Selasa, 11 November 2025
spot_img

Dewan Pers: Kriminalisasi Pers Terus Terjadi

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ahmad Djauhar mengingatkan kriminalisasi pers mengindikasikan bahwa pers nasional belum sepenuhnya bebas.

“Padahal amanat Undang-Undang Pers, untuk produk pemberitaan, harus diselesaikan di Dewan Pers, bukan di pengadilan umum,” kata Ahmad Djauhar dalam acara Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Dewan Pers secara hybrid (gabungan daring dan tatap muka), Rabu (1/9/2021).

Menurut dia, masih ada sejumlah kalangan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat mengadukan produk pers, atau produk pemberitaan, kepada polisi dengan berbagai alasan. Hal ini yang kemudian menyebabkan dilakukannya penegakan hukum yang tidak menggunakan Undang-Undang Pers dalam menangani kasus pers.

Baca Juga:  Ashanty: Alhamdulillah Belum Meninggal

Ahmad Djauhar mengatakan, kasus yang melibatkan karya jurnalistik menunjukkan kesalahan etik, tidak seharusnya diperlakukan seperti tindak kriminal, sehingga tidak tepat apabila dilaporkan kepada polisi.

Fenomena tersebut, kata Ahmad, menimbulkan kesan bahwa karya jurnalistik yang merupakan karya intelektual ditangani dengan pendekatan hukum pidana, sehingga terjadi kriminalisasi pers.

“Hal ini mencerminkan bahwa kriminalisasi pers masih ada walaupun Undang-Undang Pers telah berumur 22 tahun,” ujarnya pula.

Bukan hanya kriminalisasi, katanya lagi, insan pers yang terdiri dari wartawan serta awak media juga rentan mengalami tindak kekerasan selama proses penciptaan maupun setelah publikasi produk pers. Kekerasan tersebut dapat terjadi apabila isinya dipandang merugikan pihak yang diberitakan.

Baca Juga:  Hearing Komisi II DPRD dengan Masyarakat Batas Buahkan Hasil

Tindak kekerasan yang mengancam insan pers, menurut dia, juga merupakan hambatan kemerdekaan pers.

Namun, pada sisi lain, kesadaran pada mekanisme hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers sudah tinggi. Ahmad mengatakan, berdasarkan pada catatan pengaduan Dewan Pers, terdapat 800-an surat aduan dari masyarakat sepanjang tahun 2020.

Oleh karena itu, meski Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 mengalami peningkatan dari 75,27 pada tahun 2020 menjadi 76,02, Ahmad Djauhar menekankan bahwa pers masih belum sepenuhnya bebas.

Sumber: JPNN/News/Antara/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ahmad Djauhar mengingatkan kriminalisasi pers mengindikasikan bahwa pers nasional belum sepenuhnya bebas.

“Padahal amanat Undang-Undang Pers, untuk produk pemberitaan, harus diselesaikan di Dewan Pers, bukan di pengadilan umum,” kata Ahmad Djauhar dalam acara Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Dewan Pers secara hybrid (gabungan daring dan tatap muka), Rabu (1/9/2021).

Menurut dia, masih ada sejumlah kalangan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat mengadukan produk pers, atau produk pemberitaan, kepada polisi dengan berbagai alasan. Hal ini yang kemudian menyebabkan dilakukannya penegakan hukum yang tidak menggunakan Undang-Undang Pers dalam menangani kasus pers.

Baca Juga:  Cegah Penyebaran Covid-19, AMSI Minta Jurnalis Utamakan Keselamatan

Ahmad Djauhar mengatakan, kasus yang melibatkan karya jurnalistik menunjukkan kesalahan etik, tidak seharusnya diperlakukan seperti tindak kriminal, sehingga tidak tepat apabila dilaporkan kepada polisi.

Fenomena tersebut, kata Ahmad, menimbulkan kesan bahwa karya jurnalistik yang merupakan karya intelektual ditangani dengan pendekatan hukum pidana, sehingga terjadi kriminalisasi pers.

- Advertisement -

“Hal ini mencerminkan bahwa kriminalisasi pers masih ada walaupun Undang-Undang Pers telah berumur 22 tahun,” ujarnya pula.

Bukan hanya kriminalisasi, katanya lagi, insan pers yang terdiri dari wartawan serta awak media juga rentan mengalami tindak kekerasan selama proses penciptaan maupun setelah publikasi produk pers. Kekerasan tersebut dapat terjadi apabila isinya dipandang merugikan pihak yang diberitakan.

- Advertisement -
Baca Juga:  Hearing Komisi II DPRD dengan Masyarakat Batas Buahkan Hasil

Tindak kekerasan yang mengancam insan pers, menurut dia, juga merupakan hambatan kemerdekaan pers.

Namun, pada sisi lain, kesadaran pada mekanisme hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers sudah tinggi. Ahmad mengatakan, berdasarkan pada catatan pengaduan Dewan Pers, terdapat 800-an surat aduan dari masyarakat sepanjang tahun 2020.

Oleh karena itu, meski Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 mengalami peningkatan dari 75,27 pada tahun 2020 menjadi 76,02, Ahmad Djauhar menekankan bahwa pers masih belum sepenuhnya bebas.

Sumber: JPNN/News/Antara/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ahmad Djauhar mengingatkan kriminalisasi pers mengindikasikan bahwa pers nasional belum sepenuhnya bebas.

“Padahal amanat Undang-Undang Pers, untuk produk pemberitaan, harus diselesaikan di Dewan Pers, bukan di pengadilan umum,” kata Ahmad Djauhar dalam acara Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Dewan Pers secara hybrid (gabungan daring dan tatap muka), Rabu (1/9/2021).

Menurut dia, masih ada sejumlah kalangan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat mengadukan produk pers, atau produk pemberitaan, kepada polisi dengan berbagai alasan. Hal ini yang kemudian menyebabkan dilakukannya penegakan hukum yang tidak menggunakan Undang-Undang Pers dalam menangani kasus pers.

Baca Juga:  Mendadak, PLTA Koto Panjang Buka Empat Pintu Spillway

Ahmad Djauhar mengatakan, kasus yang melibatkan karya jurnalistik menunjukkan kesalahan etik, tidak seharusnya diperlakukan seperti tindak kriminal, sehingga tidak tepat apabila dilaporkan kepada polisi.

Fenomena tersebut, kata Ahmad, menimbulkan kesan bahwa karya jurnalistik yang merupakan karya intelektual ditangani dengan pendekatan hukum pidana, sehingga terjadi kriminalisasi pers.

“Hal ini mencerminkan bahwa kriminalisasi pers masih ada walaupun Undang-Undang Pers telah berumur 22 tahun,” ujarnya pula.

Bukan hanya kriminalisasi, katanya lagi, insan pers yang terdiri dari wartawan serta awak media juga rentan mengalami tindak kekerasan selama proses penciptaan maupun setelah publikasi produk pers. Kekerasan tersebut dapat terjadi apabila isinya dipandang merugikan pihak yang diberitakan.

Baca Juga:  Hearing Komisi II DPRD dengan Masyarakat Batas Buahkan Hasil

Tindak kekerasan yang mengancam insan pers, menurut dia, juga merupakan hambatan kemerdekaan pers.

Namun, pada sisi lain, kesadaran pada mekanisme hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers sudah tinggi. Ahmad mengatakan, berdasarkan pada catatan pengaduan Dewan Pers, terdapat 800-an surat aduan dari masyarakat sepanjang tahun 2020.

Oleh karena itu, meski Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia Tahun 2021 mengalami peningkatan dari 75,27 pada tahun 2020 menjadi 76,02, Ahmad Djauhar menekankan bahwa pers masih belum sepenuhnya bebas.

Sumber: JPNN/News/Antara/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari