Menghitung Hari

ALIH kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina tinggal menghitung hari, persisnya 60 hari lagi. Tepat pada 9 Agustus 2021 ladang minyak Blok Rokan tersebut akan dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang telah ditunjuk Pertamina. Maka, ladang minyak yang sangat strategis tersebut dikelola oleh perusahaan nasional setelah hampir seabad dikelola oleh perusahaan asing.

Dalam perspektif kelompok pebisnis para pemain perminyakan, alih kelola ini merupakan momentum untuk mengubah konstelasi medan pertempuran. Kontestasi perebutan hegemoni dalam medan pertempuran bisnis minyak tersebut tak hanya diikuti oleh pemain-pemain dalam negeri, pemain-pemain internasional pun tak mau ketinggalan. Manisnya gula Blok Rokan tak bisa membedakan semut hitam atau semut merah, tukang insinyur ataupun tukang olah.

- Advertisement -

Dalam perspektif daerah, alih kelola ini dipandang sebagai sebuah kesempatan yang amat baik bagi daerah untuk berperan lebih besar dan lebih nyata. Kalau tak sekarang, maka surga ladang minyak itu akan hilang selamanya. Sebab bahan tambang minyak tak dapat diperbaharui. Maka dapat dipahami, berbagai komponen masyarakat Riau talu-bertalu menyuarakan harapan daerah dalam alih kelola Blok Rokan ini. Berbagai rapat, webinar, diskusi, dan sebagainya, temanya hampir sama, "Riau dapat apa", atau "Blok Rokan untuk siapa."

Dalam tema yang sama kelompok diskusi BEM Universitas Riau, UNRI’S Discussion Club, Senin 7 Juni dua hari lalu menyelenggarakan diskusi dengan menghadirkan sejumlah pembicara. Namun, semakin didiskusikan, semakin terindikasi masih banyak pekerjaan rumah.

- Advertisement -

PI 10 Persen dan B to B
Momentum alih kelola ini dapat dimaknai, pertama, Riau memperoleh hak istimewa berupa Participating Interest (PI) 10 persen. Tak perlu setor modal di depan. Menjadi kewajiban bagi PT PHR untuk menunjuk BUMD yang memenuhi syarat yang diusulkan oleh Pemprov Riau sebagai penerima PI 10 persen.

Pada pertemuan dengan Direktur PT PHR tanggal 25 Mei 2021 bulan lalu, disebut ada 2 BUMD sebagai calon yang akan diajukan oleh Pemprov Riau, yakni: 1) PT Riau Petroleum dan 2) PT BSP. Dua BUMD ini masih harus melengkapi persyaratan, sesuai PP No 35 Th 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas dan Permen ESDM No 37 Th 2016 tentang Ketentuan Penawaran PI 10%, khususnya terkait Komposisi Saham Mayoritas (Minimal 50 persen plus 1 persen) harus dimiliki oleh Pemprov Riau. Ini kelihatannya belum duduk. Kewajiban dari pihak PHR tersebut akan hilang bila sampai batas waktu Riau belum mengajukan BUMD yang memenuhi syarat.

Kedua, daerah sebenarnya memperoleh hak istimewa untuk mengajukan BUMD ikut dalam skema "B to B" (Business to Business). Pengelolaan Blok Rokan itu sebenarnya, sepenuhnya berada di tangan PT PHR. Tapi, mereka boleh menawarkan saham sebesar 39 persen untuk ikut dalam pengelolaan kepada BUMD atau perusahaan investor lain. Bedanya dengan BUMD penerima PI 10%, dalam kerjasama B to B, BUMD  atau investor harus setor modal di depan.

BUMA (Badan Usaha Milik Adat) LAMR, yang sering kita dengar, masuk dalam skema B to B ini. Di sinilah dilematisnya. Kita gembira bila salah satu BUMD atau BUMA, atau keduanya sekaligus ikut dalam kerjasama pengelolaan (saham 39 persen) tersebut. Namun masalahnya, BUMD atau BUMA harus setor modal di depan (ikut share secara proporsional dalam signatur bonus yang telah dibayarkan oleh Pertamina). Hal inilah yang dikhawatirkan oleh Warman Batubara Direktur Eksekutif Indonesia Relief Rescue (IRRES) dalam forum UNRI’S Discussion Club. BUMD atau BUMA tak akan memiliki dana cukup untuk itu. Namun, katakanlah ada investor yang mau menjalin kerja sama dengan BUMD atau BUMA, maka kelak bagian dari dividen atau laba, akan dikuasai oleh investor.

Pengalihan Tenaga Kerja
Bagaimana dengan tenaga kerja tempatan? Pertamina telah resmi menetapkan 2.757 pekerja eks PT CPI diterima untuk dialihkerjakan sebagai karyawan PT PHR. Dua hal perlu dicermati. Pertama, mereka sudah terbiasa bekerja dalam budaya korporat PT CPI, urusan keberpihakan terhadap daerah bukan urusan pekerja. Pekerja ini pasti menggunakan filosofi tungku panas, bahwa tungku panas akan memberikan kehangatan yang sama kepada siapa yang mendekat. Kedua, berapa pekerja asli tempatan Riau dalam jumlah tersebut. Bila sangat minim, maka artinya Riau masuk perangkap, dari mulut singa masuk ke mulut harimau.

TTM dan Power Plant
Tanah terkontaminasi minyak (TTM) dan kebutuhan energi Blok Rokan, adalah isu lain yang bisa-bisa membuat Riau tergadai. Tentang TTM misalnya, ternyata sudah ada kontrak antara SKK Migas (sebagai kuasa yg mewakili negara) dengan PT PHR, tanggung jawab pengolahannya dialihkan dari yang seharusnya oleh PT CPI ke PT PHR.

Tentang pasokan energi listrik untuk Blok Rokan, lebih serius lagi masalahnya. Sebab pasokan listrik mayoritas berasal dari PLTGU yang dikelola PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang mayoritas sahamnya dimiliki Chevron Standard Ltd. Sekarang PT CPI sedang melelang pembangkit tersebut. Blok Rokan pasti butuh energi listrik seperti yang disuplai MCTN. Maka, ke depan PT PHR bersiap-siaplah membayar jumlah yang sangat besar untuk kebutuhan energinya. Dalam skema cost recovery (dulu di era CPI) biaya energi ditanggung negara. Tapi dalam skema gross split sekarang, sharing the pain sharing the gain. Untung rugi tanggung bersama. Jangan-jangan tak ada lagi dividen yang bisa dibagi. Waktu tinggal 60 hari, sementara pe-er masih banyak.***

 

ALIH kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina tinggal menghitung hari, persisnya 60 hari lagi. Tepat pada 9 Agustus 2021 ladang minyak Blok Rokan tersebut akan dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang telah ditunjuk Pertamina. Maka, ladang minyak yang sangat strategis tersebut dikelola oleh perusahaan nasional setelah hampir seabad dikelola oleh perusahaan asing.

Dalam perspektif kelompok pebisnis para pemain perminyakan, alih kelola ini merupakan momentum untuk mengubah konstelasi medan pertempuran. Kontestasi perebutan hegemoni dalam medan pertempuran bisnis minyak tersebut tak hanya diikuti oleh pemain-pemain dalam negeri, pemain-pemain internasional pun tak mau ketinggalan. Manisnya gula Blok Rokan tak bisa membedakan semut hitam atau semut merah, tukang insinyur ataupun tukang olah.

Dalam perspektif daerah, alih kelola ini dipandang sebagai sebuah kesempatan yang amat baik bagi daerah untuk berperan lebih besar dan lebih nyata. Kalau tak sekarang, maka surga ladang minyak itu akan hilang selamanya. Sebab bahan tambang minyak tak dapat diperbaharui. Maka dapat dipahami, berbagai komponen masyarakat Riau talu-bertalu menyuarakan harapan daerah dalam alih kelola Blok Rokan ini. Berbagai rapat, webinar, diskusi, dan sebagainya, temanya hampir sama, "Riau dapat apa", atau "Blok Rokan untuk siapa."

Dalam tema yang sama kelompok diskusi BEM Universitas Riau, UNRI’S Discussion Club, Senin 7 Juni dua hari lalu menyelenggarakan diskusi dengan menghadirkan sejumlah pembicara. Namun, semakin didiskusikan, semakin terindikasi masih banyak pekerjaan rumah.

PI 10 Persen dan B to B
Momentum alih kelola ini dapat dimaknai, pertama, Riau memperoleh hak istimewa berupa Participating Interest (PI) 10 persen. Tak perlu setor modal di depan. Menjadi kewajiban bagi PT PHR untuk menunjuk BUMD yang memenuhi syarat yang diusulkan oleh Pemprov Riau sebagai penerima PI 10 persen.

Pada pertemuan dengan Direktur PT PHR tanggal 25 Mei 2021 bulan lalu, disebut ada 2 BUMD sebagai calon yang akan diajukan oleh Pemprov Riau, yakni: 1) PT Riau Petroleum dan 2) PT BSP. Dua BUMD ini masih harus melengkapi persyaratan, sesuai PP No 35 Th 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas dan Permen ESDM No 37 Th 2016 tentang Ketentuan Penawaran PI 10%, khususnya terkait Komposisi Saham Mayoritas (Minimal 50 persen plus 1 persen) harus dimiliki oleh Pemprov Riau. Ini kelihatannya belum duduk. Kewajiban dari pihak PHR tersebut akan hilang bila sampai batas waktu Riau belum mengajukan BUMD yang memenuhi syarat.

Kedua, daerah sebenarnya memperoleh hak istimewa untuk mengajukan BUMD ikut dalam skema "B to B" (Business to Business). Pengelolaan Blok Rokan itu sebenarnya, sepenuhnya berada di tangan PT PHR. Tapi, mereka boleh menawarkan saham sebesar 39 persen untuk ikut dalam pengelolaan kepada BUMD atau perusahaan investor lain. Bedanya dengan BUMD penerima PI 10%, dalam kerjasama B to B, BUMD  atau investor harus setor modal di depan.

BUMA (Badan Usaha Milik Adat) LAMR, yang sering kita dengar, masuk dalam skema B to B ini. Di sinilah dilematisnya. Kita gembira bila salah satu BUMD atau BUMA, atau keduanya sekaligus ikut dalam kerjasama pengelolaan (saham 39 persen) tersebut. Namun masalahnya, BUMD atau BUMA harus setor modal di depan (ikut share secara proporsional dalam signatur bonus yang telah dibayarkan oleh Pertamina). Hal inilah yang dikhawatirkan oleh Warman Batubara Direktur Eksekutif Indonesia Relief Rescue (IRRES) dalam forum UNRI’S Discussion Club. BUMD atau BUMA tak akan memiliki dana cukup untuk itu. Namun, katakanlah ada investor yang mau menjalin kerja sama dengan BUMD atau BUMA, maka kelak bagian dari dividen atau laba, akan dikuasai oleh investor.

Pengalihan Tenaga Kerja
Bagaimana dengan tenaga kerja tempatan? Pertamina telah resmi menetapkan 2.757 pekerja eks PT CPI diterima untuk dialihkerjakan sebagai karyawan PT PHR. Dua hal perlu dicermati. Pertama, mereka sudah terbiasa bekerja dalam budaya korporat PT CPI, urusan keberpihakan terhadap daerah bukan urusan pekerja. Pekerja ini pasti menggunakan filosofi tungku panas, bahwa tungku panas akan memberikan kehangatan yang sama kepada siapa yang mendekat. Kedua, berapa pekerja asli tempatan Riau dalam jumlah tersebut. Bila sangat minim, maka artinya Riau masuk perangkap, dari mulut singa masuk ke mulut harimau.

TTM dan Power Plant
Tanah terkontaminasi minyak (TTM) dan kebutuhan energi Blok Rokan, adalah isu lain yang bisa-bisa membuat Riau tergadai. Tentang TTM misalnya, ternyata sudah ada kontrak antara SKK Migas (sebagai kuasa yg mewakili negara) dengan PT PHR, tanggung jawab pengolahannya dialihkan dari yang seharusnya oleh PT CPI ke PT PHR.

Tentang pasokan energi listrik untuk Blok Rokan, lebih serius lagi masalahnya. Sebab pasokan listrik mayoritas berasal dari PLTGU yang dikelola PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang mayoritas sahamnya dimiliki Chevron Standard Ltd. Sekarang PT CPI sedang melelang pembangkit tersebut. Blok Rokan pasti butuh energi listrik seperti yang disuplai MCTN. Maka, ke depan PT PHR bersiap-siaplah membayar jumlah yang sangat besar untuk kebutuhan energinya. Dalam skema cost recovery (dulu di era CPI) biaya energi ditanggung negara. Tapi dalam skema gross split sekarang, sharing the pain sharing the gain. Untung rugi tanggung bersama. Jangan-jangan tak ada lagi dividen yang bisa dibagi. Waktu tinggal 60 hari, sementara pe-er masih banyak.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya