ALHAMDULILLAH, Ramadan 1446 H kembali hadir menemui umat Islam seluruh penjuru dunia. Kebahagiaan tiada tara berselimut rindu yang tak bertepi. Sebab, perintah puasa diawali ketika Allah memanggil hamba-Nya dengan panggilan kemuliaan. Panggilan yang tak semua manusia mampu mendapatkanya. Panggilan kemuliaan terhadap hamba-Nya yang beriman ini seyogyanya disahuti oleh hamba dengan kata “Engkau dapati aku hamba-Mu yang bertakwa”.
Hanya saja, meski Ramadan menghadirkan cinta-Nya yang tak berujung, namun sikap manusia dalam menyikapinya terpetakan dalam tiga tipologi, yaitu: Pertama, Ramadan memperkokoh dan mengunci iman hakiki. Sebab, Ramadan kembali dihadirkan karena cinta Allah pada manusia. Pada dimensi ini, seorang hamba wajib menyukuri kasih sayang Allah yang menghadirkan Ramadan sebagai media menambah bekal amaliah yang akan dibawa kelak di akhirat.
Kehadirannya disambut dengan kebahagiaan tiada tara. Setiap detik Ramadan bagai tetesan air yang berasal dari surga-Nya yang senantiasa dinantikan kenikmatannya. Ia sadar, kehadiran Ramadan membawa pakaian kemuliaan. Ketika hamba pilihan mampu meraihnya, maka “pakaian” rahmat Allah akan menghantarkannya meraih kualitas hamba-Nya yang bertakwa. Hal ini sesuai firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 183).
Bagi manusia pemilik tipologi ini, Ramadan hadir sebagai kesempatan “pelebur dosa” dan memperkokoh imannya. Melalui proses ini, karat diri yang tak berbentuk manusia akan berubah menjadi hamba-Nya yang taat. Ia hadir bagai diri bak seekor ulat. Meski hina, kotor, dan menjijikkan, namun berupaya menjadi lebih baik.
Untuk itu, Ramadan hadir melelehkan kotornya diri agar berubah menjadi kepompong (metamorfosis) yang secara berproses menghadirkan kupu-kupu indah yang berwarna-warni. Bila mati, ia akan tetap mempertahankan keindahan warna, tanpa pernah kembali menjadi ulat lagi.
Kedua, Ramadan mengembalikan keimanan yang tercecer. Ramadan dihadirkan karena kualitas dosa yang menumpuk. Untuk itu, Allah menghadirkan Ramadan agar mengikis dosa dengan amal kebajikan. Bagi hamba yang sadar, maka peluang ampunan dan pahala akan dikejar arau diraih. Tapi, bagi hamba yang ingkar, maka peluang ampunan hanya sebatas pepatah “bagai makan cabai”. Begitu pedasnya hilang, cabai tetap dicari dan dimakan.
Demikian kualitas keimanan hamba acapkali tidak konsisten. Keimanan kalanya bak “baling-baling di puncak bukit”. Semua tergantung ke mana arah angin menerpa. Ketika Ramadan hadir, ia jadikan sebagai wujud “kesadaran” atas dosa (zalim, khianat, korupsi, munafik, dan mempermain-kan ajaran agama-Nya) yang selama ini dilakukan.
Namun, ketika Ramadan berlalu, sifat sebelumnya akan kembali menggerogoti-nya. Sungguh, ia hanya mampu bertemu dengan Ramadan, tanpa pernah kenal dan “berdialog” dengan Ramadan. Ia hanya mampu menghadirkan jasad (haus dan lapar), tanpa mampu menyadarkan dimensi ruh penghambaan. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Berapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga” (HR. an-Nasai dan Ibnu Majah).
Manusia tipikal di atas merupakan hamba yang merugi. Ia hanya puasa secara zahir dengan aksesoris amaliah tanpa keikhlasan. Ia hanya sebatas mengisi Ramadan untuk menampilkan kesalehan untuk menutupi kesalahan yang disembunyikan. Tipikal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar” (QS al-Munafiqun: 4).
Menurut Ibnu Katsir, melalui ayat di atas Allah menceritakan perihal orang-orang munafik. Mereka hanya mengakui Islam dengan mulut dan lahiriahnya saja. Sedangkan batinnya justru sebaliknya. Mereka berpenampilan layaknya orang baik, pandai berbicara, dan berlisan fasih (manis). Apabila perkataannya didengar, maka semua orang percaya dan terpesona. Padahal pada kenyataan hatinya kotor dan busuk oleh tipu muslihat (munafik).
Janji dan aksesorisnya seakan menghadirkan Allah, tapi hakikat sebenar prilaku dan hatinya tanpa beragama. Seakan, iman datang dan pergi tanpa jejak. Hadir dalam euforia dan pergi oleh kemilau pundi dunia. Semua bebas dilakukan. Sebab, puasa yang akan datang dianggap bisa membersihkan dosa yang telah dilakukan.
Ketiga, Ramadan tak berpengaruh atau menambah kadar iman sedikit juga. Bagi tipikal ini, Ramadan hadir tanpa rasa. Padahal, ia hadir sebagai wujud murka Allah. Meski diberikan kesempatan pengampunan, tapi tak pernah mau dipedulikan, bahkan Ramadan sebatas canda dan “permainan”.
Untuk itu, kelak mereka akan disiksa dengan azab yang pedih. Ketika itu, tak ada guna penyesalan. Sebab, Allah telah berulang kali menghadirkan Ramadan, tapi kerasnya kekufuran dan kejahilan diri membuat manusia tak mampu disentuh Ramadan. Untuk itu, Allah akan menjawab jeritan penyesalan manusia dengan firman-Nya: “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?” (QS. ar-Rahman).
Ibnu Katsir mengatakan, nikmat Allah tidak pernah absen dari kehidupan manusia, mulai dari kecil hingga besar. Ayat ini diulang sebanyak 31 kali sebagain teguran Allah atas seringnya manusia mengabaikan ajaran agama-Nya, mengingkari ayat-ayat-Nya, bahkan mengufuri atas semua nikmat yang telah diberikan-Nya.
Sungguh, bagi hamba yang bijak (takwa), kehadiran Ramadan merupakan wujud nikmat-Nya yang tak terhingga. Bagi hamba yang munafik, kehadiran Ramadan hanya sebatas upaya menutupi kesalahannya dengan menampilkan kesalehan aksesoris. Sementara bagi hamba yang ingkar (jahil), kehadiran Ramadan hanya sebatas rutinitas tanpa makna dan tak peduli semua perintah-Nya.
Sebab, prilaku dan hatinya tak pernah tersentuh atas kehadiran Ramadan. Tanpa rukhshah (alasan), manusia begitu bangga meninggalkan puasa dengan sengaja. Tak ada rasa malu yang tersisa. Prilaku manusia seperti ini dinukilkan oleh Rasulullah melalui sabdanya: “Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku, kedua-nya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku, “Naiklah!” Aku menjawab, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, maka aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang tergantung (terbalik) dengan urat-urat kaki mereka (di sebelah atas), ujung-ujung mulut mereka sobek mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Mereka menjawab, “Meraka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya” (HR. Nasâ’i).
Ramadan akan datang dan pergi selama sisa umur masih ada. Ramadan senantiasa konsisten membawa pesan kebajikan dan ampunan-Nya. Hanya saja, manusia yang acapkali berubah dalam menyikapi Ramadan. Pilihan tipologi hadir jelas di pelupuk mata. Hanya manusia bijak dan beriman yang berhasil berdialog dengan Ramadan. Dialog yang mampu memetik makna dan inti puasa untuk meraih takwa dan cinta-Nya.
Marhaban yaa Ramadan. Meski kalanya engkau disambut tanpa sapa atau disambut gegap gempita tapi tanpa mampu berkata takwa. Tapi, masih tersisa di kolong langit hamba-Nya yang selalu menantikanmu. Menantikan kehadiran Ramadan nan syahdu, teruntai harap derajat takwa dan keberkahan yang dijanjikan-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***