Sabtu, 1 Juni 2024

RPPLH, Pondasi Riau Hijau untuk Riau Bermarwah

Mewujudkan Riau Hijau menjadi slogan Syamsuar-Edy Natar di tahun
perdana kepemimpinan mereka.
Tagline
ini bahkan dijadikan tema utama saat Provinsi Riau berusia 62 tahun, yang
kemudian berlanjut menjadi Riau Bermarwah di hari jadi ke-63 tahun (2020).

KONSEP Riau Hijau jelas memiliki esensi penting melebihi sekadar narasi
atau pun selebrasi simbolis cinta lingkungan semata. Riau Hijau secara
pragmatis bisa dimaknai sebagai niat baik 
“menyicil hutang” generasi lalu pada alam dan lingkungan yang harus dilakukan
generasi sekarang (dibaca: kita), agar kelak anak cucu tak harus menanggung apa
yang dilakukan pendahulunya. Jelas bukan pekerjaan mudah.

Karena dari pengelolaan kawasan hutan yang massif sejak tahun 1970, landscape Riau telah tercabik-cabik
dengan beban berbagai kebijakan multi-stakeholders.
Penguasaan izin skala besar, beban penguasaan lahan yang dikuasai, diklaim
sepihak, bahkan digarap bukan pada peruntukannya, mulai dari yang legal sampai
ilegal, menjadi warisan yang konsekuensinya masih dirasakan sampai hari ini.

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (RPPLH) adalah
pondasi utama atau tak berlebihan disebut ruh mendasar dari konsep Riau Hijau
Syamsuar-Edy Natar. RPPLH adalah blue
print
Riau Hijau. Inilah wujud nyata dari niat baik pemimpin Riau yang riil
aplikatif guna menjaga amanat UUD 1945 pasal 28 H Ayat 1, bahwa setiap orang
berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

RPPLH merupakan amanat dari UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diharapkan mampu mengarahkan pembangunan
dengan tetap menjaga fungsi lingkungan.

- Advertisement -

RPPLH juga memiliki fungsi administrasi “sapu jagad”, karena dapat
menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam RPJP, RPJM, rencana sektor, Rencana
Tata Ruang Wilayah, dokumen tujuan pembangunan berkelanjutan, dokumen
penyusunan KLHS, serta penerapan instrumen pengendalian pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan hidup.

UU telah mengamanatkan RPPLH harus benar-benar disusun berdasarkan
hasil inventarisasi lingkungan hidup di lapangan, agar diperoleh data dan
informasi valid untuk dijadikan acuan pembangunan selama 30 tahun mendatang.
Sungguh durasi waktu yang sangat lama.

- Advertisement -

Andai RPPLH sudah menjadi peraturan daerah (perda), mungkin tidak perlu
lagi banyak instrumen termasuk KLHS. Jika pun masih menggunakan KLHS, maka
lebih separuh pekerjaan KLHS telah dituntaskan dalam RPPLH.

Sekadar mengingatkan, KLHS menjadi ganjalan “kesempurnaan” Perda RTRW
Riau 2018-2038, karena disusun tak berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis
(KLHS), sehingga bertentangan dengan aturan lebih tinggi.

Perda tersebut kemudian digugat ke Mahkamah Agung oleh Jikalahari
dan Walhi. Hasilnya, dua LSM lingkungan ini menang. Tentunya menjadi pesan
penting bagi para penyusun kebijakan publik untuk tak lagi menyepelekan kajian
lingkungan sebagai dasar perencanaan pembangunan suatu kawasan.

Kembali pada RPPLH, maka sudah seharusnya hal ini segera dituntaskan
pembahasannya karena konsep Riau Hijau bukan semata soal menanam pohon. Penanaman
tidak akan mampu mengejar kerusakan dengan berbagai sebab yang ada (supply demand conflict).

 Jika RPLLH selesai disusun dengan sejujur-jujurnya, seadil-adilnya, dan
sebenar-benarnya sesuai kondisi faktual di lapangan, inilah kelak warisan
terbesar Syamsuar-Edy Natar untuk masa depan pembangunan berkelanjutan di
Provinsi Riau. Pembangunan berkelanjutan harus mampu menyeimbangkan tiga aspek
utama, yakni aspek ekonomi, pelestarian sosial-budaya, dan lingkungan hidup.

Sudah saatnya pembangunan dengan etika antroposentrisme, sebagaimana
dikatakan Wiratno (2020), ditinggalkan dan diganti dengan etika lingkungan
hidup yang bertumpu pada teori biosentrisme dan ekosentrisme, dengan berpegang
pada sikap hormat terhadap alam, prinsip tanggung jawab, solidaritas kosmis,
prinsip kasih sayang dan kepedulian pada alam, prinsip no harm, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip
keadilan, prinsip demokrasi, dan prinsip integritas moral.

Baca Juga:  Jadi Ular atau Ulat?

Hal ini karena tujuan lain RPPLH guna memperkecil dikotomi antara
kebutuhan manusia yang tanpa batas dengan ketersediaan alam yang terbatas. RPPLH
akan memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk,
sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat, dan
perubahan iklim.

RPPLH harus benar-benar menjadi perhatian serius Syamsuar-Edy Natar,
jika ingin mewujudkan Riau lebih baik, sebagaimana janji politik di masa
kampanye mereka dulu.

Jangan sampai Riau kembali tertinggal dalam menyusun RPPLH, seperti
halnya tertinggal dalam penyusunan RTRW bila dibanding daerah lainnya di
Indonesia. RPLLH Bengkulu dan Sumatera Barat, saat ini sudah selesai.
Pertanyaan “Riau Hijau apa kabarnya?” tentu akan terjawab ketika RPPLH disahkan
menjadi perda.

Perlu diingat bahwa Riau memiliki keunikan. Daerah ini merupakan
provinsi dengan luas ekosistem gambut paling besar se-Sumatera (4 juta ha) dari
total ekosistem gambut Sumatera seluas 7,2 ha. Sementara tingkat pertumbuhan
penduduknya sangat tinggi, tercatat 4,46 % di 2010 atau jauh di atas pertumbuhan
nasional 1,3 %.

Hal yang patut jadi perhatian, karena pertumbuhan penduduk ini tidak
hanya disebabkan oleh kelahiran dan kematian, tapi justru angka migrasi dan
perpindahan penduduk lintas provinsi.

Untuk itu dalam penyusunan RPPLH, Pemprov Riau harus melibatkan network multipihak, multidisiplner dan
multilevel birokrasi, mengingat semua sektor kehidupan masyarakat Riau akan
menjadi instrumen penting di segala aspek.

Dalam penyusunan RPPLH Riau, Syamsuar-Edy Natar hendaknya jangan hanya
mengandalkan kerja birokrasi, apalagi birokrasi yang hanya mengandalkan kajian
pada konsultan saja.

Birokrasi (baca: pejabat PNS terkait), harus mampu menyerap semangat Riau
Hijau sebagai perwujudan visi Gubernur Riau, untuk kemudian dapat
menerjemahkannya dalam misi-misi nyata yang tertuang di dalam RPPLH.

Jangan sampai kajian akademik RPPLH hanya sebatas dokumen asal siap
berbasis proyek, atau hanya berlandaskan laporan “Asal Bapak Senang” alias ABS
semata. RPPLH harus dikawal agar mencerminkan kondisi sebenar landscape Riau hari ini, karena akan
dipakai sebagai acuan perencanaan pembangunan tiga dekade ke depan. RPPLH harus
siap dan lolos uji publik, karena nanti hasil akhirnya berbentuk perda.

Harus ada prinsip kehati-hatian (precautionary
principle
) saat menyusun RPPLH Riau. Penempatan SDM di tim penyusun RPPLH
idealnya harus diisi oleh mereka yang ahli mengenai nilai-nilai luhur
lingkungan hidup, berbasis budaya dan sosial masyarakat lokal, bukan semata memikirkan
konsep pragmatis sisi kehutanan saja.

Gubernur dan Wakil Gubernur Riau harus teliti menempatkan ASN yang
memiliki latar belakang pengalaman di Dinas Lingkungan Hidup. Hal ini guna
memastikan RPPLH  berbobot dan dapat
diimplementasikan dalam penyusunan KRP (kebijakan, rencana, dan program).

Wajib ada orang lingkungan di dalam lingkar terdekat para pengambil
kebijakan sehingga mereka bisa memberikan input informasi yang berani kritis,
jujur dan tepat untuk para pemimpin menarik kesimpulan.

Karena kekayaan alam, apalagi yang berasal dari sumber daya hutan,
selain benefit beyond boundry
(memberikan manfaat lintas batas) dan multipurpose
benefits
(memberikan banyak manfaat), juga memiliki sifat irreversible (sulit dipulihkan seperti
sedia kala).

Terlebih lagi saat ini Riau termasuk provinsi dengan beban terberat
bidang lingkungan hidup dan kehutanan (A+), ditambah terkoreksinya pertumbuhan
ekonomi dampak pandemi Covid-19. Pemda pasti akan memutar otak lebih keras
untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi masyarakat, dan tidak terelakkan salah
satunya bermuara pada kekayaan eksploitasi alam yang ada, semisal untuk
menggerakkan sektor pariwisata yang memiliki multiplier effect besar di tingkat tapak.

Sebagai contoh, jumlah destinasi wisata sebelum Pandemi Covid-19 di
Kabupaten Kampar, ada 88 lokasi. Di masa new
normal
terjadi penambahan 12 lokasi baru (kenaikan 13,6 %). Banyak lokasi
wisata berbasis alam bermunculan hasil tracking
masyarakat tempatan, dan menjadi harapan baru sumber pendapatan. Jika
masyarakat tidak diberi pemahaman tentang konsep pariwisata berkelanjutan, akan
memberi tekanan pada lingkungan di Kampar 10-20 tahun ke depan.

Baca Juga:  Mengelola Rasa Suka dan Benci

Hal yang perlu diingat adalah jumlah wisatawan selain membawa dampak
positif pada perekonomian masyarakat sekitar, juga dapat menimbulkan over carrying capacity dan memberikan
dampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya (Muhlisa, 2015). Saat lingkungan
alam sudah rusak, manusia tidak bisa lagi mengambil manfaat, malah melarat.

Untuk itu (sekali lagi) diperlukan 
kehati-hatian saat mencari solusi menggerakkan ekonomi di masa pandemi.
Jangan sampai hanya mengejar pertumbuhan ekonomi ala koboi versi Kenneth
Boulding dalam Korten (2001), karena ini bisa menjadikan Riau justru mengulang
kembali sejarah mempertaruhkan kualitas lingkungan hidupnya pada generasi
mendatang.

Berbagai kebijakan moratorium izin yang telah disahkan pemerintah
pusat, harus disambut oleh Pemda sebagai nafas baru mengelola kembali alam dan
lingkungan sebagai sumber kehidupan, bukan sebagai beban untuk pengembangan
investasi ke depan.

Pemerintah pusat dan daerah harus menyamakan persepsi tentang memberi
jeda pada alam, setelah mengalami sakit parah akibat eksploitasi besar-besaran
lebih dari tiga atau bahkan empat dekade lalu.

Jangan sampai mengulang sejarah kelam Pulau Jawa, yang harus kehilangan
lebih dari 70 % hutannya hanya dalam kurun waktu 100 tahun.  Karena sebagaimana ditulis Wiratno (2020),
pencapaian tertinggi manusia modern adalah ketika ia mampu mewariskan keindahan
alam kepada anak cucu sebagai perwujudan dari keadilan lintas generasi.

Manusia dan alam adalah satu kesatuan. Sayangnya bahasa komunikasi alam
jarang yang bisa dipahami manusia dengan lima panca inderanya. Alam lebih
banyak menyampaikan pesan melalui indera kalbu dan jiwa. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang diberi kemampuan memahami bahasa alam, namun manusia
jugalah yang terbukti mampu menghancurkannya (Aquran, Ar Rum: 42).

Seluruh komponen masyarakat Riau, dipimpin oleh Syamsuar-Edy yang
memiliki semangat cinta lingkungan, harus dapat menjadi apa yang disebut Otto C
Scharmer dalam The Essentials of Theory U
(2018), mendorong situasi sebagai awerness-based
collective actions
, yakni aksi kolektif yang didasarkan pada kesadaran.
Sadar untuk semakin mencintai Riau dari hati, untuk hari ini dan generasi
nanti. Aksi kolektif ini disebut sebagai gerakan bersama.

Syamsuar dan Edy Natar memiliki tanggung jawab memastikan RPPLH Riau
harus seriil mungkin dengan kondisi sebenar di tapak, bukan sebatas laporan di
atas kertas semata. Sehingga RPPLH benar-benar menjadi tunjuk ajar pembangunan
Riau Hijau ke depan, sebagaimana pesan budayawan Melayu Riau Tenas Effendi
(2004):

Tanda orang memegang adat, alam dijaga
betul diingat. Tanda orang memegang amanah, pantang merusak hutan dan
tanah.Tanda orang berpikir  panjang,
merusak alam ia berpantang. Tanda orang berakal senonoh, menjaga alam hatinya
kokoh. Tanda orang berbudi pekerti, merusak alam ia jauhi. Adat hidup orang
beriman, tahu menjaga laut dan hutan. Tahu menjaga kayu dan kayan. Tahu menjaga
binatang hutan. Tebasnya tidak menghabiskan. Tebangnya tidak
memusnahkan.Bakarnya tidak membinasakan.

Syamsuar-Edy Natar tidak akan bisa mewujudkan Riau Hijau tanpa bantuan
akademisi, LSM, pers, swasta, dan berbagai komponen masyarakat lainnya. Mari
kita rapatkan barisan mengawal RPPLH Riau, untuk Riau Hijau menjadi Riau
Bermarwah sehingga Riau lebih baik akan benar-benar menjadi nyata, tak hanya
kata-kata janji politik semata.***

Dr Afni Zulkifli MSi adalah dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru. Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (TAM LHK).

Mewujudkan Riau Hijau menjadi slogan Syamsuar-Edy Natar di tahun
perdana kepemimpinan mereka.
Tagline
ini bahkan dijadikan tema utama saat Provinsi Riau berusia 62 tahun, yang
kemudian berlanjut menjadi Riau Bermarwah di hari jadi ke-63 tahun (2020).

KONSEP Riau Hijau jelas memiliki esensi penting melebihi sekadar narasi
atau pun selebrasi simbolis cinta lingkungan semata. Riau Hijau secara
pragmatis bisa dimaknai sebagai niat baik 
“menyicil hutang” generasi lalu pada alam dan lingkungan yang harus dilakukan
generasi sekarang (dibaca: kita), agar kelak anak cucu tak harus menanggung apa
yang dilakukan pendahulunya. Jelas bukan pekerjaan mudah.

Karena dari pengelolaan kawasan hutan yang massif sejak tahun 1970, landscape Riau telah tercabik-cabik
dengan beban berbagai kebijakan multi-stakeholders.
Penguasaan izin skala besar, beban penguasaan lahan yang dikuasai, diklaim
sepihak, bahkan digarap bukan pada peruntukannya, mulai dari yang legal sampai
ilegal, menjadi warisan yang konsekuensinya masih dirasakan sampai hari ini.

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (RPPLH) adalah
pondasi utama atau tak berlebihan disebut ruh mendasar dari konsep Riau Hijau
Syamsuar-Edy Natar. RPPLH adalah blue
print
Riau Hijau. Inilah wujud nyata dari niat baik pemimpin Riau yang riil
aplikatif guna menjaga amanat UUD 1945 pasal 28 H Ayat 1, bahwa setiap orang
berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

RPPLH merupakan amanat dari UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diharapkan mampu mengarahkan pembangunan
dengan tetap menjaga fungsi lingkungan.

RPPLH juga memiliki fungsi administrasi “sapu jagad”, karena dapat
menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam RPJP, RPJM, rencana sektor, Rencana
Tata Ruang Wilayah, dokumen tujuan pembangunan berkelanjutan, dokumen
penyusunan KLHS, serta penerapan instrumen pengendalian pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan hidup.

UU telah mengamanatkan RPPLH harus benar-benar disusun berdasarkan
hasil inventarisasi lingkungan hidup di lapangan, agar diperoleh data dan
informasi valid untuk dijadikan acuan pembangunan selama 30 tahun mendatang.
Sungguh durasi waktu yang sangat lama.

Andai RPPLH sudah menjadi peraturan daerah (perda), mungkin tidak perlu
lagi banyak instrumen termasuk KLHS. Jika pun masih menggunakan KLHS, maka
lebih separuh pekerjaan KLHS telah dituntaskan dalam RPPLH.

Sekadar mengingatkan, KLHS menjadi ganjalan “kesempurnaan” Perda RTRW
Riau 2018-2038, karena disusun tak berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis
(KLHS), sehingga bertentangan dengan aturan lebih tinggi.

Perda tersebut kemudian digugat ke Mahkamah Agung oleh Jikalahari
dan Walhi. Hasilnya, dua LSM lingkungan ini menang. Tentunya menjadi pesan
penting bagi para penyusun kebijakan publik untuk tak lagi menyepelekan kajian
lingkungan sebagai dasar perencanaan pembangunan suatu kawasan.

Kembali pada RPPLH, maka sudah seharusnya hal ini segera dituntaskan
pembahasannya karena konsep Riau Hijau bukan semata soal menanam pohon. Penanaman
tidak akan mampu mengejar kerusakan dengan berbagai sebab yang ada (supply demand conflict).

 Jika RPLLH selesai disusun dengan sejujur-jujurnya, seadil-adilnya, dan
sebenar-benarnya sesuai kondisi faktual di lapangan, inilah kelak warisan
terbesar Syamsuar-Edy Natar untuk masa depan pembangunan berkelanjutan di
Provinsi Riau. Pembangunan berkelanjutan harus mampu menyeimbangkan tiga aspek
utama, yakni aspek ekonomi, pelestarian sosial-budaya, dan lingkungan hidup.

Sudah saatnya pembangunan dengan etika antroposentrisme, sebagaimana
dikatakan Wiratno (2020), ditinggalkan dan diganti dengan etika lingkungan
hidup yang bertumpu pada teori biosentrisme dan ekosentrisme, dengan berpegang
pada sikap hormat terhadap alam, prinsip tanggung jawab, solidaritas kosmis,
prinsip kasih sayang dan kepedulian pada alam, prinsip no harm, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip
keadilan, prinsip demokrasi, dan prinsip integritas moral.

Baca Juga:  Jadi Ular atau Ulat?

Hal ini karena tujuan lain RPPLH guna memperkecil dikotomi antara
kebutuhan manusia yang tanpa batas dengan ketersediaan alam yang terbatas. RPPLH
akan memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk,
sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat, dan
perubahan iklim.

RPPLH harus benar-benar menjadi perhatian serius Syamsuar-Edy Natar,
jika ingin mewujudkan Riau lebih baik, sebagaimana janji politik di masa
kampanye mereka dulu.

Jangan sampai Riau kembali tertinggal dalam menyusun RPPLH, seperti
halnya tertinggal dalam penyusunan RTRW bila dibanding daerah lainnya di
Indonesia. RPLLH Bengkulu dan Sumatera Barat, saat ini sudah selesai.
Pertanyaan “Riau Hijau apa kabarnya?” tentu akan terjawab ketika RPPLH disahkan
menjadi perda.

Perlu diingat bahwa Riau memiliki keunikan. Daerah ini merupakan
provinsi dengan luas ekosistem gambut paling besar se-Sumatera (4 juta ha) dari
total ekosistem gambut Sumatera seluas 7,2 ha. Sementara tingkat pertumbuhan
penduduknya sangat tinggi, tercatat 4,46 % di 2010 atau jauh di atas pertumbuhan
nasional 1,3 %.

Hal yang patut jadi perhatian, karena pertumbuhan penduduk ini tidak
hanya disebabkan oleh kelahiran dan kematian, tapi justru angka migrasi dan
perpindahan penduduk lintas provinsi.

Untuk itu dalam penyusunan RPPLH, Pemprov Riau harus melibatkan network multipihak, multidisiplner dan
multilevel birokrasi, mengingat semua sektor kehidupan masyarakat Riau akan
menjadi instrumen penting di segala aspek.

Dalam penyusunan RPPLH Riau, Syamsuar-Edy Natar hendaknya jangan hanya
mengandalkan kerja birokrasi, apalagi birokrasi yang hanya mengandalkan kajian
pada konsultan saja.

Birokrasi (baca: pejabat PNS terkait), harus mampu menyerap semangat Riau
Hijau sebagai perwujudan visi Gubernur Riau, untuk kemudian dapat
menerjemahkannya dalam misi-misi nyata yang tertuang di dalam RPPLH.

Jangan sampai kajian akademik RPPLH hanya sebatas dokumen asal siap
berbasis proyek, atau hanya berlandaskan laporan “Asal Bapak Senang” alias ABS
semata. RPPLH harus dikawal agar mencerminkan kondisi sebenar landscape Riau hari ini, karena akan
dipakai sebagai acuan perencanaan pembangunan tiga dekade ke depan. RPPLH harus
siap dan lolos uji publik, karena nanti hasil akhirnya berbentuk perda.

Harus ada prinsip kehati-hatian (precautionary
principle
) saat menyusun RPPLH Riau. Penempatan SDM di tim penyusun RPPLH
idealnya harus diisi oleh mereka yang ahli mengenai nilai-nilai luhur
lingkungan hidup, berbasis budaya dan sosial masyarakat lokal, bukan semata memikirkan
konsep pragmatis sisi kehutanan saja.

Gubernur dan Wakil Gubernur Riau harus teliti menempatkan ASN yang
memiliki latar belakang pengalaman di Dinas Lingkungan Hidup. Hal ini guna
memastikan RPPLH  berbobot dan dapat
diimplementasikan dalam penyusunan KRP (kebijakan, rencana, dan program).

Wajib ada orang lingkungan di dalam lingkar terdekat para pengambil
kebijakan sehingga mereka bisa memberikan input informasi yang berani kritis,
jujur dan tepat untuk para pemimpin menarik kesimpulan.

Karena kekayaan alam, apalagi yang berasal dari sumber daya hutan,
selain benefit beyond boundry
(memberikan manfaat lintas batas) dan multipurpose
benefits
(memberikan banyak manfaat), juga memiliki sifat irreversible (sulit dipulihkan seperti
sedia kala).

Terlebih lagi saat ini Riau termasuk provinsi dengan beban terberat
bidang lingkungan hidup dan kehutanan (A+), ditambah terkoreksinya pertumbuhan
ekonomi dampak pandemi Covid-19. Pemda pasti akan memutar otak lebih keras
untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi masyarakat, dan tidak terelakkan salah
satunya bermuara pada kekayaan eksploitasi alam yang ada, semisal untuk
menggerakkan sektor pariwisata yang memiliki multiplier effect besar di tingkat tapak.

Sebagai contoh, jumlah destinasi wisata sebelum Pandemi Covid-19 di
Kabupaten Kampar, ada 88 lokasi. Di masa new
normal
terjadi penambahan 12 lokasi baru (kenaikan 13,6 %). Banyak lokasi
wisata berbasis alam bermunculan hasil tracking
masyarakat tempatan, dan menjadi harapan baru sumber pendapatan. Jika
masyarakat tidak diberi pemahaman tentang konsep pariwisata berkelanjutan, akan
memberi tekanan pada lingkungan di Kampar 10-20 tahun ke depan.

Baca Juga:  Mengelola Transformasi Papua: Belajar dari Masa Lalu, Menatap Masa Depan

Hal yang perlu diingat adalah jumlah wisatawan selain membawa dampak
positif pada perekonomian masyarakat sekitar, juga dapat menimbulkan over carrying capacity dan memberikan
dampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya (Muhlisa, 2015). Saat lingkungan
alam sudah rusak, manusia tidak bisa lagi mengambil manfaat, malah melarat.

Untuk itu (sekali lagi) diperlukan 
kehati-hatian saat mencari solusi menggerakkan ekonomi di masa pandemi.
Jangan sampai hanya mengejar pertumbuhan ekonomi ala koboi versi Kenneth
Boulding dalam Korten (2001), karena ini bisa menjadikan Riau justru mengulang
kembali sejarah mempertaruhkan kualitas lingkungan hidupnya pada generasi
mendatang.

Berbagai kebijakan moratorium izin yang telah disahkan pemerintah
pusat, harus disambut oleh Pemda sebagai nafas baru mengelola kembali alam dan
lingkungan sebagai sumber kehidupan, bukan sebagai beban untuk pengembangan
investasi ke depan.

Pemerintah pusat dan daerah harus menyamakan persepsi tentang memberi
jeda pada alam, setelah mengalami sakit parah akibat eksploitasi besar-besaran
lebih dari tiga atau bahkan empat dekade lalu.

Jangan sampai mengulang sejarah kelam Pulau Jawa, yang harus kehilangan
lebih dari 70 % hutannya hanya dalam kurun waktu 100 tahun.  Karena sebagaimana ditulis Wiratno (2020),
pencapaian tertinggi manusia modern adalah ketika ia mampu mewariskan keindahan
alam kepada anak cucu sebagai perwujudan dari keadilan lintas generasi.

Manusia dan alam adalah satu kesatuan. Sayangnya bahasa komunikasi alam
jarang yang bisa dipahami manusia dengan lima panca inderanya. Alam lebih
banyak menyampaikan pesan melalui indera kalbu dan jiwa. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang diberi kemampuan memahami bahasa alam, namun manusia
jugalah yang terbukti mampu menghancurkannya (Aquran, Ar Rum: 42).

Seluruh komponen masyarakat Riau, dipimpin oleh Syamsuar-Edy yang
memiliki semangat cinta lingkungan, harus dapat menjadi apa yang disebut Otto C
Scharmer dalam The Essentials of Theory U
(2018), mendorong situasi sebagai awerness-based
collective actions
, yakni aksi kolektif yang didasarkan pada kesadaran.
Sadar untuk semakin mencintai Riau dari hati, untuk hari ini dan generasi
nanti. Aksi kolektif ini disebut sebagai gerakan bersama.

Syamsuar dan Edy Natar memiliki tanggung jawab memastikan RPPLH Riau
harus seriil mungkin dengan kondisi sebenar di tapak, bukan sebatas laporan di
atas kertas semata. Sehingga RPPLH benar-benar menjadi tunjuk ajar pembangunan
Riau Hijau ke depan, sebagaimana pesan budayawan Melayu Riau Tenas Effendi
(2004):

Tanda orang memegang adat, alam dijaga
betul diingat. Tanda orang memegang amanah, pantang merusak hutan dan
tanah.Tanda orang berpikir  panjang,
merusak alam ia berpantang. Tanda orang berakal senonoh, menjaga alam hatinya
kokoh. Tanda orang berbudi pekerti, merusak alam ia jauhi. Adat hidup orang
beriman, tahu menjaga laut dan hutan. Tahu menjaga kayu dan kayan. Tahu menjaga
binatang hutan. Tebasnya tidak menghabiskan. Tebangnya tidak
memusnahkan.Bakarnya tidak membinasakan.

Syamsuar-Edy Natar tidak akan bisa mewujudkan Riau Hijau tanpa bantuan
akademisi, LSM, pers, swasta, dan berbagai komponen masyarakat lainnya. Mari
kita rapatkan barisan mengawal RPPLH Riau, untuk Riau Hijau menjadi Riau
Bermarwah sehingga Riau lebih baik akan benar-benar menjadi nyata, tak hanya
kata-kata janji politik semata.***

Dr Afni Zulkifli MSi adalah dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru. Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (TAM LHK).

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari