitungkan berbagai bakat, minat, serta prestasi anak. Padahal, sekolah merupakan lembaga pendidikan bukan hanya bagi anak yang sudah dianggap pintar. Setiap anak dengan berbagai kepintaran dan bakat memiliki hak yang sama untuk dididik.

”Ini juga yang kita lakukan dengan menghapus Ujian Nasional untuk memastikan bahwa setiap anak bisa mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan hak dasar yang dijamin oleh konstitusi,” jelasnya.

Lalu, bagaimana dengan terus berulangnya kasus-kasus kecurangan dalam PPDB ini? Chatarina mengingatkan, bahwa berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, pendidikan PAUD hingga menengah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda).

Sementara, pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Adapun kewajiban pemerintah pusat untuk pendidikan PAUD hingga menengah adalah sebagai pembina teknis, yaitu regulator dan pengawas teknis.

Dengan demikian, kata dia, pemerintah melalui Kemendikbudristek menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang menjadi pedoman dan kebijakan dalam peraturan PPDB di seluruh wilayah Indonesia.

Sementara, pemerintah daerah menurunkannya menjadi aturan yang lebih teknis dan berlaku di wilayah masing-masing dengan memperhatikan kondisi setempat.”Untuk PPDB, pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek mengeluarkan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021,” katanya.

Peraturan ini pun telah mengakomodasi masukan dari dinas pendidikan dan kepala sekolah dalam evaluasi penyelenggaraan PPDB setiap tahunnya. Terkait kuota misalnya. Jika sebelumnya dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, kuota penerimaan siswa SD melalui jalur zonasi hanya 50 persen maka di Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 meningkat menjadi 70 persen.

Selain itu, pada peraturan sebelumnya yang mengatur siswa disabilitas masuk melalui zonasi, saat ini mereka dapat masuk melalui jalur zonasi maupun luar zonasi. ”Pemda bertugas menindaklanjuti kebijakan ini dengan menyesuaikan peraturan daerah berdasarkan kebutuhan dan kondisi geografis setempat, termasuk menetapkan persentase zonasi dan mengatur jarak atau sebaran wilayah untuk PPDB,” tegasnya.

Chatarina menegaskan, sejak diberlakukan pada tahun 2017, kebijakan PPDB terus dievaluasi dan diperbaiki. Perubahan penting dalam evaluasi kebijakan ini menyoroti perlunya pemerataan kualitas dan jumlah sekolah di Indonesia. Salah satu isu yang muncul adalah kebijakan zonasi yang hanya berlaku untuk SMP dan SMA, tetapi tidak untuk SD. Hal ini karena perbedaan jumlah dan kualitas pemerataan SMP dan SMA.

”Oleh karena itu, target utamanya adalah menyamakan kualitas dan jumlah sekolah SMP dan SMA dengan SD, memastikan akses dan kualitas pendidikan yang lebih merata di seluruh Indonesia,” tuturnya.

Meski teknis PPDB di lapangan jadi kewenangan pemerintah daerah, ia pun menekankan, jika Kemendikbudristek telah menggandeng pihak-pihak terkait seperti KPK dan Ombudsman untuk proses pengawasan. Selain itu, dia berharap, masyarakat juga ikut bergotong royong membantu mengawal proses PPDB agar berjalan objektif, transparan, dan akuntabel.

Tentu saja kita tidak membenarkan setiap anak masuk ke sekolah negeri dengan menghalalkan segala cara. Karena hal itu akan mengambil hak-hak anak yang seharusnya menurut aturan berhak untuk masuk sekolah tersebut,” ungkapnya.

Terpisah, tujuan PPDB zonasi untuk pemerataan akses dan mutu pendidikan ini dinilai seperti jauh panggang dari api. Sebab, selama tujuh tahun hal itu belum sepenuhnya tercapai. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengaku belum melihat dampak nyata dari tujuan PPDB zonasi tersebut.

”Kami sejak awal dibuatnya kebijakan tentang PPDB zonasi tahun 2017 lalu itu mendukung tujuan mulia dari terciptanya kualitas pendidikan melalui PPDB zonasi ini. Tapi dalam perjalanannya, tujuan mulia untuk memeratakan kualitas pendidikan di seluruh wilayah ini ternyata tidak menemukan capaian yang sesuai dengan yang diharapkan,” ungkapnya.

Tidak tercapainya tujuan tersebut lantaran pemerintah pusat di semua sektor dan pemerintah daerah tidak memiliki koordinasi yang baik. Selama ini, kata dia, PPDB zonasi itu hanya ditafsirkan atau dipraktikkan sebagai bentuk bagaimana anak-anak itu didekatkan dari sekolah ke rumah atau bagaimana anak-anak bersekolah di sekolah yang dekat dengan rumahnya.

Padahal yang harus dijadikan sebagai dasar pokok untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pemerataan pendidikan adalah pembangunan sekolah-sekolah negeri dengan berdasarkan dua analisis. Pertama, analisis demografis. Pada poin ini, di daerah-daerah yang jumlah penduduknya besar namun jumlah sekolah negerinya sedikit menyebabkan anak-anak tidak bisa bersekolah karena keterbatasan ruang kelas.

”Seperti Jakarta atau Kota Bandung gitu ya. Justru sekolah-sekolah negeri tidak mampu menampung jumlah calon peserta didik. Sehingga anak-anak yang mestinya berhak bersekolah di sekolah negeri itu mereka terlempar,” paparnya.

Di sisi lain, di daerah-daerah pelosok, seperti Gunung Kidul, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Semarang, Kabupaten Blora, bahkan di Kota Solo yang terjadi justru banyak sekolah-sekolah negeri kekurangan murid.

”Kenapa? Karena akses ke sekolahnya jauh. Sehingga orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah yang dekat dengan rumah. Sebaran sekolah negerinta tidak merata,” paparnya.

Dengan berpegang pada dua hal ini, harusnya pemerintah pusat maupun daerah paham keperluan apa saja yang diperlukan untuk masing-masing daerah tersebut. Namun, karena melihat kasus ini terus berulang selama 7 tahun terakhir, maka dia menilai bahwa tujuan PPDB zonasi belum betul-betul tercapai.

Itu baru kuantitas. Belum lagi ketika membahas mengenai kualitas. Nyatanya, kualitas sekolah-sekolah negeri masih belum merata hingga kini. Masih ada kecenderungan pemilihan sekolah-sekolah yang dinilai favorit atau unggul. Padahal, sekolah negeri sumber pendanaannya sama, bangunan bahkan kurikulumnya pun sama. ”PPDB zonasi itu tujuannya bagus. Tapi dalam implementasinya masih jauh dari harapan,” katanya.

Kendati demikian, bukan berarti kebijakan ini tak memiliki sisi positif sama sekali. Menurutnya, ada peningkatan akses pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu dan disabilitas untuk bisa bersekolah di sekolah negeri berkat PPDB zonasi.

”Bayangkan kalau sekolah negeri itu hanya diisi oleh misalnya orang-orang kaya atau orang-orang mampu yang jarak rumahnya jauh dari sekolah tersebut. Sementara itu, anak-anak yang miskin yang rumahnya dekat dengan sekolah secara zona malah tidak diterima karena prestasinya rendah dan lainnya. Nah ini kan justru makin diskriminatif pada anak,” ujarnya.

Pendaftaran SMA/SMK Swasta Jalur Afirmasi

Dinas Pendidikan (Disdik) Riau bersama SMA/SMK swasta yang telah bekerja sama untuk menampung calon peserta didik jalur afirmasi akan menutup pendaftaran, Kamis (4/7) hari ini. ‘’Pendaftaran ditutup besok (hari ini, red),” ujar Plt Kepala Dinas Pendidikan Riau Roni Rakhmat, Rabu (3/7).

Lebih lanjut dikatakannya, setelah pendaftaran ditutup, tim kemudian akan melakukan verifikasi berkas para calon peserta didik. Karena untuk mendapatkan program afirmasi sekolah swasta ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon peserta didik. “Verifikasi berkas akan dilakukan hingga Jumat (5/7),” ujarnya.

Setelah tahapan verifikasi berkas, selanjutnya pengumuman hasil PPDB jalur afirmasi sekolah swasta akan diumumkan pada hari Sabtu (6/7). Setelah diumumkan, calon peserta didik yang lulus kemudian akan melakukan daftar ulang hingga Selasa (8/7). “Pengumuman kelulusan jalur afirmasi sekolah swasta dijadwalkan hari Sabtu (6/7) pukul 09.00 WIB,” sebutnya.

Untuk diketahui, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau melalui Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau telah menetapkan daya tampung Penerimaan Peserta Didik Baru jenjang SMA/SMK Swasta di Riau jalur afirmasi tahun 2024. Total ada 2.438 calon peserta didik jalur afirmasi yang akan diterima di 50 sekolah SMA/SMK swasta, dengan rincian 13 SMA dan 37 SMK swasta.(elo/mia/sol/jpg)






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ombudsman RI (ORI) masih mene­mukan sejumlah masalah terkait pelaksanaan PPDB 2024/2025 di sejumlah daerah. Beberapa di antaranya masalah klasik. Jual beli sertifikat prestasi dan adanya jalur titipan. Beberapa daerah juga dinilai tak paham dengan kebijakan zonasi dari pemerintah pusat.

Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais mengatakan, saat ini pihaknya se­dang mengumpulkan hasil rekap terkait permasalahan PPDB ini. Dari beberapa pelaporan yang masuk, memang ditemukan sejumlah masalah. Salah satunya saat Ombudsman me­lakukan inisiatif pemeriksaan di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).

“Masalahnya terkait penerimaan di jalur prestasi,” terangnya kepada Jawa Pos (JPG), Rabu (3/7). Ada anak yang nilainya lebih tinggi tidak diterima, tapi nilai lebih rendah diterima. Dari laporan satu dua calon murid kemudian berkembang. Ada 900 anak yang “dimainkan” dalam jalur itu.

Dari laporan pemeriksaan inisiatif itu, Ombudsman ternyata juga menemukan praktik jual beli sertifikat aspal (asli tapi palsu). Sertifikatnya asli, tapi bukan sesuai kemampuan siswanya. Jual beli itu melibatkan oknum KONI di sana.

Permasalahan itu, saat ini sudah ditangani oleh Pj Gubernur Sumsel dan Dispendik. Dari sana, mereka yang terlempar lewat praktik curang ini beberapa sudah diterima ke sekolah. Masalah ini akan menjadi catatan penting ORI.

Masalah lain ada di jalur afirmasi. Laporan yang diterima ORI sementara, ada praktik jalur Program Indonesia Pintar (PIP) dana aspriasi anggota legislatif. Temuan ini banyak dan menjadi masalah di berbagai daerah. Lantaran si anak yang masuk jalur titipan ini ternyata tak tercatat dalam program PIP Kemendikbud. Yang biasanya penerima program ini adalah mereka yang berasal dari keluarga PKH (Program Keluarga Harapan).

Pemberian PIP dana aspirasi ini diduga erat kaitannya dengan masalah merawat konstituen bagi anggota legislatif di daerah untuk menambah dan mempertahankan suaranya. “Ini menjadi masalah yang sulit diterima dan dikeluhkan oleh instansi pendidikan,” kata Indra.

Selain dua masalah itu, Indra juga melihat di daerah ada yang belum memahami mengenai sistem zonasi. Yang diatur dalam Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nomor 47/M/2023. Di mana, daerah diminta untuk membuat kawasan zona.

“Jadi tidak sekadar hitung-hitungan jarak. Ini kan artinya bukan sistem zonasi. Tapi sistem berjarak,” katanya. Indra menemukan masalah ini terjadi Makassar ketika dia kemarin mengunjungi wilayah itu.

Per hari ini, rencananya ORI akan melakukan rekap terkait dengan permasalahan PPDB di berbagai daerah itu. Hasil rekap itu nantinya akan dianalisis untuk kemudian dijadikan rekomendasi untuk perbaikan PPDB ke depan. “Jumat (5/7) ini akan kami sampaikan ke publik hasilnya,” katanya.

Karut-marut PPDB zonasi yang terus berulang membuat banyak pihak mengusulkan agar jalur ini dihapuskan. Mereka meminta agar seleksi dikembalikan ke jalur seleksi akademik seperti sebelum-sebelumnya.

Menanggapi hal ini, Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang menegaskan, bahwa PPDB diterapkan dalam empat jalur, termasuk jalur zonasi di dalamnya, merupakan bagian penting dari upaya pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia.

Menurutnya, pendidikan merupakan hak dasar yang harus dijamin untuk setiap warga negara dan ini sesuai dengan program pemerintah untuk meningkatkan wajib belajar 12 tahun sampai tingkat SMA.

Selain itu, lanjut dia, jika PPDB hanya mengandalkan jalur akademik maka berpotensi menimbulkan beberapa masalah. Misalnya, anak yang tidak lolos jalur akademik berpotensi tidak mendapatkan pendidikan atau tidak bersekolah.

Kemudian, jika hanya menggunakan jalur akademik saja, bisa jadi pemerintah daerah tidak akan menambah daya tampung sekolah negeri dengan membangun sekolah baru yang sesuai dengan kebutuhan.

Sebab, anak-anak yang tidak lolos tes dianggap tidak membutuhkan fasilitas pendidikan tambahan. ”Hal ini dapat menghambat upaya peningkatan jumlah dan pemerataan sekolah,” ungkapnya, Rabu (3/7).

Padahal, kata dia, salah satu akar permasalahan terjadinta kecurangan pada PPDB adalah ketersediaan daya tampung sekolah negeri. Maka, perlu ada kerja sama intensif antara pusat dengan daerah dalam memenuhi keperluam jumlah dan memeratakan mutu sekolah SMP dan SMA secara konsisten.

Selain itu, tes akademik seringkali berfokus pada mata pelajaran tertentu tanpa memperhitungkan berbagai bakat, minat, serta prestasi anak. Padahal, sekolah merupakan lembaga pendidikan bukan hanya bagi anak yang sudah dianggap pintar. Setiap anak dengan berbagai kepintaran dan bakat memiliki hak yang sama untuk dididik.

”Ini juga yang kita lakukan dengan menghapus Ujian Nasional untuk memastikan bahwa setiap anak bisa mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan hak dasar yang dijamin oleh konstitusi,” jelasnya.

Lalu, bagaimana dengan terus berulangnya kasus-kasus kecurangan dalam PPDB ini? Chatarina mengingatkan, bahwa berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, pendidikan PAUD hingga menengah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda).

Sementara, pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Adapun kewajiban pemerintah pusat untuk pendidikan PAUD hingga menengah adalah sebagai pembina teknis, yaitu regulator dan pengawas teknis.

Dengan demikian, kata dia, pemerintah melalui Kemendikbudristek menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang menjadi pedoman dan kebijakan dalam peraturan PPDB di seluruh wilayah Indonesia.

Sementara, pemerintah daerah menurunkannya menjadi aturan yang lebih teknis dan berlaku di wilayah masing-masing dengan memperhatikan kondisi setempat.”Untuk PPDB, pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek mengeluarkan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021,” katanya.

Peraturan ini pun telah mengakomodasi masukan dari dinas pendidikan dan kepala sekolah dalam evaluasi penyelenggaraan PPDB setiap tahunnya. Terkait kuota misalnya. Jika sebelumnya dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, kuota penerimaan siswa SD melalui jalur zonasi hanya 50 persen maka di Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 meningkat menjadi 70 persen.

Selain itu, pada peraturan sebelumnya yang mengatur siswa disabilitas masuk melalui zonasi, saat ini mereka dapat masuk melalui jalur zonasi maupun luar zonasi. ”Pemda bertugas menindaklanjuti kebijakan ini dengan menyesuaikan peraturan daerah berdasarkan kebutuhan dan kondisi geografis setempat, termasuk menetapkan persentase zonasi dan mengatur jarak atau sebaran wilayah untuk PPDB,” tegasnya.

Chatarina menegaskan, sejak diberlakukan pada tahun 2017, kebijakan PPDB terus dievaluasi dan diperbaiki. Perubahan penting dalam evaluasi kebijakan ini menyoroti perlunya pemerataan kualitas dan jumlah sekolah di Indonesia. Salah satu isu yang muncul adalah kebijakan zonasi yang hanya berlaku untuk SMP dan SMA, tetapi tidak untuk SD. Hal ini karena perbedaan jumlah dan kualitas pemerataan SMP dan SMA.

”Oleh karena itu, target utamanya adalah menyamakan kualitas dan jumlah sekolah SMP dan SMA dengan SD, memastikan akses dan kualitas pendidikan yang lebih merata di seluruh Indonesia,” tuturnya.

Meski teknis PPDB di lapangan jadi kewenangan pemerintah daerah, ia pun menekankan, jika Kemendikbudristek telah menggandeng pihak-pihak terkait seperti KPK dan Ombudsman untuk proses pengawasan. Selain itu, dia berharap, masyarakat juga ikut bergotong royong membantu mengawal proses PPDB agar berjalan objektif, transparan, dan akuntabel.

Tentu saja kita tidak membenarkan setiap anak masuk ke sekolah negeri dengan menghalalkan segala cara. Karena hal itu akan mengambil hak-hak anak yang seharusnya menurut aturan berhak untuk masuk sekolah tersebut,” ungkapnya.

Terpisah, tujuan PPDB zonasi untuk pemerataan akses dan mutu pendidikan ini dinilai seperti jauh panggang dari api. Sebab, selama tujuh tahun hal itu belum sepenuhnya tercapai. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengaku belum melihat dampak nyata dari tujuan PPDB zonasi tersebut.

”Kami sejak awal dibuatnya kebijakan tentang PPDB zonasi tahun 2017 lalu itu mendukung tujuan mulia dari terciptanya kualitas pendidikan melalui PPDB zonasi ini. Tapi dalam perjalanannya, tujuan mulia untuk memeratakan kualitas pendidikan di seluruh wilayah ini ternyata tidak menemukan capaian yang sesuai dengan yang diharapkan,” ungkapnya.

Tidak tercapainya tujuan tersebut lantaran pemerintah pusat di semua sektor dan pemerintah daerah tidak memiliki koordinasi yang baik. Selama ini, kata dia, PPDB zonasi itu hanya ditafsirkan atau dipraktikkan sebagai bentuk bagaimana anak-anak itu didekatkan dari sekolah ke rumah atau bagaimana anak-anak bersekolah di sekolah yang dekat dengan rumahnya.

Padahal yang harus dijadikan sebagai dasar pokok untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pemerataan pendidikan adalah pembangunan sekolah-sekolah negeri dengan berdasarkan dua analisis. Pertama, analisis demografis. Pada poin ini, di daerah-daerah yang jumlah penduduknya besar namun jumlah sekolah negerinya sedikit menyebabkan anak-anak tidak bisa bersekolah karena keterbatasan ruang kelas.

”Seperti Jakarta atau Kota Bandung gitu ya. Justru sekolah-sekolah negeri tidak mampu menampung jumlah calon peserta didik. Sehingga anak-anak yang mestinya berhak bersekolah di sekolah negeri itu mereka terlempar,” paparnya.

Di sisi lain, di daerah-daerah pelosok, seperti Gunung Kidul, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Semarang, Kabupaten Blora, bahkan di Kota Solo yang terjadi justru banyak sekolah-sekolah negeri kekurangan murid.

”Kenapa? Karena akses ke sekolahnya jauh. Sehingga orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah yang dekat dengan rumah. Sebaran sekolah negerinta tidak merata,” paparnya.

Dengan berpegang pada dua hal ini, harusnya pemerintah pusat maupun daerah paham keperluan apa saja yang diperlukan untuk masing-masing daerah tersebut. Namun, karena melihat kasus ini terus berulang selama 7 tahun terakhir, maka dia menilai bahwa tujuan PPDB zonasi belum betul-betul tercapai.

Itu baru kuantitas. Belum lagi ketika membahas mengenai kualitas. Nyatanya, kualitas sekolah-sekolah negeri masih belum merata hingga kini. Masih ada kecenderungan pemilihan sekolah-sekolah yang dinilai favorit atau unggul. Padahal, sekolah negeri sumber pendanaannya sama, bangunan bahkan kurikulumnya pun sama. ”PPDB zonasi itu tujuannya bagus. Tapi dalam implementasinya masih jauh dari harapan,” katanya.

Kendati demikian, bukan berarti kebijakan ini tak memiliki sisi positif sama sekali. Menurutnya, ada peningkatan akses pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu dan disabilitas untuk bisa bersekolah di sekolah negeri berkat PPDB zonasi.

”Bayangkan kalau sekolah negeri itu hanya diisi oleh misalnya orang-orang kaya atau orang-orang mampu yang jarak rumahnya jauh dari sekolah tersebut. Sementara itu, anak-anak yang miskin yang rumahnya dekat dengan sekolah secara zona malah tidak diterima karena prestasinya rendah dan lainnya. Nah ini kan justru makin diskriminatif pada anak,” ujarnya.

Pendaftaran SMA/SMK Swasta Jalur Afirmasi

Dinas Pendidikan (Disdik) Riau bersama SMA/SMK swasta yang telah bekerja sama untuk menampung calon peserta didik jalur afirmasi akan menutup pendaftaran, Kamis (4/7) hari ini. ‘’Pendaftaran ditutup besok (hari ini, red),” ujar Plt Kepala Dinas Pendidikan Riau Roni Rakhmat, Rabu (3/7).

Lebih lanjut dikatakannya, setelah pendaftaran ditutup, tim kemudian akan melakukan verifikasi berkas para calon peserta didik. Karena untuk mendapatkan program afirmasi sekolah swasta ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon peserta didik. “Verifikasi berkas akan dilakukan hingga Jumat (5/7),” ujarnya.

Setelah tahapan verifikasi berkas, selanjutnya pengumuman hasil PPDB jalur afirmasi sekolah swasta akan diumumkan pada hari Sabtu (6/7). Setelah diumumkan, calon peserta didik yang lulus kemudian akan melakukan daftar ulang hingga Selasa (8/7). “Pengumuman kelulusan jalur afirmasi sekolah swasta dijadwalkan hari Sabtu (6/7) pukul 09.00 WIB,” sebutnya.

Untuk diketahui, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau melalui Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau telah menetapkan daya tampung Penerimaan Peserta Didik Baru jenjang SMA/SMK Swasta di Riau jalur afirmasi tahun 2024. Total ada 2.438 calon peserta didik jalur afirmasi yang akan diterima di 50 sekolah SMA/SMK swasta, dengan rincian 13 SMA dan 37 SMK swasta.(elo/mia/sol/jpg)






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya