Senin, 20 Mei 2024

Hak Perempuan dalam Penegakan Hukum (Memaknai Peringatan Hari Ibu)

Berbicara peranan perempuan dalam penegakan hukum tidak bisa lepas dari pengaruh pemikiran perjalanan bangsa di era Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika. Anti Tesis RA Kartini mengenai “Habis Gelap Terbitlah Terang” merupakan anomali  pemikiran positif yang tidak sepikiran kaumnya pada zamannya. Pemikiran itu secara sengaja diberi ruang yang hakikat tidak terlepas dari implikasi politik etis Van de Fenter (anggota Volksraad Belanda). Politik etis itu sendiri merupakan politik “balas budi” penjajah yang memberi kesempatan kepada segelintir rakyat jajahan menikmati pendidikan. Sebagaimana diketahui akhirnya mereka inilah yang berdasarkan perannya mampu berbuat banyak bagi negara dan bangsa Indonesia terutama bagi kaumnya.
Peranan Jaksa Perempuan dalam Penegakan Hukum 
Berdasarkan data yang ada, Ratio perbandingan jumlah jaksa perempuan dengan jaksa laki-laki mendekati 50:50. Jadi di instusi kejaksaan eksistensi jaksa perempuan bukan sekadar memenuhi kuota perempuan di lembaga dominus litis ini atau berkaitan dengan orientasi kasus yang sedang ditangani tentang perempuan, melainkan ada semacam pertimbangan trust, kebutuhan dan profesionalisme kepada jaksa perempuan. Jadi mereka membawa keahlian mereka sendiri secara tradisional di mana secara budaya didominasi pria, dan itu sangat membantu tugas itu.
Argumentasi itu setidak-tidaknya didukung oleh karekteristik perempuan dalam menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum (APH) memiliki keunggulan yang tidak dimiliki laki-laki antara lain:
Pertama, penegak hukum perempuan memiliki kharisma sifat keibuan cenderung menggunakan kekuatan standar moralitas yang berlebihan. Persepsi bahwa penegak hukum perempuan cenderung menggunakan kekuatan moral dihadapkan pada kenyataan para terdakwa laki-laki dalam tuntutan hukum jauh lebih berat daripada penegak hukum laki-laki, terutama pada kasus-kasus yang korbannya perempuan dan anak-anak. Ini sangat penting dan bermanfaat selama periode ketika masyarakat dan korban kejahatan tersebut menggunakan atau memaksa aparat penegak hukum berada di bawah pengawasan ketat, di mana keadaan ini sering menyebabkan ketegangan yang meningkat antara APH dan masyarakat yang mereka layani, misalnya kasus kekerasan seksual di daerah tertentu di wilayah Indonesia.
Kedua, penegak hukum perempuan terampil menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan kejahatan seks. Salah satu bidang paling kritis di mana perempuan dalam hukum dapat membuat perbedaan adalah menangani perkara kekerasan terhadap perempuan dan kejahatan seks. Di mana korban mungkin ingin berbicara dengan seorang penegak hukum perempuan. Tapi itu tidak selalu bisa terjadi karena tidak cukup memadai jumlah  APH di institusi penegak hukum dan itu akhirnya mempengaruhi misi menjalankan kewenangan undang-undang oleh lembaga penegak hukum tersebut. Dalam perkara ini adalah manusia yang kita hadapi. Kekerasan seksual adalah masalah yang sangat sensitif dan harus bisa bertindak secara manusiawi. Hal itu menyangkut perlindungan atas kehormatan (eer), jiwa (lyfe) dan harta benda (vermogen). Apabila kepentingan hukum itu (recht belangen) melekat pada eksistensi korbannya (slachttoffer) perempuan maka perlindungannya bukan hanya aspek materil tetapi formil menjadi lebih khusus dan rigid dalam penegakan hukum.
Ketiga, penegak hukum perempuan dapat membantu meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan  masyarakat. Penegak hukum perempuan kurang otoriter dalam pendekatan kasus walaupun tetap bersikap tegas, karena sejatinya kurang bergantung pada kekuatan fisik melainkan menggunakan pendekatan komunikasi yang lebih efektif. Dalam kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat, penegakan hukum oleh APH perempuan lebih baik dalam menjinakkan situasi yang akan berujung “konfrontatif” di sidang pengadilan bahkan yang berpotensi kekerasan sebelum persidangan dilakukan itu menjadi mematikan. Pengabdian pada tugasnya dengan perilaku etis dan layanan penuh kasih merupakan karakteristik bawaan lahir perempuan.  Hal ini tentu sejalan dengan kebijakan wilayah bebas korupsi (WBK) dan wilayah birokrasi bekerja melayani (WBBM).
Kemudian ada sepuluh alasan mengapa perempuan masa kini cocok untuk bekerja sebagai penegak hukum: (i) Terdapat berbagai pilihan karier dari jaksa fungsional hingga jaksa yang menduduki jabatan struktural sampai level esselon 1 (Jabatan Jaksa Agung Muda); (ii) Pemekaran organisasi penegak hukum memberi peluang jabatan dan kesempatan memperoleh perkara yang beraneka-ragam (perkara ringan hingga perkara yang sulit pembuktiannya); (iii)  Imbalan keuangan yakni pertumbuhan kesejahteraan ekonomi (remunerasi, gaji pokok dan tunjangan jabatan fungsional); (iv) Melayani klien (korban atau pelapor atau pimpinan) untuk ikut serta berkontribusi pemikiran terhadap memecahkan masalah hukum yang dihadapi (ekspos perkara); (v) Di bidang litigasi dapat berspesialisasi dalam hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi negara dan hukum tata negara. Penegak hukum yang lebih memilih karir di bidang hukum pidana ekonomi dapat berspesialisasi dalam hukum pidana pajak, atau area praktik pidana korporasi lainnya; (vi) Bidang ini menantang secara intelektual karena harus bergulat dengan masalah yang secara konseptual menantang, alasan dengan logika dan kejelasan, menganalisis kasus dan undang-undang, meneliti masalah hukum yang kompleks dan menguasai komunikasi lisan dan tertulis; (vii) banyak memberi peluang kerja dalam iklim ekonomi apa pun; (viii) Memiliki prestise yakni karena profesi penegak hukum sudah sejak lama merupakan profesi yang memiliki kehormatan dan elite; (ix) Profesi yang memiliki perspektif global dimana penegak hukum akan mengungkap kejahatan internasional yang berkaitan dengan kejahatan transnasional; (x) Berada dalam lingkungan kerja yang dinamis karena berubah-ubah kasus yang dihadapi sesuai dengan bobotnya.
Penutup
Meskipun kesetaraan jender dalam dunia penegakan hukum adalah suatu keniscayaan organisasi, akan tetapi harkat dan martabat perempuan di mana pun berada harus tetapi  dijaga karena perempuan tidak lepas dari kodratnya dari seorang ibu yang akan melahirkan generasi muda lewat asuhannya. 
Oleh karenanya sejak dalam perekrutan hingga ditempatkannya seorang perempuan menjadi penegak hukum hentikan stereotype alasan beragam yang menghambat peran perempuan dalam bidang penegakan hukum seperti membandingkannya dengan kekuatan fisik laki-laki daripada mempertimbangkan potensi yang unggul untuk bermitra dengan laki-laki.
Selemat Hari Ibu untuk ibu-ibu hebat di seluruh pelosok tanah air, khususnya bagi para penegak hukum di seluruh nusantara.***
Baca Juga:  Memperkuat Budaya Kinerja
Berbicara peranan perempuan dalam penegakan hukum tidak bisa lepas dari pengaruh pemikiran perjalanan bangsa di era Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika. Anti Tesis RA Kartini mengenai “Habis Gelap Terbitlah Terang” merupakan anomali  pemikiran positif yang tidak sepikiran kaumnya pada zamannya. Pemikiran itu secara sengaja diberi ruang yang hakikat tidak terlepas dari implikasi politik etis Van de Fenter (anggota Volksraad Belanda). Politik etis itu sendiri merupakan politik “balas budi” penjajah yang memberi kesempatan kepada segelintir rakyat jajahan menikmati pendidikan. Sebagaimana diketahui akhirnya mereka inilah yang berdasarkan perannya mampu berbuat banyak bagi negara dan bangsa Indonesia terutama bagi kaumnya.
Peranan Jaksa Perempuan dalam Penegakan Hukum 
Berdasarkan data yang ada, Ratio perbandingan jumlah jaksa perempuan dengan jaksa laki-laki mendekati 50:50. Jadi di instusi kejaksaan eksistensi jaksa perempuan bukan sekadar memenuhi kuota perempuan di lembaga dominus litis ini atau berkaitan dengan orientasi kasus yang sedang ditangani tentang perempuan, melainkan ada semacam pertimbangan trust, kebutuhan dan profesionalisme kepada jaksa perempuan. Jadi mereka membawa keahlian mereka sendiri secara tradisional di mana secara budaya didominasi pria, dan itu sangat membantu tugas itu.
Argumentasi itu setidak-tidaknya didukung oleh karekteristik perempuan dalam menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum (APH) memiliki keunggulan yang tidak dimiliki laki-laki antara lain:
Pertama, penegak hukum perempuan memiliki kharisma sifat keibuan cenderung menggunakan kekuatan standar moralitas yang berlebihan. Persepsi bahwa penegak hukum perempuan cenderung menggunakan kekuatan moral dihadapkan pada kenyataan para terdakwa laki-laki dalam tuntutan hukum jauh lebih berat daripada penegak hukum laki-laki, terutama pada kasus-kasus yang korbannya perempuan dan anak-anak. Ini sangat penting dan bermanfaat selama periode ketika masyarakat dan korban kejahatan tersebut menggunakan atau memaksa aparat penegak hukum berada di bawah pengawasan ketat, di mana keadaan ini sering menyebabkan ketegangan yang meningkat antara APH dan masyarakat yang mereka layani, misalnya kasus kekerasan seksual di daerah tertentu di wilayah Indonesia.
Kedua, penegak hukum perempuan terampil menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan kejahatan seks. Salah satu bidang paling kritis di mana perempuan dalam hukum dapat membuat perbedaan adalah menangani perkara kekerasan terhadap perempuan dan kejahatan seks. Di mana korban mungkin ingin berbicara dengan seorang penegak hukum perempuan. Tapi itu tidak selalu bisa terjadi karena tidak cukup memadai jumlah  APH di institusi penegak hukum dan itu akhirnya mempengaruhi misi menjalankan kewenangan undang-undang oleh lembaga penegak hukum tersebut. Dalam perkara ini adalah manusia yang kita hadapi. Kekerasan seksual adalah masalah yang sangat sensitif dan harus bisa bertindak secara manusiawi. Hal itu menyangkut perlindungan atas kehormatan (eer), jiwa (lyfe) dan harta benda (vermogen). Apabila kepentingan hukum itu (recht belangen) melekat pada eksistensi korbannya (slachttoffer) perempuan maka perlindungannya bukan hanya aspek materil tetapi formil menjadi lebih khusus dan rigid dalam penegakan hukum.
Ketiga, penegak hukum perempuan dapat membantu meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan  masyarakat. Penegak hukum perempuan kurang otoriter dalam pendekatan kasus walaupun tetap bersikap tegas, karena sejatinya kurang bergantung pada kekuatan fisik melainkan menggunakan pendekatan komunikasi yang lebih efektif. Dalam kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat, penegakan hukum oleh APH perempuan lebih baik dalam menjinakkan situasi yang akan berujung “konfrontatif” di sidang pengadilan bahkan yang berpotensi kekerasan sebelum persidangan dilakukan itu menjadi mematikan. Pengabdian pada tugasnya dengan perilaku etis dan layanan penuh kasih merupakan karakteristik bawaan lahir perempuan.  Hal ini tentu sejalan dengan kebijakan wilayah bebas korupsi (WBK) dan wilayah birokrasi bekerja melayani (WBBM).
Kemudian ada sepuluh alasan mengapa perempuan masa kini cocok untuk bekerja sebagai penegak hukum: (i) Terdapat berbagai pilihan karier dari jaksa fungsional hingga jaksa yang menduduki jabatan struktural sampai level esselon 1 (Jabatan Jaksa Agung Muda); (ii) Pemekaran organisasi penegak hukum memberi peluang jabatan dan kesempatan memperoleh perkara yang beraneka-ragam (perkara ringan hingga perkara yang sulit pembuktiannya); (iii)  Imbalan keuangan yakni pertumbuhan kesejahteraan ekonomi (remunerasi, gaji pokok dan tunjangan jabatan fungsional); (iv) Melayani klien (korban atau pelapor atau pimpinan) untuk ikut serta berkontribusi pemikiran terhadap memecahkan masalah hukum yang dihadapi (ekspos perkara); (v) Di bidang litigasi dapat berspesialisasi dalam hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi negara dan hukum tata negara. Penegak hukum yang lebih memilih karir di bidang hukum pidana ekonomi dapat berspesialisasi dalam hukum pidana pajak, atau area praktik pidana korporasi lainnya; (vi) Bidang ini menantang secara intelektual karena harus bergulat dengan masalah yang secara konseptual menantang, alasan dengan logika dan kejelasan, menganalisis kasus dan undang-undang, meneliti masalah hukum yang kompleks dan menguasai komunikasi lisan dan tertulis; (vii) banyak memberi peluang kerja dalam iklim ekonomi apa pun; (viii) Memiliki prestise yakni karena profesi penegak hukum sudah sejak lama merupakan profesi yang memiliki kehormatan dan elite; (ix) Profesi yang memiliki perspektif global dimana penegak hukum akan mengungkap kejahatan internasional yang berkaitan dengan kejahatan transnasional; (x) Berada dalam lingkungan kerja yang dinamis karena berubah-ubah kasus yang dihadapi sesuai dengan bobotnya.
Penutup
Meskipun kesetaraan jender dalam dunia penegakan hukum adalah suatu keniscayaan organisasi, akan tetapi harkat dan martabat perempuan di mana pun berada harus tetapi  dijaga karena perempuan tidak lepas dari kodratnya dari seorang ibu yang akan melahirkan generasi muda lewat asuhannya. 
Oleh karenanya sejak dalam perekrutan hingga ditempatkannya seorang perempuan menjadi penegak hukum hentikan stereotype alasan beragam yang menghambat peran perempuan dalam bidang penegakan hukum seperti membandingkannya dengan kekuatan fisik laki-laki daripada mempertimbangkan potensi yang unggul untuk bermitra dengan laki-laki.
Selemat Hari Ibu untuk ibu-ibu hebat di seluruh pelosok tanah air, khususnya bagi para penegak hukum di seluruh nusantara.***
Baca Juga:  Sosialisme Religius sebagai Haluan Ekonomi Indonesia
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari