Sosialisme Religius sebagai Haluan Ekonomi Indonesia

RIAUPOS.CO – Perekonomian kita ke depan menghadapi tantangan tak kecil. Misalnya, kesenjangan sosial menunjukkan gelagat kian lebar seperti ditunjukkan oleh kenaikan rasio Gini dari 0,381 ke 0,388. Data dari Bank Indonesia (BI) juga mengungkapkan bahwa sejak akhir tahun 2023 hingga awal 2024, masyarakat mulai makan tabungan mereka untuk membiayai hidup alias kondisi besar pengeluaran dibandingkan penghasilan. Harga bahan pokok pun ikut merangkak naik, sebagaimana terlihat dari komoditas beras belakangan ini.

Solusi-solusi teknokratis tentu saja dibutuhkan untuk mengatasi potensi masalah-masalah ekonomi yang datang bertubi-tubi dan multidimensi ini. Akan tetapi, jika masalah-masalah itu kita ibaratkan sebagai gejala, tentu penyakit utamanya yang lebih perlu diobati. Dengan kata lain, akar filosofis penyakit utama berupa penyimpangan praktik-praktik riil ekonomi dari esensi ekonomi negeri ini mestilah dibenahi. Sebagai awal, kita tentu perlu mencari tahu dulu apakah haluan filosofis ekonomi Indonesia yang sejati.

- Advertisement -

Sosialisme Religius

Kita bisa melacak haluan filosofis ekonomi ini pada tiga peletak fondasinya: Mohammad Hatta, Soemitro Djojohadikoesoemo dan Sjafruddin Prawiranegara. Merujuk Fachri Ali dalam pengantarnya terhadap buku Dawam Rahardjo, Ekonomi Neoklasik dan Sosialisme Religius (Mizan, 2013), semangat ekonomi Indonesia dalam pasal 33 UUD 1945 sejatinya bercorak sosialis karena merupakan penolakan terhadap kapitalisme yang identik dengan penjajahan negara Barat.

- Advertisement -

Makanya, Soemitro Djojohadikoesoemo ingin melanjutkan cita sosialistis ini dengan menjadikan bangsa Indonesia sesegera mungkin berdiri di atas kaki sendiri dan lepas dari penjajahan. Sehingga, Soemitro mengusulkan negara memainkan peran besar dalam membentuk struktur ekonomi dan melakukan industrialisasi demi memproduksi barang-barang pengganti alias substitusi impor.

Akan tetapi, Sjafroeddin Prawiranegara menentang usulan itu. Bagi Sjafroeddin, strategi sosialistis untuk negara yang baru merdeka seperti Indonesia tidaklah cocok. Ia memang mengakui idealisme itu berharga, tapi jauh lebih penting bagi Indonesia untuk menerima bantuan maupun investasi asing demi membangun bangsa, sesuatu yang pada akhirnya diakui oleh Soemitro.

Namun, terlepas dari kritik itu, Sjafroeddin tetap meyakini sosialisme asalkan bersifat religius, dalam hal ini sosialisme yang diilhami ajaran Islam. Sosialisme religius versi Sjafroeddin mengkritik paham sosialisme-komunis yang ateis alias tidak percaya Tuhan. Sjafroeddin juga mengecam ajaran masyarakat tanpa kelas dari komunisme. Bagi Sjafroeddin, Islam mengajarkan bahwa perbedaan kelas adalah sesuatu yang fitrah dalam hidup manusia dan tidak bisa dihilangkan, melainkan hanya dapat dikurangi. Jadi, Islam tidak meyakini konsep perjuangan kelas, melainkan berupaya menetapkan kewajiban kepada orang kaya untuk membantu yang miskin demi mengurangi kesenjangan sosial. Dengan kata lain, Islam lebih memilih cara redistribusi pendapatan. Akibatnya, paham sosialisme religius mengakui adanya hak milik pribadi -tidak seperti komunisme -asalkan ada proses redistribusi yang meminimalkan kesenjangan. Sebagai tambahan, pengakuan hak milik pribadi ini harus dibatasi pula oleh moral dan hukum.

Tiga Tesis

Pandangan ini selaras dengan prinsip-prinsip filosofis sosialisme dari Martin Buber. Dalam esai “Three Theses on Religious Socialism” pada 1928 (dalam koleksi tulisan Pointing the Way, 1957), Buber mengemukakan tiga tesis sosialisme religius. Pertama, penyatuan dengan Tuhan sebagai esensi agama dan persaudaraan di antara sesama manusia sebagai esensi makhluk sosial haruslah berjalan beriringan. Agama tanpa sosialisme bagaikan ruh tanpa badan, sementara sosialisme tanpa agama laksana tubuh tanpa jiwa.

Kedua, agama sejati adalah yang penganutnya menunjukkan tanggung jawab konkret untuk dunia ini, sementara sosialisme sejati adalah yang mampu mewujudkan kehidupan bersama secara baik antar sesama manusia. Ketiga, sosialisme religius mengajarkan bahwa manusia dalam situasi konkret kehidupan pribadinya haruslah mengindahkan aspek fundamental kehidupan berikut: fakta bahwa Tuhan itu ada, dunia itu ada, dan manusia berdiri di hadapan Tuhan maupun dunia.

Jika kita ringkaskan, Buber dan Sjafroeddin ingin mengatakan bahwa suatu sistem perekonomian haruslah mampu mewujudkan persaudaraan sesama manusia seraya mewujudkan kesejahteraan umum maupun kehidupan bersama yang harmonis. Maka itu, apabila semua manusia itu bersaudara, tentu tidak boleh ada relasi antagonistis atau konflik yang saling menghancurkan antara si kaya dan si miskin sebagaimana diajarkan komunisme.

Jadi, jika kita sepakat bahwa haluan filosofis ekonomi Indonesia adalah sosialisme religius, itu menandakan kita harus memberi ruang lapang bagi segala inisiatif swasta untuk memajukan hak milik pribadi asalkan pihak swasta juga menyadari tanggung jawab mereka untuk mendistribusikan pendapatan mereka kepada orang yang kurang mampu. Tujuannya adalah demi mewujudkan persaudaraan manusia secara harmonis (sosialistis) di muka bumi.

Bagaimana dengan peran Negara? Di sini, Negara mesti menjadi fasilitator bagi proses redistribusi dengan merancang regulasi maupun penegakan hukum yang memadai; menciptakan iklim berusaha yang baik; merumuskan kebijakan pajak yang berkeadilan; memberikan bantuan sosial—asuransi sosial, subsidi, paket bantuan sosial, pendidikan terjangkau, dan lainnya—kepada seluruh anggota masyarakat; serta menjaga supaya sektor publik seperti kesehatan, energi, dan lain sebagainya terhindar dari proses komodifikasi yang menjadikan sektor-sektor itu sekadar lahan laba bagi swasta. Jika semua itu bisa dilakukan, niscaya permasalahan-permasalahan ekonomi negeri ini dapat terurai satu per satu. Semoga!***

Oleh: Satrio Wahono, Magister Filsafat UI

RIAUPOS.CO – Perekonomian kita ke depan menghadapi tantangan tak kecil. Misalnya, kesenjangan sosial menunjukkan gelagat kian lebar seperti ditunjukkan oleh kenaikan rasio Gini dari 0,381 ke 0,388. Data dari Bank Indonesia (BI) juga mengungkapkan bahwa sejak akhir tahun 2023 hingga awal 2024, masyarakat mulai makan tabungan mereka untuk membiayai hidup alias kondisi besar pengeluaran dibandingkan penghasilan. Harga bahan pokok pun ikut merangkak naik, sebagaimana terlihat dari komoditas beras belakangan ini.

Solusi-solusi teknokratis tentu saja dibutuhkan untuk mengatasi potensi masalah-masalah ekonomi yang datang bertubi-tubi dan multidimensi ini. Akan tetapi, jika masalah-masalah itu kita ibaratkan sebagai gejala, tentu penyakit utamanya yang lebih perlu diobati. Dengan kata lain, akar filosofis penyakit utama berupa penyimpangan praktik-praktik riil ekonomi dari esensi ekonomi negeri ini mestilah dibenahi. Sebagai awal, kita tentu perlu mencari tahu dulu apakah haluan filosofis ekonomi Indonesia yang sejati.

Sosialisme Religius

Kita bisa melacak haluan filosofis ekonomi ini pada tiga peletak fondasinya: Mohammad Hatta, Soemitro Djojohadikoesoemo dan Sjafruddin Prawiranegara. Merujuk Fachri Ali dalam pengantarnya terhadap buku Dawam Rahardjo, Ekonomi Neoklasik dan Sosialisme Religius (Mizan, 2013), semangat ekonomi Indonesia dalam pasal 33 UUD 1945 sejatinya bercorak sosialis karena merupakan penolakan terhadap kapitalisme yang identik dengan penjajahan negara Barat.

Makanya, Soemitro Djojohadikoesoemo ingin melanjutkan cita sosialistis ini dengan menjadikan bangsa Indonesia sesegera mungkin berdiri di atas kaki sendiri dan lepas dari penjajahan. Sehingga, Soemitro mengusulkan negara memainkan peran besar dalam membentuk struktur ekonomi dan melakukan industrialisasi demi memproduksi barang-barang pengganti alias substitusi impor.

Akan tetapi, Sjafroeddin Prawiranegara menentang usulan itu. Bagi Sjafroeddin, strategi sosialistis untuk negara yang baru merdeka seperti Indonesia tidaklah cocok. Ia memang mengakui idealisme itu berharga, tapi jauh lebih penting bagi Indonesia untuk menerima bantuan maupun investasi asing demi membangun bangsa, sesuatu yang pada akhirnya diakui oleh Soemitro.

Namun, terlepas dari kritik itu, Sjafroeddin tetap meyakini sosialisme asalkan bersifat religius, dalam hal ini sosialisme yang diilhami ajaran Islam. Sosialisme religius versi Sjafroeddin mengkritik paham sosialisme-komunis yang ateis alias tidak percaya Tuhan. Sjafroeddin juga mengecam ajaran masyarakat tanpa kelas dari komunisme. Bagi Sjafroeddin, Islam mengajarkan bahwa perbedaan kelas adalah sesuatu yang fitrah dalam hidup manusia dan tidak bisa dihilangkan, melainkan hanya dapat dikurangi. Jadi, Islam tidak meyakini konsep perjuangan kelas, melainkan berupaya menetapkan kewajiban kepada orang kaya untuk membantu yang miskin demi mengurangi kesenjangan sosial. Dengan kata lain, Islam lebih memilih cara redistribusi pendapatan. Akibatnya, paham sosialisme religius mengakui adanya hak milik pribadi -tidak seperti komunisme -asalkan ada proses redistribusi yang meminimalkan kesenjangan. Sebagai tambahan, pengakuan hak milik pribadi ini harus dibatasi pula oleh moral dan hukum.

Tiga Tesis

Pandangan ini selaras dengan prinsip-prinsip filosofis sosialisme dari Martin Buber. Dalam esai “Three Theses on Religious Socialism” pada 1928 (dalam koleksi tulisan Pointing the Way, 1957), Buber mengemukakan tiga tesis sosialisme religius. Pertama, penyatuan dengan Tuhan sebagai esensi agama dan persaudaraan di antara sesama manusia sebagai esensi makhluk sosial haruslah berjalan beriringan. Agama tanpa sosialisme bagaikan ruh tanpa badan, sementara sosialisme tanpa agama laksana tubuh tanpa jiwa.

Kedua, agama sejati adalah yang penganutnya menunjukkan tanggung jawab konkret untuk dunia ini, sementara sosialisme sejati adalah yang mampu mewujudkan kehidupan bersama secara baik antar sesama manusia. Ketiga, sosialisme religius mengajarkan bahwa manusia dalam situasi konkret kehidupan pribadinya haruslah mengindahkan aspek fundamental kehidupan berikut: fakta bahwa Tuhan itu ada, dunia itu ada, dan manusia berdiri di hadapan Tuhan maupun dunia.

Jika kita ringkaskan, Buber dan Sjafroeddin ingin mengatakan bahwa suatu sistem perekonomian haruslah mampu mewujudkan persaudaraan sesama manusia seraya mewujudkan kesejahteraan umum maupun kehidupan bersama yang harmonis. Maka itu, apabila semua manusia itu bersaudara, tentu tidak boleh ada relasi antagonistis atau konflik yang saling menghancurkan antara si kaya dan si miskin sebagaimana diajarkan komunisme.

Jadi, jika kita sepakat bahwa haluan filosofis ekonomi Indonesia adalah sosialisme religius, itu menandakan kita harus memberi ruang lapang bagi segala inisiatif swasta untuk memajukan hak milik pribadi asalkan pihak swasta juga menyadari tanggung jawab mereka untuk mendistribusikan pendapatan mereka kepada orang yang kurang mampu. Tujuannya adalah demi mewujudkan persaudaraan manusia secara harmonis (sosialistis) di muka bumi.

Bagaimana dengan peran Negara? Di sini, Negara mesti menjadi fasilitator bagi proses redistribusi dengan merancang regulasi maupun penegakan hukum yang memadai; menciptakan iklim berusaha yang baik; merumuskan kebijakan pajak yang berkeadilan; memberikan bantuan sosial—asuransi sosial, subsidi, paket bantuan sosial, pendidikan terjangkau, dan lainnya—kepada seluruh anggota masyarakat; serta menjaga supaya sektor publik seperti kesehatan, energi, dan lain sebagainya terhindar dari proses komodifikasi yang menjadikan sektor-sektor itu sekadar lahan laba bagi swasta. Jika semua itu bisa dilakukan, niscaya permasalahan-permasalahan ekonomi negeri ini dapat terurai satu per satu. Semoga!***

Oleh: Satrio Wahono, Magister Filsafat UI

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya