Minggu, 13 Oktober 2024

Menyoal Target Pajak yang Fantastis

Dalam rancangan APBN target penerimaan pajak melebihi 2.000 triliun. Jumlah yang sangat fantastis. Pertama dalam sejarah target penerimaan pajak melewati 2.000 triliun. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 10,07 persen jika dibanding target pajak tahun sebelumnya. Rancangan APBN ini adalah yang kelak akan dijalankan oleh penguasa selanjutnya.

Target pajak yang fantastis ini mendapat penerimaan yang berbeda-beda. Ada yang merespon baik kabar ini. Tanpa pajak, negara akan kesulitan membiayai operasional negara. Juga Berdampak pada melambatnya pembangunan infrastruktur. Bahkan kenaikan target pajak merupakan cara mengatasi inflasi. Sebab pajak merupakan mekanisme menyedot uang yang beredar di masyarakat.

- Advertisement -

Besarnya target penerimaan pajak diharapkan pembangunan dapat berjalan optimal. Pemerintah juga lebih leluasa melakukan pembiayaan. Bahkan besarnya pendapatan pajak membuat negara tidak perlu berhutang. Semakin besar penerima pajak dikatakan sebuah negara semakin berhasil. Sebab ini menunjukkan kemampuan pemerintah memungut pajak, kepatuhan rakyatnya terhadap pajak, dan kesejahteraan rakyat.

Berbeda dengan pendapat yang mengkritisi kenaikan target pajak. Opsi ini dinilai hanya akan memperburuk kondisi ekonomi hari ini. Pajak akan menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi. Mengingat beban biaya yang ditanggung rakyat akan terimbas dari pembebanan pajak dengan berbagai ragamnya. Dalam rangka mencapai target penerimaan tersebut kemungkinan besar pajak akan dinaikkan dan semakin beragam macamnya.

- Advertisement -

Strategi apa yang dirancang pemerintah untuk mencapai target pajak agar tembus 2.000 triliun? Penerimaan pajak akan bertumpu pada pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah. Kenaikan pajak pertambahan nilai pun sebenarnya sudah diwacanakan bahkan dibuat undang-undangnya. Kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dampak dari kenaikan PPN tentu akan berefek ke berbagai sektor. Salah satunya transportasi dimana tiket pesawat semakin mahal, tarif hotel naik. kenaikan PPN, membuat warga kelas menengah mengerem belanjanya, termasuk untuk berlibur. Pengamat ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita mengatakan kenaikan PPN berpotensi menekan permintaan dari sisi konsumen untuk berbagai sektor.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) khawatir kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan menyebabkan RI kebanjiran barang impor. Meningkatnya impor terjadi karena masyarakat ingin mencari barang yang lebih murah dari luar negeri.

Baca Juga:  Menakar Pandemi di Tahun Politik

Dalam kebijakan fiskal konvensional pajak akan menjadi bahasan primadona. Sebab ia adalah sumber pemasukan utama negara. Berbeda dengan sistem kebijakan fiskal Islam, penerimaan pajak diambil sebagai opsi paling terakhir. Diambil jika baitul mal dalam kondisi kosong. Filosofi pajak dalam Islam pun berbeda dengan filosofi pajak hari ini.

Jika hari ini pajak dianggap sebagai sumber dari segala sumber pendapat negara yang akan digunakan untuk pembangunan. Sementara dalam Islam, filosofi pajak sederhana saja. Pajak adalah perpanjangan tangan negara mengambil harta orang kaya untuk kemudian. Didistribusikan ke orang miskin. Hal ini sesuai ketentuan dalam Islam bahwa pajak hanya diambil dari kaum muslim yang kaya saja.

Pajak yang diambil dari rakyat yang kaya ini tidak juga untuk membiayai pembangunan atau operasional negara sebab itu bukan kewajibannya rakyat. Lantas digunakan untuk apa? Untuk membiayai pos pengeluaran yang memang diwajibkan kaum muslim. Contoh kasus, siapa yang wajib menyantuni orang miskin? Jawabannya, muslim yang kaya. Maka negara menjadi perpanjangan tangan yang mengambil harta orang kaya melalui mekanisme pajak. Kemudian diberikan kepada orang miskin. Hal ini sesuai hadist sebaik-baiknya sedekah adalah diambil dari orang kaya.

Perlu diingat kembali, pajak seperti ini diambil hanya ketika kondisi baitul mal mengalami kekurangan. Tidak bersifat permanen dan hanya temporal. Artinya, jika kondisi baitul mal sudah mencukupi maka pajak harus dihentikan. Dari sini bisa diambil pemahaman bahwa hukum pajak adalah mubah. Jika diambil sesuai ketentuan syariat Islam. Pajak yang dimubahkan disini adalah pajak langsung. Artinya adalah pajak yang terkait apakah seseorang itu kaya sehingga terkena kewajiban membayar pajak ketika baitul mal mengalami kekosongan.

Sedangkan terkait pajak tidak langsung maka mutlak tidak diperbolehkan. Pajak Mobil, pajak bumi dan bangunan, termasuk PPN dan PPh adalah pajak tidak langsung yang sebenarnya tidak boleh dipungut. Jika pengambilan pajak sesuai Syarat dan Ketentuan yang sudah ditetapkan syariat Islam. Maka tidak ada dampak-dampak mengerikan sebagaimana yang diprediksi para ahli ekonomi hari ini.

Baca Juga:  Ketika Guru Besar ‘Turun Gunung’ (Kritik pada Demokrasi Kita)

Sebenarnya hal yang wajar jika hari ini pemerintah berinisiatif menaikkan pajak. Bahkan pemerintah sedang mencari celah yang selama ini luput dari pajak. Hal ini karena negara tidak memilki sumber kekayaan lain untuk mendapat pemasukan. Dalam sistem ekonomi kapitalis tidak ada pembagian kepemilikan negara. Negara juga tidak boleh mengelola sumber daya alam. Pengelolan SDA diserahkan kepada pasar bebas yakni individu/swasta.

Tugas negara hanya menjadi penjaga regulasi. Dari menjadi regulator inilah negara berhak untuk mendapat bayaran lewat mekanisme pajak. Sederhananya, negara hanya menjadi wasit dari pertarungan individu/swasta dalam memperebutkan pengelolaan SDA. Siapa yang berani bayar pajak banyak ke wasitnya, dialah yang aman dan berjaya mengeruk SDA.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, pembagian kepemilikan benar-benar dirinci. Ada kepemilikan individu, umat, dan negara. Kepemilikan umat salah satunya barang tambang dalam jumlah yang besar. Dikelola oleh negara dan dikembalikan hasilnya untuk rakyat. Bisa dalam bentuk BBM yang murah bahkan gratis. Pendidikan dan kesehatan yang gratis. Harta kepemilikan umum ini tidak boleh digunakan untuk membiayai operasional negara.

Lalu dari mana negara membiayai operasionalnya misal gaji PNS? Dari harta kepemilikan negara. Ada 12 sumber harta kepemilikan negara. Yaitu fa’i, jizyah, ghanimah, kharaj, usyur, khumus, dharibah (pajak), harta tanpa waris, harta orang murtad. Dari sumber pemasukan fa’i, jizyah, kharaj, ghanimah, khumus, jika dikelola dengan baik insyaallah bisa mencukupi kebutuhan negara tanpa harus mengambil daribah (pajak) dari rakyat.

Sayangnya untuk menerapkan konsep tersebut harus berhubungan dengan sistem yang lain yakni ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam juga tidak bisa berdiri sendiri. Perlu sistem Politik Islam. Sebab yang akan menerapkan kebijakan tersebut adalah pemimpin Islam yang mengambil kebijakan hanya sesuai dan nash-nash syara. Dialah pemimpin yang tidak dzalim yang akan dijanjikan Allah akan mendapat naungan di hari kiamat. Sebagaimana hadis riwayat Bukhari yang mengatakan bahwa ada tujuh orang yang dinaungi Allah dengan naungan-Nya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: pemimpin yang adil.***

Hanna Ummu Dzaky, Pemerhati Ekonomi dan Politik

Dalam rancangan APBN target penerimaan pajak melebihi 2.000 triliun. Jumlah yang sangat fantastis. Pertama dalam sejarah target penerimaan pajak melewati 2.000 triliun. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 10,07 persen jika dibanding target pajak tahun sebelumnya. Rancangan APBN ini adalah yang kelak akan dijalankan oleh penguasa selanjutnya.

Target pajak yang fantastis ini mendapat penerimaan yang berbeda-beda. Ada yang merespon baik kabar ini. Tanpa pajak, negara akan kesulitan membiayai operasional negara. Juga Berdampak pada melambatnya pembangunan infrastruktur. Bahkan kenaikan target pajak merupakan cara mengatasi inflasi. Sebab pajak merupakan mekanisme menyedot uang yang beredar di masyarakat.

Besarnya target penerimaan pajak diharapkan pembangunan dapat berjalan optimal. Pemerintah juga lebih leluasa melakukan pembiayaan. Bahkan besarnya pendapatan pajak membuat negara tidak perlu berhutang. Semakin besar penerima pajak dikatakan sebuah negara semakin berhasil. Sebab ini menunjukkan kemampuan pemerintah memungut pajak, kepatuhan rakyatnya terhadap pajak, dan kesejahteraan rakyat.

Berbeda dengan pendapat yang mengkritisi kenaikan target pajak. Opsi ini dinilai hanya akan memperburuk kondisi ekonomi hari ini. Pajak akan menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi. Mengingat beban biaya yang ditanggung rakyat akan terimbas dari pembebanan pajak dengan berbagai ragamnya. Dalam rangka mencapai target penerimaan tersebut kemungkinan besar pajak akan dinaikkan dan semakin beragam macamnya.

Strategi apa yang dirancang pemerintah untuk mencapai target pajak agar tembus 2.000 triliun? Penerimaan pajak akan bertumpu pada pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah. Kenaikan pajak pertambahan nilai pun sebenarnya sudah diwacanakan bahkan dibuat undang-undangnya. Kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dampak dari kenaikan PPN tentu akan berefek ke berbagai sektor. Salah satunya transportasi dimana tiket pesawat semakin mahal, tarif hotel naik. kenaikan PPN, membuat warga kelas menengah mengerem belanjanya, termasuk untuk berlibur. Pengamat ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita mengatakan kenaikan PPN berpotensi menekan permintaan dari sisi konsumen untuk berbagai sektor.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) khawatir kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan menyebabkan RI kebanjiran barang impor. Meningkatnya impor terjadi karena masyarakat ingin mencari barang yang lebih murah dari luar negeri.

Baca Juga:  Menuju Kota Wisata

Dalam kebijakan fiskal konvensional pajak akan menjadi bahasan primadona. Sebab ia adalah sumber pemasukan utama negara. Berbeda dengan sistem kebijakan fiskal Islam, penerimaan pajak diambil sebagai opsi paling terakhir. Diambil jika baitul mal dalam kondisi kosong. Filosofi pajak dalam Islam pun berbeda dengan filosofi pajak hari ini.

Jika hari ini pajak dianggap sebagai sumber dari segala sumber pendapat negara yang akan digunakan untuk pembangunan. Sementara dalam Islam, filosofi pajak sederhana saja. Pajak adalah perpanjangan tangan negara mengambil harta orang kaya untuk kemudian. Didistribusikan ke orang miskin. Hal ini sesuai ketentuan dalam Islam bahwa pajak hanya diambil dari kaum muslim yang kaya saja.

Pajak yang diambil dari rakyat yang kaya ini tidak juga untuk membiayai pembangunan atau operasional negara sebab itu bukan kewajibannya rakyat. Lantas digunakan untuk apa? Untuk membiayai pos pengeluaran yang memang diwajibkan kaum muslim. Contoh kasus, siapa yang wajib menyantuni orang miskin? Jawabannya, muslim yang kaya. Maka negara menjadi perpanjangan tangan yang mengambil harta orang kaya melalui mekanisme pajak. Kemudian diberikan kepada orang miskin. Hal ini sesuai hadist sebaik-baiknya sedekah adalah diambil dari orang kaya.

Perlu diingat kembali, pajak seperti ini diambil hanya ketika kondisi baitul mal mengalami kekurangan. Tidak bersifat permanen dan hanya temporal. Artinya, jika kondisi baitul mal sudah mencukupi maka pajak harus dihentikan. Dari sini bisa diambil pemahaman bahwa hukum pajak adalah mubah. Jika diambil sesuai ketentuan syariat Islam. Pajak yang dimubahkan disini adalah pajak langsung. Artinya adalah pajak yang terkait apakah seseorang itu kaya sehingga terkena kewajiban membayar pajak ketika baitul mal mengalami kekosongan.

Sedangkan terkait pajak tidak langsung maka mutlak tidak diperbolehkan. Pajak Mobil, pajak bumi dan bangunan, termasuk PPN dan PPh adalah pajak tidak langsung yang sebenarnya tidak boleh dipungut. Jika pengambilan pajak sesuai Syarat dan Ketentuan yang sudah ditetapkan syariat Islam. Maka tidak ada dampak-dampak mengerikan sebagaimana yang diprediksi para ahli ekonomi hari ini.

Baca Juga:  Cerdas Memilih Pemimpin

Sebenarnya hal yang wajar jika hari ini pemerintah berinisiatif menaikkan pajak. Bahkan pemerintah sedang mencari celah yang selama ini luput dari pajak. Hal ini karena negara tidak memilki sumber kekayaan lain untuk mendapat pemasukan. Dalam sistem ekonomi kapitalis tidak ada pembagian kepemilikan negara. Negara juga tidak boleh mengelola sumber daya alam. Pengelolan SDA diserahkan kepada pasar bebas yakni individu/swasta.

Tugas negara hanya menjadi penjaga regulasi. Dari menjadi regulator inilah negara berhak untuk mendapat bayaran lewat mekanisme pajak. Sederhananya, negara hanya menjadi wasit dari pertarungan individu/swasta dalam memperebutkan pengelolaan SDA. Siapa yang berani bayar pajak banyak ke wasitnya, dialah yang aman dan berjaya mengeruk SDA.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, pembagian kepemilikan benar-benar dirinci. Ada kepemilikan individu, umat, dan negara. Kepemilikan umat salah satunya barang tambang dalam jumlah yang besar. Dikelola oleh negara dan dikembalikan hasilnya untuk rakyat. Bisa dalam bentuk BBM yang murah bahkan gratis. Pendidikan dan kesehatan yang gratis. Harta kepemilikan umum ini tidak boleh digunakan untuk membiayai operasional negara.

Lalu dari mana negara membiayai operasionalnya misal gaji PNS? Dari harta kepemilikan negara. Ada 12 sumber harta kepemilikan negara. Yaitu fa’i, jizyah, ghanimah, kharaj, usyur, khumus, dharibah (pajak), harta tanpa waris, harta orang murtad. Dari sumber pemasukan fa’i, jizyah, kharaj, ghanimah, khumus, jika dikelola dengan baik insyaallah bisa mencukupi kebutuhan negara tanpa harus mengambil daribah (pajak) dari rakyat.

Sayangnya untuk menerapkan konsep tersebut harus berhubungan dengan sistem yang lain yakni ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam juga tidak bisa berdiri sendiri. Perlu sistem Politik Islam. Sebab yang akan menerapkan kebijakan tersebut adalah pemimpin Islam yang mengambil kebijakan hanya sesuai dan nash-nash syara. Dialah pemimpin yang tidak dzalim yang akan dijanjikan Allah akan mendapat naungan di hari kiamat. Sebagaimana hadis riwayat Bukhari yang mengatakan bahwa ada tujuh orang yang dinaungi Allah dengan naungan-Nya pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: pemimpin yang adil.***

Hanna Ummu Dzaky, Pemerhati Ekonomi dan Politik

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari