Minggu, 24 November 2024
spot_img

Biodiesel dan Sebuah Kesempatan

Sejak zaman dahulu, masyarakat di seluruh dunia sudah mengenal bahan bakar fosil sebagai sumber energi yang sangat penting. Bahan bakar fosil memiliki berbagai macam bentuk yakni dari gas bumi, minyak bumi, dan batu bara. Semua bentuk bahan bakar fosil tersebut sangat besar jasanya bagi kehidupan manusia, mulai dari menggerakkan kendaraan, bahan bakar memasak, sumber energi listrik, dan sumber energi bagi berbagai mesin industri.

Meskipun memiliki manfaat besar, namun bahan bakar fosil tak lepas dari beberapa masalah, di antaranya adalah sifatnya yang lama kelamaan akan habis dan penggunaannya dapat menimbulkan emisi gas yang dapat menyebabkan masalah lingkungan. Mempertimbangkan dua masalah tersebut, pemerintah dan para ilmuwan mulai mencari cara bagaimana menemukan energi alternatif yang dapat menggantikan bahan bakar fosil. Salah satu yang terbilang cukup sukses dan menjanjikan adalah biofuel.

Biofuel sendiri bukan merupakan hal yang baru. Sejarahnya sudah dimulai cukup lama, sejak 1895. Pada saat itu Dr Rudolf Christian Karl Diesel mengembangkan mesin motor yang dijalankan dengan biofuel yang diperoleh dari minyak sayur. Namun, karena pada saat itu bahan bakar fosil masih berlimpah dan murah, bahan bakar mesin motor tersebut perlahan-lahan  diganti dengan minyak solar.

Beberapa tahun ini, biofuel kembali popular dikarenakan kesadaran akan bahan bakar fosil yang kelamaan akan habis dan masalah lingkungan yang ditimbulkan. Beberapa negara mengembangkan biofuel versi mereka yang tentunya disesuaikan dengan ketersedian produk alami yang ada di negaranya. Di Indonesia sendiri biofuel yang dikembangkan adalah biodiesel yang menggunakan bahan baku minyak sawit mentah, minyak nyamplung, minyak jarak, minyak kelapa, dan minyak ikan. Biodiesel ini memiliki beberapa kelebihan di antaranya dapat digunakan pada mesin diesel yang ada tanpa perlu dimodifikasi dan bahan bakunya tersedia melimpah di Indonesia.

Baca Juga:  Pencegahan dan Penanganan Banjir di Provinsi Riau

Sebagai produsen sawit terbesar di Indonesia, Indonesia cukup percaya diri dalam mengembangkan biodiesel. Teranyar adalah B30 yang merupakan campuran 30% biodiesel dan 70 persen bahan bakar solar yang diimplementasikan per 1 Januari 2020. Tidak sampai disitu, pemerintah dan para penelitipun masih terus berusaha agar dapat mengembangkan B100 yang mana 100 persen campurannya adalah biodiesel. Jika penemuan ini berhasil dan didukung dengan kebijakan yang tepat, sangat mungkin Indonesia menjadi pusat biodiesel dunia, mengingat sumber daya minyak terutama CPO yang sangat melimpah.

Provinsi Riau dapat mengambil kesempatan emas dalam kebijakan ini mengingat provinsi Riau merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2020, luas areal tanam kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 2,4 juta hektar dengan produksi mencapai 6,6 juta ton. Riau tidak hanya berperan sebagai provinsi penyumbang sawit terbesar bagi Indonesia, namun juga pengekspor sawit terbesar ke luar negeri. 

Baca Juga:  Membumikan Pendidikan Inklusi

Kelapa sawit juga menjadi sumber mata pencaharian bagi sepertiga penduduk Provinsi Riau. Kenaikan kebutuhan sawit untuk biodiesel tentu akan mendorong kenaikan harga sawit yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan sepertiga penduduk Provinsi Riau. Jika tidak ada hambatan berarti, kebutuhan sawit akan terus naik seiring kebijakan penerapan biodiesel oleh pemerintan Indonesia dan luar negeri. Tapi tentu saja kita tidak dapat terus menerus meningkatkan produksi dengan memperluas lahan. Karena perluasan lahan sawit akan menimbulkan masalah baru, seperti pembakaran hutan dan isu lingkungan lainnya. Tentu kita tidak dapat mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar pembangunan ekonomi, sebagaimana yang dikatakan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsuadi pada keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI tanggal 1 Desember 2020.

Selain itu, perluasan lahan sawit terus menerus hanya akan menghambat ekspor Indonesia ke Uni Eropa, sebab Uni Eropa membuat kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation yang disebut akan membatasi akses masuk produk-produk bahan bakar hayati yang dinilai tidak bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan (unsustainable crop based biofuels).

Oleh karena itu yang perlu diperhatikan pemerintah Indonesia saat ini adalah bagaimana meningkatkan produktivitas tanpa menambah lahan.***
 

Sejak zaman dahulu, masyarakat di seluruh dunia sudah mengenal bahan bakar fosil sebagai sumber energi yang sangat penting. Bahan bakar fosil memiliki berbagai macam bentuk yakni dari gas bumi, minyak bumi, dan batu bara. Semua bentuk bahan bakar fosil tersebut sangat besar jasanya bagi kehidupan manusia, mulai dari menggerakkan kendaraan, bahan bakar memasak, sumber energi listrik, dan sumber energi bagi berbagai mesin industri.

Meskipun memiliki manfaat besar, namun bahan bakar fosil tak lepas dari beberapa masalah, di antaranya adalah sifatnya yang lama kelamaan akan habis dan penggunaannya dapat menimbulkan emisi gas yang dapat menyebabkan masalah lingkungan. Mempertimbangkan dua masalah tersebut, pemerintah dan para ilmuwan mulai mencari cara bagaimana menemukan energi alternatif yang dapat menggantikan bahan bakar fosil. Salah satu yang terbilang cukup sukses dan menjanjikan adalah biofuel.

- Advertisement -

Biofuel sendiri bukan merupakan hal yang baru. Sejarahnya sudah dimulai cukup lama, sejak 1895. Pada saat itu Dr Rudolf Christian Karl Diesel mengembangkan mesin motor yang dijalankan dengan biofuel yang diperoleh dari minyak sayur. Namun, karena pada saat itu bahan bakar fosil masih berlimpah dan murah, bahan bakar mesin motor tersebut perlahan-lahan  diganti dengan minyak solar.

Beberapa tahun ini, biofuel kembali popular dikarenakan kesadaran akan bahan bakar fosil yang kelamaan akan habis dan masalah lingkungan yang ditimbulkan. Beberapa negara mengembangkan biofuel versi mereka yang tentunya disesuaikan dengan ketersedian produk alami yang ada di negaranya. Di Indonesia sendiri biofuel yang dikembangkan adalah biodiesel yang menggunakan bahan baku minyak sawit mentah, minyak nyamplung, minyak jarak, minyak kelapa, dan minyak ikan. Biodiesel ini memiliki beberapa kelebihan di antaranya dapat digunakan pada mesin diesel yang ada tanpa perlu dimodifikasi dan bahan bakunya tersedia melimpah di Indonesia.

- Advertisement -
Baca Juga:  DNA dan Skenario Kehidupan Manusia

Sebagai produsen sawit terbesar di Indonesia, Indonesia cukup percaya diri dalam mengembangkan biodiesel. Teranyar adalah B30 yang merupakan campuran 30% biodiesel dan 70 persen bahan bakar solar yang diimplementasikan per 1 Januari 2020. Tidak sampai disitu, pemerintah dan para penelitipun masih terus berusaha agar dapat mengembangkan B100 yang mana 100 persen campurannya adalah biodiesel. Jika penemuan ini berhasil dan didukung dengan kebijakan yang tepat, sangat mungkin Indonesia menjadi pusat biodiesel dunia, mengingat sumber daya minyak terutama CPO yang sangat melimpah.

Provinsi Riau dapat mengambil kesempatan emas dalam kebijakan ini mengingat provinsi Riau merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2020, luas areal tanam kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 2,4 juta hektar dengan produksi mencapai 6,6 juta ton. Riau tidak hanya berperan sebagai provinsi penyumbang sawit terbesar bagi Indonesia, namun juga pengekspor sawit terbesar ke luar negeri. 

Baca Juga:  Meraih Kebahagiaan

Kelapa sawit juga menjadi sumber mata pencaharian bagi sepertiga penduduk Provinsi Riau. Kenaikan kebutuhan sawit untuk biodiesel tentu akan mendorong kenaikan harga sawit yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan sepertiga penduduk Provinsi Riau. Jika tidak ada hambatan berarti, kebutuhan sawit akan terus naik seiring kebijakan penerapan biodiesel oleh pemerintan Indonesia dan luar negeri. Tapi tentu saja kita tidak dapat terus menerus meningkatkan produksi dengan memperluas lahan. Karena perluasan lahan sawit akan menimbulkan masalah baru, seperti pembakaran hutan dan isu lingkungan lainnya. Tentu kita tidak dapat mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar pembangunan ekonomi, sebagaimana yang dikatakan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsuadi pada keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI tanggal 1 Desember 2020.

Selain itu, perluasan lahan sawit terus menerus hanya akan menghambat ekspor Indonesia ke Uni Eropa, sebab Uni Eropa membuat kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation yang disebut akan membatasi akses masuk produk-produk bahan bakar hayati yang dinilai tidak bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan (unsustainable crop based biofuels).

Oleh karena itu yang perlu diperhatikan pemerintah Indonesia saat ini adalah bagaimana meningkatkan produktivitas tanpa menambah lahan.***
 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari