Jumat, 11 Juli 2025

Psikologi Viral “Aura Farming” Dikha

SOSOK Rayyan Arkhan Dikha, bocah 11 tahun dari Kuantan Singingi, Riau, mendadak viral di jagat maya. Bukan sebagai artis atau atlet, melainkan karena aksinya menari penuh semangat di atas perahu pacu jalur yang melaju cepat dalam “Aura Farming Challenge”. Wajah ceria, tubuh lincah, serta semangat menarinya bukan hanya menarik visual, tetapi juga menyentuh emosi penonton. Apa yang Dikha lakukan jauh lebih dari sekadar “konten lucu”; ia memperlihatkan kombinasi kekuatan psikologis, otentisitas ekspresi, dan daya tarik emosional yang kuat, menjadikannya viral secara psikologis.

Viralitas ini juga didukung oleh tokoh nasional seperti presiden dan wakil presiden Indonesia yang membuat video animasi tentang pacu jalur, serta artis Luna Maya yang turut membuat konten “Aura Farming Challenge” yang diikuti masyarakat Indonesia secara massal. Fenomena ini bahkan mendunia ketika Paris Saint Germain (PSG), AC Milan, atlet NFL Travis Kelce, Bradley Barcola, dan Neymar mengunggah gerakan serupa di akun resmi mereka. Fernando Alonso (F1) dan Diego Luna (pesepak bola AS) juga disebut-sebut ikut tren ini di luar negeri.

Sebagai putra asli Kabupaten Kuantan Singingi, akademisi, dan pengamat sosial, saya tertarik menganalisis fenomena ini dari sisi psikologi. Bagaimana psikologi memandang viralnya pacu jalur dari budaya daerah hingga menjadi tren global?

Kekuatan Psikologis di Balik Viralitas Dikha

Dalam psikologi, kita mengenal fenomena emotional resonance — bagaimana emosi seseorang bisa “menular” dan dirasakan orang lain. Dikha menari tanpa rasa takut, menunjukkan kebahagiaan, dan menyalurkan energi positif yang kuat. Penonton tanpa sadar ikut merasakan semangatnya, menciptakan keterhubungan emosional yang membuat video Dikha disukai dan dibagikan.

Selain itu, aksi Dikha mengandung unsur kejutan kognitif. Dalam teori kognitif, ini disebut novelty effect — respons otak yang kuat terhadap hal baru dan tak biasa. Menari di atas perahu yang melaju cepat sambil menjaga keseimbangan bukanlah hal lazim, apalagi dilakukan anak kecil. Ini menciptakan daya tarik visual dan kognitif yang kuat. Kondisi menari di atas perahu jalur yang melaju kencang menjadi unik, dan kemampuan Dikha melakukannya dengan tenang, seimbang, tanpa jatuh, serta gerakan yang lentur dan indah, menunjukkan kondisi yang dalam psikologi disebut “flow”.

Baca Juga:  Berharap Tata Ruang Kota Sehat

Apa yang ditampilkan Dikha sangat mungkin merupakan wujud dari kondisi psikologis “flow”, istilah dari psikolog Mihaly Csikszentmihalyi. Dalam psikologi positif, flow adalah keadaan ketika seseorang sangat terlibat dalam aktivitasnya, merasa senang menjalaninya, dan tampil optimal tanpa merasa tertekan. Di tengah sorakan dan lajunya perahu, Dikha terlihat menikmati momen itu, bukan sekadar menunaikan tugas.

Flow hanya bisa dicapai jika seseorang memiliki kemampuan, keterlibatan emosional, dan motivasi intrinsik. Dikha tampak tidak sekadar ikut-ikutan tren, tetapi benar-benar menyatu dengan tarian dan lingkungan sekitarnya. Ini menunjukkan kematangan emosional dan fokus mental yang luar biasa di usianya.

Dikha juga menunjukkan kemampuan motorik dan regulasi diri yang tinggi. Menari di atas permukaan sempit, tidak stabil, dan bergerak cepat memerlukan koordinasi antara tubuh dan sistem saraf pusat yang sangat baik, yang disebut kontrol proprioseptif.

Lebih dari itu, Dikha memperlihatkan ketangguhan mental (mental toughness). Dalam situasi yang secara sosial dan fisik penuh tekanan — dikerumuni orang, di atas perahu bergoyang, dan di bawah ekspektasi publik — ia tidak hanya bertahan, tetapi tampil ekspresif. Ia menari santai, seolah tak terganggu. Di usianya, ini adalah indikator awal kecerdasan emosi dan rasa percaya diri yang kuat.

Dampak Global dan Pesan Ketulusan

Hal penting dari fenomena ini adalah bagaimana budaya lokal berpadu dengan tren digital global. Pacu jalur adalah warisan budaya masyarakat Melayu Riau, sedangkan “Aura Farming Challenge” adalah tren tarian dari TikTok. Dikha, tanpa disadari, menyatukan dua dunia: lokal dan global. Ini yang dalam kajian media disebut sebagai glokalisasi — lokalisasi tren global dalam bentuk budaya lokal.

Baca Juga:  Rusak Parah, PUPR Perbaiki Jembatan Gantung

Fenomena seperti ini tidak hanya membuat budaya lokal tetap hidup, tetapi juga mendekatkannya dengan generasi muda. Ketika seorang anak kecil membawakan budaya dengan cara orisinal dan menyenangkan, audiens digital merasa terhubung. Mereka tak hanya menonton, tetapi merasa ikut serta dalam pengalaman budaya tersebut.

Viralnya Dikha membawa efek domino positif baginya dan masyarakat Kuansing. Dikha mendapatkan bonus Rp20 juta dari Gubernur Riau dan dianugerahi Duta Wisata Riau. Ia juga diundang ke acara televisi swasta nasional dan Kementerian Pariwisata. Dampak signifikan bagi masyarakat Kuansing adalah perbaikan jalan dari Pekanbaru ke Kuansing oleh pemerintah provinsi, demi kelancaran dan kenyamanan masyarakat yang ingin menonton pacu jalur. Bahkan rapper asal Amerika Serikat, Melly Mike, yang lagu hit-nya “Young Black and Rich” menjadi latar viral video Dikha, dijadwalkan tampil langsung pada penutupan festival di Tepian Narosa, Telukkuantan, 20–24 Agustus 2025 mendatang.

Dikha tidak sedang menciptakan sensasi. Ia hanya menjadi dirinya sendiri, menari dengan gembira, dan menunjukkan semangat tanpa rekayasa. Justru di sanalah letak kekuatannya. Keviralan Dikha adalah cerminan dari kerinduan kita pada ketulusan, keberanian, dan kebahagiaan sederhana.

Dari sudut pandang psikologi, kisah ini memperlihatkan bagaimana emosi, ekspresi otentik, dan daya tarik visual-fisik bisa menciptakan keterhubungan kolektif. Kita semua terhubung karena merasa tersentuh oleh energi positif seorang anak kampung yang menari di atas air, dengan semangat murni dan tulus.

Dari Kuantan Singingi, Dikha telah menari bukan hanya di atas perahu, tetapi di atas kesadaran kita semua bahwa dalam dunia yang penuh kepalsuan, keaslian adalah cahaya yang paling terang.***

 

Fikri, Dekan dan Dosen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau

SOSOK Rayyan Arkhan Dikha, bocah 11 tahun dari Kuantan Singingi, Riau, mendadak viral di jagat maya. Bukan sebagai artis atau atlet, melainkan karena aksinya menari penuh semangat di atas perahu pacu jalur yang melaju cepat dalam “Aura Farming Challenge”. Wajah ceria, tubuh lincah, serta semangat menarinya bukan hanya menarik visual, tetapi juga menyentuh emosi penonton. Apa yang Dikha lakukan jauh lebih dari sekadar “konten lucu”; ia memperlihatkan kombinasi kekuatan psikologis, otentisitas ekspresi, dan daya tarik emosional yang kuat, menjadikannya viral secara psikologis.

Viralitas ini juga didukung oleh tokoh nasional seperti presiden dan wakil presiden Indonesia yang membuat video animasi tentang pacu jalur, serta artis Luna Maya yang turut membuat konten “Aura Farming Challenge” yang diikuti masyarakat Indonesia secara massal. Fenomena ini bahkan mendunia ketika Paris Saint Germain (PSG), AC Milan, atlet NFL Travis Kelce, Bradley Barcola, dan Neymar mengunggah gerakan serupa di akun resmi mereka. Fernando Alonso (F1) dan Diego Luna (pesepak bola AS) juga disebut-sebut ikut tren ini di luar negeri.

Sebagai putra asli Kabupaten Kuantan Singingi, akademisi, dan pengamat sosial, saya tertarik menganalisis fenomena ini dari sisi psikologi. Bagaimana psikologi memandang viralnya pacu jalur dari budaya daerah hingga menjadi tren global?

Kekuatan Psikologis di Balik Viralitas Dikha

Dalam psikologi, kita mengenal fenomena emotional resonance — bagaimana emosi seseorang bisa “menular” dan dirasakan orang lain. Dikha menari tanpa rasa takut, menunjukkan kebahagiaan, dan menyalurkan energi positif yang kuat. Penonton tanpa sadar ikut merasakan semangatnya, menciptakan keterhubungan emosional yang membuat video Dikha disukai dan dibagikan.

- Advertisement -

Selain itu, aksi Dikha mengandung unsur kejutan kognitif. Dalam teori kognitif, ini disebut novelty effect — respons otak yang kuat terhadap hal baru dan tak biasa. Menari di atas perahu yang melaju cepat sambil menjaga keseimbangan bukanlah hal lazim, apalagi dilakukan anak kecil. Ini menciptakan daya tarik visual dan kognitif yang kuat. Kondisi menari di atas perahu jalur yang melaju kencang menjadi unik, dan kemampuan Dikha melakukannya dengan tenang, seimbang, tanpa jatuh, serta gerakan yang lentur dan indah, menunjukkan kondisi yang dalam psikologi disebut “flow”.

Baca Juga:  Tim Ekspedisi Dibawa Menyaksikan Pacu Jalur Pangean

Apa yang ditampilkan Dikha sangat mungkin merupakan wujud dari kondisi psikologis “flow”, istilah dari psikolog Mihaly Csikszentmihalyi. Dalam psikologi positif, flow adalah keadaan ketika seseorang sangat terlibat dalam aktivitasnya, merasa senang menjalaninya, dan tampil optimal tanpa merasa tertekan. Di tengah sorakan dan lajunya perahu, Dikha terlihat menikmati momen itu, bukan sekadar menunaikan tugas.

- Advertisement -

Flow hanya bisa dicapai jika seseorang memiliki kemampuan, keterlibatan emosional, dan motivasi intrinsik. Dikha tampak tidak sekadar ikut-ikutan tren, tetapi benar-benar menyatu dengan tarian dan lingkungan sekitarnya. Ini menunjukkan kematangan emosional dan fokus mental yang luar biasa di usianya.

Dikha juga menunjukkan kemampuan motorik dan regulasi diri yang tinggi. Menari di atas permukaan sempit, tidak stabil, dan bergerak cepat memerlukan koordinasi antara tubuh dan sistem saraf pusat yang sangat baik, yang disebut kontrol proprioseptif.

Lebih dari itu, Dikha memperlihatkan ketangguhan mental (mental toughness). Dalam situasi yang secara sosial dan fisik penuh tekanan — dikerumuni orang, di atas perahu bergoyang, dan di bawah ekspektasi publik — ia tidak hanya bertahan, tetapi tampil ekspresif. Ia menari santai, seolah tak terganggu. Di usianya, ini adalah indikator awal kecerdasan emosi dan rasa percaya diri yang kuat.

Dampak Global dan Pesan Ketulusan

Hal penting dari fenomena ini adalah bagaimana budaya lokal berpadu dengan tren digital global. Pacu jalur adalah warisan budaya masyarakat Melayu Riau, sedangkan “Aura Farming Challenge” adalah tren tarian dari TikTok. Dikha, tanpa disadari, menyatukan dua dunia: lokal dan global. Ini yang dalam kajian media disebut sebagai glokalisasi — lokalisasi tren global dalam bentuk budaya lokal.

Baca Juga:  Dikotomi Kemenkumham

Fenomena seperti ini tidak hanya membuat budaya lokal tetap hidup, tetapi juga mendekatkannya dengan generasi muda. Ketika seorang anak kecil membawakan budaya dengan cara orisinal dan menyenangkan, audiens digital merasa terhubung. Mereka tak hanya menonton, tetapi merasa ikut serta dalam pengalaman budaya tersebut.

Viralnya Dikha membawa efek domino positif baginya dan masyarakat Kuansing. Dikha mendapatkan bonus Rp20 juta dari Gubernur Riau dan dianugerahi Duta Wisata Riau. Ia juga diundang ke acara televisi swasta nasional dan Kementerian Pariwisata. Dampak signifikan bagi masyarakat Kuansing adalah perbaikan jalan dari Pekanbaru ke Kuansing oleh pemerintah provinsi, demi kelancaran dan kenyamanan masyarakat yang ingin menonton pacu jalur. Bahkan rapper asal Amerika Serikat, Melly Mike, yang lagu hit-nya “Young Black and Rich” menjadi latar viral video Dikha, dijadwalkan tampil langsung pada penutupan festival di Tepian Narosa, Telukkuantan, 20–24 Agustus 2025 mendatang.

Dikha tidak sedang menciptakan sensasi. Ia hanya menjadi dirinya sendiri, menari dengan gembira, dan menunjukkan semangat tanpa rekayasa. Justru di sanalah letak kekuatannya. Keviralan Dikha adalah cerminan dari kerinduan kita pada ketulusan, keberanian, dan kebahagiaan sederhana.

Dari sudut pandang psikologi, kisah ini memperlihatkan bagaimana emosi, ekspresi otentik, dan daya tarik visual-fisik bisa menciptakan keterhubungan kolektif. Kita semua terhubung karena merasa tersentuh oleh energi positif seorang anak kampung yang menari di atas air, dengan semangat murni dan tulus.

Dari Kuantan Singingi, Dikha telah menari bukan hanya di atas perahu, tetapi di atas kesadaran kita semua bahwa dalam dunia yang penuh kepalsuan, keaslian adalah cahaya yang paling terang.***

 

Fikri, Dekan dan Dosen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos
spot_img

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

SOSOK Rayyan Arkhan Dikha, bocah 11 tahun dari Kuantan Singingi, Riau, mendadak viral di jagat maya. Bukan sebagai artis atau atlet, melainkan karena aksinya menari penuh semangat di atas perahu pacu jalur yang melaju cepat dalam “Aura Farming Challenge”. Wajah ceria, tubuh lincah, serta semangat menarinya bukan hanya menarik visual, tetapi juga menyentuh emosi penonton. Apa yang Dikha lakukan jauh lebih dari sekadar “konten lucu”; ia memperlihatkan kombinasi kekuatan psikologis, otentisitas ekspresi, dan daya tarik emosional yang kuat, menjadikannya viral secara psikologis.

Viralitas ini juga didukung oleh tokoh nasional seperti presiden dan wakil presiden Indonesia yang membuat video animasi tentang pacu jalur, serta artis Luna Maya yang turut membuat konten “Aura Farming Challenge” yang diikuti masyarakat Indonesia secara massal. Fenomena ini bahkan mendunia ketika Paris Saint Germain (PSG), AC Milan, atlet NFL Travis Kelce, Bradley Barcola, dan Neymar mengunggah gerakan serupa di akun resmi mereka. Fernando Alonso (F1) dan Diego Luna (pesepak bola AS) juga disebut-sebut ikut tren ini di luar negeri.

Sebagai putra asli Kabupaten Kuantan Singingi, akademisi, dan pengamat sosial, saya tertarik menganalisis fenomena ini dari sisi psikologi. Bagaimana psikologi memandang viralnya pacu jalur dari budaya daerah hingga menjadi tren global?

Kekuatan Psikologis di Balik Viralitas Dikha

Dalam psikologi, kita mengenal fenomena emotional resonance — bagaimana emosi seseorang bisa “menular” dan dirasakan orang lain. Dikha menari tanpa rasa takut, menunjukkan kebahagiaan, dan menyalurkan energi positif yang kuat. Penonton tanpa sadar ikut merasakan semangatnya, menciptakan keterhubungan emosional yang membuat video Dikha disukai dan dibagikan.

Selain itu, aksi Dikha mengandung unsur kejutan kognitif. Dalam teori kognitif, ini disebut novelty effect — respons otak yang kuat terhadap hal baru dan tak biasa. Menari di atas perahu yang melaju cepat sambil menjaga keseimbangan bukanlah hal lazim, apalagi dilakukan anak kecil. Ini menciptakan daya tarik visual dan kognitif yang kuat. Kondisi menari di atas perahu jalur yang melaju kencang menjadi unik, dan kemampuan Dikha melakukannya dengan tenang, seimbang, tanpa jatuh, serta gerakan yang lentur dan indah, menunjukkan kondisi yang dalam psikologi disebut “flow”.

Baca Juga:  Delapan Jalur Masuk Hari Final, Tuan Rumah Mendominasi

Apa yang ditampilkan Dikha sangat mungkin merupakan wujud dari kondisi psikologis “flow”, istilah dari psikolog Mihaly Csikszentmihalyi. Dalam psikologi positif, flow adalah keadaan ketika seseorang sangat terlibat dalam aktivitasnya, merasa senang menjalaninya, dan tampil optimal tanpa merasa tertekan. Di tengah sorakan dan lajunya perahu, Dikha terlihat menikmati momen itu, bukan sekadar menunaikan tugas.

Flow hanya bisa dicapai jika seseorang memiliki kemampuan, keterlibatan emosional, dan motivasi intrinsik. Dikha tampak tidak sekadar ikut-ikutan tren, tetapi benar-benar menyatu dengan tarian dan lingkungan sekitarnya. Ini menunjukkan kematangan emosional dan fokus mental yang luar biasa di usianya.

Dikha juga menunjukkan kemampuan motorik dan regulasi diri yang tinggi. Menari di atas permukaan sempit, tidak stabil, dan bergerak cepat memerlukan koordinasi antara tubuh dan sistem saraf pusat yang sangat baik, yang disebut kontrol proprioseptif.

Lebih dari itu, Dikha memperlihatkan ketangguhan mental (mental toughness). Dalam situasi yang secara sosial dan fisik penuh tekanan — dikerumuni orang, di atas perahu bergoyang, dan di bawah ekspektasi publik — ia tidak hanya bertahan, tetapi tampil ekspresif. Ia menari santai, seolah tak terganggu. Di usianya, ini adalah indikator awal kecerdasan emosi dan rasa percaya diri yang kuat.

Dampak Global dan Pesan Ketulusan

Hal penting dari fenomena ini adalah bagaimana budaya lokal berpadu dengan tren digital global. Pacu jalur adalah warisan budaya masyarakat Melayu Riau, sedangkan “Aura Farming Challenge” adalah tren tarian dari TikTok. Dikha, tanpa disadari, menyatukan dua dunia: lokal dan global. Ini yang dalam kajian media disebut sebagai glokalisasi — lokalisasi tren global dalam bentuk budaya lokal.

Baca Juga:  Masa Depan Pendidikan Anak Negeri

Fenomena seperti ini tidak hanya membuat budaya lokal tetap hidup, tetapi juga mendekatkannya dengan generasi muda. Ketika seorang anak kecil membawakan budaya dengan cara orisinal dan menyenangkan, audiens digital merasa terhubung. Mereka tak hanya menonton, tetapi merasa ikut serta dalam pengalaman budaya tersebut.

Viralnya Dikha membawa efek domino positif baginya dan masyarakat Kuansing. Dikha mendapatkan bonus Rp20 juta dari Gubernur Riau dan dianugerahi Duta Wisata Riau. Ia juga diundang ke acara televisi swasta nasional dan Kementerian Pariwisata. Dampak signifikan bagi masyarakat Kuansing adalah perbaikan jalan dari Pekanbaru ke Kuansing oleh pemerintah provinsi, demi kelancaran dan kenyamanan masyarakat yang ingin menonton pacu jalur. Bahkan rapper asal Amerika Serikat, Melly Mike, yang lagu hit-nya “Young Black and Rich” menjadi latar viral video Dikha, dijadwalkan tampil langsung pada penutupan festival di Tepian Narosa, Telukkuantan, 20–24 Agustus 2025 mendatang.

Dikha tidak sedang menciptakan sensasi. Ia hanya menjadi dirinya sendiri, menari dengan gembira, dan menunjukkan semangat tanpa rekayasa. Justru di sanalah letak kekuatannya. Keviralan Dikha adalah cerminan dari kerinduan kita pada ketulusan, keberanian, dan kebahagiaan sederhana.

Dari sudut pandang psikologi, kisah ini memperlihatkan bagaimana emosi, ekspresi otentik, dan daya tarik visual-fisik bisa menciptakan keterhubungan kolektif. Kita semua terhubung karena merasa tersentuh oleh energi positif seorang anak kampung yang menari di atas air, dengan semangat murni dan tulus.

Dari Kuantan Singingi, Dikha telah menari bukan hanya di atas perahu, tetapi di atas kesadaran kita semua bahwa dalam dunia yang penuh kepalsuan, keaslian adalah cahaya yang paling terang.***

 

Fikri, Dekan dan Dosen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari