KABAR penetapan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengguncang publik Riau. Kasus dugaan pemerasan terhadap pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau ini membuka luka lama: rapuhnya kepercayaan publik terhadap birokrasi daerah. Namun, di balik kabar hukum itu, sesungguhnya ada pesan moral yang lebih dalam tentang ujian bagi marwah Melayu Riau di tengah dinamika kekuasaan nasional. Peristiwa ini menuntut refleksi, bukan sekadar kecaman. Hal ini mengundang kita untuk menelaah kembali arah desentralisasi, posisi daerah dalam relasi kekuasaan pusat, dan sejauh mana nilai budaya Melayu masih menjadi pedoman etik dalam pemerintahan daerah.
Sebagai daerah yang kaya sumber daya alam dan memiliki posisi strategis secara geografis, Riau menaruh harapan besar pada pemimpin-pemimpinnya. Namun, ketika kepala daerah terjerat kasus korupsi, citra kelembagaan publik menjadi terkoyak. Dalam kasus ini, modus dugaan “jatah preman” pada proyek jalan dan jembatan menunjukkan bahwa relasi kekuasaan dalam birokrasi masih bertumpu pada loyalitas personal, bukan akuntabilitas publik. Fenomena ini memperlihatkan bahwa korupsi bukan sekadar penyimpangan individu, melainkan cerminan kegagalan tata kelola dan nilai organisasi.
Dalam konteks budaya Melayu, marwah berarti kehormatan, harga diri, dan kejujuran. Marwah adalah puncak nilai moral yang menuntun perilaku sosial. Marwah bukan hanya konsep budaya, tetapi juga etika pemerintahan. Namun, realitas politik dan birokrasi Riau hari ini memperlihatkan paradoks. Meskipun dipimpin oleh figur lokal, tata kelola pemerintahan kerap jauh dari semangat amanah dan musyawarah. Nilai-nilai Melayu yang luhur tampak tersisih oleh logika kekuasaan yang transaksional. Di sinilah kita menemukan ironi: Riau yang dahulu menjadi pusat peradaban Melayu, kini justru bergelut dengan krisis moral birokrasi yang merusak citra dan kepercayaan rakyat.
Filosofi desentralisasi sejatinya bukan semata soal teknis pemerintahan. Ia adalah wujud pengakuan terhadap kearifan lokal dan keadilan ruang. Dalam pemikiran politik modern, desentralisasi dimaknai sebagai distribusi kekuasaan dan tanggung jawab agar keputusan publik lebih dekat dengan masyarakat yang terdampak. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi adalah ikhtiar untuk mengoreksi sentralisasi kekuasaan yang terlalu lama berpusat di Jakarta. Namun, desentralisasi tanpa internalisasi nilai dan integritas justru melahirkan paradoks: yakni lahirnya “raja-raja kecil” di daerah, di mana praktik korupsi, nepotisme, dan dominasi elite lokal menggantikan dominasi pusat. Kasus korupsi di Riau membuktikan hal itu. Otonomi daerah gagal menjadi arena pembelajaran demokrasi lokal jika mentalitas birokrasi masih berorientasi pada rente kekuasaan. Desentralisasi kehilangan roh filosofisnya ketika tidak dibarengi transformasi moral dan budaya kerja.
Dalam praktiknya, otonomi daerah belum sepenuhnya menghapus ketergantungan Riau pada kebijakan pusat. Baik dalam hal fiskal, perizinan, maupun pembangunan infrastruktur, banyak keputusan strategis masih bergantung pada restu kementerian di Jakarta. Kondisi ini menempatkan daerah dalam dilema: di satu sisi diminta mandiri, tetapi di sisi lain tetap dikontrol. Akibatnya, terjadi distorsi dalam relasi kekuasaan. Elite daerah sering kali terjebak dalam politik transaksional untuk mempertahankan posisi atau mengamankan proyek dari pusat. Dalam situasi seperti ini, marwah daerah kerap tergadaikan, bukan karena kelemahan sumber daya, tetapi karena ketergantungan struktural dan lemahnya integritas aktor lokal.
Pemulihan marwah Riau harus dimulai dari perbaikan sistemik dan kultural. Hal ini dapat diwujudkan melalui empat pilar utama.
Pertama, transparansi anggaran dan proyek publik harus menjadi kewajiban moral. Partisipasi masyarakat, lembaga audit independen, dan media lokal perlu dilibatkan dalam setiap tahap pembangunan.
Kedua, budaya birokrasi berakar pada nilai Melayu. Prinsip amanah, musyawarah, dan malu perlu dihidupkan bukan sebagai simbol, melainkan sebagai panduan etik dalam keputusan publik.
Ketiga, penguatan lembaga pemantauan lokal. Komisi etik daerah, lembaga mahasiswa, dan komunitas akademik dapat berperan sebagai pengawas moral pemerintahan.
Keempat, pendidikan politik dan etika publik bagi generasi muda. Kampus dan masyarakat harus menjadi ruang pembelajaran integritas, agar desentralisasi melahirkan pemimpin yang berintegritas dan berkarakter, bukan oportunis baru.
Peristiwa hukum yang menimpa pemimpin daerah bukan sekadar tragedi politik, melainkan cerminan untuk menata kembali arah desentralisasi di Riau. Desentralisasi tanpa marwah akan melahirkan kekuasaan tanpa moral; sebaliknya, marwah tanpa desentralisasi hanya menjadi romantika budaya tanpa daya. Maka, tugas kita sebagai generasi muda Melayu Riau adalah menjahit keduanya: menjadikan desentralisasi sebagai ruang aktualisasi nilai marwah, yakni kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan sosial. Riau harus berdiri dengan kepala tegak, bukan hanya karena kaya sumber daya, tetapi karena mampu membangun tata kelola yang bersih, partisipatif, dan beradab. Hanya dengan itu, marwah Melayu Riau akan tetap kokoh di tengah pusaran kekuasaan Jakarta.***
Habza Jusbil Aktro, Ketua Komunitas Mahasiswa Pascasarjana Riau–Jakarta (KMPRJ),
Mahasiswa Magister Kebijakan Publik dan Governansi Universitas Indonesia



