Sabtu, 4 Mei 2024

HARY B KORIUN

Tato Yulia

TAHUN 1983. Ali Munif turun dari bus Antar Lintas Sumatra (ALS) di Simpang Somel, Kabupaten Bungo Tebo (sekarang Kabupaten Bungo), pada sebuah malam di bulan April. Dia berdua dengan Kasmudi yang masih saudara jauhnya. Keduanya kemudian berjalan kaki sekitar satu kilometer ke arah Rimbo Bujang sambil berharap ada kendaraan lewat yang bisa ditumpangi. Namun, dalam kondisi sehabis hujan, jalanan yang masih berupa tanah liat itu sangat buruk. Lunak dan licin. Ali dan Kasmudi sering hampir terpeleset dan terjatuh karena jalanan juga gelap gulita. Ketika itu, belum ada jalan yang beraspal di Rimbo Bujang, sebuah kecamatan yang dibuka untuk para transmigran dari berbagai daerah di Jawa.

Sayangnya, tak ada kendaraan yang lewat malam itu. Mereka berdua harus berjalan kaki sejauh hampir 20 Km untuk sampai ke rumah saudaranya di Desa Sukamaju. Mereka di sana lebih akrab dengan menyebut desa sebagai Unit VIII. Semua desa di sana dinomori dengan kata “Unit”. Ada 20 desa atau unit di kecamatan yang sebelumnya adalah hutan belantara yang dibuka untuk permukiman transmigran sejak 1975 tesebut.

Yamaha

Hampir tengah malam mereka sampai di rumah Murawi, ipar Kasmudi. Kakak Kasmudi menikah dengan adik satu ayah dengan Murawi. Ali dan Kasmudi akrab sejak kecil. Ketika Ali ketakutan dan harus melarikan diri dari kampungnya di Desa Tlutuk, Kecamatan Wedari Jaksa, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), Kasmudi tak tega membiarkannya sendirian. Mereka kemudian pamit ke keluarganya dan saat malam berangkat ke Kota Pati, naik sebuah bus kecil ke Semarang. Dari Semarang kemudian naik bus ALS itu menuju ke Sumatra. Perjalanan itu dilakukan dengan penuh ketakutan. Ketika melihat tentara atau polisi di jalan, jantung keduanya tak berhenti, berdegup kencang. Perlu waktu empat hari empat malam untuk tiba di Simpang Somel. Jalan Lintas Sumatra –sekarang disebut Lintas Barat setelah dibangun Lintas Timur Sumatra– tidak sebagus sekarang. Masih banyak yang belum diaspal dan masih berupa jalanan kerikil dan berbatu.

Di desanya, Ali termasuk anak manja karena keluarganya lumayan berada dan terpandang. Keluarganya memiliki beberapa petak tambak, yang kadang diisi ikan bandeng atau udang. Jika panen, mereka akan mendapatkan banyak uang dan Ali yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara, tak perlu ikut bekerja keras ke tambak. Ayahnya banyak memiliki anak buah yang bekerja di sana. Dia hanya menikmati hidup dengan bersekolah hingga tamat SMA di Kota Pati. Dia tak punya keinginan untuk kuliah ketika itu. Dia berpikir, dia dan kakaknya nanti akan mewarisi usaha tambak tersebut. Dan itu tak perlu sekolah tinggi.

Baca Juga:  Saya San (2)

Begitu juga dengan Kasmudi. Keluarganya juga lumayan berada dengan usaha tambak, sama dengan keluarga Ali. Bedanya, keluarga Kasmudi banyak. Mereka enam bersaudara. Karena ayahnya sudah tua, usaha tambak keluarga kini dipegang oleh Karmito, kakak tertuanya. Kasmudi juga tak tamat SMA seperti Ali. Dia hanya tamat SD. Sama seperti Ali, dia juga tak perlu bekerja keras seperti anak-anak seusianya yang lain di desa itu yang harus bekerja keras membantu keluarganya karena tak memiliki usaha seperti yang dimiliki keluarga Ali dan Kasmudi.

- Advertisement -

Namun di tempat pelariannya di Rimbo Bujang, keduanya harus bekerja keras. Mereka kerja serabutan. Awalnya hanya membantu membersihkan lahan keluarga Murawi. Namun setelah itu, setelah kenal dengan banyak penduduk di Sukamaju, mereka akhirnya mocok di rumah keluarga lainnya, baik membabat semak atau menyangkul untuk menggemburkan tanah yang akan ditanami palawija. Mocok adalah sebutan untuk pekerjaan harian kerja serabutan di ladang.

Ali dan Kasmudi awalnya mengeluh dan kelihatan capek saat bekerja di ladang itu. Kedua telapak tangan mereka awalnya melepuh dan kemudian mengeluarkan air. Namun lama-lama itu menjadi kapalan dan akhirnya mereka sudah terbiasa kerja seperti itu. Keduanya tahu, mereka melakukan itu tidak selamanya. Mereka suatu saat pasti akan pulang ke Tlutuk dan hidup enak dengan keluarganya.

- Advertisement -

Saat masih di kampungnya, sebagai anak muda ketika itu, setelah lulus SMA, Ali membuat tato di lengan kanan bagian dalam. Tato itu tidak besar, tapi jelas terlihat kalau dia pakai baju lengan pendek. Itu tato wajah Yulia Marini, pacar yang akan segera dinikahinya. Tato itu dibuat sebagai tanda cintanya kepada kekasihnya itu. Dirajah oleh seorang ahli tato di Kota Juwana sehingga wajah Yulia terlihat mirip dalam tato tersebut, meski hanya satu warna, hitam.

Baca Juga:  Toko Buku

Namun, lambang dari rasa cinta mereka berdua itu berubah petaka. Ini berawal dari penghargaan yang diberikan Presiden Soeharto kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo, atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat di Jakarta. Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif untuk menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo, dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan Wagub DKI Jakarta, di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta. Langkah ini kemudian diikuti oleh ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.

Itu adalah operasi rahasia, dilakukan dengan cara senyap. Tak diumumkan ke publik. Sasarannya adalah para perampok dan begal. Juga para preman. Salah satu dan yang paling mudah sebagai penanda seseorang dianggap begal, perampok, atau preman, adalah ada tato di badannya. Daerah operasinya yang masif adalah Jakarta dan Jateng. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap –tapi diyakini mereka adalah tentara dan polisi– karena itu muncul istilah “petrus” (penembak misterius).

Dan inilah yang membuat Ali Munif ketakutan. Lambang cintanya berupa tato Yulia membuatnya harus lari keluar dari desanya ke Sumatra, yang ketika itu masih dianggap sebagai daerah rimba raya yang berisi binatang buas. Ali takut dia akan jadi korban penembakan yang banyak terjadi di Pati dan daerah lainnya yang mayatnya sering ditemukan berada dalam karung yang terikat di kebun tebu, mengambang di sungai, atau malah di tengah padi yang menghijau di sawah. Dan semua mayat itu: bertato.***

TAHUN 1983. Ali Munif turun dari bus Antar Lintas Sumatra (ALS) di Simpang Somel, Kabupaten Bungo Tebo (sekarang Kabupaten Bungo), pada sebuah malam di bulan April. Dia berdua dengan Kasmudi yang masih saudara jauhnya. Keduanya kemudian berjalan kaki sekitar satu kilometer ke arah Rimbo Bujang sambil berharap ada kendaraan lewat yang bisa ditumpangi. Namun, dalam kondisi sehabis hujan, jalanan yang masih berupa tanah liat itu sangat buruk. Lunak dan licin. Ali dan Kasmudi sering hampir terpeleset dan terjatuh karena jalanan juga gelap gulita. Ketika itu, belum ada jalan yang beraspal di Rimbo Bujang, sebuah kecamatan yang dibuka untuk para transmigran dari berbagai daerah di Jawa.

Sayangnya, tak ada kendaraan yang lewat malam itu. Mereka berdua harus berjalan kaki sejauh hampir 20 Km untuk sampai ke rumah saudaranya di Desa Sukamaju. Mereka di sana lebih akrab dengan menyebut desa sebagai Unit VIII. Semua desa di sana dinomori dengan kata “Unit”. Ada 20 desa atau unit di kecamatan yang sebelumnya adalah hutan belantara yang dibuka untuk permukiman transmigran sejak 1975 tesebut.

Hampir tengah malam mereka sampai di rumah Murawi, ipar Kasmudi. Kakak Kasmudi menikah dengan adik satu ayah dengan Murawi. Ali dan Kasmudi akrab sejak kecil. Ketika Ali ketakutan dan harus melarikan diri dari kampungnya di Desa Tlutuk, Kecamatan Wedari Jaksa, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), Kasmudi tak tega membiarkannya sendirian. Mereka kemudian pamit ke keluarganya dan saat malam berangkat ke Kota Pati, naik sebuah bus kecil ke Semarang. Dari Semarang kemudian naik bus ALS itu menuju ke Sumatra. Perjalanan itu dilakukan dengan penuh ketakutan. Ketika melihat tentara atau polisi di jalan, jantung keduanya tak berhenti, berdegup kencang. Perlu waktu empat hari empat malam untuk tiba di Simpang Somel. Jalan Lintas Sumatra –sekarang disebut Lintas Barat setelah dibangun Lintas Timur Sumatra– tidak sebagus sekarang. Masih banyak yang belum diaspal dan masih berupa jalanan kerikil dan berbatu.

Di desanya, Ali termasuk anak manja karena keluarganya lumayan berada dan terpandang. Keluarganya memiliki beberapa petak tambak, yang kadang diisi ikan bandeng atau udang. Jika panen, mereka akan mendapatkan banyak uang dan Ali yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara, tak perlu ikut bekerja keras ke tambak. Ayahnya banyak memiliki anak buah yang bekerja di sana. Dia hanya menikmati hidup dengan bersekolah hingga tamat SMA di Kota Pati. Dia tak punya keinginan untuk kuliah ketika itu. Dia berpikir, dia dan kakaknya nanti akan mewarisi usaha tambak tersebut. Dan itu tak perlu sekolah tinggi.

Baca Juga:  Toko Buku

Begitu juga dengan Kasmudi. Keluarganya juga lumayan berada dengan usaha tambak, sama dengan keluarga Ali. Bedanya, keluarga Kasmudi banyak. Mereka enam bersaudara. Karena ayahnya sudah tua, usaha tambak keluarga kini dipegang oleh Karmito, kakak tertuanya. Kasmudi juga tak tamat SMA seperti Ali. Dia hanya tamat SD. Sama seperti Ali, dia juga tak perlu bekerja keras seperti anak-anak seusianya yang lain di desa itu yang harus bekerja keras membantu keluarganya karena tak memiliki usaha seperti yang dimiliki keluarga Ali dan Kasmudi.

Namun di tempat pelariannya di Rimbo Bujang, keduanya harus bekerja keras. Mereka kerja serabutan. Awalnya hanya membantu membersihkan lahan keluarga Murawi. Namun setelah itu, setelah kenal dengan banyak penduduk di Sukamaju, mereka akhirnya mocok di rumah keluarga lainnya, baik membabat semak atau menyangkul untuk menggemburkan tanah yang akan ditanami palawija. Mocok adalah sebutan untuk pekerjaan harian kerja serabutan di ladang.

Ali dan Kasmudi awalnya mengeluh dan kelihatan capek saat bekerja di ladang itu. Kedua telapak tangan mereka awalnya melepuh dan kemudian mengeluarkan air. Namun lama-lama itu menjadi kapalan dan akhirnya mereka sudah terbiasa kerja seperti itu. Keduanya tahu, mereka melakukan itu tidak selamanya. Mereka suatu saat pasti akan pulang ke Tlutuk dan hidup enak dengan keluarganya.

Saat masih di kampungnya, sebagai anak muda ketika itu, setelah lulus SMA, Ali membuat tato di lengan kanan bagian dalam. Tato itu tidak besar, tapi jelas terlihat kalau dia pakai baju lengan pendek. Itu tato wajah Yulia Marini, pacar yang akan segera dinikahinya. Tato itu dibuat sebagai tanda cintanya kepada kekasihnya itu. Dirajah oleh seorang ahli tato di Kota Juwana sehingga wajah Yulia terlihat mirip dalam tato tersebut, meski hanya satu warna, hitam.

Baca Juga:  Wartawan Riau Pos Juara Anugerah Jurnalistik APRIL- APR 2023

Namun, lambang dari rasa cinta mereka berdua itu berubah petaka. Ini berawal dari penghargaan yang diberikan Presiden Soeharto kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo, atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat di Jakarta. Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif untuk menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo, dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan Wagub DKI Jakarta, di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta. Langkah ini kemudian diikuti oleh ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.

Itu adalah operasi rahasia, dilakukan dengan cara senyap. Tak diumumkan ke publik. Sasarannya adalah para perampok dan begal. Juga para preman. Salah satu dan yang paling mudah sebagai penanda seseorang dianggap begal, perampok, atau preman, adalah ada tato di badannya. Daerah operasinya yang masif adalah Jakarta dan Jateng. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap –tapi diyakini mereka adalah tentara dan polisi– karena itu muncul istilah “petrus” (penembak misterius).

Dan inilah yang membuat Ali Munif ketakutan. Lambang cintanya berupa tato Yulia membuatnya harus lari keluar dari desanya ke Sumatra, yang ketika itu masih dianggap sebagai daerah rimba raya yang berisi binatang buas. Ali takut dia akan jadi korban penembakan yang banyak terjadi di Pati dan daerah lainnya yang mayatnya sering ditemukan berada dalam karung yang terikat di kebun tebu, mengambang di sungai, atau malah di tengah padi yang menghijau di sawah. Dan semua mayat itu: bertato.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Salvador

Saya San (2)

Saya San

Toko Buku

Toko Buku

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari