Karut marut permasalahan di Riau semakin hari semakin bertambah dan sepertinya sulit terselesaikan, antara lain konflik lahan, kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan bencana asap dan dampak bencana alam lain serta bencana banjir dan longsor yang menjadi agenda rutin tahunan. Bahkan yang ironis dan menyedihkan, sangat banyak pejabat birokrasi dan wakil rakyat Riau yang tersandung kasus korupsi.
Sejatinya Hari Jadi ke-63 Provinsi Riau di tahun 2020 ini adalah istimewa dan menjadi titik akhir dari pencapaian Visi Riau 2020. Jika kita evaluasi dari perspektif Visi Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu, secara faktual masih sangat jauh untuk menyatakan Riau sedang apatah lagi telah menuju sebagai pusat kebudayaan Melayu tersebut.
Walau pun sudah dibentuk Dinas Kebudayaan yang semula dimaksudkan sebagai peneraju dan akselerator ke arah visi tersebut, namun sejak pembentukan dinas tersebut sepertinya tak meyakinkan dapat mewujudkan Visi Riau. Dinas Kebudayaan hanya berkutat dengan nostalgia kejayaan masa lalu Tamaddun Melayu Riau. Hal ini dapat dibuktikan dengan gencarnya Dinas Kebudayaan mendapatkan pengakuan Warisan Benda maupun Warisan Tak Benda Melayu Riau.
Upaya ini walaupun tidaklah salah, namun menurut hemat penulis, yang lebih utama dan substansial harusnya Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu, disibukkan dengan riuh kajian dan aktivitas budaya (tamaddun) maupun pengembangan kebudayaan Melayu dan implementasinya dalam tata kehidupan masyarakat Melayu Riau. Bentuk konkretnya setidaknya diwujudkan pada seni rancang bangun atau arsitektur bangunan di Riau, tentunya dengan gaya dan nuansa Melayu, serta “perkembangan” adat istiadat Melayu Riau atau secara komprehensif tamaddun Melayu Riau abad ini dan masa depan. Demikian juga komitmen penggunaan bahasa Melayu Riau dalam semua aktivitas sosial bermasyarakat, terutama di pasar dan perkantoran dan pusat aktivitas publik lainnya. Bukankah suatu yang bertolak belakang dengan sejarah ketika bahasa Melayu disepakati sebagai bahasa pengantar di Nusantara bahkan menjadi bahasa pemersatu dan bahasa resmi NKRI, justru terabaikan dan nyaris hilang di negeri asal bahasa Melayu itu sendiri.
Indonesia sepatutnya dan pantas untuk memberikan apresiasi pada Riau atas segala kontribusi yang telah diberikan pada NKRI. Kepatutan Indonesia memberikan apresiasi dan keistimewaan kepada Riau bisa saja dalam bentuk yang berbeda. Jika Indonesia bisa memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Papua, karena mereka “berani melawan”, tentu negara dapat pula memberikan hal yang sama kepada Riau karena “berani menunjukkan kebaikan hati”.
Bahkan Riau, pun baÂru dipandang sebaÂgai sebuah provinsi seÂtelah reformasi 1998. Sebelumnya, Riau jangankan memperoleh ke-istimewa-an, untuk putra daerahnya menjadi kepala rumah tangga (gubernur) di rumahnya sendiripun tidak diperbolehkan. Berdasarkan catatan, sebelum reformasi, hanya ada seorang putra Riau yang dapat menjadi gubernur, dan itu pun karena ia seorang tokoh militer. Demikian baru tercatat 2 orang putra Riau yang diberikan kepercayaan menduduki kursi menteri pada kabinet pemerintahan.
Riau Inkorporasi dan Riauisasi
Konsepsi tentang Riau Inkorporasi sejatinya adalah ruh kebersamaan semua unsur (stakeholder dan shareholder) rakyat Riau. Sinergi kekuatan dalam mengikhtiarkan pembangunan daerah ini dari awal perumusan, proses pelaksanaan dan mengawalnya (pengawasan). Masing-masing unsur (komponen) rakyat, bersinergi dan saling mengisi (kuat menguatkan), memainkan peran sesuai dengan posisi dan fungsi namun tetap dalam jalur menuju satu tujuan dan sasaran bersama. Tidak seperti perlombaan panjat pinang, yang masing-masing pemainnya memiliki syahwat untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan lawan dengan cara menginjak kepala dan berebutan untuk mencapai posisi teratas.
Adapun prasyarat utama untuk membentuk Riau Inkorporasi adalah Riauisasi. Upaya untuk Riauisasi-pun sebenarnya telah dilakukan saat reformasi plus euphoria-nya disuarakan di Riau. Namun sangat disayangkan Riauisasi dimaksud hanya didasari emosional tanpa rasional yang logis dan proporsional.
Inilah contoh memaknai Riauisasi yang salah kaprah, Riauisasi yang disalahtafsirkan. Hakikat Riauisasi yang menjadi prasyarat Riau Inkorporasi adalah cara pandang seluruh rakyat yang tinggal dan menempati wilayah Riau, untuk menyatakan diri bahwa mereka anak jati Riau. Namun tentunya dengan catatan tebal pula untuk diingat, puak Melayu mestilah punya serta diberikan hak privilege dan puak-puak lain yang bermastautin di Riau.
Catatan ini bukanlah dimaksudkan untuk mencari kesalahan, tetapi setidaknya catatan ini bersama-sama kita jadikan bahan renungan, evaluasi dan introspeksi.***