Minggu, 7 Juli 2024

Biaya Politik di Indonesia Dinilai Mahal

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Lembaga Lingkungan Scale Up mengelar sharing session tentang “Electoral Reform and Land Rights in Indonesia” atau Reformasi Pemilu dan Hak atas Tanah di Indonesia, Selasa (25/2). Mendatangkan narasumber dari Senior Reseacher at KITLV Lecturer of Political Science at University id Amsterdam, Dr Ward Berenschot.

Dalam pemaparannya, bule yang kerap disapa Ward membahas tentang kampanye dan pemilihan di Indonesia. Pembahasan itu lengkap dalam bukunya Democracy for Sale. "Saya membahas pemilihan di Tangerang, Lampung dan Kalteng. Ada pileg dan pilpres," sebutnya.

- Advertisement -

Di dalam bukunya pun terdapat tentang strategi kampanye. Pihak yang terkait erdapat 35 dosen yang ada di Indonesia dan 500 pengamat.

Baca Juga:  Rayakan HUT Riau Pos, Grand Elite Hotel Adakan Kunjungan

Fokus dalam bukunya Ward yaitu mengapa pemilihan umum di Indonesia begitu mahal. Calon politik mengeluarkan uang begitu banyak. "Lima alasan mahalnya kampanye di Indonesia di antaranya serangan fajar, mahar politik (memberi pada pendukung, red), oligarki, tim sukses dan membeli suara," jelasnya.

Dalam pada itu, Ward menceritakan saat berkampanye harusnya pengurus partai politik (parpol) yang mengurus kampanye. "Harusnya pengurus parpol yang mengurus kampanye. Bukan tim sukses, akibat kelemahan parpol, tidak dekat dengan masyarakat. Pada 2004 masih 50 persen kedekatannya sedangkan saat ini hanya 10 persen saja," ungkapnya.

- Advertisement -

Lebih jauh, akibat lainnya yaitu kebijakan visi dan misi tidak begitu penting. Lalu muncul sengketa lahan yaitu ekonomi dan politik menjadi hutang budi. "Lalu timbullah hutang di mana-mana. Kemudian berefek pada korupsi," ucapnya.

Baca Juga:  Surya Dharma Terpilih Jadi JPU KPK

"Sebaiknya pemilu Indonesia bisa meniru di India. Di sana dekat dengan masyarakat, kemudian selesai kampanye pun pos-pos masih ramai. Sedangkan di Indonesia begitu selesai kampanye pos sepi dan hanya tinggal spanduk ataupun rumah yang baru selesai dicat," pintanya.

Di waktu yang sama sebagai moderator Rawa mengatakan, korupsi bersumber dari pilkada, pileg dan pilpres. "Jika tidak serius mengurus pemilu akan membuktikan fenomena konflik yaitu korupsi. Isu yang menarik ini harus bisa disiasati dengan memahami lima hal yang dibahas sebelumnya," tutupnya.(s)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Lembaga Lingkungan Scale Up mengelar sharing session tentang “Electoral Reform and Land Rights in Indonesia” atau Reformasi Pemilu dan Hak atas Tanah di Indonesia, Selasa (25/2). Mendatangkan narasumber dari Senior Reseacher at KITLV Lecturer of Political Science at University id Amsterdam, Dr Ward Berenschot.

Dalam pemaparannya, bule yang kerap disapa Ward membahas tentang kampanye dan pemilihan di Indonesia. Pembahasan itu lengkap dalam bukunya Democracy for Sale. "Saya membahas pemilihan di Tangerang, Lampung dan Kalteng. Ada pileg dan pilpres," sebutnya.

Di dalam bukunya pun terdapat tentang strategi kampanye. Pihak yang terkait erdapat 35 dosen yang ada di Indonesia dan 500 pengamat.

Baca Juga:  Kapolres: Tingkatkan Jaringan Informasi Masyarakat

Fokus dalam bukunya Ward yaitu mengapa pemilihan umum di Indonesia begitu mahal. Calon politik mengeluarkan uang begitu banyak. "Lima alasan mahalnya kampanye di Indonesia di antaranya serangan fajar, mahar politik (memberi pada pendukung, red), oligarki, tim sukses dan membeli suara," jelasnya.

Dalam pada itu, Ward menceritakan saat berkampanye harusnya pengurus partai politik (parpol) yang mengurus kampanye. "Harusnya pengurus parpol yang mengurus kampanye. Bukan tim sukses, akibat kelemahan parpol, tidak dekat dengan masyarakat. Pada 2004 masih 50 persen kedekatannya sedangkan saat ini hanya 10 persen saja," ungkapnya.

Lebih jauh, akibat lainnya yaitu kebijakan visi dan misi tidak begitu penting. Lalu muncul sengketa lahan yaitu ekonomi dan politik menjadi hutang budi. "Lalu timbullah hutang di mana-mana. Kemudian berefek pada korupsi," ucapnya.

Baca Juga:  Surya Dharma Terpilih Jadi JPU KPK

"Sebaiknya pemilu Indonesia bisa meniru di India. Di sana dekat dengan masyarakat, kemudian selesai kampanye pun pos-pos masih ramai. Sedangkan di Indonesia begitu selesai kampanye pos sepi dan hanya tinggal spanduk ataupun rumah yang baru selesai dicat," pintanya.

Di waktu yang sama sebagai moderator Rawa mengatakan, korupsi bersumber dari pilkada, pileg dan pilpres. "Jika tidak serius mengurus pemilu akan membuktikan fenomena konflik yaitu korupsi. Isu yang menarik ini harus bisa disiasati dengan memahami lima hal yang dibahas sebelumnya," tutupnya.(s)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari