Selasa, 22 Oktober 2024

Bang Yos

- Advertisement -

LELAKI itu sedang mengetik di depan sebuah layar komputer ketika saya membuka ruang kaca dan masuk di ruang kerja redaksi Pekanbaru Pos. Bulan Juni ketika itu, tahun 2000, hari-hari awal saya masuk sebagai redaktur khusus di koran anak perusahaan Riau Pos tersebut. Pada bulan-bulan pertama bekerja, saya ditugasi membuat edisi khusus olahraga empat halaman yang terbit hari Ahad. Rubrik Gawang namanya. Saya mulai mengumpulkan bahan hari Kamis. Jumat mulai menulis dan Sabtu sore sudah deadline.

Saya belum pernah ketemu dengan lelaki itu sebelum pada Jumat siang sehabis salat tersebut. Namanya Yoserizal. Lengkapnya Raja Yoserizal Zen. Masih keturunan keluarga raja-raja di Indragiri, tepatnya Indragiri Hilir. Saya kemudian memperkenalkan diri sebagai redaktur baru kepadanya. Saya memanggilnya Bang Yos. Sebuah panggilan yang tak pernah berubah meski kemudian dia menjabat sebagai kepala dinas di beberapa dinas di Pemprov Riau.

- Advertisement -

Dia bertanya, sebelumnya saya kerja di mana. Saya sebutkan kalau saya pernah lama bekerja di sebuah koran harian di Padang, Singgalang, sambil kuliah. Pernah berkerja sebagai koresponden majalah Tiras untuk liputan Sumatra Barat, dan setahun terakhir kerja “serabutan” di beberapa media di Jakarta sebelum ditugaskan sebagai koresponden media olahraga Gema Olahraga (GO) untuk liputan Riau.

Obrolan kami kemudian nyambung. Ternyata dia juga baru kembali ke Pekanbaru. Bang Yos bertugas sebagai wartawan JPNN (Jawa Pos News Network) untuk liputan budaya di Jakarta sebelumnya. Dia banyak meliput persoalan kebudayaan, juga hiburan. Kawannya banyak artis. Dia kembali ke Pekanbaru karena mengurus pekerjaan dia sebagai PNS. Waktu itu wartawan Riau Pos boleh merangkap sebagai PNS. Setelah ngobrol, saya duduk dan bekerja di meja sebelah kanan dari pintu masuk kantor. Lalu kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bang Yos memegang halaman budaya dan hiburan. Satu halaman berisi cerita pendek (cerpen) dan puisi, satu halaman lagi khusus artis dan film.

Beberapa saat setelah kami bekerja, Bang Yos mendekati meja saya. Dia seperti lupa sesuatu. “Awak yang saat awal tahun ini cerbungnya dimuat di Republika, kan?” tanya dia.

Baca Juga:  Wartawan Riau Pos Juara Anugerah Jurnalistik APRIL- APR 2023

Saya mengiyakan. Kebetulan, novel pertama saya, Nyanyian Batanghari, sedang dimuat sebagai cerita bersambung (cerbung) di koran yang didirikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) tersebut. Dimuat selama 76 hari mulai 1 Januari 2000. Lalu dia bilang, sedang tidak ada naskah cerpen yang bagus yang layak dimuat. Katanya, kalau saya punya stok cerpen, bolehlah dimuat untuk edisi Ahad. “Sebagai ucapan selamat datang sebagai penulis Riau,” katanya sambil tertawa.

Sambil tersenyum, saya menjelaskan padanya bahwa cerpen-cerpen saya sejak 1996 sudah pernah dimuat di Riau Pos saat saya masih kuliah di Universitas Andalas (Unand) Padang. Dan ketika saya masih menjadi koresponden GO, cerpen saya beberapa kali dimuat di harian Suara Kita yang kemudian berubah menjadi Suara Riau. Mendengar itu, dia tersenyum dan kembali meminta file cerpen saya.

- Advertisement -

Sore hari, datang seorang anak muda periang. Itu terlihat dari wajahnya yang murah senyum dan menyapa siapa saja yang ada di kantor yang ketika itu mulai ramai karena para redaktur dan reporter sudah mulai berdatangan. Dia langsung nyamperin Bang Yos dan meminta agar cerpen dia bisa dimuat untuk edisi Ahad depan. Bang Yos kemudian menjawab kalau naskah cerpen sudah ada. Dia kemudian bertanya, cerpen siapa. Bang Yos menyebut nama saya.

Pemuda itu terkejut, “Itu kan penulis Jakarta? Cerbungnya dimuat di Republika,” katanya. Bang Yos kemudian menunjuk ke arah saya. “Itu orangnya…”

Dia kemudian membalikkan badannya dan mendekati saya. Kami berkenalan. Namanya Ramon Damora. Asal Muara Mahat, Kampar, yang kampungnya sekarang ada di dasar danau PLTA Koto Panjang. Kelak, Ramon pindah ke Batam Pos dan menjadi salah seorang petinggi yang memimpin beberapa koran Riau Pos Group di sana. Ramon juga pernah menjadi Ketua PWI Kepri dua periode. Dalam peta sastra nasional, Ramon termasuk penyair lumayan terbilang dan pernah menerbitkan buku Susu Mata Ibu. Setelah itu kami terlibat dalam obrolan tentang penulisan kreatif dan sastra, sebelum saya mengatakan kalau pekerjaan saya belum selesai.

Perkenalan dengan Bang Yos, juga Ramon, ketika itu, membuat saya punya kawan ngobrol tentang kesusastraan di redaksi. Setelah itu ternyata ada redaktur halaman 1 Mahyudin Yusdar, juga Pempimpin Redaksi, Bang Sutrianto, yang juga penulis cerpen dan puisi. Di hari-hari selanjutnya, Bang Yos beberapa kali mengajak ngopi di luar pekerjaan. Kami beberapa kali naik Vesva butut dia saat pergi ngopi.

Baca Juga:  Tragedi Amir (2)

Namun, tak lama kemudian, sekitar setahun, Bang Yos sudah tidak terlihat di kantor. Kabarnya dia harus masuk ke kantor pemerintah sebagai PNS. Juga, ketika itu ada aturan bahwa PNS tidak boleh lagi menjadi pegawai tetap di Riau Pos Group, yang membuat intensitas perjumpaan kami berkurang. Ketika saya sudah ditarik ke redaksi Riau Pos, beberapa kali kami bertemu dalam banyak acara kebudayaan, dan dia sering mengirimkan puisinya untuk dimuat di rubrik sastra. Hingga kemudian Bang Yos menjadi kepala di beberapa dinas seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispresip), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), dan terakhir sebagai Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud), kami benar-benar jarang ketemu selain dalam perhelatan budaya yang cukup besar di Riau.

Sebulan yang lalu, saat helat Festival Sastra Melayu yang ditaja Disbud, kami bertemu di Kafe Sikukeluang, Gobah, dalam diskusi Jalur Rempah. Di sana ada Alang Rizal, WS Djambak, Andreas Mazland, Anton WP, dan beberapa sastrawan lainnya. Ketika dia memanggil, saya merapat ke mejanya. Kami bercerita tentang beberapa hal, termasuk tentang bagaimana mengabadikan nama-nama besar sastrawan Riau yang sudah wafat agar terus dikenang karya-karyanya lewat sebuah acara, minimal diskusi. Saya menawarkan nama Ediruslan PE Amanriza dan Soeman Hs agar kelahirannya diperingati di Riau. Pada prinsipnya Bang Yos setuju.

Namun, sebelum acara itu dirancang dan benar-benar dilaksanakan, saya terkejut ketika mendengar Bang Yos mendadak masuk rumah sakit karena serangan jantung. Dan pada Jumat, 4 Oktober 2024 pukul 13.30 WIB ketika diumumkan bahwa Bang Yos wafat, saya merasa kehilangan seorang sahabat yang meskipun sudah menjadi pejabat tinggi, saya tak bisa menggantikan panggilan padanya selain “Bang Yos”. Dia orang baik, dan saya bersaksi untuk itu.***

LELAKI itu sedang mengetik di depan sebuah layar komputer ketika saya membuka ruang kaca dan masuk di ruang kerja redaksi Pekanbaru Pos. Bulan Juni ketika itu, tahun 2000, hari-hari awal saya masuk sebagai redaktur khusus di koran anak perusahaan Riau Pos tersebut. Pada bulan-bulan pertama bekerja, saya ditugasi membuat edisi khusus olahraga empat halaman yang terbit hari Ahad. Rubrik Gawang namanya. Saya mulai mengumpulkan bahan hari Kamis. Jumat mulai menulis dan Sabtu sore sudah deadline.

Saya belum pernah ketemu dengan lelaki itu sebelum pada Jumat siang sehabis salat tersebut. Namanya Yoserizal. Lengkapnya Raja Yoserizal Zen. Masih keturunan keluarga raja-raja di Indragiri, tepatnya Indragiri Hilir. Saya kemudian memperkenalkan diri sebagai redaktur baru kepadanya. Saya memanggilnya Bang Yos. Sebuah panggilan yang tak pernah berubah meski kemudian dia menjabat sebagai kepala dinas di beberapa dinas di Pemprov Riau.

Dia bertanya, sebelumnya saya kerja di mana. Saya sebutkan kalau saya pernah lama bekerja di sebuah koran harian di Padang, Singgalang, sambil kuliah. Pernah berkerja sebagai koresponden majalah Tiras untuk liputan Sumatra Barat, dan setahun terakhir kerja “serabutan” di beberapa media di Jakarta sebelum ditugaskan sebagai koresponden media olahraga Gema Olahraga (GO) untuk liputan Riau.

Obrolan kami kemudian nyambung. Ternyata dia juga baru kembali ke Pekanbaru. Bang Yos bertugas sebagai wartawan JPNN (Jawa Pos News Network) untuk liputan budaya di Jakarta sebelumnya. Dia banyak meliput persoalan kebudayaan, juga hiburan. Kawannya banyak artis. Dia kembali ke Pekanbaru karena mengurus pekerjaan dia sebagai PNS. Waktu itu wartawan Riau Pos boleh merangkap sebagai PNS. Setelah ngobrol, saya duduk dan bekerja di meja sebelah kanan dari pintu masuk kantor. Lalu kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bang Yos memegang halaman budaya dan hiburan. Satu halaman berisi cerita pendek (cerpen) dan puisi, satu halaman lagi khusus artis dan film.

Beberapa saat setelah kami bekerja, Bang Yos mendekati meja saya. Dia seperti lupa sesuatu. “Awak yang saat awal tahun ini cerbungnya dimuat di Republika, kan?” tanya dia.

Baca Juga:  Tragedi Amir (2)

Saya mengiyakan. Kebetulan, novel pertama saya, Nyanyian Batanghari, sedang dimuat sebagai cerita bersambung (cerbung) di koran yang didirikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) tersebut. Dimuat selama 76 hari mulai 1 Januari 2000. Lalu dia bilang, sedang tidak ada naskah cerpen yang bagus yang layak dimuat. Katanya, kalau saya punya stok cerpen, bolehlah dimuat untuk edisi Ahad. “Sebagai ucapan selamat datang sebagai penulis Riau,” katanya sambil tertawa.

Sambil tersenyum, saya menjelaskan padanya bahwa cerpen-cerpen saya sejak 1996 sudah pernah dimuat di Riau Pos saat saya masih kuliah di Universitas Andalas (Unand) Padang. Dan ketika saya masih menjadi koresponden GO, cerpen saya beberapa kali dimuat di harian Suara Kita yang kemudian berubah menjadi Suara Riau. Mendengar itu, dia tersenyum dan kembali meminta file cerpen saya.

Sore hari, datang seorang anak muda periang. Itu terlihat dari wajahnya yang murah senyum dan menyapa siapa saja yang ada di kantor yang ketika itu mulai ramai karena para redaktur dan reporter sudah mulai berdatangan. Dia langsung nyamperin Bang Yos dan meminta agar cerpen dia bisa dimuat untuk edisi Ahad depan. Bang Yos kemudian menjawab kalau naskah cerpen sudah ada. Dia kemudian bertanya, cerpen siapa. Bang Yos menyebut nama saya.

Pemuda itu terkejut, “Itu kan penulis Jakarta? Cerbungnya dimuat di Republika,” katanya. Bang Yos kemudian menunjuk ke arah saya. “Itu orangnya…”

Dia kemudian membalikkan badannya dan mendekati saya. Kami berkenalan. Namanya Ramon Damora. Asal Muara Mahat, Kampar, yang kampungnya sekarang ada di dasar danau PLTA Koto Panjang. Kelak, Ramon pindah ke Batam Pos dan menjadi salah seorang petinggi yang memimpin beberapa koran Riau Pos Group di sana. Ramon juga pernah menjadi Ketua PWI Kepri dua periode. Dalam peta sastra nasional, Ramon termasuk penyair lumayan terbilang dan pernah menerbitkan buku Susu Mata Ibu. Setelah itu kami terlibat dalam obrolan tentang penulisan kreatif dan sastra, sebelum saya mengatakan kalau pekerjaan saya belum selesai.

Perkenalan dengan Bang Yos, juga Ramon, ketika itu, membuat saya punya kawan ngobrol tentang kesusastraan di redaksi. Setelah itu ternyata ada redaktur halaman 1 Mahyudin Yusdar, juga Pempimpin Redaksi, Bang Sutrianto, yang juga penulis cerpen dan puisi. Di hari-hari selanjutnya, Bang Yos beberapa kali mengajak ngopi di luar pekerjaan. Kami beberapa kali naik Vesva butut dia saat pergi ngopi.

Baca Juga:  Masagung

Namun, tak lama kemudian, sekitar setahun, Bang Yos sudah tidak terlihat di kantor. Kabarnya dia harus masuk ke kantor pemerintah sebagai PNS. Juga, ketika itu ada aturan bahwa PNS tidak boleh lagi menjadi pegawai tetap di Riau Pos Group, yang membuat intensitas perjumpaan kami berkurang. Ketika saya sudah ditarik ke redaksi Riau Pos, beberapa kali kami bertemu dalam banyak acara kebudayaan, dan dia sering mengirimkan puisinya untuk dimuat di rubrik sastra. Hingga kemudian Bang Yos menjadi kepala di beberapa dinas seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispresip), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), dan terakhir sebagai Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud), kami benar-benar jarang ketemu selain dalam perhelatan budaya yang cukup besar di Riau.

Sebulan yang lalu, saat helat Festival Sastra Melayu yang ditaja Disbud, kami bertemu di Kafe Sikukeluang, Gobah, dalam diskusi Jalur Rempah. Di sana ada Alang Rizal, WS Djambak, Andreas Mazland, Anton WP, dan beberapa sastrawan lainnya. Ketika dia memanggil, saya merapat ke mejanya. Kami bercerita tentang beberapa hal, termasuk tentang bagaimana mengabadikan nama-nama besar sastrawan Riau yang sudah wafat agar terus dikenang karya-karyanya lewat sebuah acara, minimal diskusi. Saya menawarkan nama Ediruslan PE Amanriza dan Soeman Hs agar kelahirannya diperingati di Riau. Pada prinsipnya Bang Yos setuju.

Namun, sebelum acara itu dirancang dan benar-benar dilaksanakan, saya terkejut ketika mendengar Bang Yos mendadak masuk rumah sakit karena serangan jantung. Dan pada Jumat, 4 Oktober 2024 pukul 13.30 WIB ketika diumumkan bahwa Bang Yos wafat, saya merasa kehilangan seorang sahabat yang meskipun sudah menjadi pejabat tinggi, saya tak bisa menggantikan panggilan padanya selain “Bang Yos”. Dia orang baik, dan saya bersaksi untuk itu.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Masagung

The Boxer

(Kurikulum) Sastra 3

(Kurikulum) Sastra 2

spot_img
spot_img

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari