JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil pilkada di 26 daerah memiliki konsekuensi anggaran. Dari hasil penghitungan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), total kebutuhan untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) mencapai Rp 840.202.798.417. Jumlah tersebut terdiri atas kebutuhan anggaran untuk KPU Rp 486.383.829.417 dan Bawaslu Rp 353.818.969.000.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengatakan, dari total kebutuhan Rp486 miliar, sebagian dipenuhi dari dana sisa pilkada. Dari 26 daerah, ada enam yang tidak memerlukan tambahan anggaran karena masih terdapat sisa anggaran Pilkada 2024. Kemudian, ada daerah, yakni KPU Kabupaten Jayapura, yang tidak memerlukan biaya karena putusan MK bersifat administrasi atau hanya perbaikan surat keputusan (SK).
Sementara itu, untuk 19 daerah lainnya, uang sisa pilkada yang tersedia tidak mencukupi. Dia menjelaskan, di 19 daerah tersebut, total kekurangan mencapai Rp 373.718.524.965.
Komisioner KPU Idham Holik menambahkan, dari sisi teknis, pelaksanaan PSU akan mengikuti pedoman dari MK. Untuk daerah yang diberi waktu 30 hari, KPU berencana menggelar pada 22 Maret 2025. Itu berlangsung di Magetan, Barito Utara, Bangka Barat, dan Siak.
Adapun yang diberi waktu 45 hari, coblosan digelar pada 5 April 2025. Lalu, yang diberi waktu 60 hari, PSU digelar pada 19 April 2025. Kemudian, yang diberi waktu 90 hari, digelar 24 Mei 2025. Terakhir, yang diberi waktu 180 hari, coblosan ulang dihelat pada 9 Agustus 2025. Tenggat paling lama dialami pemilihan gubernur Papua karena cakupannya satu provinsi.
Semua pelaksanaan coblosan digelar pada Sabtu. ”Sabtu menjadi pilihan karena hari libur. Tidak perlu ada kebijakan hari yang diliburkan,” ujarnya. Selain itu, dari aspek sosiologis, pada Sabtu masyarakat relatif lebih banyak di rumah. Dengan begitu, diharapkan mereka menggunakan hak pilihnya. ”Kami harap tingkat partisipasi meningkat,” tuturnya.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, dari Rp353 miliar yang dibutuhkan, ada sisa dana pilkada Rp48,3 miliar. Karena itu, ada kekurangan yang harus dipenuhi. Dana tersebut dibutuhkan untuk proses pengawasan.
Dia mengakui PSU rawan pelanggaran. Untuk PSU yang digelar 22 Maret mendatang, misalnya, momennya dekat dengan Hari Raya Idul Fitri. ”Ada potensi politik uang menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Dan ini sangat besar, potensinya sangat besar,” ujarnya.
Di luar politik uang, kerawanan lain adalah upaya intervensi politik. Baik itu netralitas ASN, pejabat negara, TNI/Polri, maupun profesi lain yang dilarang peraturan undang-undang.
Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk mengatakan, Kemendagri telah melakukan pemetaan. ”Daerah yang sanggup pelaksanaannya atau memiliki dana sekitar delapan daerah,” ujarnya. Yakni, Kabupaten Bungo, Bangka Barat, Barito Utara, Magetan, Mahakam Ulu, Kutai Kartanegara, Siak, dan Banggai. Sedangkan 16 daerah tidak memiliki dana yang cukup. ”Masih butuh bantuan dana, baik dari provinsi maupun APBN,” ujarnya.
Ke-16 daerah itu adalah Provinsi Papua, Kabupaten Kepulauan Talaud, Buru, Pulau Taliabu, Pasaman, Empat Lawang, Pesawaran, Bengkulu Selatan, Serang, dan Tasikmalaya. Kemudian, Boven Digoel, Gorontalo Utara, Parigi Moutong, Kota Banjarbaru, Kota Palopo, dan Kota Sabang.
Ribka menyatakan, pihaknya sudah memberikan arahan agar diusahakan melakukan perubahan anggaran dari pos lain. ”Melalui perubahan perkara tentang penjabaran APBD 2025 dan penyampaian kepada pimpinan DPRD untuk dianggarkan dalam perda tentang perubahan APBD 2025,” imbuhnya.
Komisi II DPR juga meminta Kemendagri memastikan kesediaan anggaran. Sebab, sesuai UU Pilkada, pembiayaan pilkada merupakan kewajiban pemerintah.
Ditemui seusai rapat, Ribka menyebut ada opsi penggunaan bantuan dari APBN. Sebab, dalam UU Pilkada, penggunaan APBN diperbolehkan. ”Iya, itu dimungkinkan,” katanya. DPR memberikan waktu 10 hari kepada pemerintah untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan anggaran itu.(far/c19/oni/jpg)