JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Wacana penggabungan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mulai menguat. Namun, rencana yang kabarnya akan diwujudkan Presiden Jokowi di kabinet kerja jilid II itu, menuai kritikan dari berbagai kalangan.
Salah satunya adalah politisi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi yang menganggap akan sangat sulit melebur dua kementerian itu. Apalagi, tidak semua orientasi Kemendag berurusan dengan luar negari.
"Bila meleburkan kementerian luar negeri dengan seluruh fungsi kementerian perdagangan, saya rasa sulit karena tidak semua fungsi kementerian perdagangan itu berorientasi luar negeri," kata mantan anggota Komisi I DPR dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Senin (10/7).
Bobby yang kini terpilih kembali menjadi legislator itu menganggap, fungsi kemendag itu banyak yang berorientasi dalam negeri seperti penguatan perdagangan dalam negeri, standardisasi, pemberdayaan konsumen dalam negeri dan lainnya.
Menurut Bobby, Kemenlu adalah salah satu yang nomenklaturnya jelas ada di UUD 45 dan tidak bisa diubah sembarangan. Karena jika ada penggabungan fungsi seperti yang disebutkan dalam UU Kementerian 39/2008 dan Perpres Nomor 7 tahun 2015 mengenai Organisasi Kementerian Negara 2015, ini bisa dilakukan beberapa opsi.
"Kiranya memang Presiden ingin menyederhanakan koordinasi dalam hal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) ke dalam organisasi Kemenlu, perlu memperhatikan beberapa hal. Misal koordinasi hulu hilir importasi barang mentah industri. Atau meningkatkan ekspornya saja. Atau memang seluruh fungsi Daglu," katanya.
Terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana mengatakan, meminta wacana penggabungan Kemendag dan kemenlu harus dikaji secara mendalam.
Ia menduga wacana tersebut muncul karena pemerintah meniru Australia yang menjadikan Departemen Luar Negeri dan Departemen Perdagangan mereka menjadi satu.
"Kemungkinan ini mau meniru di Australia, di sana ada Department Curent Afair and Trade, dugaan saya seperti itu. Namun perlu diketahui, bahwa ide Australia itu adalah sebagai negara yang bertumpu pada diplomasi ekonomi, maka penggabungan dua departemen itu jadi relevan," ujarnya.
Hikmahanto mengingatkan, urusan kebijakan luar negeri, tidak hanya soal ekonomi, namun juga politik, pertahanan dan lainnya. Jika Indonesia ingin menjadikan semua kebijakan luar negeri termasuk eskpor impor menjadi satu tangan, kata dia, maka penggabungan bisa saja dilakukan.
"Namun yang pasti agak repot kalau pemerintah kita lakukan itu. Saya belum tahu bagaimana strukturnya nanti, tetapi tidak semua Direktorat Jenderal di Kemendag bisa masuk ke Kemenlu. Ini akan menjadi beban bagi siapapun yang memimpin (menterinya)," ujarnya.
Selain itu, Hikmanto juga memprediksi implementasi penggabungan harus diantisipasi bukan hanya 1-2 tahun masa transisi, tetapi bisa berefek jangka panjang. Karena ada perubahan mindset dan kultur, resistensi di internal, dan lainnya.
"Misalnya sekarang pejabat eselon 1 (Dirjen) di kemenlu ada 7, nanti bisa menciut. Lalu apakah orang-orang yang dulu di Kemendag bisa menjabat Dirjen nantinya, ini akan memunculkan kecemburuan. Hal-hal seperti itu harus dilihat dan diantisipasi," tuturnya.
Di hubungi terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Bhima Yudhistira menilai bahwa wacana penggabungan Kemenlu dengan Kemendag bukan sebagai solusi untuk memperbaiki perekonomian.
"Masalah perdagangan ini kan masalah lintas sektoral, belum tentu jika digabungkan akan berdampak kepada kerja perkonomian, ekspor khususnya. Belum akan terlihat dalam jangka waktu pendek. Apalagi tahun depan diprediksi akan terjadi resesi ekonomi global," ungkap Bhima.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi