Jumat, 22 November 2024

Ramadan Berlalu, Syawal Tiba

- Advertisement -

Begitu cepat waktu berlalu, seakan baru saja Ramadan hadir bersua dengan semua varian keistimewaannya. Seakan belum puas bersama Ramadan, kini Syawal pun tiba. Di tengah kondisi C-19 yang belum kunjung selesai, makna Ramadan dan Syawal patut diimplementasi guna memutus mata rantai persoalan.

Ada beberapa renungan atas Ramadan yang berlalu dan Syawal menjelang, antara lain : Pertama, dimensi menjaga hidup yang halal. Puasa mengajarkan untuk manusia menjaga diri sesuai aturan Allah. Sedangkan makan dan minum yang halal  saja mampu ditahan pada siang hari selama Ramadan, apatahlagi yang haram. Apakah hal ini mampu dipertahankan paska Ramadan, atau tetap dilanjutkan saja.

- Advertisement -

Kedua, dimensi qanaah, cukup apa yang diberikan Allah. Hidup sesuai dengan batas yang dimiliki, bukan melampaui yang ada pada diri dengan memaksa memperoleh melalui segala cara. Sikap qanaah hanya dimiliki oleh hamba yang selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan.
Ketiga, dimensi menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas diri. Puasa mengajarkan hamba berhasil menghadirkan Allah. Meski semua makhluk tak melihat, orang yang berpuasa dengan iman tak akan berani membatalkan puasanya karena menghadirkan Allah dalam kehidupannya dan selalu mengawasi setiap gerak-geriknya.

Keempat, dimensi menahan atau pengendalian diri secara bijak. Tatkala pemerintah mampu mengendalikan kebijakan yang berimbang dengan ketauladanan atas kebijakan, maka kebijakan akan berbuah kebijaksanaan. Tatkala kebijakan pelarangan arus keluar, seyogyanya seirama dengan pelarangan arus masuk. Ketika kebijakan larangan berkumpul dalam majelis ibadah, seyogyanya seirama pula larangan berkumpul disemua sektor, termasuk ekonomi (mall dan tempat hiburan lainnya). Bila keseimbangan ini terkendali dengan semangat ramadhan, maka kebijakan akan dapat "memenangkan" semua pihak. Di pihak lain, masyarakat juga dituntut ikut mengendalikan berbagai keinginan (seperti mudik, berkumpul, dan tetap mematuhi protokol kesehatan) secara bersama.

Baca Juga:  Kecanduan di Atas Kecanduan

Bila pengendalian oleh salah satu pihak atau kedua pihak tak dilakukan, maka apa pun kebijakan atau upaya pengendalian (memutus mata rantai C-19) akan mengalami kegagalan.  Kelima, dimensi nilai ungkapan takbir, tahmid, dan tahlil merupakan wujud kesyukuran bahwa keberhasilan diri melaksanakan puasa selama ramadhan tak terlepas dari kasih sayang Allah yang diberikan padanya. Bila tanpa kasih sayang Allah, manusia tak mampu menikmati dan mengisi Ramadan dengan kualitas muttaqien. Ramadan bak lembaga pendidikan yang melatih dan mendidik manusia menjadi diri yang sebenarnya. Diri yang mampu menahan dan mengontrol semua hal yang dilarang-Nya. Sungguh ramadhan merupakan ibadah hamba untuk Rabbnya.

- Advertisement -

Puncak yang mampu merasakan kehadiran Allah dan begitu dekat pada-Nya. Namun, berhasilkan diri ditempa ramadhan agar menjadikan diri menjadi hamba yang hadir dengan keindahan akhlak mulia ? Bila hal tersebut berhasil, maka manusia telah mampu menjawab panggilan Allah (Hai orang-orang yang beriman …. QS. Al-Baqarah : 83) dengan menjawab "kami orang yang bertaqwa". Bila Ramadan gagal dimanfaatkan untuk menempa diri, hanya dilalui bak tempat pemberhentian sejenak (rest area), lalu melanjutkan kebiasaan buruk sebelumnya, maka merugilah diri. Manusia yang demikian tak akan mampu menjawab panggilan Allah karena "ketulian" (mungkin pada level akut) yang mendera dirinya. Atau, manusia yang demikian ini sudah berubah menjadi sosok ular yang berganti kulit, namun tetap tak merubah diri sebagai sosok ular.

Baca Juga:  Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia

Ramadan dianggap bulan "deposito" ibadah dengan mengharap laba (pahala) yang berlipat ganda. Semua aktivitas dimaksimalkan untuk memperoleh tabungan keuntungan yang menebus kesalahan sebelumnya. Namun, setelah ramadhan aktivitas menabung perlahan sirna dikalahkan sisi asli diri. "Deposito" selama Ramadan dianggap cukup untuk membiayai semua aktivitas diri pasca Ramadan. Seakan Allah didikte dengan biaya deposito yang telah ditanam selama Ramadan. Namun, meski dimensi ini terjadi, dinamika deposito ibadah selama Ramadan masih mengantarkan diri sebagai hamba yang beruntung. Sebab, masih ada sisi kesadaran vertikal pada Sang Khaliq meski sebentar. Sebab, ada pula manusia yang tak memiliki kesadaran  vertikal meski selama Ramadan.

Bahkan, dalam bulan Ramadan pun diri tetap menonjolkan watak asli yang tak mampu merasakan penempaan Ramadan. Sosok manusia seperti ini sungguh memilukan. Lalu, apakah selama Ramadan yang dilalui, kita telah berhasil memperoleh nilai dan membentuk karakter dengan mampu mengendalikan diri sehingga menjadi pemenang di bulan Syawal ? ***

Begitu cepat waktu berlalu, seakan baru saja Ramadan hadir bersua dengan semua varian keistimewaannya. Seakan belum puas bersama Ramadan, kini Syawal pun tiba. Di tengah kondisi C-19 yang belum kunjung selesai, makna Ramadan dan Syawal patut diimplementasi guna memutus mata rantai persoalan.

Ada beberapa renungan atas Ramadan yang berlalu dan Syawal menjelang, antara lain : Pertama, dimensi menjaga hidup yang halal. Puasa mengajarkan untuk manusia menjaga diri sesuai aturan Allah. Sedangkan makan dan minum yang halal  saja mampu ditahan pada siang hari selama Ramadan, apatahlagi yang haram. Apakah hal ini mampu dipertahankan paska Ramadan, atau tetap dilanjutkan saja.

- Advertisement -

Kedua, dimensi qanaah, cukup apa yang diberikan Allah. Hidup sesuai dengan batas yang dimiliki, bukan melampaui yang ada pada diri dengan memaksa memperoleh melalui segala cara. Sikap qanaah hanya dimiliki oleh hamba yang selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan.
Ketiga, dimensi menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas diri. Puasa mengajarkan hamba berhasil menghadirkan Allah. Meski semua makhluk tak melihat, orang yang berpuasa dengan iman tak akan berani membatalkan puasanya karena menghadirkan Allah dalam kehidupannya dan selalu mengawasi setiap gerak-geriknya.

Keempat, dimensi menahan atau pengendalian diri secara bijak. Tatkala pemerintah mampu mengendalikan kebijakan yang berimbang dengan ketauladanan atas kebijakan, maka kebijakan akan berbuah kebijaksanaan. Tatkala kebijakan pelarangan arus keluar, seyogyanya seirama dengan pelarangan arus masuk. Ketika kebijakan larangan berkumpul dalam majelis ibadah, seyogyanya seirama pula larangan berkumpul disemua sektor, termasuk ekonomi (mall dan tempat hiburan lainnya). Bila keseimbangan ini terkendali dengan semangat ramadhan, maka kebijakan akan dapat "memenangkan" semua pihak. Di pihak lain, masyarakat juga dituntut ikut mengendalikan berbagai keinginan (seperti mudik, berkumpul, dan tetap mematuhi protokol kesehatan) secara bersama.

- Advertisement -
Baca Juga:  Tetap Tumbuh Meski Pandemi

Bila pengendalian oleh salah satu pihak atau kedua pihak tak dilakukan, maka apa pun kebijakan atau upaya pengendalian (memutus mata rantai C-19) akan mengalami kegagalan.  Kelima, dimensi nilai ungkapan takbir, tahmid, dan tahlil merupakan wujud kesyukuran bahwa keberhasilan diri melaksanakan puasa selama ramadhan tak terlepas dari kasih sayang Allah yang diberikan padanya. Bila tanpa kasih sayang Allah, manusia tak mampu menikmati dan mengisi Ramadan dengan kualitas muttaqien. Ramadan bak lembaga pendidikan yang melatih dan mendidik manusia menjadi diri yang sebenarnya. Diri yang mampu menahan dan mengontrol semua hal yang dilarang-Nya. Sungguh ramadhan merupakan ibadah hamba untuk Rabbnya.

Puncak yang mampu merasakan kehadiran Allah dan begitu dekat pada-Nya. Namun, berhasilkan diri ditempa ramadhan agar menjadikan diri menjadi hamba yang hadir dengan keindahan akhlak mulia ? Bila hal tersebut berhasil, maka manusia telah mampu menjawab panggilan Allah (Hai orang-orang yang beriman …. QS. Al-Baqarah : 83) dengan menjawab "kami orang yang bertaqwa". Bila Ramadan gagal dimanfaatkan untuk menempa diri, hanya dilalui bak tempat pemberhentian sejenak (rest area), lalu melanjutkan kebiasaan buruk sebelumnya, maka merugilah diri. Manusia yang demikian tak akan mampu menjawab panggilan Allah karena "ketulian" (mungkin pada level akut) yang mendera dirinya. Atau, manusia yang demikian ini sudah berubah menjadi sosok ular yang berganti kulit, namun tetap tak merubah diri sebagai sosok ular.

Baca Juga:  Pilkada dan Isu Pelayanan Publik

Ramadan dianggap bulan "deposito" ibadah dengan mengharap laba (pahala) yang berlipat ganda. Semua aktivitas dimaksimalkan untuk memperoleh tabungan keuntungan yang menebus kesalahan sebelumnya. Namun, setelah ramadhan aktivitas menabung perlahan sirna dikalahkan sisi asli diri. "Deposito" selama Ramadan dianggap cukup untuk membiayai semua aktivitas diri pasca Ramadan. Seakan Allah didikte dengan biaya deposito yang telah ditanam selama Ramadan. Namun, meski dimensi ini terjadi, dinamika deposito ibadah selama Ramadan masih mengantarkan diri sebagai hamba yang beruntung. Sebab, masih ada sisi kesadaran vertikal pada Sang Khaliq meski sebentar. Sebab, ada pula manusia yang tak memiliki kesadaran  vertikal meski selama Ramadan.

Bahkan, dalam bulan Ramadan pun diri tetap menonjolkan watak asli yang tak mampu merasakan penempaan Ramadan. Sosok manusia seperti ini sungguh memilukan. Lalu, apakah selama Ramadan yang dilalui, kita telah berhasil memperoleh nilai dan membentuk karakter dengan mampu mengendalikan diri sehingga menjadi pemenang di bulan Syawal ? ***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari