Selasa, 17 Juni 2025

Mussolini (4)

Penganut totalitarian — yang juga dianut oleh fasisme — tidak memandang kebebasan berpikir, berbicara, dan kemanusiaan sebagai hal yang harus dihargai dan dikedepankan. Kebebasan berpikir dan berbicara dianggap sebagai ancaman nyata bagi kekuasaan yang dibangun. Orang yang bebas berpikir dan berbicara bisa menjadi candu bagi yang lain dalam membangun kekuatan perlawanan.

Ini terjadi di mana-mana. Banyak gerakan sosial di berbagai negara — terutama di negara-negara modern — berawal dari kebebasan berpikir dan berbicara ini. Sejarah mencatat, misalnya, Revolusi Prancis berawal dari kedai kopi, dari obrolan orang-orang yang berpikir. Juga banyak peristiwa lainnya.

Persoalan kemanusiaan juga bukan hal yang dianggap penting. Sebab, menurut para penganutnya, rasa kemanusiaan muncul dari perasaan, dari hati. Dalam sebuah kekuasaan yang absolut, terlalu menjadikan perasaan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan justru akan melemahkan kekuasaan tersebut. Maka, jangan heran kalau ideologi yang mengagungkan totalitarian absolut banyak menafikan rasa kemanusiaan — dan ribuan hingga jutaan korban menjadi akibatnya.

Lihatlah bagaimana Nazi membantai jutaan orang; Pasukan Merah Stalin membantai begitu banyak rakyatnya sendiri; Pol Pot menyembelih rakyatnya tanpa ampun di Kamboja; Revolusi Kebudayaan Mao tak memberi ampun kepada mereka yang melawannya; dan banyak lagi kisah tentang darah yang mengalir karena kekuasaan absolut tersebut.

Benito Mussolini, yang sebelumnya menjadi pendukung sosialisme dengan cita-cita masyarakat tanpa kelas, sudah mempelajari persoalan kebebasan berpikir dan kemanusiaan ini dari karya begitu banyak filsuf yang dibacanya. Namun di masa berikutnya, ketika kekuasaan berada di tangannya — dan dia ingin menjadi superior dengan kekuasaan itu, serta melanggengkannya — dia lupa dengan banyak hal yang dipelajarinya itu. Intelektualnya terlucuti dengan sendirinya karena ambisi kuat untuk membangun kekuasaan absolut tersebut.

Dia lupa, Italia yang berbentuk monarki punya pemimpin tertinggi, yakni sang raja. Raja punya kekuasaan lebih absolut ketimbang perdana menteri sebagai pelaksana pemerintahan. Padahal, jejak intelektual Mussolini sangat terlihat di awal-awal dia menjadi bagian dari kelompok pergerakan di Italia.

Pada tahun 1910-an, dia adalah organisatoris sekaligus wartawan yang andal dan diperhitungkan. Pada masa ini, ia menerbitkan artikel berjudul Il Trentino veduto da un Socialista (“Trentino Sebagaimana Dipandang Seorang Sosialis”) dalam majalah radikal La Voce. Ia juga menulis beberapa esai tentang sastra Jerman, beberapa cerita, dan satu novel berjudul L’amante del Cardinale: Claudia Particella, romanzo storico (Simpanan Sang Uskup). Novel ini ia tulis bersama dengan Santi Corvaja dan diterbitkan sebagai buku seri dalam koran Trento, dengan judul di koran itu: Il Popolo. Buku seri itu terbit bertahap dari 20 Januari hingga 11 Mei 1910. Isi novel itu amat kritis terhadap kaum rohaniwan. Di masa depan, novel itu harus berhenti terbit setelah Mussolini berdamai dengan Vatikan.

Baca Juga:  Tragedi Amir

Ia kemudian menjadi salah satu sosialis paling terkenal di Italia. Pada bulan September 1911, Mussolini ikut dalam sebuah demonstrasi yang dipimpin oleh kaum sosialis untuk menentang perang Italia di Libya. Ironisnya, saat menjadi perdana menteri, justru dia menganeksasi Libya karena dianggap bagian dari kekuasaan Romawi di masa lalu.

Ia sangat menentang perang imperialis Italia, dan penentangan ini menyebabkannya dipenjara selama lima bulan. Setelah dibebaskan, ia mendorong pemecatan Ivanoe Bonomi dan Leonida Bissolati dari Partai Sosialis karena mereka berdua dianggap sebagai revisionis pendukung perang. Atas bantuan pemecatan itu, ia kemudian dihadiahi posisi sebagai editor in chief (pemimpin redaksi) dalam koran Partai Sosialis, Avanti!. Di bawah kepemimpinannya, sirkulasi koran ini naik dari 20.000 menjadi 100.000 eksemplar.

John Gunther, pada tahun 1940, menyebutnya sebagai “salah satu wartawan terbaik yang pernah hidup” di Eropa. Mussolini terus menjadi seorang wartawan ketika mempersiapkan Pawai ke Roma. Ia terus bekerja sebagai wartawan untuk Kantor Berita Hearst hingga tahun 1935.

Ia kenal dekat dengan buku-buku Marxis. Dalam berbagai tulisannya sendiri, ia tidak hanya mampu mengutip karya-karya Marxis terkenal, tetapi juga karya-karya yang relatif tidak dikenal. Dalam periode ini, ia menganggap dirinya sebagai seorang Marxis dan menggambarkan Marx sebagai “teoris terhebat dalam sosialisme”.

Sebelumnya, pada tahun 1913, ia menerbitkan Giovanni Hus, il veridico (Jan Hus, Rasul Sesungguhnya), sebuah biografi sejarah dan politik mengenai kehidupan dan misi reformer gereja Ceko, Jan Hus, serta para pengikutnya yang dijuluki kaum Husite. Dalam periode sosialis ini, Mussolini kadang menggunakan nama pena Vero Eretico (“Kafir yang Tulus”).

Baca Juga:  Kartosoewiryo (2)

Meski mengaku seorang Marxis, Mussolini menolak egalitarianisme, doktrin inti dalam sosialisme. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran anti-Kristen dan penyangkalan keberadaan Tuhan dari Nietzsche. Ia merasa bahwa sosialisme telah gagal, sebagaimana diperlihatkan oleh kegagalan determinisme Marxis dan reformisme demokratik sosial. Ia percaya bahwa pemikiran Nietzsche dapat memperkuat sosialisme.

Saat ia dekat dengan sosialisme, berbagai tulisan Mussolini menggambarkan bahwa ia telah meninggalkan Marxisme dan lebih mendukung konsep übermensch Nietzsche dan anti-egalitarianisme.

Pada 10 Juni 1940, Mussolini memutuskan untuk ikut berperang di pihak Poros. Meskipun pada awalnya ia sukses, kegagalan Poros di berbagai front dan invasi Sekutu di Sisilia menyebabkan Mussolini kehilangan dukungan masyarakat dan anggota Partai Fasis.

Sebagai hasilnya, pada dini hari 25 Juli 1943, Dewan Agung Fasisme mencanangkan mosi tidak percaya pada Mussolini. Di hari yang sama, Raja Vittorio Emanuele III memecatnya dari jabatan kepala pemerintahan, menahannya, lalu menggantikannya dengan Pietro Badoglio. Setelah raja setuju melakukan gencatan senjata dengan Sekutu, pada 12 September 1943, Mussolini diselamatkan dari penjara dalam serangan Gran Sasso oleh parasutis Jerman dan komando Waffen-SS yang dipimpin oleh Mayor Otto-Harald Mors.

Setelah bertemu kembali dengan Hitler, Mussolini ditempatkan sebagai pemimpin rezim boneka di utara Italia bernama Republik Sosial Italia (Repubblica Sociale Italiana, RSI), yang secara tidak resmi dikenal sebagai Republik Salo. Sebagai akibatnya, perang sipil meletus.

Pada akhir April 1945, sebelum akhirnya kalah secara total, Mussolini dan kekasih mudanya, Clara Petacci, mencoba kabur ke Swiss. Namun, keduanya tertangkap oleh partisan komunis Italia dan langsung dieksekusi di hadapan regu tembak pada 28 April 1945 di dekat Danau Como.

Jenazah Mussolini dan simpanannya kemudian dibawa ke Milano. Di sana, kedua jenazah itu digantung terbalik di sebuah stasiun pengisian bahan bakar agar semua orang bisa melihat bahwa mereka telah mati. Sebuah akhir tragis dari “penemu” fasisme yang jejaknya masih banyak diikuti hingga kini.

Penganut totalitarian — yang juga dianut oleh fasisme — tidak memandang kebebasan berpikir, berbicara, dan kemanusiaan sebagai hal yang harus dihargai dan dikedepankan. Kebebasan berpikir dan berbicara dianggap sebagai ancaman nyata bagi kekuasaan yang dibangun. Orang yang bebas berpikir dan berbicara bisa menjadi candu bagi yang lain dalam membangun kekuatan perlawanan.

Ini terjadi di mana-mana. Banyak gerakan sosial di berbagai negara — terutama di negara-negara modern — berawal dari kebebasan berpikir dan berbicara ini. Sejarah mencatat, misalnya, Revolusi Prancis berawal dari kedai kopi, dari obrolan orang-orang yang berpikir. Juga banyak peristiwa lainnya.

Persoalan kemanusiaan juga bukan hal yang dianggap penting. Sebab, menurut para penganutnya, rasa kemanusiaan muncul dari perasaan, dari hati. Dalam sebuah kekuasaan yang absolut, terlalu menjadikan perasaan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan justru akan melemahkan kekuasaan tersebut. Maka, jangan heran kalau ideologi yang mengagungkan totalitarian absolut banyak menafikan rasa kemanusiaan — dan ribuan hingga jutaan korban menjadi akibatnya.

Lihatlah bagaimana Nazi membantai jutaan orang; Pasukan Merah Stalin membantai begitu banyak rakyatnya sendiri; Pol Pot menyembelih rakyatnya tanpa ampun di Kamboja; Revolusi Kebudayaan Mao tak memberi ampun kepada mereka yang melawannya; dan banyak lagi kisah tentang darah yang mengalir karena kekuasaan absolut tersebut.

Benito Mussolini, yang sebelumnya menjadi pendukung sosialisme dengan cita-cita masyarakat tanpa kelas, sudah mempelajari persoalan kebebasan berpikir dan kemanusiaan ini dari karya begitu banyak filsuf yang dibacanya. Namun di masa berikutnya, ketika kekuasaan berada di tangannya — dan dia ingin menjadi superior dengan kekuasaan itu, serta melanggengkannya — dia lupa dengan banyak hal yang dipelajarinya itu. Intelektualnya terlucuti dengan sendirinya karena ambisi kuat untuk membangun kekuasaan absolut tersebut.

Dia lupa, Italia yang berbentuk monarki punya pemimpin tertinggi, yakni sang raja. Raja punya kekuasaan lebih absolut ketimbang perdana menteri sebagai pelaksana pemerintahan. Padahal, jejak intelektual Mussolini sangat terlihat di awal-awal dia menjadi bagian dari kelompok pergerakan di Italia.

Pada tahun 1910-an, dia adalah organisatoris sekaligus wartawan yang andal dan diperhitungkan. Pada masa ini, ia menerbitkan artikel berjudul Il Trentino veduto da un Socialista (“Trentino Sebagaimana Dipandang Seorang Sosialis”) dalam majalah radikal La Voce. Ia juga menulis beberapa esai tentang sastra Jerman, beberapa cerita, dan satu novel berjudul L’amante del Cardinale: Claudia Particella, romanzo storico (Simpanan Sang Uskup). Novel ini ia tulis bersama dengan Santi Corvaja dan diterbitkan sebagai buku seri dalam koran Trento, dengan judul di koran itu: Il Popolo. Buku seri itu terbit bertahap dari 20 Januari hingga 11 Mei 1910. Isi novel itu amat kritis terhadap kaum rohaniwan. Di masa depan, novel itu harus berhenti terbit setelah Mussolini berdamai dengan Vatikan.

Baca Juga:  Saya San

Ia kemudian menjadi salah satu sosialis paling terkenal di Italia. Pada bulan September 1911, Mussolini ikut dalam sebuah demonstrasi yang dipimpin oleh kaum sosialis untuk menentang perang Italia di Libya. Ironisnya, saat menjadi perdana menteri, justru dia menganeksasi Libya karena dianggap bagian dari kekuasaan Romawi di masa lalu.

Ia sangat menentang perang imperialis Italia, dan penentangan ini menyebabkannya dipenjara selama lima bulan. Setelah dibebaskan, ia mendorong pemecatan Ivanoe Bonomi dan Leonida Bissolati dari Partai Sosialis karena mereka berdua dianggap sebagai revisionis pendukung perang. Atas bantuan pemecatan itu, ia kemudian dihadiahi posisi sebagai editor in chief (pemimpin redaksi) dalam koran Partai Sosialis, Avanti!. Di bawah kepemimpinannya, sirkulasi koran ini naik dari 20.000 menjadi 100.000 eksemplar.

John Gunther, pada tahun 1940, menyebutnya sebagai “salah satu wartawan terbaik yang pernah hidup” di Eropa. Mussolini terus menjadi seorang wartawan ketika mempersiapkan Pawai ke Roma. Ia terus bekerja sebagai wartawan untuk Kantor Berita Hearst hingga tahun 1935.

Ia kenal dekat dengan buku-buku Marxis. Dalam berbagai tulisannya sendiri, ia tidak hanya mampu mengutip karya-karya Marxis terkenal, tetapi juga karya-karya yang relatif tidak dikenal. Dalam periode ini, ia menganggap dirinya sebagai seorang Marxis dan menggambarkan Marx sebagai “teoris terhebat dalam sosialisme”.

Sebelumnya, pada tahun 1913, ia menerbitkan Giovanni Hus, il veridico (Jan Hus, Rasul Sesungguhnya), sebuah biografi sejarah dan politik mengenai kehidupan dan misi reformer gereja Ceko, Jan Hus, serta para pengikutnya yang dijuluki kaum Husite. Dalam periode sosialis ini, Mussolini kadang menggunakan nama pena Vero Eretico (“Kafir yang Tulus”).

Baca Juga:  Saya San (2)

Meski mengaku seorang Marxis, Mussolini menolak egalitarianisme, doktrin inti dalam sosialisme. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran anti-Kristen dan penyangkalan keberadaan Tuhan dari Nietzsche. Ia merasa bahwa sosialisme telah gagal, sebagaimana diperlihatkan oleh kegagalan determinisme Marxis dan reformisme demokratik sosial. Ia percaya bahwa pemikiran Nietzsche dapat memperkuat sosialisme.

Saat ia dekat dengan sosialisme, berbagai tulisan Mussolini menggambarkan bahwa ia telah meninggalkan Marxisme dan lebih mendukung konsep übermensch Nietzsche dan anti-egalitarianisme.

Pada 10 Juni 1940, Mussolini memutuskan untuk ikut berperang di pihak Poros. Meskipun pada awalnya ia sukses, kegagalan Poros di berbagai front dan invasi Sekutu di Sisilia menyebabkan Mussolini kehilangan dukungan masyarakat dan anggota Partai Fasis.

Sebagai hasilnya, pada dini hari 25 Juli 1943, Dewan Agung Fasisme mencanangkan mosi tidak percaya pada Mussolini. Di hari yang sama, Raja Vittorio Emanuele III memecatnya dari jabatan kepala pemerintahan, menahannya, lalu menggantikannya dengan Pietro Badoglio. Setelah raja setuju melakukan gencatan senjata dengan Sekutu, pada 12 September 1943, Mussolini diselamatkan dari penjara dalam serangan Gran Sasso oleh parasutis Jerman dan komando Waffen-SS yang dipimpin oleh Mayor Otto-Harald Mors.

Setelah bertemu kembali dengan Hitler, Mussolini ditempatkan sebagai pemimpin rezim boneka di utara Italia bernama Republik Sosial Italia (Repubblica Sociale Italiana, RSI), yang secara tidak resmi dikenal sebagai Republik Salo. Sebagai akibatnya, perang sipil meletus.

Pada akhir April 1945, sebelum akhirnya kalah secara total, Mussolini dan kekasih mudanya, Clara Petacci, mencoba kabur ke Swiss. Namun, keduanya tertangkap oleh partisan komunis Italia dan langsung dieksekusi di hadapan regu tembak pada 28 April 1945 di dekat Danau Como.

Jenazah Mussolini dan simpanannya kemudian dibawa ke Milano. Di sana, kedua jenazah itu digantung terbalik di sebuah stasiun pengisian bahan bakar agar semua orang bisa melihat bahwa mereka telah mati. Sebuah akhir tragis dari “penemu” fasisme yang jejaknya masih banyak diikuti hingga kini.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Bona Malwal (2)

Dele Giwa

Perlawanan

Marga Tjoa

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

Penganut totalitarian — yang juga dianut oleh fasisme — tidak memandang kebebasan berpikir, berbicara, dan kemanusiaan sebagai hal yang harus dihargai dan dikedepankan. Kebebasan berpikir dan berbicara dianggap sebagai ancaman nyata bagi kekuasaan yang dibangun. Orang yang bebas berpikir dan berbicara bisa menjadi candu bagi yang lain dalam membangun kekuatan perlawanan.

Ini terjadi di mana-mana. Banyak gerakan sosial di berbagai negara — terutama di negara-negara modern — berawal dari kebebasan berpikir dan berbicara ini. Sejarah mencatat, misalnya, Revolusi Prancis berawal dari kedai kopi, dari obrolan orang-orang yang berpikir. Juga banyak peristiwa lainnya.

Persoalan kemanusiaan juga bukan hal yang dianggap penting. Sebab, menurut para penganutnya, rasa kemanusiaan muncul dari perasaan, dari hati. Dalam sebuah kekuasaan yang absolut, terlalu menjadikan perasaan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan justru akan melemahkan kekuasaan tersebut. Maka, jangan heran kalau ideologi yang mengagungkan totalitarian absolut banyak menafikan rasa kemanusiaan — dan ribuan hingga jutaan korban menjadi akibatnya.

Lihatlah bagaimana Nazi membantai jutaan orang; Pasukan Merah Stalin membantai begitu banyak rakyatnya sendiri; Pol Pot menyembelih rakyatnya tanpa ampun di Kamboja; Revolusi Kebudayaan Mao tak memberi ampun kepada mereka yang melawannya; dan banyak lagi kisah tentang darah yang mengalir karena kekuasaan absolut tersebut.

Benito Mussolini, yang sebelumnya menjadi pendukung sosialisme dengan cita-cita masyarakat tanpa kelas, sudah mempelajari persoalan kebebasan berpikir dan kemanusiaan ini dari karya begitu banyak filsuf yang dibacanya. Namun di masa berikutnya, ketika kekuasaan berada di tangannya — dan dia ingin menjadi superior dengan kekuasaan itu, serta melanggengkannya — dia lupa dengan banyak hal yang dipelajarinya itu. Intelektualnya terlucuti dengan sendirinya karena ambisi kuat untuk membangun kekuasaan absolut tersebut.

Dia lupa, Italia yang berbentuk monarki punya pemimpin tertinggi, yakni sang raja. Raja punya kekuasaan lebih absolut ketimbang perdana menteri sebagai pelaksana pemerintahan. Padahal, jejak intelektual Mussolini sangat terlihat di awal-awal dia menjadi bagian dari kelompok pergerakan di Italia.

Pada tahun 1910-an, dia adalah organisatoris sekaligus wartawan yang andal dan diperhitungkan. Pada masa ini, ia menerbitkan artikel berjudul Il Trentino veduto da un Socialista (“Trentino Sebagaimana Dipandang Seorang Sosialis”) dalam majalah radikal La Voce. Ia juga menulis beberapa esai tentang sastra Jerman, beberapa cerita, dan satu novel berjudul L’amante del Cardinale: Claudia Particella, romanzo storico (Simpanan Sang Uskup). Novel ini ia tulis bersama dengan Santi Corvaja dan diterbitkan sebagai buku seri dalam koran Trento, dengan judul di koran itu: Il Popolo. Buku seri itu terbit bertahap dari 20 Januari hingga 11 Mei 1910. Isi novel itu amat kritis terhadap kaum rohaniwan. Di masa depan, novel itu harus berhenti terbit setelah Mussolini berdamai dengan Vatikan.

Baca Juga:  Salvador

Ia kemudian menjadi salah satu sosialis paling terkenal di Italia. Pada bulan September 1911, Mussolini ikut dalam sebuah demonstrasi yang dipimpin oleh kaum sosialis untuk menentang perang Italia di Libya. Ironisnya, saat menjadi perdana menteri, justru dia menganeksasi Libya karena dianggap bagian dari kekuasaan Romawi di masa lalu.

Ia sangat menentang perang imperialis Italia, dan penentangan ini menyebabkannya dipenjara selama lima bulan. Setelah dibebaskan, ia mendorong pemecatan Ivanoe Bonomi dan Leonida Bissolati dari Partai Sosialis karena mereka berdua dianggap sebagai revisionis pendukung perang. Atas bantuan pemecatan itu, ia kemudian dihadiahi posisi sebagai editor in chief (pemimpin redaksi) dalam koran Partai Sosialis, Avanti!. Di bawah kepemimpinannya, sirkulasi koran ini naik dari 20.000 menjadi 100.000 eksemplar.

John Gunther, pada tahun 1940, menyebutnya sebagai “salah satu wartawan terbaik yang pernah hidup” di Eropa. Mussolini terus menjadi seorang wartawan ketika mempersiapkan Pawai ke Roma. Ia terus bekerja sebagai wartawan untuk Kantor Berita Hearst hingga tahun 1935.

Ia kenal dekat dengan buku-buku Marxis. Dalam berbagai tulisannya sendiri, ia tidak hanya mampu mengutip karya-karya Marxis terkenal, tetapi juga karya-karya yang relatif tidak dikenal. Dalam periode ini, ia menganggap dirinya sebagai seorang Marxis dan menggambarkan Marx sebagai “teoris terhebat dalam sosialisme”.

Sebelumnya, pada tahun 1913, ia menerbitkan Giovanni Hus, il veridico (Jan Hus, Rasul Sesungguhnya), sebuah biografi sejarah dan politik mengenai kehidupan dan misi reformer gereja Ceko, Jan Hus, serta para pengikutnya yang dijuluki kaum Husite. Dalam periode sosialis ini, Mussolini kadang menggunakan nama pena Vero Eretico (“Kafir yang Tulus”).

Baca Juga:  Tragedi Amir

Meski mengaku seorang Marxis, Mussolini menolak egalitarianisme, doktrin inti dalam sosialisme. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran anti-Kristen dan penyangkalan keberadaan Tuhan dari Nietzsche. Ia merasa bahwa sosialisme telah gagal, sebagaimana diperlihatkan oleh kegagalan determinisme Marxis dan reformisme demokratik sosial. Ia percaya bahwa pemikiran Nietzsche dapat memperkuat sosialisme.

Saat ia dekat dengan sosialisme, berbagai tulisan Mussolini menggambarkan bahwa ia telah meninggalkan Marxisme dan lebih mendukung konsep übermensch Nietzsche dan anti-egalitarianisme.

Pada 10 Juni 1940, Mussolini memutuskan untuk ikut berperang di pihak Poros. Meskipun pada awalnya ia sukses, kegagalan Poros di berbagai front dan invasi Sekutu di Sisilia menyebabkan Mussolini kehilangan dukungan masyarakat dan anggota Partai Fasis.

Sebagai hasilnya, pada dini hari 25 Juli 1943, Dewan Agung Fasisme mencanangkan mosi tidak percaya pada Mussolini. Di hari yang sama, Raja Vittorio Emanuele III memecatnya dari jabatan kepala pemerintahan, menahannya, lalu menggantikannya dengan Pietro Badoglio. Setelah raja setuju melakukan gencatan senjata dengan Sekutu, pada 12 September 1943, Mussolini diselamatkan dari penjara dalam serangan Gran Sasso oleh parasutis Jerman dan komando Waffen-SS yang dipimpin oleh Mayor Otto-Harald Mors.

Setelah bertemu kembali dengan Hitler, Mussolini ditempatkan sebagai pemimpin rezim boneka di utara Italia bernama Republik Sosial Italia (Repubblica Sociale Italiana, RSI), yang secara tidak resmi dikenal sebagai Republik Salo. Sebagai akibatnya, perang sipil meletus.

Pada akhir April 1945, sebelum akhirnya kalah secara total, Mussolini dan kekasih mudanya, Clara Petacci, mencoba kabur ke Swiss. Namun, keduanya tertangkap oleh partisan komunis Italia dan langsung dieksekusi di hadapan regu tembak pada 28 April 1945 di dekat Danau Como.

Jenazah Mussolini dan simpanannya kemudian dibawa ke Milano. Di sana, kedua jenazah itu digantung terbalik di sebuah stasiun pengisian bahan bakar agar semua orang bisa melihat bahwa mereka telah mati. Sebuah akhir tragis dari “penemu” fasisme yang jejaknya masih banyak diikuti hingga kini.

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari