JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kabar duka dari tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19 terus terdengar. Setidaknya dikatakan sudah 100 dokter di Indonesia meninggal karena tugasnya sebagai garda terdepan menangani virus korona.
Beban kerja yang berlebihan dengan jumlah kasus baru terus bertambah, membuat para dokter rentan terpapar. Laporan angka 100 dokter yang gugur karena tugas pun dibenarkan perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Saat dihubungi JawaPos.com, Senin (31/8), Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Mohammad Adib Khumaidi mengatakan, pihaknya sedang berusaha membuat peta terkait apa saja faktor penyebab meninggalnya para dokter. Termasuk daerah mana saja yang paling berisiko.
“Ya 100 (dokter yang meninggal, Red). Tapi kami masih mau coba buat tabling data dulu. Umur berapa, daerah mana, ada faktor komorbid atau tidak. Lakukan pelayanan di mana. Saya sudah diskusikan,” tegas dr. Adib kepada JawaPos.com, Senin (31/8).
Baginya, pemetaan ini penting untuk dilakukan agar lebih jelas. Sehingga risiko kematian dokter bisa ditekan. “Kami enggak mau IDI seolah terkesan hanya ucapan duka cita doang,” tukasnya.
“Kami belum bisa ngomong sekarang (detail kematian dokter, Red). Kami lagi tabling data dulu. Kami buat pemetaan awal, maping dulu. Ini penting untuk penekanan problem risiko,” sambungnya.
Jika dilihat daerahnya, Jawa Timur saja mencatat 27 orang dokter meninggal dunia. Dan di Jakarta dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di bawah 10 orang.
Ketika disinggung terkait banyak dokter yang gugur di dalam negeri dibandingkan negara tetangga, IDI tak mau gegabah menanggapi hal tersebut. “Dibandingkan data luar negeri, masih kami cari perbandingan datanya. Karena data di luar negeri juga berubah-ubah,” jelasnya.
Beban Tinggi, Dokter Kelelahan
Tak bisa dipungkiri, di tengah banyaknya kasus baru Covid-19 setiap hari membuat dokter kelelahan. Saat ini, jam kerja dokter sudah dibagi menjadi 3 shift dan tak bisa ditambah lagi bebannya. Jumlah SDM harus ditambah.
“Jam kerja harus proporsional. Kelelahan bisa jadi faktor penyebab, kekurangan APD juga masih masuk di dalannya,” kata dr. Adib.
Begitu juga ketika dokter pulang ke rumah dan bertemu dengan banyak orang di dalam komunitas, bisa saja penularan terjadi. Sehingga bukan selalu tertular dari pasien atau saat melakukan pelayanan.
“Karena kita kan dalam kehidupan sosial, kita bertemu dengan orang lain siapa saja, bisa berdampak juga. Yang kami dorong adalah perilaku safety. Baik itu pelayanan, dan komunitas,” katanya.
Sebelumnya sebagai sesama dokter, Dekan FKUI Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB prihatin para dokter gugur akibat Covid-19. Dan rata-rata tertular kareka berbagai faktor dari mulai komorbid, tertular dari pasien, hingga terinfeksi karena berjuang di garda terdepan.
Menurut dr. Ari tak bisa juga dikatakan tenaga medis abai atau tak disiplin. Sebab beban kerja dokter ditambah stres selama pandemi, bisa memicu penularan virus.
“Tak bisa juga dibilang abai, beban dokter tersebut berat lho. Tentu ini saling berhubungan semua. Misalnya kita ambil contoh, beban kerja dokter yang tinggi, bisa saja membuat kelelahan. Kami juga stres lho mengetahui beberapa pasien yang kami rawat misalnya positif Covid-19. Lalu kami kontak sebelumnya. Stres lho kerja seperti itu, itu sudah makanan kami sehari-hari,” tegasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman