Senin, 20 Mei 2024

Kepikunan Peradaban

Mungkin dunia sudah tua, seirama semakin anehnya perilaku isi alam. Bagai kepikunan menerpa, ternyata aktivitas isi alam (termasuk manusia) meski tua, namun berperilaku seperti anak-anak. Di sisi lain, manusia modern acapkali lupa sejarah. Meski Bung Karno memberi nasihat melalui JASMERAH, namun semua hanya ada dalam teori belaka. 

Secara historis, dunia berkembang demikian pesat tak bisa dilepaskan dari peradaban Islam era keemasan. Berbagai temuan ilmiah dan karya tulis menjadi simbol peradaban saat itu dan menjadi warisan bagi era sekarang. Kekayaan temuan dan tulisan (meski melalui tulisan tangan) mampu merubah air sungai Tigris berubah hitam akibat tinta karya tulis ulama saat itu. Sedangkan kaum anti budaya tulis dimainkan oleh bangsa Mongolia (Barbar) yang hanya senang pada budaya real-hedonis. 

Yamaha

Demikian konteks Indonesia. Banyak sejarah negeri ini hilang akibat budaya tulis yang rendah. Justeru sejarah Indonesia sedikit "terselamatkan"oleh budaya tulis bangsa Belanda. Apakah sejarah lalu akan dilanjutkan oleh generasi sekarang untuk ditonton oleh generasi yang akan datang ?

Ternyata "kepikunan" peradaban sedang terjadi. Ada beberapa indikasi "kepikunan"sedang terjadi, antara lain ;

Pertama, rendahnya penghargaan atas karya tulis, baik pada level atas, menengah, apatahlagi bawah. Beda dengan zaman keemasan Islam tatkala khalifah Bani Abbasiyah (di antaranya Harun ar-Rasyid) menghargai kitab ulama dengan timbangan berat emas. Sesama intelektual berlomba menemukan dan membangun peradaban, tanpa rasa iri hati dan dengki. Perbedaan bukan untuk dibicarakan versi subyektif diri. Perbedaan melahirkan karya tulis yang menambah khazanah ilmu. Lihatlah kitab Tahaful al-Falasifah karya Imam al-Ghazali memperoleh respon ilmiah dari Ibn Rusyd yang melahirkan kitab Tahafut Tahafut. Tak ada yang menghabiskan  energi untuk saling membantah dan menghujat dalam debat tanpa literasi.  

- Advertisement -
Baca Juga:  Beda Pemimpin dan Pemburu Kekuasaan

Namun, sayangnya saat ini justeru mengalami "kepikunan”. Tatkala penulis justeru "memberikan hadiah"agar tulisannya bisa diterbitkan, apalagi bisa "mengambil hati"sang penguasa bernama "Scopus dan variannya"agar bisa hadir dalam "jubah kebesaran Scopus”.  

Kedua, rendahnya perhatian atas publikasi dan apresiasi atas karya tulis. Justru saat ini apresiasi dan respons karya tulis telah dikalahkan oleh unggahan selfi, informasi aktivitas diri, gurauan yang melampaui usia, cerita lucu, atau berita suka dan duka yang silih berganti. Sepertinya, tradisi ABS masih akan lama bertahan di muka bumi. Mungkin "kepikunan"peradaban telah memiskinkan manusia untuk bisa hanya sekedar berucap atau memberi apresisasi melalui berbagai emoji. Bila aspek ini saja sudah tak mampu, apatahlagi apresiasi dalam wujud materi. Namun, bila kuasa telah ada, karya biasa menjadi luar biasa. Sementara tanpa apa-apa, sejuta kebenaran yang berkualitas surga tak ada artinya. Padahal, disandarkan dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah bersabda "Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan dilihat siapa yang bicara”. 

- Advertisement -

Terlepas apakah teks di atas hadis atau bukan, namun substansinya mengajarkan melihat kebenaran bisa hadir dari siapa saja, bukan dilihat dari sosok siapa.

Baca Juga:  Mendidik Anak di Era Digital

Ketiga, karya tulis bergeser menjadi karya web dengan biaya murah (cenderung gratis) membuat karya tulis ilmiah dikalahkan oleh ceramah tujuh menit yang jelas angkanya. Ternyata, tren bahasa lisan kembali diminati  ketika alat tulis canggih telah ditemukan. Akibatnya, karya tulis kurang diminati dan tak lagi menjadi andalan sumber kehidupan menghadapi dunia yang serba materi.

Bila pun ada, tulisan yang menyedot perhatian acapkali didominasi alur fiksi. Berarti, dunia mimpi masih terbuka dengan peluang yang menjanjikan. Namun, apakah karena kepikunan membuat umat ingin tertidur dan ingin bermimpi lebih panjang lagi. 

Sungguh, "kepikunan"telah menyerang dan mendera peradaban modern. Meski kadang terselip ingin tertawa atas fenomena yang ada. Namun, mungkin inilah era yang telah diciptakan manusia dengan budaya pura-pura atau pura-pura berbudaya ? Entahlah. Tak ada yang tau apa makna semua ini. Biarlah Allah dengan skenarionya mempertontonkan apa yang patut ditonton. Bila tontonan baik, gunakan untuk memperbaiki diri. Bila tontonan bernilai jelek, maka jauhi dan tinggalkan.

Akankah "kepikunan"peradaban ini akan terus dilanjutkan untuk diwariskan pada generasi yang akan datang, atau sudah saatnya diri menjadi sehat dan cerdas yang terhindar dari kepikunan yang berkarat ? Tak ada yang mampu menjawab, kecuali oleh setiap diri yang mampu bertafakkur atas kedhaifan diri dihadapan Allah Yang Maha Sempurna.Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Mungkin dunia sudah tua, seirama semakin anehnya perilaku isi alam. Bagai kepikunan menerpa, ternyata aktivitas isi alam (termasuk manusia) meski tua, namun berperilaku seperti anak-anak. Di sisi lain, manusia modern acapkali lupa sejarah. Meski Bung Karno memberi nasihat melalui JASMERAH, namun semua hanya ada dalam teori belaka. 

Secara historis, dunia berkembang demikian pesat tak bisa dilepaskan dari peradaban Islam era keemasan. Berbagai temuan ilmiah dan karya tulis menjadi simbol peradaban saat itu dan menjadi warisan bagi era sekarang. Kekayaan temuan dan tulisan (meski melalui tulisan tangan) mampu merubah air sungai Tigris berubah hitam akibat tinta karya tulis ulama saat itu. Sedangkan kaum anti budaya tulis dimainkan oleh bangsa Mongolia (Barbar) yang hanya senang pada budaya real-hedonis. 

Demikian konteks Indonesia. Banyak sejarah negeri ini hilang akibat budaya tulis yang rendah. Justeru sejarah Indonesia sedikit "terselamatkan"oleh budaya tulis bangsa Belanda. Apakah sejarah lalu akan dilanjutkan oleh generasi sekarang untuk ditonton oleh generasi yang akan datang ?

Ternyata "kepikunan" peradaban sedang terjadi. Ada beberapa indikasi "kepikunan"sedang terjadi, antara lain ;

Pertama, rendahnya penghargaan atas karya tulis, baik pada level atas, menengah, apatahlagi bawah. Beda dengan zaman keemasan Islam tatkala khalifah Bani Abbasiyah (di antaranya Harun ar-Rasyid) menghargai kitab ulama dengan timbangan berat emas. Sesama intelektual berlomba menemukan dan membangun peradaban, tanpa rasa iri hati dan dengki. Perbedaan bukan untuk dibicarakan versi subyektif diri. Perbedaan melahirkan karya tulis yang menambah khazanah ilmu. Lihatlah kitab Tahaful al-Falasifah karya Imam al-Ghazali memperoleh respon ilmiah dari Ibn Rusyd yang melahirkan kitab Tahafut Tahafut. Tak ada yang menghabiskan  energi untuk saling membantah dan menghujat dalam debat tanpa literasi.  

Baca Juga:  Mengenang Kembali Sejarah Pembentukan Rohil

Namun, sayangnya saat ini justeru mengalami "kepikunan”. Tatkala penulis justeru "memberikan hadiah"agar tulisannya bisa diterbitkan, apalagi bisa "mengambil hati"sang penguasa bernama "Scopus dan variannya"agar bisa hadir dalam "jubah kebesaran Scopus”.  

Kedua, rendahnya perhatian atas publikasi dan apresiasi atas karya tulis. Justru saat ini apresiasi dan respons karya tulis telah dikalahkan oleh unggahan selfi, informasi aktivitas diri, gurauan yang melampaui usia, cerita lucu, atau berita suka dan duka yang silih berganti. Sepertinya, tradisi ABS masih akan lama bertahan di muka bumi. Mungkin "kepikunan"peradaban telah memiskinkan manusia untuk bisa hanya sekedar berucap atau memberi apresisasi melalui berbagai emoji. Bila aspek ini saja sudah tak mampu, apatahlagi apresiasi dalam wujud materi. Namun, bila kuasa telah ada, karya biasa menjadi luar biasa. Sementara tanpa apa-apa, sejuta kebenaran yang berkualitas surga tak ada artinya. Padahal, disandarkan dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah bersabda "Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan dilihat siapa yang bicara”. 

Terlepas apakah teks di atas hadis atau bukan, namun substansinya mengajarkan melihat kebenaran bisa hadir dari siapa saja, bukan dilihat dari sosok siapa.

Baca Juga:  Beda Pemimpin dan Pemburu Kekuasaan

Ketiga, karya tulis bergeser menjadi karya web dengan biaya murah (cenderung gratis) membuat karya tulis ilmiah dikalahkan oleh ceramah tujuh menit yang jelas angkanya. Ternyata, tren bahasa lisan kembali diminati  ketika alat tulis canggih telah ditemukan. Akibatnya, karya tulis kurang diminati dan tak lagi menjadi andalan sumber kehidupan menghadapi dunia yang serba materi.

Bila pun ada, tulisan yang menyedot perhatian acapkali didominasi alur fiksi. Berarti, dunia mimpi masih terbuka dengan peluang yang menjanjikan. Namun, apakah karena kepikunan membuat umat ingin tertidur dan ingin bermimpi lebih panjang lagi. 

Sungguh, "kepikunan"telah menyerang dan mendera peradaban modern. Meski kadang terselip ingin tertawa atas fenomena yang ada. Namun, mungkin inilah era yang telah diciptakan manusia dengan budaya pura-pura atau pura-pura berbudaya ? Entahlah. Tak ada yang tau apa makna semua ini. Biarlah Allah dengan skenarionya mempertontonkan apa yang patut ditonton. Bila tontonan baik, gunakan untuk memperbaiki diri. Bila tontonan bernilai jelek, maka jauhi dan tinggalkan.

Akankah "kepikunan"peradaban ini akan terus dilanjutkan untuk diwariskan pada generasi yang akan datang, atau sudah saatnya diri menjadi sehat dan cerdas yang terhindar dari kepikunan yang berkarat ? Tak ada yang mampu menjawab, kecuali oleh setiap diri yang mampu bertafakkur atas kedhaifan diri dihadapan Allah Yang Maha Sempurna.Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari