Senin, 20 Mei 2024

Tantangan Kesetaraan Gender

Choose to Challenge’ atau ‘Memilih untuk Menantang’ merupakan tema yang diusung pada peringatan Hari Perempuan Internasional Tahun 2021. Tema ini memiliki makna  seruan kepada semua pihak untuk menantang dan menyerukan tentang bias dan ketidaksetaraan gender, serta merayakan pencapaian perempuan.

Isu kesetaraan gender di Indonesia maupun di Riau menjadi isu menarik dan hangat baik di media cetak maupun elektronik. Kenapa permasalahan ini begitu menarik? Salah satu tujuan dalam SDG’s (Sustainable Development Goals) di antaranya adalah adanya kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan dengan sasaran menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa serta sunat perempuan. Akan tetapi sampai hari ini fakta menunjukkan upaya penyetaraan gender di Indonesia terutama di Riau masih harus melalui tantangan berupa semakin menurunnya Indeks Pembangunan Gender. Mengacu data BPS pada tahun 2020 terjadi penurunan  sebesar 0,29, dari 88,43 pada tahun 2019 menjadi hanya 88,14 pada tahun 2020.

Yamaha

 Tantangan upaya penyetaraan gender masih harus dilalui di antaranya berupa persoalan kualitas kehidupan perempuan di mana perkawinan perempuan usia anak yang masih tinggi. Sebanyak 8,30 persen perempuan usia 20-24 tahun yang berstatus kawin pada tahun 2019, usia perkawinan  pertamanya ternyata sebelum usia 18 tahun. Padahal pada tahun 2018 persentasenya lebih rendah, yaitu sebesar 7,93 persen. Kondisi ini memiliki arti sekitar 8 dari 100 perempuan usia 20-24 tahun di riau menikah sebelum usia 18 tahun. 

Baca Juga:  Pendaftaran Tanah untuk Jaminan Kepastian Hukum

Berkaca pada kondisi di atas, pernikahan dini ternyata telah memupus harapan perempuan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Seyogyanya upaya perempuan untuk bersekolah lebih tinggi adalah sebuah keniscayaan agar perempuan semakin mampu untuk bersaing agar setara dengan laki-laki. Potret BPS pada tahun 2020, ternyata rata-rata lama sekolah perempuan masih sekitar 8,87, pada hal rata-rata lama sekolah laki-laki telah mencapai 9,40.

Perkawinan perempuan usia anak yang terjadi di Indonesia maupun di Riau mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan yang mereka peroleh. Kondisi ini telah menghapus kesempatan emas mereka untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka secara mandiri, serta memperkecil peluang perempuan untuk mampu setara dengan lelaki. Kondisi ini belum ditambah dengan segudang problematika seperti sulitnya mereka terserap dalam pekerjaan formal sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan yang pada akhirnya mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah perkawinan perempuan usia anak sangat mengancam kesehatan perempuan dan anak. Kondisi anak yang dilahirkan bisa mengalami gizi buruk dan stunting serta rentan  mengalami kematian ibu muda melahirkan (maternal mortality).

- Advertisement -
Baca Juga:  Pilkada dan Kearifan Lokal Riau

Tidak jauh berbeda dengan Riau, praktik pernikahan anak di seluruh Indonesia juga terjadi. Proporsi wanita muda yang menikah saat masih anak-anak pada tahun 2019 mencapai 10,82 persen. Artinya sekitar sekitar 11 dari 100 perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Bahkan masih terdapat sekitar 0,57 persen perempuan muda di indonesia yang menikah sebelum umur 15 tahun.

Melihat fenomena di atas, pemerintah harus secara tegas memberlakukan undang-undang yang menaikkan ambang batas minimal usia menikah bagi perempuan. Pengawasan terhadap adanya upaya menaikkan umur perempuan saat mendaftarkan pernikahan juga harus dilakukan. Langkah pengawasan ini juga harus dibarengi dengan sanksi yang tegas bagi siapapun yang berupaya mendaftarkan umur perempuan yang tidak sebenarnya sehingga lolos dan mendapatkan izin untuk melakukan pernikahan.

- Advertisement -

Besar harapan kita, dengan pengawasan ketat ambang batas usia menikah, setidaknya perempuan akan lebih memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan perempuan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, maka perempuan-perempuan di Riau dan Indonesia akan mampu dan berkesempatan ikut bersaing serta memiliki peluang yang sama dengan lelaki dalam berbagai segi kehidupan. Semoga.***

Choose to Challenge’ atau ‘Memilih untuk Menantang’ merupakan tema yang diusung pada peringatan Hari Perempuan Internasional Tahun 2021. Tema ini memiliki makna  seruan kepada semua pihak untuk menantang dan menyerukan tentang bias dan ketidaksetaraan gender, serta merayakan pencapaian perempuan.

Isu kesetaraan gender di Indonesia maupun di Riau menjadi isu menarik dan hangat baik di media cetak maupun elektronik. Kenapa permasalahan ini begitu menarik? Salah satu tujuan dalam SDG’s (Sustainable Development Goals) di antaranya adalah adanya kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan dengan sasaran menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa serta sunat perempuan. Akan tetapi sampai hari ini fakta menunjukkan upaya penyetaraan gender di Indonesia terutama di Riau masih harus melalui tantangan berupa semakin menurunnya Indeks Pembangunan Gender. Mengacu data BPS pada tahun 2020 terjadi penurunan  sebesar 0,29, dari 88,43 pada tahun 2019 menjadi hanya 88,14 pada tahun 2020.

 Tantangan upaya penyetaraan gender masih harus dilalui di antaranya berupa persoalan kualitas kehidupan perempuan di mana perkawinan perempuan usia anak yang masih tinggi. Sebanyak 8,30 persen perempuan usia 20-24 tahun yang berstatus kawin pada tahun 2019, usia perkawinan  pertamanya ternyata sebelum usia 18 tahun. Padahal pada tahun 2018 persentasenya lebih rendah, yaitu sebesar 7,93 persen. Kondisi ini memiliki arti sekitar 8 dari 100 perempuan usia 20-24 tahun di riau menikah sebelum usia 18 tahun. 

Baca Juga:  Aedes ber-Wolbachia, Teknologi Anak Negeri yang Patut Diapresiasi

Berkaca pada kondisi di atas, pernikahan dini ternyata telah memupus harapan perempuan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Seyogyanya upaya perempuan untuk bersekolah lebih tinggi adalah sebuah keniscayaan agar perempuan semakin mampu untuk bersaing agar setara dengan laki-laki. Potret BPS pada tahun 2020, ternyata rata-rata lama sekolah perempuan masih sekitar 8,87, pada hal rata-rata lama sekolah laki-laki telah mencapai 9,40.

Perkawinan perempuan usia anak yang terjadi di Indonesia maupun di Riau mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan yang mereka peroleh. Kondisi ini telah menghapus kesempatan emas mereka untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka secara mandiri, serta memperkecil peluang perempuan untuk mampu setara dengan lelaki. Kondisi ini belum ditambah dengan segudang problematika seperti sulitnya mereka terserap dalam pekerjaan formal sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan yang pada akhirnya mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah perkawinan perempuan usia anak sangat mengancam kesehatan perempuan dan anak. Kondisi anak yang dilahirkan bisa mengalami gizi buruk dan stunting serta rentan  mengalami kematian ibu muda melahirkan (maternal mortality).

Baca Juga:  Pemimpin Model Ban Kempis

Tidak jauh berbeda dengan Riau, praktik pernikahan anak di seluruh Indonesia juga terjadi. Proporsi wanita muda yang menikah saat masih anak-anak pada tahun 2019 mencapai 10,82 persen. Artinya sekitar sekitar 11 dari 100 perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Bahkan masih terdapat sekitar 0,57 persen perempuan muda di indonesia yang menikah sebelum umur 15 tahun.

Melihat fenomena di atas, pemerintah harus secara tegas memberlakukan undang-undang yang menaikkan ambang batas minimal usia menikah bagi perempuan. Pengawasan terhadap adanya upaya menaikkan umur perempuan saat mendaftarkan pernikahan juga harus dilakukan. Langkah pengawasan ini juga harus dibarengi dengan sanksi yang tegas bagi siapapun yang berupaya mendaftarkan umur perempuan yang tidak sebenarnya sehingga lolos dan mendapatkan izin untuk melakukan pernikahan.

Besar harapan kita, dengan pengawasan ketat ambang batas usia menikah, setidaknya perempuan akan lebih memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan perempuan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, maka perempuan-perempuan di Riau dan Indonesia akan mampu dan berkesempatan ikut bersaing serta memiliki peluang yang sama dengan lelaki dalam berbagai segi kehidupan. Semoga.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari