“Memilih pemimpin itu bukan hanya setakat kerja mata dan telinga. Tapi juga kerja yg melibatkan akal budi dan nurani”
(Suhardi El-Behrouzy).
Ungkapan di atas sengaja penulis jadikan sebagai pembuka tulisan ini mengingat pemilu tinggal menghitung hari, dan sebagai alarm untuk anak bangsa, agar menggunakan hak pilihnya dengan cermat, bijak, teliti serta berkonsultasi terlebih dahulu dengan akal budi dan nurani sebelum menjatuhkan pilihannya.
Hal ini penting, mengingat memilih pemimpin bukanlah pekerjaan mudah, semudah mencoblos gambar di atas kertas. Tapi memilih pemimpin adalah pekerjaan berat, karena ada konsekuensi yang lahir dari pilihan yang diberikan. Konsekuensi itu tidak hanya berlaku sehari pasca memilih, tapi ribuan hari mendatang, atau dalam ungkapan popular, lima menit menentukan lima tahun ke depan.
Selama ini banyak masyarakat yang tidak menyadari konsekuensi pilihan mereka. Baginya memilih adalah suka-suka yang hanya melibatkan mata dan telinga saja. Alhasil sosok pemimpin yang terlihat baik dan memberikan perhatian kepada mereka sebelum memilih adalah pertimbangan penting sebelum menjatuhkan pilihan. Akibatnya sosok pemimpin berlomba-lomba menampilkan citra diri yang baik, religius, dekat dengan rakyat dan tak lupa memberikan “hadiah” kepada masyarakat. Seperti baju kaos, sembako, peralatan olahraga, bantuan untuk rumah ibadah dan sederet “hadiah” lainnya.
Untuk itulah rakyat harus mengerahkan segala daya upayanya untuk melihat mana pemimpin yang benar-benar layak untuk dipilih. Pertama, melihat track record atau rekam jejaknya. Seorang calon pemimpin terutama yang mengikuti kontestasi pilpres, jelas sosok yang sudah dikenal orang. Artinya, sang calon pemimpin punya latar belakang yang bisa ditelusuri dan selanjutnya bisa menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan pilihan. Mana mungkin kita memilih orang-orang yang tidak berpihak kepada rakyat, atau orang-orang yang pernah menjabat, tapi selama dia mengemban amanah, dia tidak amanah atau tidak ada perubahan signifikan dalam pembangunan. Track record ini tidak hanya berhenti sebatas prestasi kerja, namun yang lebih penting adalah etika dan moralitas sang pemimpin. Hal ini merupakan ruh yang mesti hidup dalam jiwa pemimpin. Dalam Islam hal ini ditunjukkan dengan ketaatannya kepada Sang Khaliq dan terimplementasi dalam kehidupannya sehari-hari. Tidak akan mungkin seorang pemimpin berlaku adil dan amanah, manakala agamanya tidak berdenyut dalam nadi kehidupannya.
Kedua, kapasitas dan kapabilitas. Seorang pemimpin yang baik tidak cukup dengan memiliki moralitas yang tinggi, namun juga harus diimbangi dengan kapasitas dan kapabilitas. Nabi Muhammad telah mencontohkan ketika seorang sahabat yang taat, yakni Abu Dzar al Ghifari yang memiliki moralitas yang tinggi, namun tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai, rasul tidak mengizinkan dia mengemban jabatan atau amanah. Sebab, bila ini terjadi akan mengakibatkan masalah yang besar. Dalam hadisnya rasul menyebutkan, “ apabila menyerahkan sesuatu urusan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. Artinya kapasitas, kapabilitas menjadi syarat penting bagi seorang pemimpin. Untuk itu pemimpin yang memiliki gagasan dan ide-ide pembaharuan untuk perbaikan bangsa yang lebih baik, mesti menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan.
Ketiga, selaras dengan nurani. Hal ini ditempuh melalui serangkaian pengamatan yang diakhiri dengan salat istikharah. Sebab memilih pemimpin bukanlah hal suka-suka atau masalah dunia an sich saja, tapi pilihan kita tersebut akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dan sebelum pertanggungjawaban itu diminta Tuhan di akhirat nanti, kita akan berhadapan dahulu dengan konsekuensi pilihan kita dalam ranah bernegara. Bila salah dalam memilih pemimpin, maka akibatnya lima tahun akan merana dan kecewa.
Ikhtiar politik di atas sejatinya adalah alur utama dalam jalur memilih pemimpin. Walau masih banyak aspek lain yang mesti kita perhatikan. Tapi setidaknya, dengan melihat track record, kapabilitas, kapasitas dan mengikuti hati nurani sudah memadai untuk kita disebut sebagai pemilih cerdas dan bijak. Hanya saja ketiga ikhtiar tersebut tidak sedang diselubungi oleh kabut tebal pencitraan atau imagologi sang calon. Sehingga yang lahir nantinya, bukan track record palsu, kapabilitas dan kapasitas yang dipoles, serta nurani yang telah tercemar celupan tumpahan materi.
Menjadi pemilih cerdas dan berprilaku benar menjadi tantangan rakyat di tengah dominasi arus kapital yang menggerus hati nurani rakyat dan tergerusnya nilai-nilai demokrasi. Bila rakyat hanyut oleh arus kapital, tergoda oleh sehelai baju kaos, bansos, perbaikan jalan atau pun dalam lembaran rupiah jelang pemilihan, alamat bangsa ini akan tenggelam dan akan dipimpin oleh pemimpin yang tidak baik. Untuk itu tidak ada kata lain, bahwa rakyat atau pemilih haruslah cerdas dan berdasarkan nurani dalam memilih. Untuk itu alangkah baiknya sebelum memilih, pemilih menyelami hadis nabi, yang mengatakan, “Barang siapa yang mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum Muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang diangkatnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Semoga apapun pilihan kita nantinya, adalah pilihan yang tidak hanya berdasarkan kerja mata dan telinga, namun yang tak kalah penting, pilihan itu berdasarkan akal budi dan nurani. Alhasil, akan lahir pemimpin negeri ini yang bersifat profetik, amanah, adil dan berjaya dalam memakmurkan dan menyejahterakan rakyatnya. Wallahu’alam***
Suhardi Behrouzy, Pemerhati Politik, Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia