Kamis, 5 Desember 2024

Ketika Guru Besar ‘Turun Gunung’ (Kritik pada Demokrasi Kita)

Demokrasi kita, hari ini sudah tidak murni lagi namun sudah bercampur dengan anomali-anomali kepentingan oligarki dan kelanggengan kekuasaan. Hal ini memicu guru-guru besar dari berbagai perguruan tinggi bersuara. Mereka adalah tokoh dari kampus-kampus ternama di Indonesia. Mulai dari Rektor Universitas Islam Indonesia Fathul Wahid, Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo.

Ikut bersuara juga Rektor Universitas Gajah Mada periode 2002-2007 Sofian Efendi, selanjutnya guru besar fakultas kedokteran kesehatan masyarakat dan keperawatan UGM, Yati Soenarto, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, selanjutnya Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) keluarga mahasiswa UGM, Gielbran Muhammad Nor. Ketua BM UI Verral Uziel.

Para akademis turun gunung untuk mengkritik konstruktif kepada presiden Jokowi tentang keadaan demokrasi yang tersobek, mereka juga mendesak kepada DPRD untuk mengambil sikap dan langkah cepat mengatasi gejolak politik selama pemilu 2024, namun respon Jokowi sepertinya menganggap hal yang wajar saja, karena setiap orang boleh berbicara, berpendapat menurutnya.

Gerakan-gerakan diatas yang dilakukan oleh UGM, UII, Universitas Khairun Ternate memicu masifnya gerakan serupa di kampus lainnya, seperti Universitas Andalas, Universitas Indonesia. Dan sejumlah kampus lainnya, seperti diungkapkan oleh Harkristuti Harkrisnowo selaku Dewan Guru Besar UI ia menyampaikan keprihatinan terhadap hancurnya tatanan hukum dan demokrasi di tanah air.

Tindaklanjut dari gerakan ini setidaknya ada empat poin mengutuk segala tindakan yang menindas kebebasan berekspresi; menuntut terselenggaranya pemilu dengan bersih tanpa adanya intimidasi dari aparat dan penyelenggara negara; serta menyerukan agar mengawasi dan mengawal proses pelaksanaan pemilu, khususnya pada proses pemungutan dan penghitungan suara demi menjaga muruah demokrasi.

Baca Juga:  Indonesia Hebat Bersama Umat

Selain isu demokrasi, keberpihakan Presiden jelang pemilu 2024 dengan bantuan sosial bermodus politis. Bansos tahun ini bahkan diperkirakan membengkak dari yang sudah disepakati dalam APBN, ada tambahan sekitar Rp11,25 triliun karena muncul program pengganti El Nino, artinya anggaran bansos bisa jebol sampai Rp508 triliun, tertinggi sepanjang sejarah.

Sorotan publik terkait bansos ini adalah kenapa digencarkan dan dicairkan ditahun-tahun politik seolah ada unsur politik pemerintah untuk mendukung salah satu paslon yang ingin dimenangkan. Pemerintah seharusnya penjaga kenetralan menjaga kualitas demokrasi tetap berpihak kepada rakyat bukan kepada kepentingan golongan tertentu.

Oleh sebab itu juga para guru besar dan civitas akademik ramai memberi kritikan terhadap demokrasi kini yang sudah digerogoti, disenggol-senggol agar goyang tidak tetap pendirian, sehingga muncul istilah akademik darurat kenegaraan. Mari kita kembalikan demokrasi kepada definisi dan substansinya. Demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

Menurut Abraham Lincoln demokrasi adalah sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Sidney Hook mendefinisikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintahan yang penting baik secara langsung maupun tidak langsung, yang didasarkan kepada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat.

Baca Juga:  Musik dan Seni dalam Perspektif Islam

Pada dasarnya hakikat demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kuasa.

Apabila menempatkan rakyat sebagai pemegang kuasa, maka akan dirasa manfaatnya diantaranya kesetaraan sebagai warga negara. Ini juga nilai-nilai dari Pancasila kita, demokrasi memperlakukan semua orang sama dan sederajat. Manfaat selanjutnya memenuhi kebutuhan umum, suatu kebijakan dapat mencerminkan keinginan rakyatnya.

Demokrasi mestinya juga menjamin hak-hak dasar seperti hak sipil, politis, dan berserikat, berbicara dan lain sebagainya. Dwi Suliswioro membagi perkembangan demokrasi di indonesia pada empat masa; diantaranya masa pertama demokrasi konstitusional (1945-1950) pada masa ini peran parlemen dan partai sangat menonjol. Masa kedua, demokrasi terpimpin (1959-1965) mulainya masa ini ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, pada praktiknya masa ini berakhir dengan peristiwa G30S pada 30 September 1965.

Masa ketiga demokrasi Pancasila (1965-1998) pada masa ini menggunakan demokrasi konstitusional dengan sistem presidensial. Masa keempat, demokrasi pascareformasi (1988-sekarang) masa ini cenderung mengalami banyak perubahan, partai politik bermunculan, pemilihan umum pun dilaksanakan secara langsung dan rutin, kebebasan berpendapat pun diakui dan dilindungi negara. Tentu saja kebebasan berpendapat yang berbudaya dengan kritik yang bersifat konstruktif. Para guru besar telah melakukannya. Tinggal lagi digubris atau tidak.***

Oleh: Mara Ongku Hsb, Pengamat Sosial Politik

Demokrasi kita, hari ini sudah tidak murni lagi namun sudah bercampur dengan anomali-anomali kepentingan oligarki dan kelanggengan kekuasaan. Hal ini memicu guru-guru besar dari berbagai perguruan tinggi bersuara. Mereka adalah tokoh dari kampus-kampus ternama di Indonesia. Mulai dari Rektor Universitas Islam Indonesia Fathul Wahid, Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo.

Ikut bersuara juga Rektor Universitas Gajah Mada periode 2002-2007 Sofian Efendi, selanjutnya guru besar fakultas kedokteran kesehatan masyarakat dan keperawatan UGM, Yati Soenarto, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, selanjutnya Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) keluarga mahasiswa UGM, Gielbran Muhammad Nor. Ketua BM UI Verral Uziel.

- Advertisement -

Para akademis turun gunung untuk mengkritik konstruktif kepada presiden Jokowi tentang keadaan demokrasi yang tersobek, mereka juga mendesak kepada DPRD untuk mengambil sikap dan langkah cepat mengatasi gejolak politik selama pemilu 2024, namun respon Jokowi sepertinya menganggap hal yang wajar saja, karena setiap orang boleh berbicara, berpendapat menurutnya.

Gerakan-gerakan diatas yang dilakukan oleh UGM, UII, Universitas Khairun Ternate memicu masifnya gerakan serupa di kampus lainnya, seperti Universitas Andalas, Universitas Indonesia. Dan sejumlah kampus lainnya, seperti diungkapkan oleh Harkristuti Harkrisnowo selaku Dewan Guru Besar UI ia menyampaikan keprihatinan terhadap hancurnya tatanan hukum dan demokrasi di tanah air.

- Advertisement -

Tindaklanjut dari gerakan ini setidaknya ada empat poin mengutuk segala tindakan yang menindas kebebasan berekspresi; menuntut terselenggaranya pemilu dengan bersih tanpa adanya intimidasi dari aparat dan penyelenggara negara; serta menyerukan agar mengawasi dan mengawal proses pelaksanaan pemilu, khususnya pada proses pemungutan dan penghitungan suara demi menjaga muruah demokrasi.

Baca Juga:  Peralihan dari Labanisasi ke Kapitalisasi pada Era Disrupsi

Selain isu demokrasi, keberpihakan Presiden jelang pemilu 2024 dengan bantuan sosial bermodus politis. Bansos tahun ini bahkan diperkirakan membengkak dari yang sudah disepakati dalam APBN, ada tambahan sekitar Rp11,25 triliun karena muncul program pengganti El Nino, artinya anggaran bansos bisa jebol sampai Rp508 triliun, tertinggi sepanjang sejarah.

Sorotan publik terkait bansos ini adalah kenapa digencarkan dan dicairkan ditahun-tahun politik seolah ada unsur politik pemerintah untuk mendukung salah satu paslon yang ingin dimenangkan. Pemerintah seharusnya penjaga kenetralan menjaga kualitas demokrasi tetap berpihak kepada rakyat bukan kepada kepentingan golongan tertentu.

Oleh sebab itu juga para guru besar dan civitas akademik ramai memberi kritikan terhadap demokrasi kini yang sudah digerogoti, disenggol-senggol agar goyang tidak tetap pendirian, sehingga muncul istilah akademik darurat kenegaraan. Mari kita kembalikan demokrasi kepada definisi dan substansinya. Demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

Menurut Abraham Lincoln demokrasi adalah sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Sidney Hook mendefinisikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintahan yang penting baik secara langsung maupun tidak langsung, yang didasarkan kepada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat.

Baca Juga:  Membangun Komunikasi

Pada dasarnya hakikat demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kuasa.

Apabila menempatkan rakyat sebagai pemegang kuasa, maka akan dirasa manfaatnya diantaranya kesetaraan sebagai warga negara. Ini juga nilai-nilai dari Pancasila kita, demokrasi memperlakukan semua orang sama dan sederajat. Manfaat selanjutnya memenuhi kebutuhan umum, suatu kebijakan dapat mencerminkan keinginan rakyatnya.

Demokrasi mestinya juga menjamin hak-hak dasar seperti hak sipil, politis, dan berserikat, berbicara dan lain sebagainya. Dwi Suliswioro membagi perkembangan demokrasi di indonesia pada empat masa; diantaranya masa pertama demokrasi konstitusional (1945-1950) pada masa ini peran parlemen dan partai sangat menonjol. Masa kedua, demokrasi terpimpin (1959-1965) mulainya masa ini ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, pada praktiknya masa ini berakhir dengan peristiwa G30S pada 30 September 1965.

Masa ketiga demokrasi Pancasila (1965-1998) pada masa ini menggunakan demokrasi konstitusional dengan sistem presidensial. Masa keempat, demokrasi pascareformasi (1988-sekarang) masa ini cenderung mengalami banyak perubahan, partai politik bermunculan, pemilihan umum pun dilaksanakan secara langsung dan rutin, kebebasan berpendapat pun diakui dan dilindungi negara. Tentu saja kebebasan berpendapat yang berbudaya dengan kritik yang bersifat konstruktif. Para guru besar telah melakukannya. Tinggal lagi digubris atau tidak.***

Oleh: Mara Ongku Hsb, Pengamat Sosial Politik

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari