Selasa, 5 November 2024

Sejarawan Riau Diundang Diskusi Kaviar di Singapura

Terubuk, Simbol Kebudayaan dan Ekonomi

- Advertisement -

Ikan terubuk bukan hanya berpotensi besar secara ekonomi, juga sebuah kebanggaan bernilai budaya tinggi bagi masyarakat Riau sejak lama.

RIAUPOS.CO – PROVINSI Riau memiliki kekayaan alam yang sangat banyak. Tak hanya di darat, tetapi juga di lautan, di pesisir timur. Selain tumbuhan mangrove dan jenis tumbuhan pesisir lainnya, juga ada ribuan jenis ikan dan biota laut lainnya. Salah satu yang khas adalah ikan terubuk, yang ditengarai hanya ada di perairan kawasan Riau dan Kepulauan Riau. Namun sekarang diperkirakan hanya ada di sekitar Pulau Bengkalis. Tidak hanya daging ikannya yang dijadikan komoditi, telur ikan tersebut juga menjadi komoditi yang berharga mahal, yang menjadi buruan bangsa Eropa ketika datang ke wilayah Nusantara. Telur ikan terubuk sudah sejak lama menjadi salah satu bahan baku kaviar di Eropa.

- Advertisement -

Kekayaan alam laut khas Riau inilah yang disampaikan oleh salah seorang sejarawan muda Riau, Bayu Amde Winata, ketika diundang menjadi pembicara dalam acara Serumpun,Tasting Tradition,Telling Talles yang diselenggarakan oleh Dialoge by Khir yang diadakan di Asian Civilisation Museum, Singapura, Sabtu (19/10/2024). Selain Bayu (Indonesia), pembicara di acara ini di antaranya adalah Khir Johari, food historian dan penulis buku The Food of  Singapore Malay; Dr Anthony Medrano, Asociated Professor Enviromental Studies/studi lingkungan dari Yale-NUS College; Dr  Fadly Rahman, sejarawan makanan dari Indonesia; Kevindra Soemantri, chef dari Indonesia; dan Toffa Abdul Wahed, peneliti dari National Library of Singapore. Acara ini dihadiri orang-orang penting dalam food and baverage/industri makanan di Singapura,  serta akademisi dan masyarakat peminat makanan/gastronomi Nusantara di Singapura.

Dalam forum tersebut, Bayu  menceritakan mengenai ikan terubuk dan sejarah panjang telur ikan ini dalam perjalanan Kerajaan-Kerajaan Melayu, dimulai dari Parameswara saat mendirikan Kerajaan Malaka pada awal abad ke-16 hingga Raja Kecik mengumpulkan modal untuk menyerbu Kerajaan Johor pada tahun 1718. Telur ikan terubuk, kata Bayu, kemudian diekspor ke Eropa dari Malaka. Kemudian berpindah, diekspor dari Singapura pasca-VOC di Malaka bubar tahun 1795 dan Singapura menjadi pelabuhan dagang penting sejak 1819. Dalam surat-menyurat Benteng VOC Malaka ke Benteng VOC Batavia tahun 1761 disebutkan bahwa telur ikan terubuk bersama gambir kemudian menjadi sumber pendapatan penting bagi Kerajaan Siak.

“Telur terubuk kemudian menjadi salah satu menu dalam menu rijstaffel (hidangan, red) nasi beserta lauk-pauknya di Belanda,” jelas Bayu kepada Riau Pos, Jumat (1/11/2024).

- Advertisement -

Menurut Bayu, audiens menanggapi dengan antusias paparannya. Salah satu sebabnya,  sebagian besar audiens yang hadir memiliki ingatan kolektif akan telur ikan terubuk. Bahkan salah satu pembicara, Christopher Tan, penulis buku The Way of Kueh dari Singapura, menyebutkan, dalam masakan Tionghoa Peranakan di Singapura, gulai telur ikan terubuk adalah salah satu daftar masakan yang sudah hilang atau tidak lagi disajikan karena bagi mereka telur ini seperti mitos, ada ceritanya tetapi wujudnya tidak ada lagi. Christopher Tan dan lainnya merasa surprise ketika tahu bahwa telur  terubuk masih ada dan ikan tersebut juga masih hidup di perairan Bengkalis.

Bagi masyarakat Singapura dan bangsa lain, telur  terubuk dianggap seperti mitos karena dahulu ada dan dikenal di Singapura. Menjadi salah satu masakan mewah dan mahal di sana. Dalam pembukaan panel bersama Khir Jauhari, dia menceritakan, saat Khir Jauhari masih muda, di Kawasan Kampung Gelam (Singapura) sekitar tahun 1970-an, dia masih bertemu dengan penjual telur ikan terubuk dari Bengkalis. Penjual telur ini –setelah semua telur yang dia bawa habis– kemudian membeli barang pecah-belah hingga karpet untuk dijual kembali di Pulau Bengkalis. Namun lambat laun, para pedagang itu mulai berkurang dan akhirnya tak ada sama sekali.

Baca Juga:  Aroma Mistik di Pohon Kayu Jalur

Sebagai anak muda yang mencintai dan menulis sejarah tentang Riau, Bayu merasa senang dan bangga mendapat kehormatan berada dalam forum tersebut. Di sana dia duduk sejajar dengan banyak ahli sejarah, termasuk sejarah makanan dari berbagai negara. Kesempatan ini digunakan oleh penulis buku Pakan Baroe, Nadi Sumatra yang Terlupakan, tersebut, untuk menceritakan secara detil bagaimana kondisi ikan terubuk tersebut. Menurut Bayu, sejak 2016, Kementrian Perikanan dan Kelautan membuat kawasan konservasi ikan pada perairan di Selat Bengkalis hingga muara Sungai Siak tempat ikan ini bertelur. Program ini masih berlanjut hingga sekarang (tahun 2024).

Cerita Bayu, dia diundang dalam iven ini bermula ketika  riset buku keduanya, Laksemana Raja Dilaut, Penguasa Perairan Kerajaan Siak 1800-1928. Kemudian dia mendapatkan kiriman telur ikan terubuk asin dari temannya di Pulau Bengklis. Dia lalu ngobrol dengan Khir Jauhari, karena salah satu bagian dalam buku dia yang berjudul The Food of Singapore Malay, Khir menuliskan bagaimana posisi telur terubuk asin dalam masakan Melayu di Singapura. Diskusi ini kemudian berlanjut dan dia diundang oleh Khir menjadi panelis dalam acaranya bersama Dr Anthony Medrano, Asociated Professor Enviromental Studies dari Yale-NUS College. Pada sesi ini mereka berbicara perihal sejarah ikan terubuk, posisi telur ikan dalam gastronomi Melayu, dan kondisi lingkungan dari Selat Bengkalis saat ini.

Selain itu, kata Bayu, mereka berbincang perihal tradisi yang hilang, yakni semah terubuk. Ini adalah tradisi memanggil ikan terubuk, yang kemudian hilang setelah sosok penting, yaitu 4 batin di Pulau Bengkalis  dan isteri-isterinya –Sultan Siak, Laksemana Raja Dilaut, bidu/penerjemah dari permintaan hantu terubuk, dan bomo/dukun tempat hantu terubuk menetap sementara kemudian menyampaikan pesan– sudah tidak ada lagi.

“Semah terubuk ini direkam dengan detil dalam tulisan JSG Gramberg tahun 1867.  Hanya tulisan ini yang menjadi acuan, karena setelah semah terubuk terakhir tahun 1920-an, tidak ada lagi proses perekaman dalam bentuk tulisan akan tradisi masyarakat pesisir di Riau terhadap ikan ini,” jelas lelaki lulusan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ini.

Menurut Bayu, ikan terubuk menjadi identitas penting dan duta budaya  Provinsi Riau jika kita masih melihat laut sebagai halaman depan atau ingin mengikrarkan diri sebagai provinsi berbasis maritim di Indonesia karena masih wilayah pesisir dan lautnya.  Karena telur ikan ini, Pulau Bengkalis kemudian masuk pada peta awal eksplorasi wilayah Nusantara oleh Cornelis de Houtman, utusan VOC, yang tiba di Banten tahun 1596. Jelas Bayu, peta perjalanan yang dibuat Cornelis de Houtman yang terbit tahun 1598 sudah menuliskan Bengkalis dan ikan terubuknya. Telur ikan terubuk Bengkalis menjadi mitos yang selalu dibicarakan tetapi wujudnya tidak ada yang tahu. Hingga kini, Kerajaan Belanda, Malaysia, Singapura, dan banyak negara lainnya masih melihat telur terubuk  ini sebagai identitas dan rajanya untuk masakan Melayu.

Baca Juga:  Meneladani Pemikiran Sastrawan Besar Indonesia AA Navis, Peringatan 100 Tahun

Hal penting dipahami oleh masyarakat Riau, bahwa sejarah ikan terubuk merupakan salah satu sejarah penting. Rentang waktu perjalanan telur ikan ini yang panjang –sejak abad ke-15 hingga sekarang– menjadikan ikan ini merupakan identitas penting bagi Riau –juga Kepulauan Riau saat ini– terutama jika ingin menasbihkan dirinya sebagai provinsi berbasis maritim. Ikan terubuk dan telurnya menjadi saksi bisu berdirinya Kerajaan Melayu yang besar dan megah seperti  Malaka, Johor, dan Siak. Hal yang membuat kita mengatakan bahwa sudah tepat ketika Kementerian Perikanan dan Kelautan membuat Kawasan Konservasi Ikan Terubuk pada Selat Bengkalis hingga muara Sungai Siak.

“Sejarah penting itulah yang harus kita pahami bahwa ikan terubuk dan telurnya adalah salah satu bagian penting bagi kemegahan kawasan ini di masa lalu yang mungkin banyak dilupakan orang hari ini. Ikan terubuk bukan lagi hanya sebuah biota laut yang bisa kita tangkap dan makan, tetapi merupakan simbol kebesaran kebudayaan kita yang dianggap besar oleh bangsa lain di masa lalu,” jelas Bayu.

Sebelumnya, pada 30 Agustus 2024 lalu, sejarah panjang ikan terubuk hingga menjadi komoditi penting sebagai bahan kaviar di kawasan Eropa, juga dibahas oleh budayawan Riau yang tunak di Riaumagz, Syahyarwan Zam, dalam majelis diskusi Budaya Jalur Rempah. Dipandu sastrawan muda Windi  Syahrian, Syahyarwan menjelaskan secara lengkap tentang sejarah, sebaran, dan bagaimana ikan terubuk ini bernilai sangat tinggi sejak 500 tahun lalu. Baik dari sisi ekonomi maupun kebudayaan.

Dijelaskannya, hasil perikanan ini sangat menguntungkan hingga 1970, lalu menurun drastis hingga tersisa hanya di sekitar Bengkalis. Penurunan populasi telah terasa sejak 1940-1970, dan tidak mudah ditemukan sekitar 1990-an. Perhitungan potensi produksi terubuk berdasarkan potensi kelautan pada tahun 2014 sebesar 80,06 ton. Harga rata-rata pasaran ikan terubuk di Bengkalis Rp50.000/kg (2010)-90.000/kg (2020). Sedangkan harga standar Pemerintah Provinsi Riau tahun 2020 Rp70.000/kg.

Artinya, dengan estimasi 80 ton per tahun, ikan terubuk masih punya potensi untuk dikembangkan. Upaya pemerintah yang melakukan konservasi –salah satunya untuk mengurangi perburuan ikan yang sedang bertelur— adalah upaya agar tetasan telur tersebut terus menjadi dan sebarannya menjadi semakin luas lagi.

Adapun Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 210 Tahun 2023 Tentang Perlindungan Terbatas Ikan Terubuk (Tenualosa macrura), di antaranya adalah larangan penagkapan berdasarkan periode waktu yang terbatas. Yakni saat pemijahan selama 4 hari saat bulan terang di bulan Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam setiap tanggal 13, 14, 15, dan 16 kalender Hijriah setiap tahunnya; dan saat pemijahan selama 4  hari saat bulan gelap di bulan Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam setiap tanggal 27, 28, 29, dan 30 kalender Hijriah setiap tahunnya.

“Kita berharap para nelayan memahami ini dengan baik sehingga usaha dan upaya untuk memperbaiki ekosistem terubuk agar terus bertambah banyak dari waktu waktu bisa terus terjadi. Terubuk adalah simbol ekonomi, budaya, dan kebanggaan kita di Riau ini,” ujar Syahyarwan Zam.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Ikan terubuk bukan hanya berpotensi besar secara ekonomi, juga sebuah kebanggaan bernilai budaya tinggi bagi masyarakat Riau sejak lama.

RIAUPOS.CO – PROVINSI Riau memiliki kekayaan alam yang sangat banyak. Tak hanya di darat, tetapi juga di lautan, di pesisir timur. Selain tumbuhan mangrove dan jenis tumbuhan pesisir lainnya, juga ada ribuan jenis ikan dan biota laut lainnya. Salah satu yang khas adalah ikan terubuk, yang ditengarai hanya ada di perairan kawasan Riau dan Kepulauan Riau. Namun sekarang diperkirakan hanya ada di sekitar Pulau Bengkalis. Tidak hanya daging ikannya yang dijadikan komoditi, telur ikan tersebut juga menjadi komoditi yang berharga mahal, yang menjadi buruan bangsa Eropa ketika datang ke wilayah Nusantara. Telur ikan terubuk sudah sejak lama menjadi salah satu bahan baku kaviar di Eropa.

Kekayaan alam laut khas Riau inilah yang disampaikan oleh salah seorang sejarawan muda Riau, Bayu Amde Winata, ketika diundang menjadi pembicara dalam acara Serumpun,Tasting Tradition,Telling Talles yang diselenggarakan oleh Dialoge by Khir yang diadakan di Asian Civilisation Museum, Singapura, Sabtu (19/10/2024). Selain Bayu (Indonesia), pembicara di acara ini di antaranya adalah Khir Johari, food historian dan penulis buku The Food of  Singapore Malay; Dr Anthony Medrano, Asociated Professor Enviromental Studies/studi lingkungan dari Yale-NUS College; Dr  Fadly Rahman, sejarawan makanan dari Indonesia; Kevindra Soemantri, chef dari Indonesia; dan Toffa Abdul Wahed, peneliti dari National Library of Singapore. Acara ini dihadiri orang-orang penting dalam food and baverage/industri makanan di Singapura,  serta akademisi dan masyarakat peminat makanan/gastronomi Nusantara di Singapura.

- Advertisement -

Dalam forum tersebut, Bayu  menceritakan mengenai ikan terubuk dan sejarah panjang telur ikan ini dalam perjalanan Kerajaan-Kerajaan Melayu, dimulai dari Parameswara saat mendirikan Kerajaan Malaka pada awal abad ke-16 hingga Raja Kecik mengumpulkan modal untuk menyerbu Kerajaan Johor pada tahun 1718. Telur ikan terubuk, kata Bayu, kemudian diekspor ke Eropa dari Malaka. Kemudian berpindah, diekspor dari Singapura pasca-VOC di Malaka bubar tahun 1795 dan Singapura menjadi pelabuhan dagang penting sejak 1819. Dalam surat-menyurat Benteng VOC Malaka ke Benteng VOC Batavia tahun 1761 disebutkan bahwa telur ikan terubuk bersama gambir kemudian menjadi sumber pendapatan penting bagi Kerajaan Siak.

“Telur terubuk kemudian menjadi salah satu menu dalam menu rijstaffel (hidangan, red) nasi beserta lauk-pauknya di Belanda,” jelas Bayu kepada Riau Pos, Jumat (1/11/2024).

Menurut Bayu, audiens menanggapi dengan antusias paparannya. Salah satu sebabnya,  sebagian besar audiens yang hadir memiliki ingatan kolektif akan telur ikan terubuk. Bahkan salah satu pembicara, Christopher Tan, penulis buku The Way of Kueh dari Singapura, menyebutkan, dalam masakan Tionghoa Peranakan di Singapura, gulai telur ikan terubuk adalah salah satu daftar masakan yang sudah hilang atau tidak lagi disajikan karena bagi mereka telur ini seperti mitos, ada ceritanya tetapi wujudnya tidak ada lagi. Christopher Tan dan lainnya merasa surprise ketika tahu bahwa telur  terubuk masih ada dan ikan tersebut juga masih hidup di perairan Bengkalis.

Bagi masyarakat Singapura dan bangsa lain, telur  terubuk dianggap seperti mitos karena dahulu ada dan dikenal di Singapura. Menjadi salah satu masakan mewah dan mahal di sana. Dalam pembukaan panel bersama Khir Jauhari, dia menceritakan, saat Khir Jauhari masih muda, di Kawasan Kampung Gelam (Singapura) sekitar tahun 1970-an, dia masih bertemu dengan penjual telur ikan terubuk dari Bengkalis. Penjual telur ini –setelah semua telur yang dia bawa habis– kemudian membeli barang pecah-belah hingga karpet untuk dijual kembali di Pulau Bengkalis. Namun lambat laun, para pedagang itu mulai berkurang dan akhirnya tak ada sama sekali.

Baca Juga:  Diskusi Publik Kolokium 2024 FISIP Unri, Pentingkah Muara Takus bagi Riau?

Sebagai anak muda yang mencintai dan menulis sejarah tentang Riau, Bayu merasa senang dan bangga mendapat kehormatan berada dalam forum tersebut. Di sana dia duduk sejajar dengan banyak ahli sejarah, termasuk sejarah makanan dari berbagai negara. Kesempatan ini digunakan oleh penulis buku Pakan Baroe, Nadi Sumatra yang Terlupakan, tersebut, untuk menceritakan secara detil bagaimana kondisi ikan terubuk tersebut. Menurut Bayu, sejak 2016, Kementrian Perikanan dan Kelautan membuat kawasan konservasi ikan pada perairan di Selat Bengkalis hingga muara Sungai Siak tempat ikan ini bertelur. Program ini masih berlanjut hingga sekarang (tahun 2024).

Cerita Bayu, dia diundang dalam iven ini bermula ketika  riset buku keduanya, Laksemana Raja Dilaut, Penguasa Perairan Kerajaan Siak 1800-1928. Kemudian dia mendapatkan kiriman telur ikan terubuk asin dari temannya di Pulau Bengklis. Dia lalu ngobrol dengan Khir Jauhari, karena salah satu bagian dalam buku dia yang berjudul The Food of Singapore Malay, Khir menuliskan bagaimana posisi telur terubuk asin dalam masakan Melayu di Singapura. Diskusi ini kemudian berlanjut dan dia diundang oleh Khir menjadi panelis dalam acaranya bersama Dr Anthony Medrano, Asociated Professor Enviromental Studies dari Yale-NUS College. Pada sesi ini mereka berbicara perihal sejarah ikan terubuk, posisi telur ikan dalam gastronomi Melayu, dan kondisi lingkungan dari Selat Bengkalis saat ini.

Selain itu, kata Bayu, mereka berbincang perihal tradisi yang hilang, yakni semah terubuk. Ini adalah tradisi memanggil ikan terubuk, yang kemudian hilang setelah sosok penting, yaitu 4 batin di Pulau Bengkalis  dan isteri-isterinya –Sultan Siak, Laksemana Raja Dilaut, bidu/penerjemah dari permintaan hantu terubuk, dan bomo/dukun tempat hantu terubuk menetap sementara kemudian menyampaikan pesan– sudah tidak ada lagi.

“Semah terubuk ini direkam dengan detil dalam tulisan JSG Gramberg tahun 1867.  Hanya tulisan ini yang menjadi acuan, karena setelah semah terubuk terakhir tahun 1920-an, tidak ada lagi proses perekaman dalam bentuk tulisan akan tradisi masyarakat pesisir di Riau terhadap ikan ini,” jelas lelaki lulusan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ini.

Menurut Bayu, ikan terubuk menjadi identitas penting dan duta budaya  Provinsi Riau jika kita masih melihat laut sebagai halaman depan atau ingin mengikrarkan diri sebagai provinsi berbasis maritim di Indonesia karena masih wilayah pesisir dan lautnya.  Karena telur ikan ini, Pulau Bengkalis kemudian masuk pada peta awal eksplorasi wilayah Nusantara oleh Cornelis de Houtman, utusan VOC, yang tiba di Banten tahun 1596. Jelas Bayu, peta perjalanan yang dibuat Cornelis de Houtman yang terbit tahun 1598 sudah menuliskan Bengkalis dan ikan terubuknya. Telur ikan terubuk Bengkalis menjadi mitos yang selalu dibicarakan tetapi wujudnya tidak ada yang tahu. Hingga kini, Kerajaan Belanda, Malaysia, Singapura, dan banyak negara lainnya masih melihat telur terubuk  ini sebagai identitas dan rajanya untuk masakan Melayu.

Baca Juga:  Tunak, 23 Tahun Menjaga Kegelisahan di Jalan Sunyi

Hal penting dipahami oleh masyarakat Riau, bahwa sejarah ikan terubuk merupakan salah satu sejarah penting. Rentang waktu perjalanan telur ikan ini yang panjang –sejak abad ke-15 hingga sekarang– menjadikan ikan ini merupakan identitas penting bagi Riau –juga Kepulauan Riau saat ini– terutama jika ingin menasbihkan dirinya sebagai provinsi berbasis maritim. Ikan terubuk dan telurnya menjadi saksi bisu berdirinya Kerajaan Melayu yang besar dan megah seperti  Malaka, Johor, dan Siak. Hal yang membuat kita mengatakan bahwa sudah tepat ketika Kementerian Perikanan dan Kelautan membuat Kawasan Konservasi Ikan Terubuk pada Selat Bengkalis hingga muara Sungai Siak.

“Sejarah penting itulah yang harus kita pahami bahwa ikan terubuk dan telurnya adalah salah satu bagian penting bagi kemegahan kawasan ini di masa lalu yang mungkin banyak dilupakan orang hari ini. Ikan terubuk bukan lagi hanya sebuah biota laut yang bisa kita tangkap dan makan, tetapi merupakan simbol kebesaran kebudayaan kita yang dianggap besar oleh bangsa lain di masa lalu,” jelas Bayu.

Sebelumnya, pada 30 Agustus 2024 lalu, sejarah panjang ikan terubuk hingga menjadi komoditi penting sebagai bahan kaviar di kawasan Eropa, juga dibahas oleh budayawan Riau yang tunak di Riaumagz, Syahyarwan Zam, dalam majelis diskusi Budaya Jalur Rempah. Dipandu sastrawan muda Windi  Syahrian, Syahyarwan menjelaskan secara lengkap tentang sejarah, sebaran, dan bagaimana ikan terubuk ini bernilai sangat tinggi sejak 500 tahun lalu. Baik dari sisi ekonomi maupun kebudayaan.

Dijelaskannya, hasil perikanan ini sangat menguntungkan hingga 1970, lalu menurun drastis hingga tersisa hanya di sekitar Bengkalis. Penurunan populasi telah terasa sejak 1940-1970, dan tidak mudah ditemukan sekitar 1990-an. Perhitungan potensi produksi terubuk berdasarkan potensi kelautan pada tahun 2014 sebesar 80,06 ton. Harga rata-rata pasaran ikan terubuk di Bengkalis Rp50.000/kg (2010)-90.000/kg (2020). Sedangkan harga standar Pemerintah Provinsi Riau tahun 2020 Rp70.000/kg.

Artinya, dengan estimasi 80 ton per tahun, ikan terubuk masih punya potensi untuk dikembangkan. Upaya pemerintah yang melakukan konservasi –salah satunya untuk mengurangi perburuan ikan yang sedang bertelur— adalah upaya agar tetasan telur tersebut terus menjadi dan sebarannya menjadi semakin luas lagi.

Adapun Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 210 Tahun 2023 Tentang Perlindungan Terbatas Ikan Terubuk (Tenualosa macrura), di antaranya adalah larangan penagkapan berdasarkan periode waktu yang terbatas. Yakni saat pemijahan selama 4 hari saat bulan terang di bulan Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam setiap tanggal 13, 14, 15, dan 16 kalender Hijriah setiap tahunnya; dan saat pemijahan selama 4  hari saat bulan gelap di bulan Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam setiap tanggal 27, 28, 29, dan 30 kalender Hijriah setiap tahunnya.

“Kita berharap para nelayan memahami ini dengan baik sehingga usaha dan upaya untuk memperbaiki ekosistem terubuk agar terus bertambah banyak dari waktu waktu bisa terus terjadi. Terubuk adalah simbol ekonomi, budaya, dan kebanggaan kita di Riau ini,” ujar Syahyarwan Zam.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari