JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir kembali melaporkan kasus dugaan korupsi di perusahaan BUMN kepada Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kemarin siang (11/1) Erick menemui Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. Dalam kesempatan tersebut, Erick menyampaikan hasil audit investigasi mengenai pengadaan pesawat ATR 72-600 di PT Garuda Indonesia.
Kepada awak media, Erick mengungkapkan bahwa langkah yang diambil oleh instansinya merupakan bagian dari komitmen Kementerian BUMN untuk berbenah diri.
"Saya rasa sudah saatnya memang oknum-oknum yang ada di BUMN harus dibersihkan," ungkap dia.
Karena itu, pihaknya menjalin kerja sama dengan Kejagung. Baik untuk pendampingan maupun penindakan hukum. Erick pun menyebut penanganan kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri. Menurut dia, itu merupakan bagian dari bersih-bersih BUMN.
"Dan inilah memang tujuan kami, terus menyehatkan BUMN," ujarnya.
Garuda Indonesia yang tengah melaksanakan restrukturisasi tidak luput dari komitmen tersebut. Dia tegas menyatakan, penyelesaian masalah dengan lessor tidak akan terganggu penegakan hukum oleh Kejagung. Menurut Erick, pihaknya sudah memetakan setiap masalah di Garuda Indonesia. Masalah dengan lessor yang terindikasi korupsi, kata dia, dipisahkan dari masalah sewa pesawat yang terlalu mahal.
"Kami juga tidak mau, misalnya mengambil keputusan sapu bersih yang akhirnya tidak membuat penyelesaian (masalah) Garuda secara menyeluruh," beber orang nomor satu di Kementerian BUMN tersebut.
Berdasar audit investigasi yang telah diterima oleh dirinya, Erick menyatakan bahwa terdeteksi indikasi korupsi. Dia memastikan data-data yang menunjukkan indikasi tersebut valid.
"Dalam proses pengadaan pesawat terbangnya, leasing-nya itu ada indikasi korupsi," ungkap dia.
Kali ini yang bermasalah adalah leasing pesawat ATR 72-600. "Tentu juga kami serahkan bukti-bukti audit investigasi," tambahnya.
Audit investigasi yang dimaksud oleh Erick dilakukan Kementerian BUMN bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Meski yang dilaporkan oleh Erick kepada Jaksa Agung kemarin hanya terkait dengan pesawat ATR 72-600, bukan tidak mungkin nantinya ada pengembangan ke pesawat lainnya. Sebab, indikasi korupsi tidak hanya tampak pada pengadaan pesawat ATR 72-600, melainkan juga pada pengadaan pesawat lainnya.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pun membenarkan bahwa pengembangan sangat memungkinkan dilakukan oleh instansinya.
"In sya Allah tidak akan berhenti di sini. Akan kami kembangkan sampai Garuda ini bersih," ungkap dia.
Meski tidak menyebut nama, Burhan menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi yang dilaporkan oleh Erick kemarin terjadi pada era kepemimpinan pejabat Garuda Indonesia berinisial ES. Burhan menyebut, pejabat itu kini masih masih berada di dalam tahanan.
"Untuk ATR 72-600 ini (kasus dugaan korupsi terjadi di) zaman ES. Dan ES sekarang masih dalam tahanan," terang dia.
Penanganan kasus dugaan korupsi tersebut juga terkait dengan penyelidikan terhadap Garuda Indonesia yang dilaksanakan oleh Kejagung sejak tahun lalu. Berdasar informasi dari Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung, surat perintah penyelidikan kasus tersebut sudah terbit sejak 15 November 2021. Surat itu tercatat dengan nomor Print-25/F.2/Fd.1/11/2021. Berlandas surat tersebut, Kejagung melaksanakan penyelidikan dugaan korupsi mark up penyewaan pesawat oleh Garuda Indonesia dengan masa perjanjian kerja sama sejak 2013 sampai saat ini.
Selain mark up penyewaan pesawat, Kejagung juga menyelidiki manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat. Kepala Puspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyampaikan bahwa kasus bermula dari Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2009-2014. Dalam RJPP itu Garuda Indonesia berencana menambah 64 unit pesawat.
"Baik dengan menggunakan skema pembelian dan sewa melalui pihak lessor," ujarnya.
Sumber dana untuk penambahan pesawat tersebut, lanjut Leonard, berasal dari lessor agreement. Kemudian dana disiapkan oleh pihak ketiga dan Garuda Indonesia membayar kepada lessor.
"Pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi," beber Leonard.
Dari RJPP itu pula terealisasi pengadaan 68 pesawat. Termasuk diantaranya pesawat ATR 72-600 yang pengadaannya kini dilaporkan Erick kepada Kejagung. Secara lebih terperinci, Leonard mengungkapkan bahwa ada 50 unit pesawat ATR 72-600 yang didatangkan oleh Garuda Indonesia pada saat itu. Sebanyak lima unit lewat skema pembelian dan 45 unit sewa. Tidak hanya ATR 72-600, Garuda Indonesia juga mendatangkan 18 unit pesawat CRJ 1000. Enam unit pesawat dibeli dan 12 unit lainnya sewa. Dalam pengadaan pulahan pesawat itulah Kejagung melihat telah terjadi korupsi.
"Yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan menguntung pihak lessor," bebernya.
Terpisah, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menanggapi langkah penyelidikan dari Kejagung sebagai tindak lanjut atas laporan menteri BUMN mengenai indikasi korupsi pengadaan pesawat yang terjadi beberapa tahun lalu di Garuda.
"Kami tentunya memastikan akan mendukung penuh penyelidikan tersebut dan akan menindaklanjuti setiap keperluan penyelidikan yang disampaikan sebagai bagian dari upaya penegakan good corporate governance (GCG)," ujar Irfan, kemarin (11/1).
Menurut Irfan, Garuda sangat mendukung setiap upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitas perusahaan dalam setiap aktivitas bisnisnya. "Misi transformasi perusahaan yang tengah kami jalankan saat ini adalah menjadikan Garuda sebagai entitas bisnis yang sehat tidak hanya dari sisi kinerja keuangan dan operasional akan tetapi turut ditunjang oleh fondasi tata kelola perusahaan yang juga sehat," tegas Irfan.(agf/syn/jpg)