MAKKAH (Riaupos.co) – Suatu ketika, dua bulan sebelum musim haji, KH Maimoen Zubair berdialog santai dengan beberapa santrinya. Ulama yang akrab disapa Mbah Moen itu menyampaikan keinginannya untuk meninggal pada hari Selasa. Sebab, ayah, kakek, dan buyutnya juga meninggal hari Selasa.
Waktu itu tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa itulah wasiat Mbah Moen. Kini Allah mengabulkan keinginan ulama karismatis tersebut. Selasa pagi (6/8), kondisi pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Anwar, Sarang, Rembang, itu mendadak kritis.
Dia lantas dibawa ke Rumah Sakit (RS) Al Noor di Makkah. Di RS itu pula Mbah Moen akhirnya berpulang. Meninggal hari Selasa. Di Makkah. Saat menjalankan ibadah haji. Sungguh akhir hidup yang sempurna.
Kabar meninggalnya ulama kelahiran Rembang, 28 Oktober 1928, tersebut menyebar dengan cepat. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan jajaran Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi langsung berdatangan ke RS Al Noor. Jenazah Mbah Moen sempat disemayamkan di kantor PPIH Arab Saudi Daerah Kerja (Daker) Makkah. Setelah duhur, jenazah dibawa ke Masjidilharam untuk disalati. Kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman Ma’la yang tak jauh dari Masjidilharam.
Di kompleks yang sama, dimakamkan juga Siti Khadijah binti Khuwailid (istri pertama Nabi Muhammad SAW), Abu Thalib (paman Nabi), serta Abdul Muthalib (kakek Nabi). Ma’la juga menjadi peristirahatan terakhir ulama-ulama Nusantara. Antara lain Syekh Nawati Al Bantani, Syekh Amin Al Quthbi dari Lombok, Syekh Khotib Minangkabau, dan guru utama Mbah Moen, yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki.
Mbah Moen berada di Makkah sejak Senin (29/7) untuk menjalani rangkaian ibadah haji. Semula dia menginap di Hotel Dar Al Eman Royal, Makkah. Namun, sejak Senin (5/8), setelah salat duhur, Mbah Moen pindah ke sebuah apartemen di wilayah Nassim, Makkah. Apartemen tersebut menjadi tempat transit karena dekat dengan Mina. Mbah Moen berhaji bersama istrinya yang bernama Nyai Heni Maryam. Mereka didampingi santri bernama Hayatullah Makki (Gus Hayat). Ada juga dua santri yang bertindak sebagai petugas haji.
Gus Hayat menjelaskan, Mbah Moen selama di Makkah tetap menerima banyak tamu seperti saat di tanah air. “Umrah wajibnya sudah selesai. Beliau daharnya (makannya, Red) juga seperti biasa,” kata Gus Hayat di lokasi pemandian jenazah di Al Mohajreen Funeral Home Makkah.
Menteri Agama sekaligus Amirulhaj Lukman Hakim Saifuddin sejak pagi ikut mengurus jenazah Mbah Moen. Menurut Lukman, Mbah Moen meninggal pukul 04.17 waktu Arab Saudi. “Beliau cepat sekali berpulang. Dengan cara yang sangat baik. Sama sekali tidak ada yang direpotkan oleh kepulangan beliau,” katanya.
Lukman menceritakan, sebelumnya tidak ada keluhan rasa sakit dari Mbah Moen. Bahkan, Senin malam, Mbah Moen masih berdialog dengan keluarga dan kerabat. Tidak ada tanda-tanda sakit keras. “Ini juga yang beliau kehendaki. Beliau ingin berpulang di hari Selasa dan di Makkah,” ucapnya berdasar cerita kerabat Mbah Moen.
Menurut Lukman, keinginan Mbah Moen itu akhirnya dikabulkan Allah SWT. Indonesia, imbuh dia, kehilangan sosok ulama besar. Namun, Lukman meminta masyarakat ikhlas melepas kepergian Mbah Moen. Dia berharap syiar Mbah Moen bisa dilanjutkan santri-santrinya.
Keinginan Mbah Moen meninggal pada Selasa di Makkah dibenarkan Abdul Ghofur Maimoen, putra kelima Mbah Moen. “Menurut salah seorang santri, abah memang pernah menyampaikan ingin wafat di Makkah,” katanya kepada Jawa Pos kemarin.
Hari mangkatnya Mbah Moen juga menjadi perbincangan di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, saat pengajian Ramadan sekitar Mei lalu, Mbah Moen sempat bercerita soal keistimewaan hari Selasa kepada santri-santrinya. Dia mengungkapkan, sejak berdirinya Ponpes Al-Anwar, Sarang, Rembang, pada 1800-an, Selasa sudah dijadikan hari libur mengaji.
Mbah Moen menyebutkan bahwa ayahnya, KH Zubair Dahlan, juga meninggal Selasa. Demikian pula kakek dan buyutnya. Mbah Moen kemudian menirukan pesan kakeknya. “Ini tidak cuma di Sarang, Cung! Tapi, zamanku di Makkah, nek (kalau) kiai-kiai wafat ya hari Selasa,” ujar Mbah Moen dalam rekaman video yang diterima Jawa Pos.
Dalam pengajiannya, Mbah Moen memaparkan keistimewaan hari Selasa dikaitkan dengan ajaran Alquran tentang penciptaan alam semesta. Almarhum menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan alam semesta selama empat hari, yakni Ahad (Minggu), Senin, Selasa, dan Rabu.
Tahap pertama penciptaan selesai pada dua hari pertama (yaumaini), yakni Ahad dan Senin. Kemudian, Allah menciptakan ilmu dari segala sesuatu yang ada di dunia ini pada Selasa. “Makanya, orang Jawa itu menyebut Rabu wekasan. Karena Allah rampung melakukan penciptaan pada Rabu,” jelasnya.
Karena itu, Ponpes Al-Anwar meliburkan kegiatan mengaji pada Selasa untuk menghormati dan mengenang jasa para ulama serta memperingati dicabutnya ilmu melalui mangkatnya para ulama. “Tapi, libur ngajinya saja. Sekolahnya nggak usah libur,” ujarnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwir