Media sosial sebagi ruang publik baru dimanfaatkan masyarakat untuk bersosialisasi, berbisnis, dan melakukan berbagai aktivitas komunikasi lainnya. Adanya perkembangan teknologi komunikasi membuat masyarakat tidak asing lagi dengan internet dan media sosial. Menurut laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia tercatat sebanyak 167 juta orang per Januari 2023. Pada Pilpres 2024 ini, perbincangan mengenai politik, berita politik serta konten-konten kampanye politik yang diproduksi oleh para komunikator politik kini massif di temui di media sosial. Lalu apa yang mengkhawatirkan dari situasi ini? Jawabannya adalah bahaya jebakan “maut” filter bubble dan echo chamber media sosial.
Istilah filter bubble dikemukakan oleh Eli Pariser, seorang aktivis dan penulis buku yang fokus terhadap perkembangan digital. Dikatakannya bahwa filter bubble merupakan dunia informasi yang unik dan terbentuk berdasarkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan di internet. Filter bubble mengacu pada konten-konten yang kerap dicari, ditonton, diberi like dan sebagainya, kemudian konten-konten sejenis itulah yang akan muncul kembali di beranda media sosial. Algoritma tersebut membuat informasi-informasi yang kerap dikonsumsi berada di suatu “gelembung” yang dapat mengisolasi si pengguna media sosial dari konten-konten yang memuat berbagai informasi lainnya.
Sementara istilah echo chamber (ruang gema) merupakan kondisi di mana si pengguna media sosial mengonsumsi informasi sejenis berulang kali dan akibatnya lama kelamaan ia menerima informasi tersebut sebagai suatu kebenaran. Fenomena echo chamber terjadi disebabkan oleh adanya filter bubble, kondisi tersebut akan membuat pengguna media sosial terisolir dari berbagai informasi dan hanya meyakini kebenaran yang selama ini didapatkannya dari terpaan konten-konten sejenis.
Terkait dengan situasi saat ini, ketika seseorang terbiasa mengonsumsi informasi melalui konten-konten dari komunikator politik yang disenanginya di media sosial, terlebih mengultuskan komunikator politik tersebut, maka ia akan mudah sekali terjebak dalam echo chamber. Apabila seseorang telah terjebak ke dalam echo chamber maka baginya kebenaran ialah apa yang selama ini diyakininya—yang didapat melalui konten-konten yang disaksikannya. Lebih bahaya lagi bahwa sulit baginya untuk membedakan mana informasi yang sejatinya benar dan mana informasi yang sejatinya tidak benar. Orang-orang seperti ini akan merasa benar dan enggan melakukan verifikasi lebih dalam atas informasi yang dikonsumsinya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial membantu penyebaran informasi seputar politik dan mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi tersebut. Akan tetapi, tidak dapat dinafikan pula bahwa informasi yang tersebar melalui berbagai platform media sosial dan kemudian dikonsumsi secara mentah oleh orang-orang yang terjebak dalam filter bubble dan echo chamber justru semakin memperkuat polarisasi masyarakat. Hal itu akan diperparah oleh adanya penetrasi berita hoaks, kampanye politik yang tidak mendidik, framing konten yang menyudutkan antar paslon, dan segala macam tindak-tanduk komunikasi politik dari komunikator politik yang menyulut kebencian dan kemarahan.
Literasi Media Sebagai Solusi
Berbagai fenomena muncul di media sosial pada Pilpres saat ini. Ada yang mengancam menembak salah satu capres, menangisi capres, dan berbagai kelakuan-kelakuan yang dapat mengindikasikan bahwa para pengguna media sosial kemungkinan telah terjebak ke dalam jebakan “maut” filter bubble serta echo chamber. Lantas, bagaimana upaya yang harus dilakukan agar dijauhkan dari jebakan “maut” tersebut? Menurut hemat penulis, pemahaman literasi media sebagai solusinya.
Merujuk pada penjelasan W. James Potter dalam bukunya berjudul “Media Literacy”, literasi media merupakan seperangkat perspektif yang digunakan secara aktif untuk memproses dan menafsirkan makna pesan yang ditemui di media. Literasi media juga berarti kemampuan seseorang dalam memahami penggunaan media, baik itu memahami media secara visual, isi pesan, ataupun penggunaan perangkat media itu sendiri.
Terdapat tiga hal yang harus dimiliki oleh para pengguna media sosial dalam membangun perspektif literasi media. Pertama, memiliki keterampilan dalam melakukan analisis dengan maksud menguraikan isi suatu informasi, membedah informasi tersebut dengan melakukan komparasi dan memeriksa kebenarannya, menarik kesimpulan atas informasi yang telah dibedah baik secara induktif maupun deduktif serta menyesuaikan informasi yang baru diterima dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Kedua, mengokohkan struktur pengetahuan. Struktur pengetahuan memberikan konteks yang digunakan ketika mencoba memahami setiap informasi baru dari media sosial.
Semakin kokoh struktur pengetahuan yang dimiliki maka semakin ajeg dalam mengonsumsi berbagai informasi di media sosial. Terakhir, memiliki locus person. Inti dari hal ini ialah kesadaran mengenai apa tujuan dalam mencari informasi dan apapula dorongan dalam beraktivitas di media sosial tersebut. Locus person dapat dikatakan sebagai upaya mengontrol diri dalam merespon informasi-informasi yang ditemui di media sosial secara bijak.
Perkembangan teknologi komunikasi dapat mengubah perilaku manusia. Perubahan tersebut dapat menuju ke arah yang baik atau pun ke arah yang buruk. Penetrasi hoaks, komunikasi politik yang tidak mendidik dan berbagai konten-konten bertama politik yang menyudutkan hingga menyulut kebencian membuat media sosial kini menjadi hiruk pikuk.
Dalam kondisi tersebut, filter bubble yang menciptakan echo chamber dapat menjadi jebakan yang membuat orang-orang merasa benar dengan apa yang ia ketahui tanpa memeriksa adanya kebenaran lain. Selain itu mereka juga akan asik mengultuskan suatu figur akibat terpapar terus menerus oleh informasi-informasi yang menggaung di dalam “dunianya” sendiri. Lebih jauh lagi, bahayanya jebakan “maut” ini dapat membuat pesta demokrasi yang semestinya luhur berubah semata-mata hanya menjadi pesta demagogi para elite yang mengakibatkan masyarakat kian terpolarisasi. ***
Ariq Aflah Riadi, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran