Minggu, 15 Juni 2025

Mencari Arah Dunia Seni Riau, Sharing Session Laman Kedai Yong Sungot

Ketika pemerintah tak memberikan ruang yang luas kepada masyarakat atau seniman, secara partikelir mereka membuka ruang-ruang seni sendiri. Namun, perlu kerja keras dan kolaborasi agar ruang ini terbuka lebar.

RIAUPOS.CO – KEDAI Yong Sungot yang terletak di sebelah kiri halaman Anjung Seni Idrus Tintin (ASIT) di kawasan Bandar Serai (Purna MTQ), Pekanbaru, lumayan ramai pada Senin (8/6/2025) malam. Beberapa orang duduk di dalam kedai yang dibatasi pagar bunga-bunga yang disusun sedemikian rupa. Sementara beberapa orang duduk di beberapa kursi yang ada mejanya di pelataran parkir, tak jauh dari kedai.

Malam itu, di sana sedang berlangsung acara sharing session dengan tema “Mau ke Mana Arah Kesenian di Riau: Kini dan Masa Depan”. Dua pembicara hadir dalam acara itu, yakni pegiat seni kontemporer Adhari Donora SSn MA dan Saridan SSn MSn. Satu pembicara lagi, Syamyatmoko SSn MSn, urung hadir karena mendadak mengalami gangguan kesehatan. Praktisi dan kurator seni Fachrozi Amri menjadi moderator yang mengantarkan jalannya diskusi. Rencananya diskusi tentang seni rupa ini akan berlanjut dalam dua sesi lagi.

Hadir dalam diskusi itu beberapa seniman Riau lintas genre seperti Furqon LW, Budy Utamy, Kunni Masrohanti, Eko Fazra, Husin, Beni Riaw, Arza Aibonotika, Arisandi, dan beberapa yang lain. Sesuai namanya, sharing session, formatnya adalah pemaparan panjang dari dua pembicara, namun tidak terjadi diskusi secara intens dengan audiens meskipun ada beberapa peserta yang menyampaikan tanggapannya.

Menurut tuan rumah yang juga salah satu penggagas seri diskusi ini, Aamesa Aryana, kegiatan ini dibuat untuk membangun ruang diskusi tentang seni secara luas dan mendalam. Menurutnya, ekosistem seni harus terus dibangun dengan kolaborasi yang adaptif, kontekstual, inklusi, dan egaliter. Di dalamnya adalah bagaimana menggali pemahaman bersama tentang seni dalam bentuk edukasi, produksi, dan apresiasi.

“Kita perlu kolaborasi dan jejaring dalam membangun kebudayaan dan seni agar terbangun ekosistem yang baik di Riau,” ujar Aa Mesa.

Menurut Fachrozi Amri, sharing session ini akan digelar dalam banyak seri. Tidak hanya membicarakan seni rupa, tapi di sesi yang lain nanti juga akan mendiskusikan teater, seni tari, musik, dan genre lain. Pihaknya sudah membuat daftar hingga setahun ke depan. Menurutnya, selain yang sudah dipaparkan Aa Mesa, tukar pikiran ini berawal dari beberapa pertanyaan dasar. Misalnya, apakah  pendidikan seni membantu masyarakat berpikir kreatif?

“Juga, seberapa penting pendidikan seni di Riau degan kampus seni yang tak ada? Apakah memang dibutuhkan?” jelas pengajar di Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) ini.

Berangkat dari hal itulah Adhari Donora menjelaskan bahwa dunia seni (rupa) di Riau memang mestinya memerlukan pendidikan formal, yakni kampus seni, seperti di beberapa daerah di Indonesia. Namun itu bukan satu-satunya cara dalam membangun dunia seni, karena bisa dilakukan lewat banyak cara.

Lelaki yang biasa dipanggil Ade Greden ini menjelaskan lewat refleksi sejarah, yakni terjadinya apa yang disebut sebagai Desember Hitam 1974, yang  terjadi perseteruan mahasiswa dan dosen di beberapa daerah –salah satunya di Yogyakarta– yang memunculkan pemikiran dunia seni di Indonesia. Dijelaskannya, kolektif seni di luar Jawa dalam konteks medan seni rupa Indonesia seringkali beroperasi sebagai kantong-kantong seni dan budaya partikelir karena minimnya dukungan infrastruktur pemerintah. Ia berperan krusial dalam mengembangkan ekosistem seni lokal. Meskipun memiliki karakteristik keanggotaan yang cair dan berakar dari jaringan informal, mereka berjuang untuk eksis di tengah keterbatasan sumber daya, infrastruktur yang tidak memadai, dan tantangan dalam kurasi serta promosi karya seni rupa.

Itu menunjukkan bagaimana kolektif seni transdisiplin mengintegrasikan seni rupa dengan advokasi lingkungan dan sosial, serta pengelolaan ekosistem seni kontemporer melalui lokakarya dan eksperimentasi. Setelah Reformasi 1998, muncul komunitas dan ruang alternatif di banyak tempat. Paling tidak, saat ini muncul 53 ruang seni rupa alternatif yang aktif antara tahun 2011 hingga 2021 yang secara eksplisit mencakup kolektif-kolektif yang beroperasi di luar pusat-pusat seni utama seperti Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Misi dan visinya hampir sama, muncul karena ketiadaan fasilitas dari pemerintah karena seni rupa dianggap tak penting.

Baca Juga:  Festival Film Pendek Siak 2024, Munculkan Sineas-Sineas Muda Berbakat

Mereka antara lain Kolektif Hysteria di Semarang, Pasirputih di Lombok, Serbuk Kayu di Surabaya, Tepian Kolektif di Berau, Susur Galur di Pontianak, Indonesia Art Movement (IAM) di Jayapura, Siku Ruang Terpadu di Makassar, Forum Sudut Pandang di Palu (Sulawesi Tengah), juga Komunitas KAHE di Flores (Nusa Tenggara Timur/NTT). Di Sumatra bagian tengah muncul Ladang Rupa di Bukittinggi, Gubuak Kopi di Solok –keduanya di Sumatra Barat–  dan Sikukeluang di Riau.

Banyaknya ruang kolektif ini  menjadi bukti bahwa inovasi dan eksplorasi seni tidak terbatas pada satu wilayah geografis, bahkan mereka sekarang tergabung dalam suatu lembaga yang bisa dibilang sebagai kolektifnya kolektif, yakni Lumbung Indonesia. Perkembangan ini sangat penting untuk menantang narasi seni kontemporer Indonesia yang secara historis berpusat di Jawa, dengan memperkaya wacana seni nasional dengan beragam perspektif.

Di masa ini, menurutnya, lanskap seni kontemporer Indonesia telah diwarnai oleh kemunculan dan penyebaran kolektif seni yang signifikan. Berbeda dari institusi formal seperti museum dan galeri yang cenderung bergantung pada dukungan finansial pemerintah atau korporasi, kolektif seni beroperasi sebagai institusi kultural non-formal dengan struktur yang lebih mandiri dan fleksibel. Mereka sering digambarkan sebagai “laboratorium kehidupan sosial” di mana ia “diizinkan untuk salah” (permission to fail), sebuah ruang dinamis untuk eksplorasi, pembelajaran, dan adaptasi tanpa beban kegagalan yang kaku.

Meski cara kerja seniman kadang tidak tertata dengan rapi, terstruktur, dan sistematis –karena  70 persen seniman nongkrong– tapi di sana muncul pemikiran tentang seni dan apa yang akan dilakukan dalam membangun estetika kolektif seni. Seniman dianggap menjadi tolok ukur sebuah estetika karena dianggap memiliki pemikiran yang lebih tinggi.

“Padahal sebenarnya kerja seni dalam masyarakat lebih baik lagi sebagai tempat kerja kolektif secara langsung. Kolektif trandisiplin tidak hanya bekerja di antara berbagai disiplin seni tradisional, tetapi juga melampaui batas, mengintegrasikan sebagai bidang pengetahuan, dll,” ujar alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.

Kemudian, katanya, ada tawaran rumah sebagai sekolah, memberikan tawaran tempat dalam berbagai bidang seni.  Rumah bisa menjadi apa pun, bisa jadi jualan kopi, labor seni, pustaka, dll. Di sini dia juga yakin, “sekolah seni” bisa dilakukan di rumah.

Ade tidak menampik bahwa inovasi dan keberlanjutan dalam seni banyak juga disediakan pemerintah secara kolektif yang memikirkan keberlanjutan ekonomi. Seperti Lumbung Indonesia ada 16 lembaga di Indonesia termasuk Sikukeluang. Bagaimana membangun ekonomi bersama dalam seni memang perlu pengakuan seperti yayasan atau lembaga, fasilitas jejaring, kolaborasi antarkolektif. Termasuk adanya Dana Indonesiana, dana seni daerah, dll.

Dia pernah residensi di Kolombia, yakni di Medellin, sebuah kota yang pernah dikuasai kartel narkoba Pablo Escobar. Sering terjadi  perang antargeng dan kriminalitas yang tinggi yang membuat pemerintah dibuat kewalahan. Dalam kondisi buruk tersebut,  lalu dibuat taman budaya, dengan harapan warga bisa melupakan pengalaman traumatik. Pemerintah di sana menghendaki kebudayaan daerah tumbuh dengan menafikan perang narkoba. Kolaborasi pemerintah dan masyarakat ditumbuhkan dalam membangun seni yang salah satu tujuannya adalah menciptakan ruang yang lebih berbudaya dan manusiawi. Ruang-ruang seni dan budaya seperti ini, kata Ade, perlu ada di setiap wilayah sebuah negara, termasuk di Riau.

Baca Juga:  Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024, Upaya Internasionalisasi Kompleks Candi Muara Jambi

“Ruang-ruang seperti yang perlu dibuka lebih banyak,” kata lelaki yang aktif di NonBlok Ekosistem, salah satu ruang yang dibangun Yayasan Sirih Merah Sikukeluang ini.

Sikukeluang sendiri, kata Ade, menjadi pionir dalam lanskap seni kontemporer sejak didirikan pada tahun 2011. Kolektif seni transdisipliner ini menunjukkan evolusi menarik dalam pendekatannya terhadap praktik seni dan keterlibatan komunitas. Sebelum tahun 2023, Sikukeluang dikenal sering berkegiatan di Kawasan Rimbangbaling, mengindikasikan keterlibatan awal mereka dengan isu-isu lingkungan atau pemanfaatan ruang non-tradisional sebagai arena praktik seni.

Perkembangan signifikan dalam struktur organisasi Sikukeluang terlihat dari perannya sebagai bagian fundamental dari Yayasan Sirih Merah Sikukeluang. Yayasan ini kemudian membentuk platform kedua yang diberi nama Rumah Nonblok, Laboratorium Ekosistem Seni dan Budaya Kontemporer. Transformasi ini menandakan kematangan strategis, bergerak dari aktivitas informal menuju struktur organisasi yang lebih formal dan ruang fisik yang berdedikasi, mencerminkan langkah yang disengaja menuju keberlanjutan dan dampak yang lebih luas.

Sikukeluang secara eksplisit diidentifikasi sebagai kolektif seni transdisipliner, yang berarti mereka tidak hanya bekerja di antara berbagai disiplin seni tradisional, tetapi juga melampaui batas-batas tersebut, mengintegrasikan berbagai bidang pengetahuan dan praktik yang lebih luas.

Kemampuan ini memungkinkan mereka menjalin jejaring kolaboratif yang luas, bahkan dalam skala nasiona maupun internasional. Manifestasi nyata dari pendekatan lintas disiplin ini sangat terlihat di Rumah Nonblok, di mana Sikukeluang berbagi ruang dengan beragam entitas, termasuk Biro Visual Artistik, Sinepelan, Studio Digital, Teater Lorong, Baca-Baca, Nonblokopi, Operasi Asoy, dan Floating Graf. Kolaborasi ini memiliki tujuan jelas: “mendobrak batas-batas kaku dan menjembatani kanal-kanal yang terasa lebar dalam seni dan budaya”.

Dalam lingkup Nonblok Ekosistem, Sikukeluang bersama rekan-rekannya secara rutin mengadakan berbagai kegiatan yang mengintegrasikan edukasi dan eksperimentasi. Salah satu bentuk yang menonjol adalah “belajar nongkrong”, sebuah praktik pembelajaran informal yang juga diakui sebagai bagian dari diskursus seni dan budaya kontemporer global. Selain itu, kegiatan rutin lainnya mencakup pameran instalasi musik, “Memekak,” “Open Kitchen,” “Buah Tangan,” dan pembentukan English Club yang muncul dari kebutuhan praktis karena seringnya interaksi dengan residen dan pengunjung dari luar negeri.

“Rumah Nonblok, sebagai platform sentral bagi Sikukeluang, secara eksplisit berfungsi sebagai laboratorium untuk melakukan kerja-kerja eksperimentasi serta riset formal dan ilmiah. Program besar Yayasan Sirih Merah Sikukeluang, melalui platform Nonblok Ekosistem, mencakup riset, pengabdian masyarakat, dan pelatihan, semua dengan dimensi edukasi dan eksperimentasi yang kuat,” jelas Ade lagi.

Pada bagian lain, Saridan menjelaskan tentang perkembangan seni kriya, baik secara umum maupun kondisinya di Riau saat ini. Menurutnya, kerja kreatif dalam perspektif pengembangan budaya lokal, sebenarnya dilakukan untuk memberdayakan budaya tersebut agar bermanfaat sebagai sumber daya untuk memenuhi kehidupan, termasuk di dalamnya seni kriya. Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa meskipun budaya tersebut digunakan, para seniman tertap berpeluang memodifikasinya dengan cara memberi nilai yang dianggap relevan, baik dalam wujud maupun fungsinya.

Ketika wacara seni mencuat di kalangan akademisi seni kriya, kata Saridan, hal ini menjadi harapan sekaligus tantangan bagus bagi perupa. Tidak ada unsur paksaan namun menjadi pertimbangan yang mendalam dalam proses ekspresi estetiknya. Bahwa tidak mungkin unsur-unsur budaya lokal yang selalu akrab dengan para perupa dilupakan begitu saja, keakraban dengan budaya lokal merupakan aspek yang potensial untuk menghasilkan ekspresi estetik yang inovatif sesuai jiwa zamanya dengan tidak menghilangkan akar budaya di mana pun mereka terbentuk.

“Melalui pemahaman yang baik mengenai wacana dan paradigma seni kriya, diharapkan bisa mempersiapkan strategi bila ingin ikut terlibat di kancah permainan dalam skala global,” ujar Saridan.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Ketika pemerintah tak memberikan ruang yang luas kepada masyarakat atau seniman, secara partikelir mereka membuka ruang-ruang seni sendiri. Namun, perlu kerja keras dan kolaborasi agar ruang ini terbuka lebar.

RIAUPOS.CO – KEDAI Yong Sungot yang terletak di sebelah kiri halaman Anjung Seni Idrus Tintin (ASIT) di kawasan Bandar Serai (Purna MTQ), Pekanbaru, lumayan ramai pada Senin (8/6/2025) malam. Beberapa orang duduk di dalam kedai yang dibatasi pagar bunga-bunga yang disusun sedemikian rupa. Sementara beberapa orang duduk di beberapa kursi yang ada mejanya di pelataran parkir, tak jauh dari kedai.

Malam itu, di sana sedang berlangsung acara sharing session dengan tema “Mau ke Mana Arah Kesenian di Riau: Kini dan Masa Depan”. Dua pembicara hadir dalam acara itu, yakni pegiat seni kontemporer Adhari Donora SSn MA dan Saridan SSn MSn. Satu pembicara lagi, Syamyatmoko SSn MSn, urung hadir karena mendadak mengalami gangguan kesehatan. Praktisi dan kurator seni Fachrozi Amri menjadi moderator yang mengantarkan jalannya diskusi. Rencananya diskusi tentang seni rupa ini akan berlanjut dalam dua sesi lagi.

Hadir dalam diskusi itu beberapa seniman Riau lintas genre seperti Furqon LW, Budy Utamy, Kunni Masrohanti, Eko Fazra, Husin, Beni Riaw, Arza Aibonotika, Arisandi, dan beberapa yang lain. Sesuai namanya, sharing session, formatnya adalah pemaparan panjang dari dua pembicara, namun tidak terjadi diskusi secara intens dengan audiens meskipun ada beberapa peserta yang menyampaikan tanggapannya.

Menurut tuan rumah yang juga salah satu penggagas seri diskusi ini, Aamesa Aryana, kegiatan ini dibuat untuk membangun ruang diskusi tentang seni secara luas dan mendalam. Menurutnya, ekosistem seni harus terus dibangun dengan kolaborasi yang adaptif, kontekstual, inklusi, dan egaliter. Di dalamnya adalah bagaimana menggali pemahaman bersama tentang seni dalam bentuk edukasi, produksi, dan apresiasi.

“Kita perlu kolaborasi dan jejaring dalam membangun kebudayaan dan seni agar terbangun ekosistem yang baik di Riau,” ujar Aa Mesa.

Menurut Fachrozi Amri, sharing session ini akan digelar dalam banyak seri. Tidak hanya membicarakan seni rupa, tapi di sesi yang lain nanti juga akan mendiskusikan teater, seni tari, musik, dan genre lain. Pihaknya sudah membuat daftar hingga setahun ke depan. Menurutnya, selain yang sudah dipaparkan Aa Mesa, tukar pikiran ini berawal dari beberapa pertanyaan dasar. Misalnya, apakah  pendidikan seni membantu masyarakat berpikir kreatif?

“Juga, seberapa penting pendidikan seni di Riau degan kampus seni yang tak ada? Apakah memang dibutuhkan?” jelas pengajar di Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) ini.

Berangkat dari hal itulah Adhari Donora menjelaskan bahwa dunia seni (rupa) di Riau memang mestinya memerlukan pendidikan formal, yakni kampus seni, seperti di beberapa daerah di Indonesia. Namun itu bukan satu-satunya cara dalam membangun dunia seni, karena bisa dilakukan lewat banyak cara.

Lelaki yang biasa dipanggil Ade Greden ini menjelaskan lewat refleksi sejarah, yakni terjadinya apa yang disebut sebagai Desember Hitam 1974, yang  terjadi perseteruan mahasiswa dan dosen di beberapa daerah –salah satunya di Yogyakarta– yang memunculkan pemikiran dunia seni di Indonesia. Dijelaskannya, kolektif seni di luar Jawa dalam konteks medan seni rupa Indonesia seringkali beroperasi sebagai kantong-kantong seni dan budaya partikelir karena minimnya dukungan infrastruktur pemerintah. Ia berperan krusial dalam mengembangkan ekosistem seni lokal. Meskipun memiliki karakteristik keanggotaan yang cair dan berakar dari jaringan informal, mereka berjuang untuk eksis di tengah keterbatasan sumber daya, infrastruktur yang tidak memadai, dan tantangan dalam kurasi serta promosi karya seni rupa.

Itu menunjukkan bagaimana kolektif seni transdisiplin mengintegrasikan seni rupa dengan advokasi lingkungan dan sosial, serta pengelolaan ekosistem seni kontemporer melalui lokakarya dan eksperimentasi. Setelah Reformasi 1998, muncul komunitas dan ruang alternatif di banyak tempat. Paling tidak, saat ini muncul 53 ruang seni rupa alternatif yang aktif antara tahun 2011 hingga 2021 yang secara eksplisit mencakup kolektif-kolektif yang beroperasi di luar pusat-pusat seni utama seperti Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Misi dan visinya hampir sama, muncul karena ketiadaan fasilitas dari pemerintah karena seni rupa dianggap tak penting.

Baca Juga:  Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024, Upaya Internasionalisasi Kompleks Candi Muara Jambi

Mereka antara lain Kolektif Hysteria di Semarang, Pasirputih di Lombok, Serbuk Kayu di Surabaya, Tepian Kolektif di Berau, Susur Galur di Pontianak, Indonesia Art Movement (IAM) di Jayapura, Siku Ruang Terpadu di Makassar, Forum Sudut Pandang di Palu (Sulawesi Tengah), juga Komunitas KAHE di Flores (Nusa Tenggara Timur/NTT). Di Sumatra bagian tengah muncul Ladang Rupa di Bukittinggi, Gubuak Kopi di Solok –keduanya di Sumatra Barat–  dan Sikukeluang di Riau.

Banyaknya ruang kolektif ini  menjadi bukti bahwa inovasi dan eksplorasi seni tidak terbatas pada satu wilayah geografis, bahkan mereka sekarang tergabung dalam suatu lembaga yang bisa dibilang sebagai kolektifnya kolektif, yakni Lumbung Indonesia. Perkembangan ini sangat penting untuk menantang narasi seni kontemporer Indonesia yang secara historis berpusat di Jawa, dengan memperkaya wacana seni nasional dengan beragam perspektif.

Di masa ini, menurutnya, lanskap seni kontemporer Indonesia telah diwarnai oleh kemunculan dan penyebaran kolektif seni yang signifikan. Berbeda dari institusi formal seperti museum dan galeri yang cenderung bergantung pada dukungan finansial pemerintah atau korporasi, kolektif seni beroperasi sebagai institusi kultural non-formal dengan struktur yang lebih mandiri dan fleksibel. Mereka sering digambarkan sebagai “laboratorium kehidupan sosial” di mana ia “diizinkan untuk salah” (permission to fail), sebuah ruang dinamis untuk eksplorasi, pembelajaran, dan adaptasi tanpa beban kegagalan yang kaku.

Meski cara kerja seniman kadang tidak tertata dengan rapi, terstruktur, dan sistematis –karena  70 persen seniman nongkrong– tapi di sana muncul pemikiran tentang seni dan apa yang akan dilakukan dalam membangun estetika kolektif seni. Seniman dianggap menjadi tolok ukur sebuah estetika karena dianggap memiliki pemikiran yang lebih tinggi.

“Padahal sebenarnya kerja seni dalam masyarakat lebih baik lagi sebagai tempat kerja kolektif secara langsung. Kolektif trandisiplin tidak hanya bekerja di antara berbagai disiplin seni tradisional, tetapi juga melampaui batas, mengintegrasikan sebagai bidang pengetahuan, dll,” ujar alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.

Kemudian, katanya, ada tawaran rumah sebagai sekolah, memberikan tawaran tempat dalam berbagai bidang seni.  Rumah bisa menjadi apa pun, bisa jadi jualan kopi, labor seni, pustaka, dll. Di sini dia juga yakin, “sekolah seni” bisa dilakukan di rumah.

Ade tidak menampik bahwa inovasi dan keberlanjutan dalam seni banyak juga disediakan pemerintah secara kolektif yang memikirkan keberlanjutan ekonomi. Seperti Lumbung Indonesia ada 16 lembaga di Indonesia termasuk Sikukeluang. Bagaimana membangun ekonomi bersama dalam seni memang perlu pengakuan seperti yayasan atau lembaga, fasilitas jejaring, kolaborasi antarkolektif. Termasuk adanya Dana Indonesiana, dana seni daerah, dll.

Dia pernah residensi di Kolombia, yakni di Medellin, sebuah kota yang pernah dikuasai kartel narkoba Pablo Escobar. Sering terjadi  perang antargeng dan kriminalitas yang tinggi yang membuat pemerintah dibuat kewalahan. Dalam kondisi buruk tersebut,  lalu dibuat taman budaya, dengan harapan warga bisa melupakan pengalaman traumatik. Pemerintah di sana menghendaki kebudayaan daerah tumbuh dengan menafikan perang narkoba. Kolaborasi pemerintah dan masyarakat ditumbuhkan dalam membangun seni yang salah satu tujuannya adalah menciptakan ruang yang lebih berbudaya dan manusiawi. Ruang-ruang seni dan budaya seperti ini, kata Ade, perlu ada di setiap wilayah sebuah negara, termasuk di Riau.

Baca Juga:  Sekolah Budaya Exhibition 2024 Melihat Buah dari Kerja Keras

“Ruang-ruang seperti yang perlu dibuka lebih banyak,” kata lelaki yang aktif di NonBlok Ekosistem, salah satu ruang yang dibangun Yayasan Sirih Merah Sikukeluang ini.

Sikukeluang sendiri, kata Ade, menjadi pionir dalam lanskap seni kontemporer sejak didirikan pada tahun 2011. Kolektif seni transdisipliner ini menunjukkan evolusi menarik dalam pendekatannya terhadap praktik seni dan keterlibatan komunitas. Sebelum tahun 2023, Sikukeluang dikenal sering berkegiatan di Kawasan Rimbangbaling, mengindikasikan keterlibatan awal mereka dengan isu-isu lingkungan atau pemanfaatan ruang non-tradisional sebagai arena praktik seni.

Perkembangan signifikan dalam struktur organisasi Sikukeluang terlihat dari perannya sebagai bagian fundamental dari Yayasan Sirih Merah Sikukeluang. Yayasan ini kemudian membentuk platform kedua yang diberi nama Rumah Nonblok, Laboratorium Ekosistem Seni dan Budaya Kontemporer. Transformasi ini menandakan kematangan strategis, bergerak dari aktivitas informal menuju struktur organisasi yang lebih formal dan ruang fisik yang berdedikasi, mencerminkan langkah yang disengaja menuju keberlanjutan dan dampak yang lebih luas.

Sikukeluang secara eksplisit diidentifikasi sebagai kolektif seni transdisipliner, yang berarti mereka tidak hanya bekerja di antara berbagai disiplin seni tradisional, tetapi juga melampaui batas-batas tersebut, mengintegrasikan berbagai bidang pengetahuan dan praktik yang lebih luas.

Kemampuan ini memungkinkan mereka menjalin jejaring kolaboratif yang luas, bahkan dalam skala nasiona maupun internasional. Manifestasi nyata dari pendekatan lintas disiplin ini sangat terlihat di Rumah Nonblok, di mana Sikukeluang berbagi ruang dengan beragam entitas, termasuk Biro Visual Artistik, Sinepelan, Studio Digital, Teater Lorong, Baca-Baca, Nonblokopi, Operasi Asoy, dan Floating Graf. Kolaborasi ini memiliki tujuan jelas: “mendobrak batas-batas kaku dan menjembatani kanal-kanal yang terasa lebar dalam seni dan budaya”.

Dalam lingkup Nonblok Ekosistem, Sikukeluang bersama rekan-rekannya secara rutin mengadakan berbagai kegiatan yang mengintegrasikan edukasi dan eksperimentasi. Salah satu bentuk yang menonjol adalah “belajar nongkrong”, sebuah praktik pembelajaran informal yang juga diakui sebagai bagian dari diskursus seni dan budaya kontemporer global. Selain itu, kegiatan rutin lainnya mencakup pameran instalasi musik, “Memekak,” “Open Kitchen,” “Buah Tangan,” dan pembentukan English Club yang muncul dari kebutuhan praktis karena seringnya interaksi dengan residen dan pengunjung dari luar negeri.

“Rumah Nonblok, sebagai platform sentral bagi Sikukeluang, secara eksplisit berfungsi sebagai laboratorium untuk melakukan kerja-kerja eksperimentasi serta riset formal dan ilmiah. Program besar Yayasan Sirih Merah Sikukeluang, melalui platform Nonblok Ekosistem, mencakup riset, pengabdian masyarakat, dan pelatihan, semua dengan dimensi edukasi dan eksperimentasi yang kuat,” jelas Ade lagi.

Pada bagian lain, Saridan menjelaskan tentang perkembangan seni kriya, baik secara umum maupun kondisinya di Riau saat ini. Menurutnya, kerja kreatif dalam perspektif pengembangan budaya lokal, sebenarnya dilakukan untuk memberdayakan budaya tersebut agar bermanfaat sebagai sumber daya untuk memenuhi kehidupan, termasuk di dalamnya seni kriya. Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa meskipun budaya tersebut digunakan, para seniman tertap berpeluang memodifikasinya dengan cara memberi nilai yang dianggap relevan, baik dalam wujud maupun fungsinya.

Ketika wacara seni mencuat di kalangan akademisi seni kriya, kata Saridan, hal ini menjadi harapan sekaligus tantangan bagus bagi perupa. Tidak ada unsur paksaan namun menjadi pertimbangan yang mendalam dalam proses ekspresi estetiknya. Bahwa tidak mungkin unsur-unsur budaya lokal yang selalu akrab dengan para perupa dilupakan begitu saja, keakraban dengan budaya lokal merupakan aspek yang potensial untuk menghasilkan ekspresi estetik yang inovatif sesuai jiwa zamanya dengan tidak menghilangkan akar budaya di mana pun mereka terbentuk.

“Melalui pemahaman yang baik mengenai wacana dan paradigma seni kriya, diharapkan bisa mempersiapkan strategi bila ingin ikut terlibat di kancah permainan dalam skala global,” ujar Saridan.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

Ketika pemerintah tak memberikan ruang yang luas kepada masyarakat atau seniman, secara partikelir mereka membuka ruang-ruang seni sendiri. Namun, perlu kerja keras dan kolaborasi agar ruang ini terbuka lebar.

RIAUPOS.CO – KEDAI Yong Sungot yang terletak di sebelah kiri halaman Anjung Seni Idrus Tintin (ASIT) di kawasan Bandar Serai (Purna MTQ), Pekanbaru, lumayan ramai pada Senin (8/6/2025) malam. Beberapa orang duduk di dalam kedai yang dibatasi pagar bunga-bunga yang disusun sedemikian rupa. Sementara beberapa orang duduk di beberapa kursi yang ada mejanya di pelataran parkir, tak jauh dari kedai.

Malam itu, di sana sedang berlangsung acara sharing session dengan tema “Mau ke Mana Arah Kesenian di Riau: Kini dan Masa Depan”. Dua pembicara hadir dalam acara itu, yakni pegiat seni kontemporer Adhari Donora SSn MA dan Saridan SSn MSn. Satu pembicara lagi, Syamyatmoko SSn MSn, urung hadir karena mendadak mengalami gangguan kesehatan. Praktisi dan kurator seni Fachrozi Amri menjadi moderator yang mengantarkan jalannya diskusi. Rencananya diskusi tentang seni rupa ini akan berlanjut dalam dua sesi lagi.

Hadir dalam diskusi itu beberapa seniman Riau lintas genre seperti Furqon LW, Budy Utamy, Kunni Masrohanti, Eko Fazra, Husin, Beni Riaw, Arza Aibonotika, Arisandi, dan beberapa yang lain. Sesuai namanya, sharing session, formatnya adalah pemaparan panjang dari dua pembicara, namun tidak terjadi diskusi secara intens dengan audiens meskipun ada beberapa peserta yang menyampaikan tanggapannya.

Menurut tuan rumah yang juga salah satu penggagas seri diskusi ini, Aamesa Aryana, kegiatan ini dibuat untuk membangun ruang diskusi tentang seni secara luas dan mendalam. Menurutnya, ekosistem seni harus terus dibangun dengan kolaborasi yang adaptif, kontekstual, inklusi, dan egaliter. Di dalamnya adalah bagaimana menggali pemahaman bersama tentang seni dalam bentuk edukasi, produksi, dan apresiasi.

“Kita perlu kolaborasi dan jejaring dalam membangun kebudayaan dan seni agar terbangun ekosistem yang baik di Riau,” ujar Aa Mesa.

Menurut Fachrozi Amri, sharing session ini akan digelar dalam banyak seri. Tidak hanya membicarakan seni rupa, tapi di sesi yang lain nanti juga akan mendiskusikan teater, seni tari, musik, dan genre lain. Pihaknya sudah membuat daftar hingga setahun ke depan. Menurutnya, selain yang sudah dipaparkan Aa Mesa, tukar pikiran ini berawal dari beberapa pertanyaan dasar. Misalnya, apakah  pendidikan seni membantu masyarakat berpikir kreatif?

“Juga, seberapa penting pendidikan seni di Riau degan kampus seni yang tak ada? Apakah memang dibutuhkan?” jelas pengajar di Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) ini.

Berangkat dari hal itulah Adhari Donora menjelaskan bahwa dunia seni (rupa) di Riau memang mestinya memerlukan pendidikan formal, yakni kampus seni, seperti di beberapa daerah di Indonesia. Namun itu bukan satu-satunya cara dalam membangun dunia seni, karena bisa dilakukan lewat banyak cara.

Lelaki yang biasa dipanggil Ade Greden ini menjelaskan lewat refleksi sejarah, yakni terjadinya apa yang disebut sebagai Desember Hitam 1974, yang  terjadi perseteruan mahasiswa dan dosen di beberapa daerah –salah satunya di Yogyakarta– yang memunculkan pemikiran dunia seni di Indonesia. Dijelaskannya, kolektif seni di luar Jawa dalam konteks medan seni rupa Indonesia seringkali beroperasi sebagai kantong-kantong seni dan budaya partikelir karena minimnya dukungan infrastruktur pemerintah. Ia berperan krusial dalam mengembangkan ekosistem seni lokal. Meskipun memiliki karakteristik keanggotaan yang cair dan berakar dari jaringan informal, mereka berjuang untuk eksis di tengah keterbatasan sumber daya, infrastruktur yang tidak memadai, dan tantangan dalam kurasi serta promosi karya seni rupa.

Itu menunjukkan bagaimana kolektif seni transdisiplin mengintegrasikan seni rupa dengan advokasi lingkungan dan sosial, serta pengelolaan ekosistem seni kontemporer melalui lokakarya dan eksperimentasi. Setelah Reformasi 1998, muncul komunitas dan ruang alternatif di banyak tempat. Paling tidak, saat ini muncul 53 ruang seni rupa alternatif yang aktif antara tahun 2011 hingga 2021 yang secara eksplisit mencakup kolektif-kolektif yang beroperasi di luar pusat-pusat seni utama seperti Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Misi dan visinya hampir sama, muncul karena ketiadaan fasilitas dari pemerintah karena seni rupa dianggap tak penting.

Baca Juga:  Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2024, Sebuah Ikhtiar Mempertahankan Bahasa Daerah

Mereka antara lain Kolektif Hysteria di Semarang, Pasirputih di Lombok, Serbuk Kayu di Surabaya, Tepian Kolektif di Berau, Susur Galur di Pontianak, Indonesia Art Movement (IAM) di Jayapura, Siku Ruang Terpadu di Makassar, Forum Sudut Pandang di Palu (Sulawesi Tengah), juga Komunitas KAHE di Flores (Nusa Tenggara Timur/NTT). Di Sumatra bagian tengah muncul Ladang Rupa di Bukittinggi, Gubuak Kopi di Solok –keduanya di Sumatra Barat–  dan Sikukeluang di Riau.

Banyaknya ruang kolektif ini  menjadi bukti bahwa inovasi dan eksplorasi seni tidak terbatas pada satu wilayah geografis, bahkan mereka sekarang tergabung dalam suatu lembaga yang bisa dibilang sebagai kolektifnya kolektif, yakni Lumbung Indonesia. Perkembangan ini sangat penting untuk menantang narasi seni kontemporer Indonesia yang secara historis berpusat di Jawa, dengan memperkaya wacana seni nasional dengan beragam perspektif.

Di masa ini, menurutnya, lanskap seni kontemporer Indonesia telah diwarnai oleh kemunculan dan penyebaran kolektif seni yang signifikan. Berbeda dari institusi formal seperti museum dan galeri yang cenderung bergantung pada dukungan finansial pemerintah atau korporasi, kolektif seni beroperasi sebagai institusi kultural non-formal dengan struktur yang lebih mandiri dan fleksibel. Mereka sering digambarkan sebagai “laboratorium kehidupan sosial” di mana ia “diizinkan untuk salah” (permission to fail), sebuah ruang dinamis untuk eksplorasi, pembelajaran, dan adaptasi tanpa beban kegagalan yang kaku.

Meski cara kerja seniman kadang tidak tertata dengan rapi, terstruktur, dan sistematis –karena  70 persen seniman nongkrong– tapi di sana muncul pemikiran tentang seni dan apa yang akan dilakukan dalam membangun estetika kolektif seni. Seniman dianggap menjadi tolok ukur sebuah estetika karena dianggap memiliki pemikiran yang lebih tinggi.

“Padahal sebenarnya kerja seni dalam masyarakat lebih baik lagi sebagai tempat kerja kolektif secara langsung. Kolektif trandisiplin tidak hanya bekerja di antara berbagai disiplin seni tradisional, tetapi juga melampaui batas, mengintegrasikan sebagai bidang pengetahuan, dll,” ujar alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.

Kemudian, katanya, ada tawaran rumah sebagai sekolah, memberikan tawaran tempat dalam berbagai bidang seni.  Rumah bisa menjadi apa pun, bisa jadi jualan kopi, labor seni, pustaka, dll. Di sini dia juga yakin, “sekolah seni” bisa dilakukan di rumah.

Ade tidak menampik bahwa inovasi dan keberlanjutan dalam seni banyak juga disediakan pemerintah secara kolektif yang memikirkan keberlanjutan ekonomi. Seperti Lumbung Indonesia ada 16 lembaga di Indonesia termasuk Sikukeluang. Bagaimana membangun ekonomi bersama dalam seni memang perlu pengakuan seperti yayasan atau lembaga, fasilitas jejaring, kolaborasi antarkolektif. Termasuk adanya Dana Indonesiana, dana seni daerah, dll.

Dia pernah residensi di Kolombia, yakni di Medellin, sebuah kota yang pernah dikuasai kartel narkoba Pablo Escobar. Sering terjadi  perang antargeng dan kriminalitas yang tinggi yang membuat pemerintah dibuat kewalahan. Dalam kondisi buruk tersebut,  lalu dibuat taman budaya, dengan harapan warga bisa melupakan pengalaman traumatik. Pemerintah di sana menghendaki kebudayaan daerah tumbuh dengan menafikan perang narkoba. Kolaborasi pemerintah dan masyarakat ditumbuhkan dalam membangun seni yang salah satu tujuannya adalah menciptakan ruang yang lebih berbudaya dan manusiawi. Ruang-ruang seni dan budaya seperti ini, kata Ade, perlu ada di setiap wilayah sebuah negara, termasuk di Riau.

Baca Juga:  Tentang Sejarah Lokal yang Terlupakan

“Ruang-ruang seperti yang perlu dibuka lebih banyak,” kata lelaki yang aktif di NonBlok Ekosistem, salah satu ruang yang dibangun Yayasan Sirih Merah Sikukeluang ini.

Sikukeluang sendiri, kata Ade, menjadi pionir dalam lanskap seni kontemporer sejak didirikan pada tahun 2011. Kolektif seni transdisipliner ini menunjukkan evolusi menarik dalam pendekatannya terhadap praktik seni dan keterlibatan komunitas. Sebelum tahun 2023, Sikukeluang dikenal sering berkegiatan di Kawasan Rimbangbaling, mengindikasikan keterlibatan awal mereka dengan isu-isu lingkungan atau pemanfaatan ruang non-tradisional sebagai arena praktik seni.

Perkembangan signifikan dalam struktur organisasi Sikukeluang terlihat dari perannya sebagai bagian fundamental dari Yayasan Sirih Merah Sikukeluang. Yayasan ini kemudian membentuk platform kedua yang diberi nama Rumah Nonblok, Laboratorium Ekosistem Seni dan Budaya Kontemporer. Transformasi ini menandakan kematangan strategis, bergerak dari aktivitas informal menuju struktur organisasi yang lebih formal dan ruang fisik yang berdedikasi, mencerminkan langkah yang disengaja menuju keberlanjutan dan dampak yang lebih luas.

Sikukeluang secara eksplisit diidentifikasi sebagai kolektif seni transdisipliner, yang berarti mereka tidak hanya bekerja di antara berbagai disiplin seni tradisional, tetapi juga melampaui batas-batas tersebut, mengintegrasikan berbagai bidang pengetahuan dan praktik yang lebih luas.

Kemampuan ini memungkinkan mereka menjalin jejaring kolaboratif yang luas, bahkan dalam skala nasiona maupun internasional. Manifestasi nyata dari pendekatan lintas disiplin ini sangat terlihat di Rumah Nonblok, di mana Sikukeluang berbagi ruang dengan beragam entitas, termasuk Biro Visual Artistik, Sinepelan, Studio Digital, Teater Lorong, Baca-Baca, Nonblokopi, Operasi Asoy, dan Floating Graf. Kolaborasi ini memiliki tujuan jelas: “mendobrak batas-batas kaku dan menjembatani kanal-kanal yang terasa lebar dalam seni dan budaya”.

Dalam lingkup Nonblok Ekosistem, Sikukeluang bersama rekan-rekannya secara rutin mengadakan berbagai kegiatan yang mengintegrasikan edukasi dan eksperimentasi. Salah satu bentuk yang menonjol adalah “belajar nongkrong”, sebuah praktik pembelajaran informal yang juga diakui sebagai bagian dari diskursus seni dan budaya kontemporer global. Selain itu, kegiatan rutin lainnya mencakup pameran instalasi musik, “Memekak,” “Open Kitchen,” “Buah Tangan,” dan pembentukan English Club yang muncul dari kebutuhan praktis karena seringnya interaksi dengan residen dan pengunjung dari luar negeri.

“Rumah Nonblok, sebagai platform sentral bagi Sikukeluang, secara eksplisit berfungsi sebagai laboratorium untuk melakukan kerja-kerja eksperimentasi serta riset formal dan ilmiah. Program besar Yayasan Sirih Merah Sikukeluang, melalui platform Nonblok Ekosistem, mencakup riset, pengabdian masyarakat, dan pelatihan, semua dengan dimensi edukasi dan eksperimentasi yang kuat,” jelas Ade lagi.

Pada bagian lain, Saridan menjelaskan tentang perkembangan seni kriya, baik secara umum maupun kondisinya di Riau saat ini. Menurutnya, kerja kreatif dalam perspektif pengembangan budaya lokal, sebenarnya dilakukan untuk memberdayakan budaya tersebut agar bermanfaat sebagai sumber daya untuk memenuhi kehidupan, termasuk di dalamnya seni kriya. Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa meskipun budaya tersebut digunakan, para seniman tertap berpeluang memodifikasinya dengan cara memberi nilai yang dianggap relevan, baik dalam wujud maupun fungsinya.

Ketika wacara seni mencuat di kalangan akademisi seni kriya, kata Saridan, hal ini menjadi harapan sekaligus tantangan bagus bagi perupa. Tidak ada unsur paksaan namun menjadi pertimbangan yang mendalam dalam proses ekspresi estetiknya. Bahwa tidak mungkin unsur-unsur budaya lokal yang selalu akrab dengan para perupa dilupakan begitu saja, keakraban dengan budaya lokal merupakan aspek yang potensial untuk menghasilkan ekspresi estetik yang inovatif sesuai jiwa zamanya dengan tidak menghilangkan akar budaya di mana pun mereka terbentuk.

“Melalui pemahaman yang baik mengenai wacana dan paradigma seni kriya, diharapkan bisa mempersiapkan strategi bila ingin ikut terlibat di kancah permainan dalam skala global,” ujar Saridan.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari