Senin, 20 Mei 2024

Menggesa Digitalisasi Transaksi Pemerintah di Daerah

Sejak mewabahnya virus Covid-19 tahun lalu, hampir semua bentuk kegiatan manusia mengalami disrupsi yang hebat, lebih cepat dari yang diperkirakan. Tak hanya itu, bencana kesehatan itu juga menggulung ragam kegiatan manusia yang sudah mapan. Sejumlah perusahaan ritel ternama pun tak ayal harus menutup lapak usaha. Demikian pula sektor riil sangat terpukul karena aktivitas ekonomi yang freeze dan menurunnya daya beli. 

Fenomena tersebut memaksa semua sektor harus mengambil tindakan sudden shifting, tak terkecuali pada sektor pemerintahan.

Yamaha

Dampak dari outbreak tersebut juga menimpa sektor riil seperti UKM yang selama ini menopang ekonomi. Lapis pertahanan ekonomi makin tergerus.  Dalam kondisi ketidakjelasan seperti sekarang ini terbukti APBN menjadi senjata pamungkas (counter-cyclical) yang menjadi tumpuan dalam menyelamatkan ekonomi nasional. 

Namun pada saat  intstrumen APBN diharapkan bermanuver, operasionalisasi pembayaran APBN berhadapan dengan protokol kesehatan demi mencegah dampak pandemi yang lebih besar. Transaksi tak dapat dilakukan secara langsung padahal kebutuhan tak dapat ditunda lagi. 

Pada saat itulah mekanisme pembayaran dengan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) dan Marketplace (Digital Payment) yang sejatinya telah berjalan uji cobanya menjadi jurus pamungkas mengatasi kemandegan ekonomi.

- Advertisement -

Pasar e-commerce semakin tumbuh pesat menandai babak baru transformasi digital . Di tahun ini, penjualan retail melalui e-commerce di Indonesia diperkirakan sebesar US$ 20,21 miliar sekaligus tertinggi di Asia Tenggara  (eMarketer, Juli 2021). Dengan peringkat PDRB ke-5, Provinsi Riau berpotensi untuk mengakselerasi daya saing digital yang masih bertengger di posisi 17 (EV Digital Compettitiveness Index 2021) dengan memperluas pemanfaatan digitalisasi pembayaran.

Digitalisasi Pembayaran APBN

- Advertisement -

Berdasarkan laporan technical note FISF World Bank, pemerintah merupakan pengguna terbesar sistem pembayaran di suatu negara. Oleh karenanya, pemerintah memiliki peran sentral dalam mengarahkan ekosistem pembayaran yang berlaku.

Format digitalisasi pembayaran APBN yang telah diimplementasikan mulai tahun 2018 adalah mekanisme Kartu Kredit Pemerintah biasa disebut KKP serta transaksi bendahara pemerintah melalui marketplace biasa disebut digipayment. KKP sama seperti kartu kredit berfungsi sebagai alat pembayaran kepada penyedia barang/jasa (merchant) yang menyediakan EDC. Sedangkan digipayment menyediakan ekosistem pembayaran secara digital bagi belanja instansi pemerintah.

Baca Juga:  Ekonomi Islam di Indonesia

Untuk tahun anggaran 2021 dari  566 satuan kerja (satker) APBN lingkup Riau, tercatat sejumlah 519 satker yang yang telah melakukan transaksi digital dengan menggunakan fasilitas KKP tersebut. Namun demikian dari sisi nilai transaksinya, jumlah transaksi sampai dengan Triwulan III 2021 dengan menggunakan KKP ( Rp 3,9 miliar) masih jauh dari nilai transaksi secara tunai (Rp 514 miliar).

Demikian pula realisasi belanja melalui marketplace lingkup instansi pemerintah relatif kecil dibandingkan euforia belanja online di kalangan masyarakat.

Kendati transaksi digital menawarkan sejumlah keuntungan dari sisi simplifikasi, efisiensi dan kecepatan, masih didapati keraguan bagi pelaku pengadaan barang/jasa untuk meninggalkan zona nyaman bertransaksi secara tunai. Oleh karenanya terdapat beberapa catatan yang harus segera dibenahi oleh pihak-pihak yang terkait.

Yang pertama, kesiapan sumber daya manusia. Penguasaan literasi digital dan literasi keuangan oleh para pelaku menjadi aspek mendasar yang akan menentukan kesuksesan program digitalisasi, baik pada pihak pemerintah maupun retail user (vendor). Proses transaksi secara digital yang dimulai sejak pelaksanaan komitmen pengadaan hingga tahap pelaporan menghendaki pemahaman yang memadai agar comply pada aturan main serta secure.

Kedua, ketersediaan peralatan. Untuk bisa ikut dalam sistem KKP/Digipayment, vendor/merchant wajib memiliki mesin electronic data capture (EDC). Masih jarang retail yang memiliki EDC sebagai fasilitas pembayaran. Alhasil vendor yang bermain di transaksi digital cenderung vendor yang lengkap dan mapan. Untuk mengatasi hal ini, perlu sosialisasi yang lebih masif lagi dari pemerintah dan perbankan agar pelaku usaha mikro pun dapat menggunakan EDC dalam transaksi digital. Termasuk pula dalam hal ini kemudahan dalam perizinan usaha harus menjadi perhatian oleh instansi terkait yang merupakan syarat mendapatkan EDC tersebut.

Baca Juga:  Haji di Masa Covid-19

Ketiga, masih banyak ditemui biaya tambahan (fee/surcharge) pada saat pembeli menggesek kartu saat pembayaran. Sejatinya praktik pengenaan biaya tersebut sudah dilarang oleh Bank Indonesia sejak tahun 2009. Terlebih lagi karena merupakan beban APBN maka pembayaran dengan KKP tidak diperkenankan ada biaya-biaya lain selain biaya yang sudah ditentukan. Kondisi di atas perlu sosialisasi dan monitoring dari pihak yang berwenang.

Keempat, menumbuhkan UMKM yang terhubung dengan pasar digital. Oleh karenanya perlu terobosan dan komitmen tinggi setiap pimpinan pemerintah daerah dengan meluncurkan program-program kreatif dalam rangka transformasi digital. Seyogyanya setiap daerah menjadikan momentum ini sebagai ajang kompetisi kinerja antar daerah untuk menjadi lebih baik.

Sedangkan mekanisme marketplace pemerintah mirip Sistem Pengadaan Secara Elektronik yang diselenggarakan LPSE dalam skala yang lebih kecil. Metode ini akan memberi benefit yang sangat besar karena menjamin pengadaan dilakukan secara fair, transparan, dan meminimalisir terjadinya fraud dalam pengadaan barang/jasa.

Satu hal yang  perlu menjadi perhatian semua pihak dalam mengakselerasikan digitalisasi pembayaran ini adalah semangat memajukan usaha kecil dan mikro agar menjadi semakin berkembang dan maju. Jangan sampai transaksi digital tersebut pada akhirnya kembali didominasi oleh vendor yang sudah besar (unicorn company) karena mereka mampu menyediakan kemudahan dan kelengkapan. Setelah dampak pandemi, kebangkitan e-commerce diyakini akan memunculkan usaha-usaha baru dan lapangan kerja baru.

Sosialisasi dan pembinaan oleh instansi yang terkait juga harus berkesinambungan untuk memastikan mekanisme berjalan dengan baik dan adil. Selain itu, simplifikasi dalam regulasi dan tata kelola harus terus dikembangkan sambil mengantisipasi laju teknologi yang terus berkembang.

Sangat mungkin dan sangat diharapkan, Indonesia tidak hanya menjadi pasar digital yang menggiurkan tapi juga akan menguasai target transaksi e-commerce Rp 600 triliun di tahun 2024. Peluang tersebut sangatlah besar, karena demografi Indonesia dianugerahi surplus penduduk muda yang melek digital dibanding negara-negara maju.

 

Sejak mewabahnya virus Covid-19 tahun lalu, hampir semua bentuk kegiatan manusia mengalami disrupsi yang hebat, lebih cepat dari yang diperkirakan. Tak hanya itu, bencana kesehatan itu juga menggulung ragam kegiatan manusia yang sudah mapan. Sejumlah perusahaan ritel ternama pun tak ayal harus menutup lapak usaha. Demikian pula sektor riil sangat terpukul karena aktivitas ekonomi yang freeze dan menurunnya daya beli. 

Fenomena tersebut memaksa semua sektor harus mengambil tindakan sudden shifting, tak terkecuali pada sektor pemerintahan.

Dampak dari outbreak tersebut juga menimpa sektor riil seperti UKM yang selama ini menopang ekonomi. Lapis pertahanan ekonomi makin tergerus.  Dalam kondisi ketidakjelasan seperti sekarang ini terbukti APBN menjadi senjata pamungkas (counter-cyclical) yang menjadi tumpuan dalam menyelamatkan ekonomi nasional. 

Namun pada saat  intstrumen APBN diharapkan bermanuver, operasionalisasi pembayaran APBN berhadapan dengan protokol kesehatan demi mencegah dampak pandemi yang lebih besar. Transaksi tak dapat dilakukan secara langsung padahal kebutuhan tak dapat ditunda lagi. 

Pada saat itulah mekanisme pembayaran dengan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) dan Marketplace (Digital Payment) yang sejatinya telah berjalan uji cobanya menjadi jurus pamungkas mengatasi kemandegan ekonomi.

Pasar e-commerce semakin tumbuh pesat menandai babak baru transformasi digital . Di tahun ini, penjualan retail melalui e-commerce di Indonesia diperkirakan sebesar US$ 20,21 miliar sekaligus tertinggi di Asia Tenggara  (eMarketer, Juli 2021). Dengan peringkat PDRB ke-5, Provinsi Riau berpotensi untuk mengakselerasi daya saing digital yang masih bertengger di posisi 17 (EV Digital Compettitiveness Index 2021) dengan memperluas pemanfaatan digitalisasi pembayaran.

Digitalisasi Pembayaran APBN

Berdasarkan laporan technical note FISF World Bank, pemerintah merupakan pengguna terbesar sistem pembayaran di suatu negara. Oleh karenanya, pemerintah memiliki peran sentral dalam mengarahkan ekosistem pembayaran yang berlaku.

Format digitalisasi pembayaran APBN yang telah diimplementasikan mulai tahun 2018 adalah mekanisme Kartu Kredit Pemerintah biasa disebut KKP serta transaksi bendahara pemerintah melalui marketplace biasa disebut digipayment. KKP sama seperti kartu kredit berfungsi sebagai alat pembayaran kepada penyedia barang/jasa (merchant) yang menyediakan EDC. Sedangkan digipayment menyediakan ekosistem pembayaran secara digital bagi belanja instansi pemerintah.

Baca Juga:  Haji di Masa Covid-19

Untuk tahun anggaran 2021 dari  566 satuan kerja (satker) APBN lingkup Riau, tercatat sejumlah 519 satker yang yang telah melakukan transaksi digital dengan menggunakan fasilitas KKP tersebut. Namun demikian dari sisi nilai transaksinya, jumlah transaksi sampai dengan Triwulan III 2021 dengan menggunakan KKP ( Rp 3,9 miliar) masih jauh dari nilai transaksi secara tunai (Rp 514 miliar).

Demikian pula realisasi belanja melalui marketplace lingkup instansi pemerintah relatif kecil dibandingkan euforia belanja online di kalangan masyarakat.

Kendati transaksi digital menawarkan sejumlah keuntungan dari sisi simplifikasi, efisiensi dan kecepatan, masih didapati keraguan bagi pelaku pengadaan barang/jasa untuk meninggalkan zona nyaman bertransaksi secara tunai. Oleh karenanya terdapat beberapa catatan yang harus segera dibenahi oleh pihak-pihak yang terkait.

Yang pertama, kesiapan sumber daya manusia. Penguasaan literasi digital dan literasi keuangan oleh para pelaku menjadi aspek mendasar yang akan menentukan kesuksesan program digitalisasi, baik pada pihak pemerintah maupun retail user (vendor). Proses transaksi secara digital yang dimulai sejak pelaksanaan komitmen pengadaan hingga tahap pelaporan menghendaki pemahaman yang memadai agar comply pada aturan main serta secure.

Kedua, ketersediaan peralatan. Untuk bisa ikut dalam sistem KKP/Digipayment, vendor/merchant wajib memiliki mesin electronic data capture (EDC). Masih jarang retail yang memiliki EDC sebagai fasilitas pembayaran. Alhasil vendor yang bermain di transaksi digital cenderung vendor yang lengkap dan mapan. Untuk mengatasi hal ini, perlu sosialisasi yang lebih masif lagi dari pemerintah dan perbankan agar pelaku usaha mikro pun dapat menggunakan EDC dalam transaksi digital. Termasuk pula dalam hal ini kemudahan dalam perizinan usaha harus menjadi perhatian oleh instansi terkait yang merupakan syarat mendapatkan EDC tersebut.

Baca Juga:  Kemanunggalan TNI dan Rakyat

Ketiga, masih banyak ditemui biaya tambahan (fee/surcharge) pada saat pembeli menggesek kartu saat pembayaran. Sejatinya praktik pengenaan biaya tersebut sudah dilarang oleh Bank Indonesia sejak tahun 2009. Terlebih lagi karena merupakan beban APBN maka pembayaran dengan KKP tidak diperkenankan ada biaya-biaya lain selain biaya yang sudah ditentukan. Kondisi di atas perlu sosialisasi dan monitoring dari pihak yang berwenang.

Keempat, menumbuhkan UMKM yang terhubung dengan pasar digital. Oleh karenanya perlu terobosan dan komitmen tinggi setiap pimpinan pemerintah daerah dengan meluncurkan program-program kreatif dalam rangka transformasi digital. Seyogyanya setiap daerah menjadikan momentum ini sebagai ajang kompetisi kinerja antar daerah untuk menjadi lebih baik.

Sedangkan mekanisme marketplace pemerintah mirip Sistem Pengadaan Secara Elektronik yang diselenggarakan LPSE dalam skala yang lebih kecil. Metode ini akan memberi benefit yang sangat besar karena menjamin pengadaan dilakukan secara fair, transparan, dan meminimalisir terjadinya fraud dalam pengadaan barang/jasa.

Satu hal yang  perlu menjadi perhatian semua pihak dalam mengakselerasikan digitalisasi pembayaran ini adalah semangat memajukan usaha kecil dan mikro agar menjadi semakin berkembang dan maju. Jangan sampai transaksi digital tersebut pada akhirnya kembali didominasi oleh vendor yang sudah besar (unicorn company) karena mereka mampu menyediakan kemudahan dan kelengkapan. Setelah dampak pandemi, kebangkitan e-commerce diyakini akan memunculkan usaha-usaha baru dan lapangan kerja baru.

Sosialisasi dan pembinaan oleh instansi yang terkait juga harus berkesinambungan untuk memastikan mekanisme berjalan dengan baik dan adil. Selain itu, simplifikasi dalam regulasi dan tata kelola harus terus dikembangkan sambil mengantisipasi laju teknologi yang terus berkembang.

Sangat mungkin dan sangat diharapkan, Indonesia tidak hanya menjadi pasar digital yang menggiurkan tapi juga akan menguasai target transaksi e-commerce Rp 600 triliun di tahun 2024. Peluang tersebut sangatlah besar, karena demografi Indonesia dianugerahi surplus penduduk muda yang melek digital dibanding negara-negara maju.

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari