JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah akan memasang label peringatan kesehatan pada air minum dalam kemasan (AMDK). Sebab, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan kadar bisfenol A (BPA) saat ini melebihi batas maksimal. Hal itu bisa memicu gangguan kesehatan. Mulai gangguan reproduksi hingga kanker.
BPA merupakan zat kimia yang biasa digunakan dalam pembuatan kemasan plastik polikarbonat (PC) dan resin epoxy. Salah satunya adalah wadah plastik untuk AMDK. Pada kondisi tertentu, BPA dapat bermigrasi (larut) dari kemasan plastik PC ke dalam air yang dikemasnya.
Semula, persyaratan batas migrasi BPA pada kemasan plastik PC di Indonesia adalah 0,6 bpj.
Itu sesuai dengan peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Namun, angka itu bakal direvisi. Sebab, berdasar hasil penelitian terbaru dan bukti ilmiah di negara-negara lain, BPOM berpendapat bahwa rentang batas mengkhawatirkan migrasi BPA berada pada angka 0,05 hingga 0,6 bpj. Sedangkan angka amannya adalah 0,01 bpj.
Di sisi lain, sepanjang 2021 hingga 2022, BPOM menemukan 3,4 persen sampel yang tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA. Sebab, kondisi migrasi BPA-nya berada pada 0,05 sampai 0,6 bpj. Sampel itu diambil dari sarana produksi AMDK (5 persen) dan pasaran (8,67 persen).
Apa dampak BPA pada kesehatan manusia? ”BPA memberikan dampak melalui mekanisme endocrine disruptors atau gangguan hormon estrogen,’’ kata Kepala BPOM Penny K. Lukito. Hal itu bisa memicu gangguan pada sistem reproduksi pria maupun wanita. Selain itu, berpotensi memicu diabetes, obesitas, serta gangguan sistem kardiovaskular dan ginjal. Juga diduga bisa memicu kanker dan mengganggu perkembangan kesehatan mental.
Beberapa negara telah menurunkan ambang batas migrasi BPA. Pada 2018, Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA yang semula 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj. Prancis, Brasil, dan beberapa negara lain bahkan telah melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan, termasuk AMDK. Kolumbia telah mengatur pencantuman peringatan label bahaya BPA berupa potensi risiko kanker, gangguan kehamilan, dan fungsi reproduksi.
Menurut Penny, lembaganya berinisiatif memberikan pelabelan pada AMDK melalui revisi Peraturan Badan POM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Tujuannya semata-mata untuk melindungi masyarakat. ”Perlu dipahami bersama bahwa isu BPA dalam produk pangan olahan ini bukan masalah lokal atau nasional. Tapi, sudah menjadi perhatian global yang harus kita sikapi dengan cerdas dan bijaksana untuk kepentingan perlindungan kesehatan konsumen,’’ tuturnya.
Label yang akan dipasang pada AMDK mungkin bertulisan: ”Berpotensi Mengandung BPA”. Ada juga anjuran agar AMDK disimpan dalam tempat yang bersih dan sejuk serta terhindar dari paparan sinar matahari langsung. ”Badan POM tidak melarang penggunaan kemasan galon PC. Karena itu, dapat dipastikan tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha,’’ jelasnya. Dia juga menegaskan bahwa regulasi itu hanya berlaku pada AMDK yang mempunyai izin edar. ’’Sehingga tidak berdampak pada depot air minum isi ulang,’’ tuturnya.
Rencana BPOM itu mendapat dukungan dari mitranya di DPR. Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina mengapresiasi BPOM yang cepat tanggap merespons isu BPA pada AMDK. Menurut dia, sudah banyak hasil penelitian yang memaparkan bahaya BPA pada kesehatan. Misalnya, menyangkut infertility (kemandulan) dan autisme pada anak. ”Semua pihak, akademisi dari UI, Unair, IPB, UGM, semua menyuarakan satu suara bahwa BPA ini membahayakan,’’ ujarnya.
Dia juga mendukung BPOM untuk segera menerapkan aturan pelabelan tersebut. Dengan begitu, masyarakat –terutama ibu-ibu– bisa teredukasi atas bahaya BPA dalam AMDK. ”Pelaku industri juga dilibatkan dalam pelabelan ini sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam memberikan edukasi kesehatan kepada masyarakat,’’ paparnya.
Dia berharap pelabelan itu tidak hanya menyasar satu produk pangan. Tapi, juga dilakukan pada produk pangan lain karena menyangkut jaminan keamanan pangan. Apalagi, Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan menyebutkan bahwa kewajiban pelabelan bebas zat kontak pangan tidak hanya pada kemasan berbahan plastik PC, tapi juga produk lain seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirene (PS), kemasan pangan timbal (Pb), kadmium (Cd), kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg), serta kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa ftalat dan lainnya.
Respons berbeda disampaikan kalangan pengusaha AMDK. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat menyatakan, pihaknya keberatan dengan wacana pelabelan risiko BPA itu.
Sebab, AMDK dan galon guna ulang (GGU) sudah memenuhi persyaratan dari aspek kesehatan dan keamanan pangan. Sehingga aman dikonsumsi masyarakat.
Dia menegaskan, isu galon mengandung BPA dan berbahaya sebenarnya berembus sejak dua tahun lalu. Namun, sampai saat ini tidak ada masalah kesehatan akibat mengonsumsi air GGU yang mengandung polikarbonat. Sebab, sebelum diedarkan ke pasaran, produk tersebut sudah memenuhi SNI dan puluhan standar keamanan serta kualitas produk. ”Sampai hari ini belum pernah ada satu pun laporan gangguan kesehatan akibat konsumsi AMDK GGU PC di Indonesia dan di dunia,” bebernya.
Dia menyebut rencana pelabelan itu diskriminatif dan berpotensi menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Aturan tersebut dinilai merugikan satu sektor produk industri, tetapi sangat menguntungkan sektor produk yang lain. Karena itu, Rachmat memohon BPOM tidak melanjutkan rencana tersebut. ”Sangat banyak pelaku industri AMDK dan industri terkait lainnya yang mengalami tekanan, penurunan penjualan, penurunan produksi dan penghasilan,” ungkapnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman