Rabu, 4 Desember 2024

Diskusi Film Dewan Kesenian Siak dengan Deddy Mizwar (1)

Membangun Pengaruh Budaya dengan Film

Aktor dan sineas kawakan, ­Deddy Mizwar, bicara tentang dunia film dan sinema di Siak. Banyak hal yang disampaikannya membuka wawasan para sineas di Negeri Istana tersebut.

RIAUPOS.CO – DALAM usianya yang sudah 69 tahun, Deddy Mizwar –lahir di Jakarta, 5 Maret 1955— masih kelihatan segar dan penuh semangat. Suara khasnya yang dalam dan menggelegar, terdengar betul bahwa dunia keaktoran telah membentuk suara khas tersebut. Ketika orang mendengarkannya saja tanpa melihat wajah, langsung bisa menebak siapa pemilik suara tersebut. Meski rambut, kumis, dan jenggotnya sudah memutih, pemeran Bang Jek dalam sinetron khusus Ramadan, Para Pencari Tuhan (PPT) ini masih terlihat gagah dan berwibawa.

Rabu malam, 5 Mei 2024, di Taman Latifah Aminah, Siak Sri Indrapura, Deddy Mizwar berbicara panjang mengenai dunia perfilman dalam acara “Jemput Ngopi Bang Deddy Mizwar” yang ditaja oleh Pemkab Siak dan Dewan Kesenian Siak (DKS). Deddy datang ke Siak bersama produser PPT, Zairin Zain, atas undangan Wakil Bupati Siak Huzni Merza untuk sebuah urusan. Hadir juga dalam kegiatan itu seniman Benny Riaw, Ketua DKS Zulkarnain Al Idrus dan para pengurus lainnya, pemandu diskusi Bens Sani, puluhan seniman dan sineas Siak, juga ratusan warga Siak yang memadati taman di pinggir Sungai Siak tersebut. Yang menarik, saat acara berlangsung, terlihat beberapa kali kapal-kapal berlayar yang membuat acara malam itu terasa artistik.

Di awal pembicaraannya, Deddy bicara tentang film secara umum. Menurutnya, Indonesia sebenarnya punya modal besar yang jarang dipunyai negara lain, yakni multibudaya. Ada ratusan budaya daerah di Indonesia yang belum dieksplorasi para sineas. Hanya sebagian kecil yang sudah diangkat ke dunia film. Misalnya, budaya-budaya yang terlihat besar yang sering diangkat seperti Jawa, Betawi, Sunda, Minangkabau, Batak, Melayu, Bali dan yang lainnya. Padahal masih banyak budaya lain yang tak kalah menarik. Misalnya ratusan budaya yang ada di Nusa Tenggara, baik bagian barat maupun timur. Lalu ada Aceh, Palembang, Lampung, Dayak dan lainnya di Kalimantan, ratusan budaya di Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Budaya lokal ini, kata Deddy –selain budaya besar yang sudah sering diangkat– sangat menarik diangkat ke dunia sinema. Dia mencontohkan film Uang Panai karya sutradara Halim Gani Sadia dan Asril Sani. Film tersebut dibuat di Makassar dengan budaya lokal Bugis dan keseluruhannya memakai bahasa Bugis dengan memakai subtitle bahasa Indonesia. Film ini memang tidak laku bagi masyarakat di luar Sulawesi Selatan (Sulsel), tetapi ditonton oleh 500 ribu orang di Sulsel. Secara bisnis ini sudah sangat menguntungkan, dan secara kultural sudah mengangkat persoalan adat masyarakat ke permukaan. Yakni masalah uang seserahan saat perkawinan.

Film lain yang menggunakan bahasa lokal penuh antara lain Yowis Ben (2018) yang disutradarai Fajar Nugros dan Bayu Skak –yang juga menjadi pemeran utama. Film ini diproduksi oleh salah satu raksasa film Indonesia, Starvision Plus, dan mendapatkan respon positif dari penonton di Indonesia meski hampir keseluruhannya berdialog menggunakan bahasa Jawa Timuran. Kesuksesan itu yang membuat film ini dibuat sekuelnya, Yowis Ben 2. Beberapa tahun setelah itu, 2022, Bayu Skak membuat sinetron berjudul Lara Ati yang keseluruhannya memakai bahasa Jawa dan ditayangkan di SCTV. Sinetron ini tergolong sukses.

Baca Juga:  Perlu Peran Pemangku Kepentingan untuk Membangkitkan

Film dengan mengambil latar lokalitas adalah Laskar Pelangi (2008) yang diangkat dari novel laris Andrea Hirata dengan judul sama. Film yang disutradarai Riri Riza ini menjadi salah satu film terlaris di Indonesia dengan latar setting Pulau Belitung dan latar budaya Melayu di sana. Memang tidak menggunakan bahasa Melayu secara keseluruhan, hanya beberapa bagian saja, namun bahasa lokal tetap menjadi ikon. Film ini membuat Belitung menjadi dikenal luas dan menjadikan kunjungan wisata ke sana naik berlipat-lipat. Secara ekonomi, berkat novel dan film ini, Belitung menjadi salah satu tujuan wisata terbesar di Indonesia. Banyak hotel berbintang tinggi yang dididirikan di sana, termasuk hidupnya ekonomi sekala menengah, UMKM.

“Contoh-contoh itu menjelaskan bahwa budaya lokal itu sebenarnya layak diangkat ke dunia sinema. Hanya saja, kita harus punya ide besar di dalamnya,” kata lelaki blasteran Betawi-Belanda-Sunda-Bugis ini.

Deddy menjelaskan, Riau, termasuk Kabupaten Siak, punya potensi besar yang bisa diangkat ke dunia sinema. Masyarakat Riau dan Siak yang harus punya ide awal untuk hal itu. Misalnya dengan membuat festival film pendek lokal hingga menggandeng perusahaan film untuk membuat film layar lebar. Hanya saja, ide awal harus menarik dan luas yang memberikan value apa yang akan terjadi jika film-film itu dibuat. Sebuah film harus dibuat berdasarkan ide besar dan kuat serta memikirkan apa dampak yang akan terjadi setelah film itu ditonton oleh masyarakat.

Lelaki yang mulai dikenal sebagai aktor berbakat setelah bermain di film Opera Jakarta dan Arie Hanggara –keduanya memberikan Piala Citra untuknya masing-masing sebagai pemeran pembantu pria terbaik dan pemeran pria terbaik— ini menjelaskan, sudah sejak lama Amerika Serikat (AS) menjadikan film sebagai alat penetrasi dalam mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia. Film dijadikan propaganda. Yang terjadi, misalnya, ketika booming film koboy, banyak orang di seluruh dunia bergaya koboy dengan memakai jins, baju flanel kotak-kotak, dan topi khasnya.

Hal yang sama juga dilakukan Korea Selatan (Korsel). Dari negara yang tak dikenal kebudayaannya, kemudian mereka belajar ke AS dan Eropa, yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai K-Pop. Industri sinema mereka melonjak dan jadi tontonan di hampir seluruh dunia. Drama Korea (Drakor), kini seperti menjadi tontonan wajib banyak masyarakat di banyak negara, salah satunya Indonesia. Bahkan salah satu filmnya, Parasite, memenangkan Oscar pada tahun 2020. Kemudian, industri musik mereka juga mampu bersaing secara global. Bahkan mereka mampu bersaing di AS yang dianggap sebagai pusat industri hiburan dunia, juga Eropa. Jepang yang sebelumnya dianggap lebih maju dalam industri hiburan, kini jauh tertinggal.

Baca Juga:  Pameran Seni Rupa "Kembali ke Pangkal", Membangun Kolaborasi Seniman Sumatra

Cina kini juga sudah mencoba menjadikan film sebagai salah satu cara untuk mengubah persepsi masyarakat. Belakangan mereka sedang membuat film dengan tema Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung 1955 dengan memperlihatkan peran besarnya dengan menafikan Soekarno dan Indonesia sebagai penggagas kegiatan besar tersebut. Sama seperti AS dan Korsel, Cina juga ingin dunia hiburan (baca: kebudayaan populer) menjadi cara untuk membangun imej dan pengaruh ke negara lain.

Menurutnya, dunia sinema paling mudah mempengaruhi masyarakat. Kita akan merasa menjadi seorang hero ketika keluar dari gedung bioskop setelah nonton film-film Marvel. Atau menjadi koboy setelah nonton film koboy. Juga bisa menangis seharian setelah nonton drama Korea. Ini yang sekarang dimanfaatkan oleh banyak negara untuk membangun pengaruh lewat sinema.

“Amerika paham dengan hal ini. Semua produk mereka boleh diboikot oleh siapa pun, tetapi jangan film mereka. Karena mereka sadar, dengan filmlah mereka membangun propaganda dan pengaruh,” kata peraih beberapa kali Piala Citra ini.

Penetrasi film dan dunia sinema ini, menurut Deddy, dalam dunia modern sekarang sangat mudah masuk ke ruang-ruang privasi. Bahkan ke dunia anak-anak. Salah satunya yang paling mudah adalah lewat aplikasi YouTube. Di aplikasi tersebut, semua genre hiburan ada. Dan ini bisa dimanfaatkan siapa saja yang punya karya atau konten. Konten yang disebarkan di aplikasi ini bisa saja mendapatkan keuntungan materi. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah gagasan-gagasan kita bisa sampai ke masyarakat, bahkan bisa mempengaruhi mereka.

Gagasan, kata aktor watak yang bisa bermain dengan karakter apa saja ini, adalah modal dasar yang harus dimiliki para konten kreator, termasuk sineas. Jika sebuah film atau sinema dibuat tanpa gagasan yang kuat yang penting untuk diketahui dan dipahami masyarakat, maka dia tidak akan berhasil. Menjadi sebuah karya, tetapi tidak mampu bicara apa-apa. Jika orang berkarya tanpa gagasan besar dan bagus, maka dia hanya menjadi sebatas tukang, bukan kreator. Seorang kreator muncul dengan gagasan yang bisa menginspirasi siapa pun, baik melalui kritikan atau wacana yang bisa menjadi trendsetter.

Gagasan-gagasan itulah yang mestinya dibangun oleh para sineas dan budayawan Siak dan Riau agar melahirkan sebuah karya yang sampai kepada masyarakat. Gagasan tentang dunia lokal Melayu yang spesifik yang mungkin tak ditemukan pada budaya lain, yang nantinya akan diingat oleh masyarakat sebagai penonton. Kalau gagasannya sama dengan yang lain, kata pemain film Jangan Renggut Cintaku ini, maka dia tak akan diingat orang dan mudah terlupakan. Dia hanya akan menjadi karya biasa seperti karya kebanyakan yang muncul lalu menghilang.

“Saya akan sangat mendukung dan mendorong jika ada sineas Siak atau Riau yang punya gagasan hebat untuk mengangkat budaya lokal Melayu ke dunia sinema. Yang bisa bikin film tentang Melayu, ya orang Melayu. Orang film di Siak harus membuatnya,” katanya lagi.***

Laporan HARY B KORIUN, Siak Sriindrapura

Aktor dan sineas kawakan, ­Deddy Mizwar, bicara tentang dunia film dan sinema di Siak. Banyak hal yang disampaikannya membuka wawasan para sineas di Negeri Istana tersebut.

RIAUPOS.CO – DALAM usianya yang sudah 69 tahun, Deddy Mizwar –lahir di Jakarta, 5 Maret 1955— masih kelihatan segar dan penuh semangat. Suara khasnya yang dalam dan menggelegar, terdengar betul bahwa dunia keaktoran telah membentuk suara khas tersebut. Ketika orang mendengarkannya saja tanpa melihat wajah, langsung bisa menebak siapa pemilik suara tersebut. Meski rambut, kumis, dan jenggotnya sudah memutih, pemeran Bang Jek dalam sinetron khusus Ramadan, Para Pencari Tuhan (PPT) ini masih terlihat gagah dan berwibawa.

- Advertisement -

Rabu malam, 5 Mei 2024, di Taman Latifah Aminah, Siak Sri Indrapura, Deddy Mizwar berbicara panjang mengenai dunia perfilman dalam acara “Jemput Ngopi Bang Deddy Mizwar” yang ditaja oleh Pemkab Siak dan Dewan Kesenian Siak (DKS). Deddy datang ke Siak bersama produser PPT, Zairin Zain, atas undangan Wakil Bupati Siak Huzni Merza untuk sebuah urusan. Hadir juga dalam kegiatan itu seniman Benny Riaw, Ketua DKS Zulkarnain Al Idrus dan para pengurus lainnya, pemandu diskusi Bens Sani, puluhan seniman dan sineas Siak, juga ratusan warga Siak yang memadati taman di pinggir Sungai Siak tersebut. Yang menarik, saat acara berlangsung, terlihat beberapa kali kapal-kapal berlayar yang membuat acara malam itu terasa artistik.

Di awal pembicaraannya, Deddy bicara tentang film secara umum. Menurutnya, Indonesia sebenarnya punya modal besar yang jarang dipunyai negara lain, yakni multibudaya. Ada ratusan budaya daerah di Indonesia yang belum dieksplorasi para sineas. Hanya sebagian kecil yang sudah diangkat ke dunia film. Misalnya, budaya-budaya yang terlihat besar yang sering diangkat seperti Jawa, Betawi, Sunda, Minangkabau, Batak, Melayu, Bali dan yang lainnya. Padahal masih banyak budaya lain yang tak kalah menarik. Misalnya ratusan budaya yang ada di Nusa Tenggara, baik bagian barat maupun timur. Lalu ada Aceh, Palembang, Lampung, Dayak dan lainnya di Kalimantan, ratusan budaya di Sulawesi, Maluku, dan Papua.

- Advertisement -

Budaya lokal ini, kata Deddy –selain budaya besar yang sudah sering diangkat– sangat menarik diangkat ke dunia sinema. Dia mencontohkan film Uang Panai karya sutradara Halim Gani Sadia dan Asril Sani. Film tersebut dibuat di Makassar dengan budaya lokal Bugis dan keseluruhannya memakai bahasa Bugis dengan memakai subtitle bahasa Indonesia. Film ini memang tidak laku bagi masyarakat di luar Sulawesi Selatan (Sulsel), tetapi ditonton oleh 500 ribu orang di Sulsel. Secara bisnis ini sudah sangat menguntungkan, dan secara kultural sudah mengangkat persoalan adat masyarakat ke permukaan. Yakni masalah uang seserahan saat perkawinan.

Film lain yang menggunakan bahasa lokal penuh antara lain Yowis Ben (2018) yang disutradarai Fajar Nugros dan Bayu Skak –yang juga menjadi pemeran utama. Film ini diproduksi oleh salah satu raksasa film Indonesia, Starvision Plus, dan mendapatkan respon positif dari penonton di Indonesia meski hampir keseluruhannya berdialog menggunakan bahasa Jawa Timuran. Kesuksesan itu yang membuat film ini dibuat sekuelnya, Yowis Ben 2. Beberapa tahun setelah itu, 2022, Bayu Skak membuat sinetron berjudul Lara Ati yang keseluruhannya memakai bahasa Jawa dan ditayangkan di SCTV. Sinetron ini tergolong sukses.

Baca Juga:  Menyala, Lampu Colok Berbentuk Masjid Tiga Dimensi di Kampung Langkai

Film dengan mengambil latar lokalitas adalah Laskar Pelangi (2008) yang diangkat dari novel laris Andrea Hirata dengan judul sama. Film yang disutradarai Riri Riza ini menjadi salah satu film terlaris di Indonesia dengan latar setting Pulau Belitung dan latar budaya Melayu di sana. Memang tidak menggunakan bahasa Melayu secara keseluruhan, hanya beberapa bagian saja, namun bahasa lokal tetap menjadi ikon. Film ini membuat Belitung menjadi dikenal luas dan menjadikan kunjungan wisata ke sana naik berlipat-lipat. Secara ekonomi, berkat novel dan film ini, Belitung menjadi salah satu tujuan wisata terbesar di Indonesia. Banyak hotel berbintang tinggi yang dididirikan di sana, termasuk hidupnya ekonomi sekala menengah, UMKM.

“Contoh-contoh itu menjelaskan bahwa budaya lokal itu sebenarnya layak diangkat ke dunia sinema. Hanya saja, kita harus punya ide besar di dalamnya,” kata lelaki blasteran Betawi-Belanda-Sunda-Bugis ini.

Deddy menjelaskan, Riau, termasuk Kabupaten Siak, punya potensi besar yang bisa diangkat ke dunia sinema. Masyarakat Riau dan Siak yang harus punya ide awal untuk hal itu. Misalnya dengan membuat festival film pendek lokal hingga menggandeng perusahaan film untuk membuat film layar lebar. Hanya saja, ide awal harus menarik dan luas yang memberikan value apa yang akan terjadi jika film-film itu dibuat. Sebuah film harus dibuat berdasarkan ide besar dan kuat serta memikirkan apa dampak yang akan terjadi setelah film itu ditonton oleh masyarakat.

Lelaki yang mulai dikenal sebagai aktor berbakat setelah bermain di film Opera Jakarta dan Arie Hanggara –keduanya memberikan Piala Citra untuknya masing-masing sebagai pemeran pembantu pria terbaik dan pemeran pria terbaik— ini menjelaskan, sudah sejak lama Amerika Serikat (AS) menjadikan film sebagai alat penetrasi dalam mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia. Film dijadikan propaganda. Yang terjadi, misalnya, ketika booming film koboy, banyak orang di seluruh dunia bergaya koboy dengan memakai jins, baju flanel kotak-kotak, dan topi khasnya.

Hal yang sama juga dilakukan Korea Selatan (Korsel). Dari negara yang tak dikenal kebudayaannya, kemudian mereka belajar ke AS dan Eropa, yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai K-Pop. Industri sinema mereka melonjak dan jadi tontonan di hampir seluruh dunia. Drama Korea (Drakor), kini seperti menjadi tontonan wajib banyak masyarakat di banyak negara, salah satunya Indonesia. Bahkan salah satu filmnya, Parasite, memenangkan Oscar pada tahun 2020. Kemudian, industri musik mereka juga mampu bersaing secara global. Bahkan mereka mampu bersaing di AS yang dianggap sebagai pusat industri hiburan dunia, juga Eropa. Jepang yang sebelumnya dianggap lebih maju dalam industri hiburan, kini jauh tertinggal.

Baca Juga:  Pemecahan Rekor Penari dan Bangga Berbusana Melayu

Cina kini juga sudah mencoba menjadikan film sebagai salah satu cara untuk mengubah persepsi masyarakat. Belakangan mereka sedang membuat film dengan tema Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung 1955 dengan memperlihatkan peran besarnya dengan menafikan Soekarno dan Indonesia sebagai penggagas kegiatan besar tersebut. Sama seperti AS dan Korsel, Cina juga ingin dunia hiburan (baca: kebudayaan populer) menjadi cara untuk membangun imej dan pengaruh ke negara lain.

Menurutnya, dunia sinema paling mudah mempengaruhi masyarakat. Kita akan merasa menjadi seorang hero ketika keluar dari gedung bioskop setelah nonton film-film Marvel. Atau menjadi koboy setelah nonton film koboy. Juga bisa menangis seharian setelah nonton drama Korea. Ini yang sekarang dimanfaatkan oleh banyak negara untuk membangun pengaruh lewat sinema.

“Amerika paham dengan hal ini. Semua produk mereka boleh diboikot oleh siapa pun, tetapi jangan film mereka. Karena mereka sadar, dengan filmlah mereka membangun propaganda dan pengaruh,” kata peraih beberapa kali Piala Citra ini.

Penetrasi film dan dunia sinema ini, menurut Deddy, dalam dunia modern sekarang sangat mudah masuk ke ruang-ruang privasi. Bahkan ke dunia anak-anak. Salah satunya yang paling mudah adalah lewat aplikasi YouTube. Di aplikasi tersebut, semua genre hiburan ada. Dan ini bisa dimanfaatkan siapa saja yang punya karya atau konten. Konten yang disebarkan di aplikasi ini bisa saja mendapatkan keuntungan materi. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah gagasan-gagasan kita bisa sampai ke masyarakat, bahkan bisa mempengaruhi mereka.

Gagasan, kata aktor watak yang bisa bermain dengan karakter apa saja ini, adalah modal dasar yang harus dimiliki para konten kreator, termasuk sineas. Jika sebuah film atau sinema dibuat tanpa gagasan yang kuat yang penting untuk diketahui dan dipahami masyarakat, maka dia tidak akan berhasil. Menjadi sebuah karya, tetapi tidak mampu bicara apa-apa. Jika orang berkarya tanpa gagasan besar dan bagus, maka dia hanya menjadi sebatas tukang, bukan kreator. Seorang kreator muncul dengan gagasan yang bisa menginspirasi siapa pun, baik melalui kritikan atau wacana yang bisa menjadi trendsetter.

Gagasan-gagasan itulah yang mestinya dibangun oleh para sineas dan budayawan Siak dan Riau agar melahirkan sebuah karya yang sampai kepada masyarakat. Gagasan tentang dunia lokal Melayu yang spesifik yang mungkin tak ditemukan pada budaya lain, yang nantinya akan diingat oleh masyarakat sebagai penonton. Kalau gagasannya sama dengan yang lain, kata pemain film Jangan Renggut Cintaku ini, maka dia tak akan diingat orang dan mudah terlupakan. Dia hanya akan menjadi karya biasa seperti karya kebanyakan yang muncul lalu menghilang.

“Saya akan sangat mendukung dan mendorong jika ada sineas Siak atau Riau yang punya gagasan hebat untuk mengangkat budaya lokal Melayu ke dunia sinema. Yang bisa bikin film tentang Melayu, ya orang Melayu. Orang film di Siak harus membuatnya,” katanya lagi.***

Laporan HARY B KORIUN, Siak Sriindrapura

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari