Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Said Didu: Larang Ekspor Minyak Goreng Kebijakan Salah, Ini Alasannya

JAKARTA  (RIAUPOS.CO) – Eks Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menilai, larangan ekspor kelapa sawit atau bahan baku minyak goreng adalah kebijakan yang salah.

Menurutnya, larangan ekspor minyak goreng yang berlaku pada 28 April 2022 itu tak lebih dari sekadar pencitraan.

“Saya mengistilahkan bahwa ini kebijakan bagaikan ingin mengobati ketombe, tapi yang diamputasi adalah kaki,” ujar Didu kepada RMOL seperti dikuti Pojoksatu.id, Ahad (24/4/2022).

Sebab, kata Said Didu, mahalnya harga minyak goreng di Indonesia itu bukan dikarenakan kekurangan stok.Akan tetapi karena naiknya harga crude palm oil (CPO) dunia yang disebabkan permintaan tinggi dan naiknya minyak bumi karena sebagian CPO sudah digunakan untuk energi.

Baca Juga:  Amankan 5 ABK Bawa 12 TKI 

“Sangat lucu. Kita kelebihan stok, tapi melarang ekspor,” kata Didu.

Larangan ekspor minyak goreng itu, sambungnya, dipastikan pabrik CPO dan pabrik minyak goreng akan mengurangi menampung tandan buah segar (TBS) dari petani karena tidak mempunyai tangki untuk menyimpan.

Menurutnya, solusi paling gampang untuk masalah ini adalah mengubah sistem DMO dan HET menjadi pola subsidi seperti halnya subsidi biosolar.

“Kita tahu subsidi biosolar itu juga sudah menghabiskan sejak 2006, lebih dari Rp110 triliun uang rakyat yang dihabiskan untuk mensubsidi biosolar,” jelas Didu.

Karena itu, Said Didu mengaku heran pemerintah mensubsidi besar-besaran untuk biosolar, tapi tak mau mensubsidi untuk minyak goreng.

“Padahal kita tahu biosolar itu dikonsumsi orang yang punya mobil dan pasti orang yang punya mobil lebih kaya dari penjual gorengan tahu tempe yang ada di pasar-pasar,” ujarnya.

Baca Juga:  DPR Dorong Kemlu Siapkan Rencana Evakuasi WNI dari Ukraina

“Nah, kenapa pemerintah memilih mensubsidi orang yang punya mobil yang punya pabrik dibanding tukang tahu, tukang tempe, warung-warung tegal yang menggoreng itu semua tidak diberikan subsidi,” heran dia.

Didu lantas menilai, bahwa keberpihakan pemerintah kepada rakyat dinomorduakan dibanding keberpihakannya kepada orang yang lebih kaya.

“Saya heran sekali kebijakan ini. Istilah saya, ini adalah kebijakan dengan pendekatan gaya mabuk yang penuh pencitraan,” pungkas Didu.

Sumber: Pojoksatu.id

Editor: Edwar Yaman

 

 

 

JAKARTA  (RIAUPOS.CO) – Eks Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menilai, larangan ekspor kelapa sawit atau bahan baku minyak goreng adalah kebijakan yang salah.

Menurutnya, larangan ekspor minyak goreng yang berlaku pada 28 April 2022 itu tak lebih dari sekadar pencitraan.

- Advertisement -

“Saya mengistilahkan bahwa ini kebijakan bagaikan ingin mengobati ketombe, tapi yang diamputasi adalah kaki,” ujar Didu kepada RMOL seperti dikuti Pojoksatu.id, Ahad (24/4/2022).

Sebab, kata Said Didu, mahalnya harga minyak goreng di Indonesia itu bukan dikarenakan kekurangan stok.Akan tetapi karena naiknya harga crude palm oil (CPO) dunia yang disebabkan permintaan tinggi dan naiknya minyak bumi karena sebagian CPO sudah digunakan untuk energi.

- Advertisement -
Baca Juga:  Ini Cara Selandia Baru Lindungi Perusahaan dari Ancaman Corona

“Sangat lucu. Kita kelebihan stok, tapi melarang ekspor,” kata Didu.

Larangan ekspor minyak goreng itu, sambungnya, dipastikan pabrik CPO dan pabrik minyak goreng akan mengurangi menampung tandan buah segar (TBS) dari petani karena tidak mempunyai tangki untuk menyimpan.

Menurutnya, solusi paling gampang untuk masalah ini adalah mengubah sistem DMO dan HET menjadi pola subsidi seperti halnya subsidi biosolar.

“Kita tahu subsidi biosolar itu juga sudah menghabiskan sejak 2006, lebih dari Rp110 triliun uang rakyat yang dihabiskan untuk mensubsidi biosolar,” jelas Didu.

Karena itu, Said Didu mengaku heran pemerintah mensubsidi besar-besaran untuk biosolar, tapi tak mau mensubsidi untuk minyak goreng.

“Padahal kita tahu biosolar itu dikonsumsi orang yang punya mobil dan pasti orang yang punya mobil lebih kaya dari penjual gorengan tahu tempe yang ada di pasar-pasar,” ujarnya.

Baca Juga:  RSUD Arifin Achmad Menuju Pusat Ginjal di Riau

“Nah, kenapa pemerintah memilih mensubsidi orang yang punya mobil yang punya pabrik dibanding tukang tahu, tukang tempe, warung-warung tegal yang menggoreng itu semua tidak diberikan subsidi,” heran dia.

Didu lantas menilai, bahwa keberpihakan pemerintah kepada rakyat dinomorduakan dibanding keberpihakannya kepada orang yang lebih kaya.

“Saya heran sekali kebijakan ini. Istilah saya, ini adalah kebijakan dengan pendekatan gaya mabuk yang penuh pencitraan,” pungkas Didu.

Sumber: Pojoksatu.id

Editor: Edwar Yaman

 

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari