28.2 C
Pekanbaru
Minggu, 9 Maret 2025
spot_img

Problematika Pilkades di Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Ruang lingkup demokrasi terkecil di antara pemilihan kepala pemerintahan ialah pemilihan kepala desa. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan pilkades pada dasarnya merupakan manifestasi kedaulatan masyarakat desa yang paling riil. Hal ini berarti desa bukanlah ruang geografi kosong yang berjarak dari sosio budaya manusia yang tinggal di dalamnya. Sebaliknya desa merupakan kesatuan teritorial atau wilayah yang melekat dan terikat pada kehidupan manusia di atasnya beserta tradisi dan adat-istiadat yang menggerakkan kehidupan itu.

Pilkades sebagai demokratisasi desa berarti upaya untuk menggerakkan demokrasi dalam kekhasan desa itu dengan semangat pengakuan keunikan dan kekhasan tradisi desa. Alpanya perhatian pada rezim pilkades menjadi kelemahan tersendiri terhadap pengakuan demokratisasi masyarakat desa. Padahal jika menggunakan konsep the living constitution, kedudukan masyarakat desa dengan segala sistem pemerintahan di dalamnya diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Pilkades dalam penyelenggaraannya dipilih langsung oleh rakyat, bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Tahapan penyelenggaraannya sama dengan pilpres dan pilkada. Kendati demikian, pilkades tidak dimasukkan dalam rezim pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 terkait Pemilu. Pilkades seakan menjadi anak tiri dalam pemilihan umum di Indonesia, padahal pilkades pada proses penyelenggaraannya lebih rawan secara sosial, politik, dibandingkan pemilu-pemilu yang lain. Pilkades selanjutnya diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang sebelumnya diatur Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan daerah sebagai daerah otonom dan mengakui pemerintahan desa sebagai subsistem dari penyelenggaraan pemerintahan. Desa berhak dan memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangga desa.

Seiring perkembangan demokratisasi di Indonesia, pada wilayah desa juga dilaksanakan pilkades. Dasar hukum pelaksanaan pemilihan kepala desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa, serta diatur dalam Perda masing-masing kabupaten. Namun dalam praktiknya, pilkades tidak dianggap sebagai salah satu rezim pemilihan di Indonesia. Padahal praktik pilkades nyata dan dijalankan oleh masyarakat desa sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi yang paling konkret di desa.

Baca Juga:  Kampung Teluk Lanus, Sentra Produksi Padi Masa Depan

Dalam pelaksanaannya, hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggung jawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945, tidak ada pembahasan spesifik terhadap pemerintahan desa. Kurangnya penegasan secara spesifik dalam konstitusi mengenai rezim pilkades berimplikasi pada penataan pilkades dalam sistem ketatanegaraan yang tidak diakui sebagai sebuah rezim pemilihan, layaknya rezim pemilu dan pemilihan kepala daerah. Padahal jika dicermati, pelaksanaan pilkades dewasa ini juga memiliki sejumlah tahapan yang hampir sama seperti tahapan pemilu atau pemilihan kepala daerah. Di sisi lain, perhatian akademis secara menyeluruh terhadap penataan pilkades di Indonesia masih tergolong minim. Beberapa penelitian hanya mengkaji pelaksanaan pilkades secara parsial. Misalnya pengkajian hukum pilkades rata-rata hanya berfokus pada permasalahan perselisihan penetapan hasil pilkades. Padahal permasalahan pilkades saat ini bukan hanya terbatas pada hal tersebut, melainkan jauh lebih kompleks sebagai bagian dari proses dan dinamisasi kehidupan demokratisasi masyarakat desa.

Mahkamah Kontitusi melalui Putusan MK Nomor 42/PUU-XIX/2021 memutuskan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”. Kedua putusan tersebut cukup memberi andil terhadap penataan pilkades di Indonesia, utamanya calon kepala desa yang tidak wajib lagi berdomisili di desa setempat.

Penataan pilkades saat ini mengalami permasalahan seperti kedudukan pilkades masih lemah karena tidak disebut secara eksplisit dalam konstitusi. Desain kelembagaan penyelenggara ad hoc pilkades masih belum ideal karena tidak melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai bagian dari penyelenggara dan proses penegakan hukum. Pelanggaran pilkades belum ditegakkan secara konsisten.

- Advertisement -

Kaitannya dengan pembahasan mengenai konstitusi di atas, negara Indonesia sendiri menggunakan konsep berdemokrasi dalam ketentuan konstitusi yang ada. Oleh karena itu, demokrasi dimasukkan ke dalam konstitusi. Ketika kekuatan rakyat secara signifikan mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga atau pembuatan kebijakan publik, demokrasi itu sendiri dapat dianggap sebagai dasar negara. Kemampuan kebijakan negara untuk mengakomodir seluruh kepentingan rakyat merupakan nilai konstitusional yang positif dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi cita-cita demokrasi, karena dalam demokrasi rakyatlah yang paling berkuasa. Dengan demikian bukan sesuatu yang tidak mungkin pembatasan atas kekuasaan dalam kebijakan negara berangkat dari kepentingan rakyat. Begitulah sejatinya nilai konstitusi yang baik dalam sebuah negara yang menganut konsep demokrasi.

Baca Juga:  19 Tahun Pascatsunami Aceh

Selain berdampak menimbulkan persoalan ketidakadilan, kandidat yang bukan cakades petahana pastinya akan dirugikan ketika melihat fasilitas dan dana dari APBDes digunakan oleh kandidat petahana untuk berkampanye. Proses penegakan hukum dalam pelaksanaan pilkades saat ini tidak berjalan sesuai due process of law ketika terjadi pelanggaran seperti money politic. Penegakan hukum pilkades sangat sulit untuk ditegakkan jika hanya mengandalkan kewenangan perangkat daerah dalam menegakkan praktik kecurangan dalam pilkades.

Permasalahan di atas menjadi benang kusut yang melilit dan sangat memengaruhi kualitas pelaksanaan pilkades saat ini. Oleh karena itu, kajian ini mengulas ketiga permasalahan tersebut untuk memberikan gagasan akademik dan praktis dalam menata pelaksanaan pemilihan kepala desa di masa mendatang.

Mekanisme penyelesaian perselisihan pemilihan kepala desa yang timbul dalam kaitannya dengan proses penyelesaian perselisihan pemilihan kepala desa, harusnya diatur secara tegas yang menjamin adanya kepastian hukum bagi para pihak yang berselisih. Harusnya diatur pula dalam pasal-pasal yang mencegah terjadinya kendala-kendala dalam setiap pemilihan kepala desa berlangsung. Terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Pasal 37. Harus dijelaskan pula dalam bentuk peraturan pemerintah mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan dalam proses pemilihan kepala desa agar mencegah terjadinya kekosongan penafsiran terhadap pasal tersebut.

Ideal pengaturan masa jabatan kepala desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia bisa dilakukan dengan tiga jalan, yaitu. Pertama, melakukan amandemen UUD 1945 kelima untuk menjadikan masa jabatan seluruh pimpinan eksekutif, seperti presiden, dan wapres; gubernur dan wakil gubernur; wali kota dan wakil wali kota; bupati dan wakil bupati; dan kades dengan masa jabatan tujuh tahun. Kedua, melakukan revisi UU Desa sesuai dengan UUD 1945 Kelima, khususnya Pasal 39 UU Desa yang mengatur masa jabatan kades dari tiga periode menjadi satu periode. Ketiga, menjadikan konvensi ketatanegaraan untuk masa jabatan seluruh pimpinan eksekutif, seperti presiden, dan wapres; gubernur dan wakil gubernur; wali kota dan wakil wali kota; bupati dan wakil bupati; dan kades satu periode dan membudayakan concession speech, dan victory speech dari cakades yang berkontestasi dalam pilkades pasca pengumuman resmi dari penyelenggara pilkades.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

BERITA LAINNYA

Agung Toyota Serahkan Paket Sembako Senilai Rp100 Juta

Regional Manager Agung Toyota Wilayah Barat, Mahmud Fauzi mengatakan, merupakan komitmen Agung Toyota untuk membantu meringankan beban warga yang terdampak bencana.

Gubri dan Wagubri Bersatu, Koordinasi Intensif Tangani Banjir Riau

Gubernur Riau (Gubri) Abdul Wahid, melaksanakan pertemuan dengan Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Damkar Riau, Edy Afrizal serta Kepala Dinas Sosial Riau, Zulfadli untuk membahas langkah penanganan banjir yang melanda beberapa kabupaten/kota di Provinsi Riau.

Korban Banjir Mulai Kena Penyakit

Korban banjir akibat luapan sungai Siak di beberapa lokasi di Kecamatan Rumbai, terutama yang tinggal di bantaran Sungai Siak saat ini membutuhkan fasilitas mandi cuci kakus (MCK).

Minyakita Tak Sesuai Takaran, 3 Perusahaan Disegel

Tiga produsen Minyakita dikenai sanksi berat setelah terbukti mengurangi volume minyak dalam kemasan 1 liter. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan, perusahaan tersebut harus ditutup dan disegel.