Minggu, 24 November 2024
spot_img

Melepas Ketergantungan Energi Fosil

Isu energi merupakan salah satu isu strategis yang banyak dibicarakan di dunia internasional. Dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 270,20 juta jiwa (Data BPS, 2020) cenderung terus bertambah dan mendorong permintaan terhadap energi, terutama untuk keperluan transportasi dan listrik. Sementara produksi energi fosil (tidak terbarukan) terus mengalami penurunan memaksa pemerintah harus mengimpor minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Guna mengantisipasi semakin terbatas dan langkanya cadangan energi fosil nasional serta meningkatnya kebutuhan energi masyarakat, sudah sepantasnya pemerintah menggalakkan penggunaan Enegi Baru Terbarukan (EBT). Pengunaan EBT tidak hanya bermanfaat di sektor-sektor sosial dan eknomi masyarakat melainkan ditingkat Nasional bahkan Internasional berupaya mengoptimalkan pemanfaatan EBT melalui kebijakan insentif tanpa harus membebani masyarakat serta mendorong pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap impor teknologi. Antara lain penggunaan pembangkit tenaga energi panas bumi, tenaga surya, bioenergi, tenaga air dan tenaga angin. Di samping itu, pemerintah juga harus memikirkan melakukan kebijakan penggunaan biofuel (B20, B30, B40 dan B50) produksi dalam negerii sebagai pencampuran bahan bakar mesin diesel dengan minyak sawit untuk mengurangi penggunaan energi fosil.

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementrian ESDM Andrian Feby Misnah menyatakan dari 6,6 juta KL kuota biodiesel, 68 persen (4,49 juta KL) sudah digunakan. Sehingga dengan demikian biodiesel menjadi sangat penting mampu menekan import bahan bakar minyak (BBM). Hal ini harus diselaraskan dalam RUKN 20219-2038. Trens global saat ini, diketahui ada beberapa negara berkembang sedang ramai mengembangkan EBT, di antaranya negara India, Afganistan serta Uruguay. Berdasarkan pengamatan terhadap 3 negara tersebut saat ini, mereka telah sukses dan berkembang dalam pengembangan EBT.

Baca Juga:  Raja Nakal di Era Digital

Mengingat negara kita kaya akan sumber daya alam EBT, berharap EBT sendiri dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti energi fosil yang mana implikasi penerapannya dalam kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dalam konteks isu pemanasan global. Ada 3 faktor utama keuntungan pemanfaatan EBT yaitu; Pertama, ekonomi, social dan lingkungan, kedua, lapangan pekerjaan. Ketiga, kompetensi di dalam negeri dan luar negeri. Lantas sudahkah Pemerintah menemukan solusi yang terbaik dalam hal pengelolaan energi baru terbarukan? Solusi apa yang menjamin tercapainya kesetabilan ekonomi dan sosial ditengah-tengah masyarakat? Apabila pemerintah masih menggunakan fosil sebagai sumber energi, maka bisa kita prediksikan bahwa industri yang bergantung dari energy fosil, diprediksi hanya bisa bertahan selama 25-50 tahun. 

Kita sadar bahwa setiap tahunnya Indonesia mengalami penambahan jumlah penduduk yang sudah barang tentu menambah beban penggunaan energi yang dibutuhkan masyarakat, sehingga penggunaan fosil akan cepat habis dan semakin langka. Pemerintah perlu berpikir untuk jangka panjang terhadap sumber energi yang ada saat ini. Untuk itu pemerintah mendukung penuh pelaksanaan EBT seperti memberikan anggaran untuk produksi jenis pembangkit EBT, Memperluas pemakaian pembangkit EBT di seluruh Indonesia. Mengembangkan dan memanfaatkan inovasi teknologi yang diperoleh dari para ilmuwan sehingga mereka dapat menciptakan pembangkit EBT. Lebih lanjut terkait beberapa strategi percepatan pemgembangan EBT, diantaranya:

Baca Juga:  Gapura Labuai dan Menara Pisa

Diperlukannya kebijakan pemerintah dalam mendukung perubahan tata kelola dalam upaya percepatan Proyek EBT maupun pembangkit listrik tenaga surya. Mendorong komitmen Pemerintah dalam mengembangkan EBT dan pembangkit Listrik Tenaga Surya melalui berbagai kebijakan insentif tanpa harus membebani kenaikan kepada masyarakat selaku konsumen. Menciptakan peluang pasar EBT. Meminimalkan penggunaan sumber daya minyak bumi (hydrocarbon). Berdasarkan tinjauan dari beberapa aspek di atas, dapat dikatakan bahwa investasi EBT di negara kita cenderung belum maksimal, namun kita sadar sektor EBT memiliki potensi yang sangat menjanjikan jika dikelola secara maksimal, baik manfaat jangka panjang mencakup berbagai sektor, seperti sektor ekonomi dan lingkungan.

Sebagai negara berkembang, Indonesia memang memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan tersebut dapat disiasati dengan mengubah fokus pembangunan bangsa kita yang semula mengandalkan energi fosil secara perlahan beralih ke energi terbarukan. Bahkan, pengembangan investasi EBT dapat menjadi salah satu langkah besar dalam pemulihan ekonomi Indonesia saat ini.***

Isu energi merupakan salah satu isu strategis yang banyak dibicarakan di dunia internasional. Dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 270,20 juta jiwa (Data BPS, 2020) cenderung terus bertambah dan mendorong permintaan terhadap energi, terutama untuk keperluan transportasi dan listrik. Sementara produksi energi fosil (tidak terbarukan) terus mengalami penurunan memaksa pemerintah harus mengimpor minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Guna mengantisipasi semakin terbatas dan langkanya cadangan energi fosil nasional serta meningkatnya kebutuhan energi masyarakat, sudah sepantasnya pemerintah menggalakkan penggunaan Enegi Baru Terbarukan (EBT). Pengunaan EBT tidak hanya bermanfaat di sektor-sektor sosial dan eknomi masyarakat melainkan ditingkat Nasional bahkan Internasional berupaya mengoptimalkan pemanfaatan EBT melalui kebijakan insentif tanpa harus membebani masyarakat serta mendorong pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap impor teknologi. Antara lain penggunaan pembangkit tenaga energi panas bumi, tenaga surya, bioenergi, tenaga air dan tenaga angin. Di samping itu, pemerintah juga harus memikirkan melakukan kebijakan penggunaan biofuel (B20, B30, B40 dan B50) produksi dalam negerii sebagai pencampuran bahan bakar mesin diesel dengan minyak sawit untuk mengurangi penggunaan energi fosil.

- Advertisement -

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementrian ESDM Andrian Feby Misnah menyatakan dari 6,6 juta KL kuota biodiesel, 68 persen (4,49 juta KL) sudah digunakan. Sehingga dengan demikian biodiesel menjadi sangat penting mampu menekan import bahan bakar minyak (BBM). Hal ini harus diselaraskan dalam RUKN 20219-2038. Trens global saat ini, diketahui ada beberapa negara berkembang sedang ramai mengembangkan EBT, di antaranya negara India, Afganistan serta Uruguay. Berdasarkan pengamatan terhadap 3 negara tersebut saat ini, mereka telah sukses dan berkembang dalam pengembangan EBT.

Baca Juga:  Menyoal WNI yang Pernah Bergabung ISIS

Mengingat negara kita kaya akan sumber daya alam EBT, berharap EBT sendiri dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti energi fosil yang mana implikasi penerapannya dalam kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dalam konteks isu pemanasan global. Ada 3 faktor utama keuntungan pemanfaatan EBT yaitu; Pertama, ekonomi, social dan lingkungan, kedua, lapangan pekerjaan. Ketiga, kompetensi di dalam negeri dan luar negeri. Lantas sudahkah Pemerintah menemukan solusi yang terbaik dalam hal pengelolaan energi baru terbarukan? Solusi apa yang menjamin tercapainya kesetabilan ekonomi dan sosial ditengah-tengah masyarakat? Apabila pemerintah masih menggunakan fosil sebagai sumber energi, maka bisa kita prediksikan bahwa industri yang bergantung dari energy fosil, diprediksi hanya bisa bertahan selama 25-50 tahun. 

- Advertisement -

Kita sadar bahwa setiap tahunnya Indonesia mengalami penambahan jumlah penduduk yang sudah barang tentu menambah beban penggunaan energi yang dibutuhkan masyarakat, sehingga penggunaan fosil akan cepat habis dan semakin langka. Pemerintah perlu berpikir untuk jangka panjang terhadap sumber energi yang ada saat ini. Untuk itu pemerintah mendukung penuh pelaksanaan EBT seperti memberikan anggaran untuk produksi jenis pembangkit EBT, Memperluas pemakaian pembangkit EBT di seluruh Indonesia. Mengembangkan dan memanfaatkan inovasi teknologi yang diperoleh dari para ilmuwan sehingga mereka dapat menciptakan pembangkit EBT. Lebih lanjut terkait beberapa strategi percepatan pemgembangan EBT, diantaranya:

Baca Juga:  Pemilu AS 2020 dan Nasib Indonesia Mendatang

Diperlukannya kebijakan pemerintah dalam mendukung perubahan tata kelola dalam upaya percepatan Proyek EBT maupun pembangkit listrik tenaga surya. Mendorong komitmen Pemerintah dalam mengembangkan EBT dan pembangkit Listrik Tenaga Surya melalui berbagai kebijakan insentif tanpa harus membebani kenaikan kepada masyarakat selaku konsumen. Menciptakan peluang pasar EBT. Meminimalkan penggunaan sumber daya minyak bumi (hydrocarbon). Berdasarkan tinjauan dari beberapa aspek di atas, dapat dikatakan bahwa investasi EBT di negara kita cenderung belum maksimal, namun kita sadar sektor EBT memiliki potensi yang sangat menjanjikan jika dikelola secara maksimal, baik manfaat jangka panjang mencakup berbagai sektor, seperti sektor ekonomi dan lingkungan.

Sebagai negara berkembang, Indonesia memang memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan tersebut dapat disiasati dengan mengubah fokus pembangunan bangsa kita yang semula mengandalkan energi fosil secara perlahan beralih ke energi terbarukan. Bahkan, pengembangan investasi EBT dapat menjadi salah satu langkah besar dalam pemulihan ekonomi Indonesia saat ini.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari