“Penanganan Banjir Harus Ada Progres”, “Intensitas Curah Hujan Kembali Tinggi”, “Banjir di Jalintim Capai 50 cm”, “Mobil Kecil Disarankan Tak Melintas”, “Di Kuantan Mudik 102 Rumah Terdampak Banjir”, “Akses Jalan Sempat Putus”. Demikian judul berita Harian Riau Pos pada edisi Selasa, 28 Februari 2025. Sehari sebelumnya, Senin, 27 Februari juga menurunkan berita, “Banjir di Jalan Sudirman Ujung Pekanbaru Kembali Terjadi”, “Warga Desa Buluh Cina yang Terdampak Banjir Belum Mendapatkan Bantuan”. Dan masih banyak lagi berita berkaitan banjir jika kita tuliskan, yang terjadi di ibukota Pekanbaru dan kabupaten/kota lainnya di Riau. Fenomena ini sebenarnya adalah fenomena alami di Riau sejak lama, yang berkaitan dengan intensitas curah hujan yang tinggi dan kontur daerah yang relatif rendah dan banyak dialiri aliran sungai besar, seperti Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Indragiri dan sungai kecil lainnya yang tersebar hampir merata di Riau.
Oleh karena itu, peristiwa banjir di Riau adalah peristiwa rutin yang tidak asing bagi warga Riau sejak berzaman lagi. Bahkan dahulunya kejadian banjir seperti sudah “ditunggu” kehadirannya oleh warga masyarakat sebagai salah satu “ritual” yang digemari khususnya bagi kalangan anak-anak dan remaja dan juga mungkin sebagai nostalgia bagi orang dewasa dan lansia. Mengapa bisa begitu? Pertama, peristiwa banjir adalah kesempatan bagi anak-anak dan remaja untuk bermain air dan berenang di genangan banjir dan bermain sampan/perahu bersama teman dan rekan sebaya. Selain bermain sampan atau berenang, peristiwa banjir juga dapat dilakukan anak-anak dengan bermain sampan-sampan dari pelepah dahan daun pisang yang diberi tali di sungai yang mengalir deras karena banjir. Ketika banjir biasanya juga dengan terpaksa sekolah diliburkan, sehingga akan menambah semarak anak-anak untuk bermain dan berlibur ria, yang biasanya bisa mencapai tiga hari bahkan lebih. Anak-anak dan para guru dapat jatah libur gratis, dan semuanya dapat dimaklumi.
Kedua, kejadian banjir pada masa dulu juga kesempatan untuk berburu berbagai macam unggas, khususnya burung puyuh yang tidak bisa terbang tinggi dan jauh untuk menghindari banjir yang mengenai habitatnya. Selain itu, tentunya kesempatan dan peluang untuk menangkap berbagai macam jenis ikan (seperti menjaring atau memasang tajur) yang biasanya secara alami banyak bermunculan ikan seirama dengan datangnya genangan air yang melimpah ruah.
Ketiga, merupakan momen untuk mencari berbagai jenis kayu-kayuan untuk keperluan rumah tangga, seperti mencari kayu bakar, kayu untuk pagar rumah dan bahan dasar untuk pembuatan rumah. Sebab, dengan adanya banjir akan memudahkan pengangkutan material dengan menggunakan perahu/sampan, yang biasnya diangkut menggunakan tenaga manusia dengan cara dipikul atau ditarik melalui tenaga hewan (kerbau).
Keempat, banjir juga secara langsung memberikan berkah kepada manusia dengan adanya humus yang dibawanya dari hulu yang akan menambah kesuburan daerah yang terkena banjir. Selain itu, banjir juga adalah cara alami untuk membunuh berbagai jenis hama dan binatang yang merusak dan mengganggu pertanian, seperti serangga, tikus, ular dan yang lainnya. Dalam konteks ini, banjir adalah siklus alam yang memang diperlukan secara langsung dan tidak langsung di dalam menuju keseimbangan ekosistem.
Jika kita analisis lebih jauh, pada hakekatnya banjir adalah sesuatu fenomena alam biasa dan tidak ada masalah berarti dan justru diperlukan untuk keseimbangan alam. Yang menjadi masalah sekarang, adalah karena banjir dewasa ini banyak terjadi pada tempat tinggal manusia, baik di desa maupun di perkotaan. Keadaan banjir bertambah krusial lagi, karena intensitas curah hujan yang semakin tinggi dan durasi yang lebih lama dan tidak menentu, akibat adanya fenomena lain yaitu global warming yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim (climate change) yang melanda hampir seluruh penjuru dunia, dan sekarang sudah menjadi isu lingkungan global.
Selain faktor curah hujan tinggi, banjir juga diperparah dengan semakin berkurangnya tutupan lahan baik berupa hutan ataupun ruang terbuka hijau (RTH), sehingga air hujan tidak mampu untuk diserap oleh tanah/lahan, yang mengakibatkan genangan air. Genangan air juga lambat mengalir, karena kekurangan saluran air berupa drainase. Di daerah perkotaan keadaan bisa makin runyam akibat tumpukan sampah yang tidak terangkut, yang kemudian masuk ke drainase, parit dan selokan yang kemudian menghambat aliran air ke tempat yang lebih rendah. Akibatnya genangan air akan semakin meluas dan tertahan dalam tempo yang lebih lama (tidak terserap tanah dan lambat mengalir). Artinya banjir semakin meluas dan durasi banjir yang semakin bertambah. Lazimnya banjir kota akibat hujan deras berlangsung 1 hingga 3 jam, yang kemudian akan surut dan normal kembali. Namun sekarang, karena berbagai faktor internal (kualitas drainase, kekurangan RTH, tumpukan sampah) dan faktor eksternal (perubahan iklim dan inteniitas curah hujan) kejadian banjir perkotaan bisa melebihi tiga jam bahkan sampai 24 jam atau lebih.
Mitigasi dan Adaptasi
Mencermati fenomena alam ini, terdapat dua startegi atau langkah untuk mengatasinya, yang telah bannyak dibahas oleh para pakar dan akademisi, yaitu langkah mitigasi (pencegahan) dan adaptasi. Karena bagaimanapun peristiwa banjir tidak bisa dihentikan dan bahkan intensitasnya akan semakin tinggi, seirama dengan global warming yang juga terus menaik dan tidak bisa distop. Yang bisa dilakukan adalah memperlambat laju kenaikan global warming.
Langkah mitigasi yang dapat dilakukan dapat terbagi kepada dua, yaitu secara teknis dan non-teknis. Secara teknis dilakukan dengan pendekatan yang sistematis, terstruktur dan terukur seperti dengan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) yang mencukupi, minimal 30 persen dari total keluasan kawasan untuk daerah perkotaan, yang terdiri dari RTH private (pribadi) dan RTH umum (public). RTH private seperti taman rumah, gedung, perkantoran. RTH public meliputi taman kota, hutan kota, kuburan, dan yang lainnya.
Cara lainnya, adalah dengan penanaman pohon (reboisasi) dan penghijauan untuk lahan kritis dan mempertahankan keluasan hutan yang masih tersisa. Sebab, hutan mempunyai banyak fungsi untuk kelestarian lingkungan, termasuk untuk mencegah kejadian banjir dengan kemampuan hutan untuk menyerap air ketika hujan dan membasahkan tanah ketika musim kemarau. Hutan juga berfungsi dalam penyediaan oksigen melalui fotosintesis dari dedaunan pohon yang menumbuhi hutan. Bahkan lebih ekstrem lagi dikatakan bahwa hutan adalah paru-paru dunia.
Langkah seterusnya adalah dengan membangun drainase yang mencukupi (kuantitas) dan canggih (berkualitas). Drainase yang dibangun sesuai dengan debit air hujan dan intensitas curah hujan serta faktor lainnya, yang terukur secara scientific, meliputi kedalaman dan lebar drainase. Sehingga air hujan yang turun ke bumi dapat untuk dialirkan ke tempat penampungan yang telah disediakan dan mengalir ke tempat yang lebih rendah, di samping yang diserap oleh bumi (tanah). Setali dengan drainase, adalah adanya pengelolaan sampah yang berkualitas, sehingga tumpukan sampah dapat untuk dicegah dan dihindari yang mana hal ini jika tidak dikelola dengan baik, akan dapat menyebabkan drainase/parit/selokan yang tersumbat akibat tumpukan sampah yang semakin menggunung.
Sementara langkah adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun rumah atau perkantoran di kawasan yang lebih tinggi (bebas banjir), atau dengan membangun rumah panggung (bertiang tinggi) untuk mengantisipasi banjir yang akan terjadi. Pembangunan rumah panggung, khususnya di kawasan perdesaan dapat untuk digalakkan lagi, tentu dengan desain yang lebih modern dan kekinian. Secara tidak langsung ini juga menunjukkan kepedulian terhadap tradisi dan budaya lokal yang lebih arif (local wisdom) yang kini banyak digaungkan.
Langkah berikutnya adalah dengan persediaan perahu/sampan setiap rumah untuk antisipasi dan beradaptasi dengan alam ketika banjir tiba. Ketika banjir, alat transportasi berganti dari kendaraan bermotor (roda dua dan empat) kepada perahu/sampan dan boat. Sehingga semua aktvitas keseharian dapat tetap berjalan normal. Setali dengan ini, adalah mengajarkan kepada generasi muda untuk berenang dan familiar dengan air. Sehingga jika terjadi keadaan darurat seperti banjir mendadak sudah ada sedikit bekal untuk menghadapinya.
Strategi non-teknis yang dapat dilakukan adalah dengan menggalakkan pendidikan lingkungan (environmental education) yang terprogram dan berkelanjutan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mencintai dan melestarikan lingkungan. Idealnya pendidikan lingkungan ini dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT). Selain itu, pendidikan informal melalui penyuluhan dan pelatihan (training) secara berkala perlu juga dilakukan untuk menyasar masyarakat yang tidak lagi bersekolah atau yang putus sekolah, untuk tetap peduli dan mencintai lingkungan.
Termasuk dalam kategori non-teknis adalah undang-undang dan peraturan yang berkaitan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk sanksi bagi yang melanggarnya. Persyaratan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) bagi pembangunan yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan perlu untuk lebih dipermantap lagi. Tidak hanya sekadar pemenuhan syarat pembangunan saja, tapi betul-betul mencerminkan realita di lapangan. Jika memang tidak layak menurut kajian amdal, jangan ragu dan silau untuk tidak memberikan rekomendasi pembangunan.
Mari kita untuk hidup bersahabat dengan alam. Pembangunan yang kita lakukan di berbagai aspek kehidupan manusia, seboleh-bolehnya dapat untuk memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sumberdaya alam. Ekonomi tumbuh dan berkembang. Harmonisasi sosial terpancar dalam kehidupan bermasyarakat. Dan dalam masa yang sama lingkungan hidup dan sumber daya alam dapat untuk dilestarikan. Semoga Indonesia Emas 2024 dapat terwujud. Aamiin.***
Apriyan D Rakhmat, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas
Islam Riau