Kamis, 9 Mei 2024

Aedes ber-Wolbachia, Teknologi Anak Negeri yang Patut Diapresiasi

Angka kejadian demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat di Indonesia dengan puncaknya pada tahun 2016 (incidence rate hampir 80/100.00 penduduk, target renstra nasional < 10/100.000 penduduk). Jumlah absolut kematian dalam 4 tahun terakhir berada diatas 500 orang per tahun (tertinggi tahun 2022: 1.236 orang per tahun). Secara etika kemanusiaan tentu kita tidak dibenarkan mengatakan bahwa angka kehilangan nyawa ini adalah kecil.

Berbagai intervensi pencegahan dengue telah dilakukan pemerintah sejak awal program penanggulangan dengue pada tahun 1970, seperti larvasidasi, fogging, gerakan kelambu 3 M, gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), dan gerakan satu rumah satu jumantik (G1R1J). Namun, upaya demi upaya tersebut belum mampu memperlambat laju penyakit ini secara nasional.

Yamaha

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Data dari World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta menunjukkan bahwa populasi Aedes aegypti selalu ada sepanjang tahun. Wolbachia sendiri adalah bakteri obligat intraselular yang secara alami menginfeksi bangsa serangga dan diturunkan secara maternal.

Transinfeksi Aedes aegypti yang dengan beberapa strain Wolbachia memberikan resistensi terhadap infeksi virus dengue (virus dengue tidak dapat berkembang dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti yang ber-wolbachia, sehingga nyamuk Aedes aegypti tidak dapat menularkan virus dengue kepada manusia). Mekanisme kerja yang utama adalah melalui kompetisi makanan antara virus dan bakteri. Bakteri Wolbachia tidak menginfeksi manusia atau vertebrata lain, dan tidak menyebabkan penyakit pada manusia atau hewan. Dengan demikian, memasukkan Wolbachia ke dalam tubuh Aedes aegypti adalah metode pengendalian demam berdarah dengue yang dapat dikembangkan.

Ketika nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia maka telurnya tidak akan menetas, namun bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak ber-Wolbachia seluruh telurnya akan menetas menghasilkan nyamuk yang ber-Wolbachia pula dan bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan ber-wolbachia maka keturunannya semua akan menetas dan mengandung wolbachia.

- Advertisement -

Nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia bukan organisme hasil modifikasi genetik, mengingat bakteri wolbachia yang dimasukkan ke dalam tubuh Aedes aegypti identik dengan wolbachia yang ada di inang aslinya yaitu Drosophila melanogaster (lalat buah). Ia hanya strategi alami yang berbentuk kontrol biologis.

Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM selama 12 tahun (dimulai sejak tahun 2011) didukung filantropi Yayasan Tahija (sebuah yayasan milik anak bangsa Indonesia sendiri) telah melakukan riset aplikasi teknologi nyamuk ber-wolbachia untuk menurunkan kejadian DBD di Yogyakarta.

- Advertisement -
Baca Juga:  Fenomena Karir

Empat fase penelitian meliputi : keamanan dan kelayakan (2011-2012), pelepasan nyamuk ber-wolbachia skala terbatas (2013-2015), penelitian klaster acak terkontrol (CRCT) pelepasan nyamuk ber-wolbachia skala besar/uji klinis (2016-2020), dan model implementasi (2021-2023). Pada penelitian ini dilakukan pelepasan nyamuk ber-wolbachia jantan dan betina dalam waktu sekitar 6 bulan agar sebagian besar nyamuk di populasi memiliki wolbachia dan diharapkan dapat menurunkan penularan virus dengue.

Uji keamanan yang dilakukan Universitas Gadjah Mada menunjukkan tidak ada infeksi wolbachia dari nyamuk Aedes aegypti ke manusia, pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia tidak mengubah populasi nyamuk dan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia memiliki karakter yang sama dengan yang ada di alam termasuk dalam hal resistensi insektisida.

Dengan demikian tidak terdapat ketidakseimbangan alam yang terjadi pasca pelepasan nyamuk ber-wolbachia. Kemenristekdikti dan Badan Litbang Kemenkes juga berinisiatif untuk melakukan penilaian risiko lingkungan dari penerapan metode ini dengan menunjuk 24 orang ahli independen dari berbagai profesi. Kesimpulan penilaian risiko pelepasan wolbachia di Yogyakarta adalah pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia masuk pada risiko sangat rendah.

Dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya (cause more harm) dapat diabaikan (negligible), wolbachia tidak menginfeksi manusia, tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain dan tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik, serta peningkatan jumlah nyamuk aedes aegypti di area pelepasan hanya terjadi pada saat periode pelepasan (tidak ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti sebelum dan setelah wolbachia dilepaskan).

Uji kemanjuran penerapan teknologi ini pertama kali di dunia dilakukan di Yogyakarta oleh para peneliti Indonesia dengan desain penelitian berstandar tertinggi di dunia akademik (CRTT)! Hasilnya, nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77.1 persen dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86 persen, sebuah hasil yang bermakna bagi penurunan kejadian dan keparahan penyakit DBD di masyarakat.

Lebih lanjut pasca penelitian, angka notifikasi kasus DBD di tahun 2021-2023 pun ternyata jauh lebih rendah dibandingkan rerata 30 tahun sebelumnya. Kasus DBD di Kota Yogyakarta mengalami penurunan sebesar 83 persen pada periode wolbachia telah menetap dibandingkan dengan periode sebelum wolbachia menetap. Penelitian yang dilakukan di Indonesia ini kemudian dilakukan pula di Brazil, Vietnam dan Australia dengan hasil yang konsisten dengan di Indonesia.

Berdasarkan hasil-hasil tersebut Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) merekomendasikan agar teknologi wolbachia ini dapat menjadi kebijakan Kementerian Kesehatan untuk dimanfaatkan masyarakat dalam penanganan dengue di Indonesia. Tidak hanya sampai disitu, di tingkat dunia keberhasilan ini membuat Vector Control Advisory Group (VCAG) merekomendasikan kepada WHO untuk memulai pengembangan guideline intervensi pelepasan nyamuk Aedes ber-wolbachia dalam rangka pengendalian penyakit DBD.

Baca Juga:  Indonesia Hebat Bersama Umat

Kita perlu bangga karena ini adalah pertama kali VGAC memberikan penilaian positif adanya dampak kesehataan masyarakat dari intervensi pengendalian vektor yang baru (pengurangan transmisi patogen karena intervensi wolbachia).

Yang tengah berlangsung saat ini adalah fase implementasi hasil penelitian. Setelah berhasil di Yogyakarta, pilot project program ini selanjutnya akan dilakukan di 5 kota: Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang dan Bontang berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1341. Untuk itu, sangat diperlukan kepemimpinan pemerintah, dukungan kuat dari pemangku kepentingan dan penerimaan masyarakat.

Sudah saatnya masyarakat memberikan penerimaan positif terhadap teknologi karya anak bangsa sendiri ini. Jangan lagi mau dijebak oleh berbagai hoax yang menggiring opini untuk antipati terhadap implementasi program ini. Dalam kenyataannya negeri jiran, Malaysia, mengadopsi teknologi ini. Pun negara lain di dunia seperti Brazil, Kolombia, Singapura, Thailand, China, Vietnam, Tahiti, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, Sri Lanka dan Australia. JIka banyak negara lain di dunia saja “mengambil” hasil penelitian Indonesia ini untuk diterapkan di negara mereka, masaklah kita hanya jadi penonton di negara sendiri?

Jika lembaga kesehatan dunia (WHO dan VGAC) saja mengakui keberhasilan penemuan teknologi oleh anak bangsa sendiri ini, masaklah kita malah mencurigai? Yang perlu digarisbawahi juga oleh masyarakat adalah bahwa teknologi ini bukan berarti mengeliminasi berbagai metode pengendalian yang telah ada, tetapi ia melengkapi upaya pengendalian lain yang berkasnya sudah masuk ke strategi nasional tersebut.

Benar bahwa edukasi dan sosialisasi merupakan langkah awal yang wajib dilakukan untuk membangun kepercayaan dan menghilangkan kekhawatiran di masyarakat. Namun, payung besar komunikasi terkait hal ini tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak, pemerintah ataupun pelaksana program saja.

Masyarakat sendiri harus pula menelusuri kanal-kanal informasi yang resmi dan valid untuk mendapatkan data yang akurat untuk menghindari mispersepi yang jamak terjadi di era post-truth dewasa ini. Apatahlagi buat figur yang dulu sebenarnya memiliki latar belakang medis, agar tak salah melangkah dalam memberi opini. Dan agar tidak merugikan karya anak bangsa di negeri sendiri.***

Hasriza Eka Putra, Wasekom Relawan Emergensi Kesehatan Indonesia (KREKI) Wilayah Riau.

 

Angka kejadian demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat di Indonesia dengan puncaknya pada tahun 2016 (incidence rate hampir 80/100.00 penduduk, target renstra nasional < 10/100.000 penduduk). Jumlah absolut kematian dalam 4 tahun terakhir berada diatas 500 orang per tahun (tertinggi tahun 2022: 1.236 orang per tahun). Secara etika kemanusiaan tentu kita tidak dibenarkan mengatakan bahwa angka kehilangan nyawa ini adalah kecil.

Berbagai intervensi pencegahan dengue telah dilakukan pemerintah sejak awal program penanggulangan dengue pada tahun 1970, seperti larvasidasi, fogging, gerakan kelambu 3 M, gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), dan gerakan satu rumah satu jumantik (G1R1J). Namun, upaya demi upaya tersebut belum mampu memperlambat laju penyakit ini secara nasional.

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Data dari World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta menunjukkan bahwa populasi Aedes aegypti selalu ada sepanjang tahun. Wolbachia sendiri adalah bakteri obligat intraselular yang secara alami menginfeksi bangsa serangga dan diturunkan secara maternal.

Transinfeksi Aedes aegypti yang dengan beberapa strain Wolbachia memberikan resistensi terhadap infeksi virus dengue (virus dengue tidak dapat berkembang dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti yang ber-wolbachia, sehingga nyamuk Aedes aegypti tidak dapat menularkan virus dengue kepada manusia). Mekanisme kerja yang utama adalah melalui kompetisi makanan antara virus dan bakteri. Bakteri Wolbachia tidak menginfeksi manusia atau vertebrata lain, dan tidak menyebabkan penyakit pada manusia atau hewan. Dengan demikian, memasukkan Wolbachia ke dalam tubuh Aedes aegypti adalah metode pengendalian demam berdarah dengue yang dapat dikembangkan.

Ketika nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia maka telurnya tidak akan menetas, namun bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak ber-Wolbachia seluruh telurnya akan menetas menghasilkan nyamuk yang ber-Wolbachia pula dan bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan ber-wolbachia maka keturunannya semua akan menetas dan mengandung wolbachia.

Nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia bukan organisme hasil modifikasi genetik, mengingat bakteri wolbachia yang dimasukkan ke dalam tubuh Aedes aegypti identik dengan wolbachia yang ada di inang aslinya yaitu Drosophila melanogaster (lalat buah). Ia hanya strategi alami yang berbentuk kontrol biologis.

Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM selama 12 tahun (dimulai sejak tahun 2011) didukung filantropi Yayasan Tahija (sebuah yayasan milik anak bangsa Indonesia sendiri) telah melakukan riset aplikasi teknologi nyamuk ber-wolbachia untuk menurunkan kejadian DBD di Yogyakarta.

Baca Juga:  Jenazah Terinfeksi Covid-19

Empat fase penelitian meliputi : keamanan dan kelayakan (2011-2012), pelepasan nyamuk ber-wolbachia skala terbatas (2013-2015), penelitian klaster acak terkontrol (CRCT) pelepasan nyamuk ber-wolbachia skala besar/uji klinis (2016-2020), dan model implementasi (2021-2023). Pada penelitian ini dilakukan pelepasan nyamuk ber-wolbachia jantan dan betina dalam waktu sekitar 6 bulan agar sebagian besar nyamuk di populasi memiliki wolbachia dan diharapkan dapat menurunkan penularan virus dengue.

Uji keamanan yang dilakukan Universitas Gadjah Mada menunjukkan tidak ada infeksi wolbachia dari nyamuk Aedes aegypti ke manusia, pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia tidak mengubah populasi nyamuk dan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia memiliki karakter yang sama dengan yang ada di alam termasuk dalam hal resistensi insektisida.

Dengan demikian tidak terdapat ketidakseimbangan alam yang terjadi pasca pelepasan nyamuk ber-wolbachia. Kemenristekdikti dan Badan Litbang Kemenkes juga berinisiatif untuk melakukan penilaian risiko lingkungan dari penerapan metode ini dengan menunjuk 24 orang ahli independen dari berbagai profesi. Kesimpulan penilaian risiko pelepasan wolbachia di Yogyakarta adalah pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia masuk pada risiko sangat rendah.

Dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya (cause more harm) dapat diabaikan (negligible), wolbachia tidak menginfeksi manusia, tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain dan tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik, serta peningkatan jumlah nyamuk aedes aegypti di area pelepasan hanya terjadi pada saat periode pelepasan (tidak ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti sebelum dan setelah wolbachia dilepaskan).

Uji kemanjuran penerapan teknologi ini pertama kali di dunia dilakukan di Yogyakarta oleh para peneliti Indonesia dengan desain penelitian berstandar tertinggi di dunia akademik (CRTT)! Hasilnya, nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77.1 persen dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86 persen, sebuah hasil yang bermakna bagi penurunan kejadian dan keparahan penyakit DBD di masyarakat.

Lebih lanjut pasca penelitian, angka notifikasi kasus DBD di tahun 2021-2023 pun ternyata jauh lebih rendah dibandingkan rerata 30 tahun sebelumnya. Kasus DBD di Kota Yogyakarta mengalami penurunan sebesar 83 persen pada periode wolbachia telah menetap dibandingkan dengan periode sebelum wolbachia menetap. Penelitian yang dilakukan di Indonesia ini kemudian dilakukan pula di Brazil, Vietnam dan Australia dengan hasil yang konsisten dengan di Indonesia.

Berdasarkan hasil-hasil tersebut Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) merekomendasikan agar teknologi wolbachia ini dapat menjadi kebijakan Kementerian Kesehatan untuk dimanfaatkan masyarakat dalam penanganan dengue di Indonesia. Tidak hanya sampai disitu, di tingkat dunia keberhasilan ini membuat Vector Control Advisory Group (VCAG) merekomendasikan kepada WHO untuk memulai pengembangan guideline intervensi pelepasan nyamuk Aedes ber-wolbachia dalam rangka pengendalian penyakit DBD.

Baca Juga:  Tantangan Kesetaraan Gender

Kita perlu bangga karena ini adalah pertama kali VGAC memberikan penilaian positif adanya dampak kesehataan masyarakat dari intervensi pengendalian vektor yang baru (pengurangan transmisi patogen karena intervensi wolbachia).

Yang tengah berlangsung saat ini adalah fase implementasi hasil penelitian. Setelah berhasil di Yogyakarta, pilot project program ini selanjutnya akan dilakukan di 5 kota: Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang dan Bontang berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1341. Untuk itu, sangat diperlukan kepemimpinan pemerintah, dukungan kuat dari pemangku kepentingan dan penerimaan masyarakat.

Sudah saatnya masyarakat memberikan penerimaan positif terhadap teknologi karya anak bangsa sendiri ini. Jangan lagi mau dijebak oleh berbagai hoax yang menggiring opini untuk antipati terhadap implementasi program ini. Dalam kenyataannya negeri jiran, Malaysia, mengadopsi teknologi ini. Pun negara lain di dunia seperti Brazil, Kolombia, Singapura, Thailand, China, Vietnam, Tahiti, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, Sri Lanka dan Australia. JIka banyak negara lain di dunia saja “mengambil” hasil penelitian Indonesia ini untuk diterapkan di negara mereka, masaklah kita hanya jadi penonton di negara sendiri?

Jika lembaga kesehatan dunia (WHO dan VGAC) saja mengakui keberhasilan penemuan teknologi oleh anak bangsa sendiri ini, masaklah kita malah mencurigai? Yang perlu digarisbawahi juga oleh masyarakat adalah bahwa teknologi ini bukan berarti mengeliminasi berbagai metode pengendalian yang telah ada, tetapi ia melengkapi upaya pengendalian lain yang berkasnya sudah masuk ke strategi nasional tersebut.

Benar bahwa edukasi dan sosialisasi merupakan langkah awal yang wajib dilakukan untuk membangun kepercayaan dan menghilangkan kekhawatiran di masyarakat. Namun, payung besar komunikasi terkait hal ini tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak, pemerintah ataupun pelaksana program saja.

Masyarakat sendiri harus pula menelusuri kanal-kanal informasi yang resmi dan valid untuk mendapatkan data yang akurat untuk menghindari mispersepi yang jamak terjadi di era post-truth dewasa ini. Apatahlagi buat figur yang dulu sebenarnya memiliki latar belakang medis, agar tak salah melangkah dalam memberi opini. Dan agar tidak merugikan karya anak bangsa di negeri sendiri.***

Hasriza Eka Putra, Wasekom Relawan Emergensi Kesehatan Indonesia (KREKI) Wilayah Riau.

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari