JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerima rekomendasi dari Komite Pengarah Internasional Solidaritas Pengujian (Solidarity Trial’s International Steering Committee) untuk menghentikan uji coba penggunaan obat Hydroxychloroquine dan Lopinavir atau Ritonavir. Komite Uji Solidaritas itu didirikan oleh WHO untuk menemukan pengobatan yang efektif untuk pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
Dalam keterangan resmi di laman WHO, Sabtu (4/7), Komite Pengarah Internasional Solidaritas Pengujian merumuskan rekomendasi untuk penggunaan obat Covid-19. Berdasarkan bukti hasil sementara uji coba, obat Hydroxychloroquine Lopinavir atau Ritonavir tidak terbukti maksimal dalam mencegah kematian pasien Covid-19. Sehingga tidak lebih baik jika dibandingkan dengan standar perawatan lain di rumah sakit.
Untuk masing-masing obat, hasil sementara tidak memberikan bukti kuat adanya peningkatan mortalitas. Hasil ini juga akan dilaporkan dalam publikasi peer-review.
Keputusan ini hanya berlaku untuk pelaksanaan uji coba pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan tidak memengaruhi evaluasi pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit. Hasil tim Solidaritas interim sekarang sedang disiapkan untuk publikasi peer-review.
Sebelumnya, dalam laman Channel News Asia disebutkan, Food and Drug Administration (FDA) juga membatasi penggunaan obat malaria Hydroxychloroquine untuk pasien Covid-19. Namun kebijakan itu ditentang oleh para dokter yang tergabung dalam Association of American Physicians and Surgeons (AAPS). Obat ini juga telah diperjuangkan oleh Presiden Donald Trump sebagai solusi potensial terhadap virus Korona.
Sedangkan FDA sudah membatasi penggunaannya. Sebuah uji klinis yang dirilis pada menemukan obat itu tidak efektif dalam mencegah infeksi.
FDA, yang mengatur obat-obatan di Amerika Serikat, telah membatasi penggunaan obat dari persediaan nasional untuk Covid-19 pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Peringatan FDA menilai bahwa obat tersebut memiliki risiko efek samping aritmia jantung berbahaya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman
JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerima rekomendasi dari Komite Pengarah Internasional Solidaritas Pengujian (Solidarity Trial’s International Steering Committee) untuk menghentikan uji coba penggunaan obat Hydroxychloroquine dan Lopinavir atau Ritonavir. Komite Uji Solidaritas itu didirikan oleh WHO untuk menemukan pengobatan yang efektif untuk pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
Dalam keterangan resmi di laman WHO, Sabtu (4/7), Komite Pengarah Internasional Solidaritas Pengujian merumuskan rekomendasi untuk penggunaan obat Covid-19. Berdasarkan bukti hasil sementara uji coba, obat Hydroxychloroquine Lopinavir atau Ritonavir tidak terbukti maksimal dalam mencegah kematian pasien Covid-19. Sehingga tidak lebih baik jika dibandingkan dengan standar perawatan lain di rumah sakit.
- Advertisement -
Untuk masing-masing obat, hasil sementara tidak memberikan bukti kuat adanya peningkatan mortalitas. Hasil ini juga akan dilaporkan dalam publikasi peer-review.
Keputusan ini hanya berlaku untuk pelaksanaan uji coba pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan tidak memengaruhi evaluasi pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit. Hasil tim Solidaritas interim sekarang sedang disiapkan untuk publikasi peer-review.
- Advertisement -
Sebelumnya, dalam laman Channel News Asia disebutkan, Food and Drug Administration (FDA) juga membatasi penggunaan obat malaria Hydroxychloroquine untuk pasien Covid-19. Namun kebijakan itu ditentang oleh para dokter yang tergabung dalam Association of American Physicians and Surgeons (AAPS). Obat ini juga telah diperjuangkan oleh Presiden Donald Trump sebagai solusi potensial terhadap virus Korona.
Sedangkan FDA sudah membatasi penggunaannya. Sebuah uji klinis yang dirilis pada menemukan obat itu tidak efektif dalam mencegah infeksi.
FDA, yang mengatur obat-obatan di Amerika Serikat, telah membatasi penggunaan obat dari persediaan nasional untuk Covid-19 pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Peringatan FDA menilai bahwa obat tersebut memiliki risiko efek samping aritmia jantung berbahaya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman