Selasa, 8 April 2025
spot_img

Hasan Supriyanto

Fenomena “Orang Dalam”

FENOMENA “orang dalam” terjadi dalam banyak aspek kehidupan. Tulisan ini mencoba membuka ruang pikir publik tentang fenomena “orang dalam” (ordal) dalam beberapa aspek. Orang dalam juga pernah menjadi salah satu isu yang mencuat saat debat calon presiden pada tahun 2024 lalu. Kala itu, disampaikan oleh salah seorang calon presiden yaitu Bapak Anies Baswedan. Disampaikan keprihatinannya akan fenomena orang dalam yang disebutnya sebagai ordal yang sudah masuk ke berbagai aspek.

Walaupun fenomena “orang dalam” saat ini barangkali sudah menjadi atau dianggap biasa. Bahkan beberapa pihak menganggap menjadi sebuah keharusan jika ingin mendapatkan “sesuatu” dari lingkaran atau pihak tertentu, termasuk lingkaran kekuasaan. Segala daya dan upaya pun akan dilakukan untuk menjadi bagian dari “orang dalam”. Jika pun tidak bisa menjadi orang dalam, akan diupayakan untuk bisa dekat atau bisa berkomunikasi dengan “orang dalam”.

Proses politik selama ini, baik pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden dan wakil presiden dan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah mengimplikasikan kemunculan “orang dalam”. Bahkan pemilihan anggota kabinet, pemilihan komisaris/direksi manajemen BUMN/BUMD, pemilihan tenaga ahli atau tim lainnya yang melekat pada tokoh politik atau kekuasaan juga terlihat sangat dominan variabel orang dalamnya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah fenomena ini termasuk salah atau keliru?

Jawabannya adalah sangat tergantung dari beberapa indikator baik indikator proses maupun indikator hasil. Salah satu indikatornya adalah kompetensi dan kapasitas dari “orang dalam” itu. Begitu juga bagaimana prosesnya karena beberapa proses pemilihan posisi tertentu sudah ditentukan dengan peraturan yang mengaturnya. Tetapi beberapa proses pemilihan yang lain terkadang tidak diatur dalam sebuah regulasi. Kalau pun ada sifatnya umum dan tidak teknis atau detail. Peraturan yang mengatur terkadang juga sebatas prosedur atau mekanisme. Pada titik atau fase tertentu indikator “orang dalam” atau faktor lain justru menjadi penentu.

Proses politik atau lebih keren disebut proses demokrasi menyebabkan banyak irisan yang mengikuti proses itu, khususnya bagi yang menang dan akhirnya menjabat. Mulai dari pengurus dan kader partai pengusung, tim pemenangan, tim kampanye, relawan, kelompok pendukung bahkan masyarakat biasa. Irisan inilah yang pada akhirnya merasa paling berjasa dalam proses pemenangan calon. Dan tentu saja ada harapan besar setelah menang untuk menjadi bagian dari tokoh politik yang didukungnya. Kalau harapan tersebut direspon dengan baik oleh tokoh politik yang didukungnya, maka bisa jadi pihak tersebut dapat disebut sebagai “orang dalam”.

Orang dalam yang dimaksud dapat juga dikatakan sebagai orang kepercayaan. Beberapa pihak mengatakan sebagai ring 1 atau bahkan ring 0,1. Pihak-pihak ini pada akhirnya akan menjadi magnet tersendiri bagi pihak lain untuk mendekatinya dalam rangka maksud tertentu. Tentu saja, sasaran utamanya adalah tokoh politik yang sudah dinyatakan berhasil atau menang. Tetapi untuk bisa ke sana, orang dalam ini menjadi penting untuk didekati. Berbagai cara dilakukan untuk dapat berkomunikasi dengan “orang dalam”.  Karena diyakini tanpa melalui “orang dalam” akan sulit untuk dapat berkomunikasi dengan tokoh yang dimaksud.

Baca Juga:  Ikhtiar dan Berdoa Hadapi Wabah

Indikasi tersebut sudah kelihatan dan terjadi ketika proses politik pemilu legislatif tahun 2024 lalu. Beberapa anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi lebih sulit dijumpai dan berkomunikasi. Penulis sendiri merasakan kondisi itu, padahal waktu proses pemilu, komunikasi sangat baik dan dapat dengan mudah dan cepat untuk bisa berjumpa. Namun setelah dilantik dan menjabat, komunikasi menjadi terbatas dan tidak leluasa, bahkan harus melalui “orang dalam”.

Bagaimana dengan kepala daerah? Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, situasi yang sama juga terjadi. Keberadaan dan kekuatan “orang dalam” akan menjadi penentu dalam banyak hal termasuk ketika berkomunikasi dan hendak bertemu.

Fenomena “orang dalam” juga terjadi pada banyak sektor tidak hanya penerimaan karyawan atau pegawai. Indikasinya dapat dilihat dari proses ketika masyarakat mengakses layanan publik. Keberadaan “orang dalam” juga memiliki pengaruh yang besar. Sehingga tidak mengherankan ketika banyak pihak yang akan berupaya keras untuk dapat bertemu dengan pihak yang diyakini sebagai “orang dalam”. Seakan-akan hampir tidak mungkin maksud yang akan ditujunya tercapai kalau tidak dibantu oleh “orang dalam”.

Tetapi patut disyukuri pada aspek dan bidang tertentu, pihak terkait masih konsisten dan tegas mengikuti peraturan yang ada dan tidak begitu terpengaruh besar dengan keberadaan “orang dalam”. Pelayanan publik tetap berjalan sesuai mekanisme dan prosedur yang sudah ditentukan. Pada kondisi ini, political will dari pimpinan institusi itu menjadi penting. Karena kalau terjadi juga fenomena orang dalam pada pelayanan  publik, maka banyak pihak yang terdzolimi dan teraniaya.

Jika diidentifikasi lebih lanjut fenomena ini, mungkin masih banyak lagi sektor publik lain yang sangat terkait dan terjadi dengan fenomena “orang dalam”. Namun tulisan ini tidak dalam rangka mengidentifikasi dan membedah satu per satu atau kasus per kasus. Karena menurut penulis, fenomena “orang dalam” ini sudah seperti gurita menyebar dengan cepat dan lekat. Jika tidak dikritisi dan diupayakan penyelesaiannya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap pihak-pihak yang justru seharusnya memberikan pelayanan secara adil kepada masyarakat.

Melalui tulisan ini, penulis mengusulkan beberapa hal agar fenomena “orang dalam” ini dapat berkurang dengan drastis. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, pihak-pihak yang memberikan layanan publik diharapkan membuat prosedur atau mekanisme layanan yang terbuka dan tentu saja didasarkan pada ketentuan yang ada. Prosedur atau mekanisme ini penting dalam rangka prinsip transparansi atau keterbukaan. Melalui prosedur dan mekanisme yang terbuka, diharapkan tidak ada pihak yang mengambil celah memanfaatkannya. Keterbukaan ini bisa dan harus dilakukan dengan banyak cara  termasuk penggunaan teknologi informasi. Sosialisasi tentang prosedur atau mekanisme yang sudah ditentukan juga menjadi penting untuk dilakukan.

Kedua, pelayanan publik dapat menggunakan teknologi informasi atau digital dalam memberikan pelayanannya. Masyarakat yang akan mengakses pelayanan dapat dengan mudah melakukannya, bisa dari rumah, dari kantor atau bahkan cukup menggunakan aplikasi tertentu. Penggunaan teknologi informasi ini sudah banyak dilakukan oleh instansi yang memberikan pelayanan publik. Namun tantangannya adalah bagaimana publik atau masyarakat tahu, mengerti dan dapat melakukannya. Karena pengetahuan dan keterampilan masyarakat sangat beragam dan berbeda yang linear dipengaruhi tingkat pendidikan, umur dan kemampuan ekonomi. Patut dipikirkan untuk penggunaan cara alternatif, tidak hanya penggunaan teknologi informasi.

Baca Juga:  Jika Anda Ingin Jadi Pemimpin

Ketiga, khusus untuk pejabat publik yang dipilih melalui proses politik seperti pemilu dan pilkada, patut diingat bahwa yang memilih itu adalah rakyat dalam arti luas. Bukan hanya tim pemenangan, kader partai pengusung, relawan dan lain-lain. Oleh sebab itu, kepentingan rakyat menjadi sasaran utama dalam pelaksanaan tugasnya. Tuntutan untuk memilih tim kerja yang profesional, kredibel dan amanah menjadi keniscayaan, tidak harus dari tim pemenangan atau lingkarannya. Karena tim kerja sangat berpengaruh ke kinerja dan akhirnya sangat berpengaruh pada kepercayaan rakyat.

Ajakan kepala daerah terpilih untuk secara bersama membangun daerah dan melupakan kontestasi politik yang sudah berlalu diharapkan tidak hanya jargon dan slogan. Tetapi benar-benar dilaksanakan dengan sepenuh hati. Karena kepala daerah yang sudah terpilih dan menjabat adalah milik bersama masyarakat di daerah itu. Tidak hanya milik kelompok atau golongan tertentu yang saat kontestasi menjadi tim pemenangan, kader partai pengusung, relawan dan lain-lain. Dan jangan sampai keberadaan orang dalam menjadi kontrapoduktif.

Keempat, masyarakat luas hendaknya kritis dan peduli jika menemukan praktik-praktik pelayanan publik yang tidak adil yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Karena  praktik “orang dalam” merupakan salah satu praktik menguntungkan pihak tertentu. Jika ditemukan fenomena ketidakadilan apalagi karena ada pengaruh “orang dalam”, dapat diadukan pada pihak terkait, seperti Ombudsman atau atasan langsung instansi tersebut.  Tentu saja dengan cukup bukti dan bukan fitnah. Jika memiliki bukti yang cukup dapat juga dipublikasikan ke publik. Sudah banyak kanal atau saluran yang bisa digunakan termasuk media sosial. Selain itu masyarakat juga tidak menggoda petugas untuk melakukan tindakan tidak adil dengan menghubungi pihak tertentu agar prosesnya lebih cepat dan sebagainya.

Kelima, pihak yang berwenang termasuk petugasnya dan dipercaya hendaknya berlaku adil dan tidak menyalahgunakan kewenangan dan kepercayaan itu. Pihak tersebut justru seharusnya membuktikan bahwa kewenangan dan kepercayaan yang diberikan itu menjadi modal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Cara membuktikannya adalah tetap berpedoman pada aturan main, tidak tergoda untuk berlaku tidak adil dan tetap terbuka dengan kritik dan masukan dari pihak lain.

Fenomena “orang dalam” dalam layanan publik dan hubungan lainnya dapat dikaitkan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena fenomena ini dapat menimbulkan korupsi, persekongkolan jahat, suap/gratifikasi dan kerugian negara. Semoga semangat yang digaungkan Presiden Prabowo dalam memberikan pelayanan yang prima dan adil ke masyarakat dapat terwujud tanpa harus terbelenggu dengan keberadaan “orang dalam”. Semoga.***

Hasan Supriyanto, Pemerhati Masalah Sosial Politik

 

 

FENOMENA “orang dalam” terjadi dalam banyak aspek kehidupan. Tulisan ini mencoba membuka ruang pikir publik tentang fenomena “orang dalam” (ordal) dalam beberapa aspek. Orang dalam juga pernah menjadi salah satu isu yang mencuat saat debat calon presiden pada tahun 2024 lalu. Kala itu, disampaikan oleh salah seorang calon presiden yaitu Bapak Anies Baswedan. Disampaikan keprihatinannya akan fenomena orang dalam yang disebutnya sebagai ordal yang sudah masuk ke berbagai aspek.

Walaupun fenomena “orang dalam” saat ini barangkali sudah menjadi atau dianggap biasa. Bahkan beberapa pihak menganggap menjadi sebuah keharusan jika ingin mendapatkan “sesuatu” dari lingkaran atau pihak tertentu, termasuk lingkaran kekuasaan. Segala daya dan upaya pun akan dilakukan untuk menjadi bagian dari “orang dalam”. Jika pun tidak bisa menjadi orang dalam, akan diupayakan untuk bisa dekat atau bisa berkomunikasi dengan “orang dalam”.

Proses politik selama ini, baik pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden dan wakil presiden dan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah mengimplikasikan kemunculan “orang dalam”. Bahkan pemilihan anggota kabinet, pemilihan komisaris/direksi manajemen BUMN/BUMD, pemilihan tenaga ahli atau tim lainnya yang melekat pada tokoh politik atau kekuasaan juga terlihat sangat dominan variabel orang dalamnya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah fenomena ini termasuk salah atau keliru?

Jawabannya adalah sangat tergantung dari beberapa indikator baik indikator proses maupun indikator hasil. Salah satu indikatornya adalah kompetensi dan kapasitas dari “orang dalam” itu. Begitu juga bagaimana prosesnya karena beberapa proses pemilihan posisi tertentu sudah ditentukan dengan peraturan yang mengaturnya. Tetapi beberapa proses pemilihan yang lain terkadang tidak diatur dalam sebuah regulasi. Kalau pun ada sifatnya umum dan tidak teknis atau detail. Peraturan yang mengatur terkadang juga sebatas prosedur atau mekanisme. Pada titik atau fase tertentu indikator “orang dalam” atau faktor lain justru menjadi penentu.

Proses politik atau lebih keren disebut proses demokrasi menyebabkan banyak irisan yang mengikuti proses itu, khususnya bagi yang menang dan akhirnya menjabat. Mulai dari pengurus dan kader partai pengusung, tim pemenangan, tim kampanye, relawan, kelompok pendukung bahkan masyarakat biasa. Irisan inilah yang pada akhirnya merasa paling berjasa dalam proses pemenangan calon. Dan tentu saja ada harapan besar setelah menang untuk menjadi bagian dari tokoh politik yang didukungnya. Kalau harapan tersebut direspon dengan baik oleh tokoh politik yang didukungnya, maka bisa jadi pihak tersebut dapat disebut sebagai “orang dalam”.

Orang dalam yang dimaksud dapat juga dikatakan sebagai orang kepercayaan. Beberapa pihak mengatakan sebagai ring 1 atau bahkan ring 0,1. Pihak-pihak ini pada akhirnya akan menjadi magnet tersendiri bagi pihak lain untuk mendekatinya dalam rangka maksud tertentu. Tentu saja, sasaran utamanya adalah tokoh politik yang sudah dinyatakan berhasil atau menang. Tetapi untuk bisa ke sana, orang dalam ini menjadi penting untuk didekati. Berbagai cara dilakukan untuk dapat berkomunikasi dengan “orang dalam”.  Karena diyakini tanpa melalui “orang dalam” akan sulit untuk dapat berkomunikasi dengan tokoh yang dimaksud.

Baca Juga:  Akhir Hayat Visi Riau 2020

Indikasi tersebut sudah kelihatan dan terjadi ketika proses politik pemilu legislatif tahun 2024 lalu. Beberapa anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi lebih sulit dijumpai dan berkomunikasi. Penulis sendiri merasakan kondisi itu, padahal waktu proses pemilu, komunikasi sangat baik dan dapat dengan mudah dan cepat untuk bisa berjumpa. Namun setelah dilantik dan menjabat, komunikasi menjadi terbatas dan tidak leluasa, bahkan harus melalui “orang dalam”.

Bagaimana dengan kepala daerah? Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, situasi yang sama juga terjadi. Keberadaan dan kekuatan “orang dalam” akan menjadi penentu dalam banyak hal termasuk ketika berkomunikasi dan hendak bertemu.

Fenomena “orang dalam” juga terjadi pada banyak sektor tidak hanya penerimaan karyawan atau pegawai. Indikasinya dapat dilihat dari proses ketika masyarakat mengakses layanan publik. Keberadaan “orang dalam” juga memiliki pengaruh yang besar. Sehingga tidak mengherankan ketika banyak pihak yang akan berupaya keras untuk dapat bertemu dengan pihak yang diyakini sebagai “orang dalam”. Seakan-akan hampir tidak mungkin maksud yang akan ditujunya tercapai kalau tidak dibantu oleh “orang dalam”.

Tetapi patut disyukuri pada aspek dan bidang tertentu, pihak terkait masih konsisten dan tegas mengikuti peraturan yang ada dan tidak begitu terpengaruh besar dengan keberadaan “orang dalam”. Pelayanan publik tetap berjalan sesuai mekanisme dan prosedur yang sudah ditentukan. Pada kondisi ini, political will dari pimpinan institusi itu menjadi penting. Karena kalau terjadi juga fenomena orang dalam pada pelayanan  publik, maka banyak pihak yang terdzolimi dan teraniaya.

Jika diidentifikasi lebih lanjut fenomena ini, mungkin masih banyak lagi sektor publik lain yang sangat terkait dan terjadi dengan fenomena “orang dalam”. Namun tulisan ini tidak dalam rangka mengidentifikasi dan membedah satu per satu atau kasus per kasus. Karena menurut penulis, fenomena “orang dalam” ini sudah seperti gurita menyebar dengan cepat dan lekat. Jika tidak dikritisi dan diupayakan penyelesaiannya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap pihak-pihak yang justru seharusnya memberikan pelayanan secara adil kepada masyarakat.

Melalui tulisan ini, penulis mengusulkan beberapa hal agar fenomena “orang dalam” ini dapat berkurang dengan drastis. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, pihak-pihak yang memberikan layanan publik diharapkan membuat prosedur atau mekanisme layanan yang terbuka dan tentu saja didasarkan pada ketentuan yang ada. Prosedur atau mekanisme ini penting dalam rangka prinsip transparansi atau keterbukaan. Melalui prosedur dan mekanisme yang terbuka, diharapkan tidak ada pihak yang mengambil celah memanfaatkannya. Keterbukaan ini bisa dan harus dilakukan dengan banyak cara  termasuk penggunaan teknologi informasi. Sosialisasi tentang prosedur atau mekanisme yang sudah ditentukan juga menjadi penting untuk dilakukan.

Kedua, pelayanan publik dapat menggunakan teknologi informasi atau digital dalam memberikan pelayanannya. Masyarakat yang akan mengakses pelayanan dapat dengan mudah melakukannya, bisa dari rumah, dari kantor atau bahkan cukup menggunakan aplikasi tertentu. Penggunaan teknologi informasi ini sudah banyak dilakukan oleh instansi yang memberikan pelayanan publik. Namun tantangannya adalah bagaimana publik atau masyarakat tahu, mengerti dan dapat melakukannya. Karena pengetahuan dan keterampilan masyarakat sangat beragam dan berbeda yang linear dipengaruhi tingkat pendidikan, umur dan kemampuan ekonomi. Patut dipikirkan untuk penggunaan cara alternatif, tidak hanya penggunaan teknologi informasi.

Baca Juga:  Posisi Presiden dalam Pemilihan Umum

Ketiga, khusus untuk pejabat publik yang dipilih melalui proses politik seperti pemilu dan pilkada, patut diingat bahwa yang memilih itu adalah rakyat dalam arti luas. Bukan hanya tim pemenangan, kader partai pengusung, relawan dan lain-lain. Oleh sebab itu, kepentingan rakyat menjadi sasaran utama dalam pelaksanaan tugasnya. Tuntutan untuk memilih tim kerja yang profesional, kredibel dan amanah menjadi keniscayaan, tidak harus dari tim pemenangan atau lingkarannya. Karena tim kerja sangat berpengaruh ke kinerja dan akhirnya sangat berpengaruh pada kepercayaan rakyat.

Ajakan kepala daerah terpilih untuk secara bersama membangun daerah dan melupakan kontestasi politik yang sudah berlalu diharapkan tidak hanya jargon dan slogan. Tetapi benar-benar dilaksanakan dengan sepenuh hati. Karena kepala daerah yang sudah terpilih dan menjabat adalah milik bersama masyarakat di daerah itu. Tidak hanya milik kelompok atau golongan tertentu yang saat kontestasi menjadi tim pemenangan, kader partai pengusung, relawan dan lain-lain. Dan jangan sampai keberadaan orang dalam menjadi kontrapoduktif.

Keempat, masyarakat luas hendaknya kritis dan peduli jika menemukan praktik-praktik pelayanan publik yang tidak adil yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Karena  praktik “orang dalam” merupakan salah satu praktik menguntungkan pihak tertentu. Jika ditemukan fenomena ketidakadilan apalagi karena ada pengaruh “orang dalam”, dapat diadukan pada pihak terkait, seperti Ombudsman atau atasan langsung instansi tersebut.  Tentu saja dengan cukup bukti dan bukan fitnah. Jika memiliki bukti yang cukup dapat juga dipublikasikan ke publik. Sudah banyak kanal atau saluran yang bisa digunakan termasuk media sosial. Selain itu masyarakat juga tidak menggoda petugas untuk melakukan tindakan tidak adil dengan menghubungi pihak tertentu agar prosesnya lebih cepat dan sebagainya.

Kelima, pihak yang berwenang termasuk petugasnya dan dipercaya hendaknya berlaku adil dan tidak menyalahgunakan kewenangan dan kepercayaan itu. Pihak tersebut justru seharusnya membuktikan bahwa kewenangan dan kepercayaan yang diberikan itu menjadi modal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Cara membuktikannya adalah tetap berpedoman pada aturan main, tidak tergoda untuk berlaku tidak adil dan tetap terbuka dengan kritik dan masukan dari pihak lain.

Fenomena “orang dalam” dalam layanan publik dan hubungan lainnya dapat dikaitkan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena fenomena ini dapat menimbulkan korupsi, persekongkolan jahat, suap/gratifikasi dan kerugian negara. Semoga semangat yang digaungkan Presiden Prabowo dalam memberikan pelayanan yang prima dan adil ke masyarakat dapat terwujud tanpa harus terbelenggu dengan keberadaan “orang dalam”. Semoga.***

Hasan Supriyanto, Pemerhati Masalah Sosial Politik

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos
spot_img

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

spot_img

Hasan Supriyanto

Fenomena “Orang Dalam”

FENOMENA “orang dalam” terjadi dalam banyak aspek kehidupan. Tulisan ini mencoba membuka ruang pikir publik tentang fenomena “orang dalam” (ordal) dalam beberapa aspek. Orang dalam juga pernah menjadi salah satu isu yang mencuat saat debat calon presiden pada tahun 2024 lalu. Kala itu, disampaikan oleh salah seorang calon presiden yaitu Bapak Anies Baswedan. Disampaikan keprihatinannya akan fenomena orang dalam yang disebutnya sebagai ordal yang sudah masuk ke berbagai aspek.

Walaupun fenomena “orang dalam” saat ini barangkali sudah menjadi atau dianggap biasa. Bahkan beberapa pihak menganggap menjadi sebuah keharusan jika ingin mendapatkan “sesuatu” dari lingkaran atau pihak tertentu, termasuk lingkaran kekuasaan. Segala daya dan upaya pun akan dilakukan untuk menjadi bagian dari “orang dalam”. Jika pun tidak bisa menjadi orang dalam, akan diupayakan untuk bisa dekat atau bisa berkomunikasi dengan “orang dalam”.

Proses politik selama ini, baik pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden dan wakil presiden dan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah mengimplikasikan kemunculan “orang dalam”. Bahkan pemilihan anggota kabinet, pemilihan komisaris/direksi manajemen BUMN/BUMD, pemilihan tenaga ahli atau tim lainnya yang melekat pada tokoh politik atau kekuasaan juga terlihat sangat dominan variabel orang dalamnya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah fenomena ini termasuk salah atau keliru?

Jawabannya adalah sangat tergantung dari beberapa indikator baik indikator proses maupun indikator hasil. Salah satu indikatornya adalah kompetensi dan kapasitas dari “orang dalam” itu. Begitu juga bagaimana prosesnya karena beberapa proses pemilihan posisi tertentu sudah ditentukan dengan peraturan yang mengaturnya. Tetapi beberapa proses pemilihan yang lain terkadang tidak diatur dalam sebuah regulasi. Kalau pun ada sifatnya umum dan tidak teknis atau detail. Peraturan yang mengatur terkadang juga sebatas prosedur atau mekanisme. Pada titik atau fase tertentu indikator “orang dalam” atau faktor lain justru menjadi penentu.

Proses politik atau lebih keren disebut proses demokrasi menyebabkan banyak irisan yang mengikuti proses itu, khususnya bagi yang menang dan akhirnya menjabat. Mulai dari pengurus dan kader partai pengusung, tim pemenangan, tim kampanye, relawan, kelompok pendukung bahkan masyarakat biasa. Irisan inilah yang pada akhirnya merasa paling berjasa dalam proses pemenangan calon. Dan tentu saja ada harapan besar setelah menang untuk menjadi bagian dari tokoh politik yang didukungnya. Kalau harapan tersebut direspon dengan baik oleh tokoh politik yang didukungnya, maka bisa jadi pihak tersebut dapat disebut sebagai “orang dalam”.

Orang dalam yang dimaksud dapat juga dikatakan sebagai orang kepercayaan. Beberapa pihak mengatakan sebagai ring 1 atau bahkan ring 0,1. Pihak-pihak ini pada akhirnya akan menjadi magnet tersendiri bagi pihak lain untuk mendekatinya dalam rangka maksud tertentu. Tentu saja, sasaran utamanya adalah tokoh politik yang sudah dinyatakan berhasil atau menang. Tetapi untuk bisa ke sana, orang dalam ini menjadi penting untuk didekati. Berbagai cara dilakukan untuk dapat berkomunikasi dengan “orang dalam”.  Karena diyakini tanpa melalui “orang dalam” akan sulit untuk dapat berkomunikasi dengan tokoh yang dimaksud.

Baca Juga:  Indonesia Hebat Bersama Umat

Indikasi tersebut sudah kelihatan dan terjadi ketika proses politik pemilu legislatif tahun 2024 lalu. Beberapa anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi lebih sulit dijumpai dan berkomunikasi. Penulis sendiri merasakan kondisi itu, padahal waktu proses pemilu, komunikasi sangat baik dan dapat dengan mudah dan cepat untuk bisa berjumpa. Namun setelah dilantik dan menjabat, komunikasi menjadi terbatas dan tidak leluasa, bahkan harus melalui “orang dalam”.

Bagaimana dengan kepala daerah? Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, situasi yang sama juga terjadi. Keberadaan dan kekuatan “orang dalam” akan menjadi penentu dalam banyak hal termasuk ketika berkomunikasi dan hendak bertemu.

Fenomena “orang dalam” juga terjadi pada banyak sektor tidak hanya penerimaan karyawan atau pegawai. Indikasinya dapat dilihat dari proses ketika masyarakat mengakses layanan publik. Keberadaan “orang dalam” juga memiliki pengaruh yang besar. Sehingga tidak mengherankan ketika banyak pihak yang akan berupaya keras untuk dapat bertemu dengan pihak yang diyakini sebagai “orang dalam”. Seakan-akan hampir tidak mungkin maksud yang akan ditujunya tercapai kalau tidak dibantu oleh “orang dalam”.

Tetapi patut disyukuri pada aspek dan bidang tertentu, pihak terkait masih konsisten dan tegas mengikuti peraturan yang ada dan tidak begitu terpengaruh besar dengan keberadaan “orang dalam”. Pelayanan publik tetap berjalan sesuai mekanisme dan prosedur yang sudah ditentukan. Pada kondisi ini, political will dari pimpinan institusi itu menjadi penting. Karena kalau terjadi juga fenomena orang dalam pada pelayanan  publik, maka banyak pihak yang terdzolimi dan teraniaya.

Jika diidentifikasi lebih lanjut fenomena ini, mungkin masih banyak lagi sektor publik lain yang sangat terkait dan terjadi dengan fenomena “orang dalam”. Namun tulisan ini tidak dalam rangka mengidentifikasi dan membedah satu per satu atau kasus per kasus. Karena menurut penulis, fenomena “orang dalam” ini sudah seperti gurita menyebar dengan cepat dan lekat. Jika tidak dikritisi dan diupayakan penyelesaiannya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap pihak-pihak yang justru seharusnya memberikan pelayanan secara adil kepada masyarakat.

Melalui tulisan ini, penulis mengusulkan beberapa hal agar fenomena “orang dalam” ini dapat berkurang dengan drastis. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, pihak-pihak yang memberikan layanan publik diharapkan membuat prosedur atau mekanisme layanan yang terbuka dan tentu saja didasarkan pada ketentuan yang ada. Prosedur atau mekanisme ini penting dalam rangka prinsip transparansi atau keterbukaan. Melalui prosedur dan mekanisme yang terbuka, diharapkan tidak ada pihak yang mengambil celah memanfaatkannya. Keterbukaan ini bisa dan harus dilakukan dengan banyak cara  termasuk penggunaan teknologi informasi. Sosialisasi tentang prosedur atau mekanisme yang sudah ditentukan juga menjadi penting untuk dilakukan.

Kedua, pelayanan publik dapat menggunakan teknologi informasi atau digital dalam memberikan pelayanannya. Masyarakat yang akan mengakses pelayanan dapat dengan mudah melakukannya, bisa dari rumah, dari kantor atau bahkan cukup menggunakan aplikasi tertentu. Penggunaan teknologi informasi ini sudah banyak dilakukan oleh instansi yang memberikan pelayanan publik. Namun tantangannya adalah bagaimana publik atau masyarakat tahu, mengerti dan dapat melakukannya. Karena pengetahuan dan keterampilan masyarakat sangat beragam dan berbeda yang linear dipengaruhi tingkat pendidikan, umur dan kemampuan ekonomi. Patut dipikirkan untuk penggunaan cara alternatif, tidak hanya penggunaan teknologi informasi.

Baca Juga:  Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia

Ketiga, khusus untuk pejabat publik yang dipilih melalui proses politik seperti pemilu dan pilkada, patut diingat bahwa yang memilih itu adalah rakyat dalam arti luas. Bukan hanya tim pemenangan, kader partai pengusung, relawan dan lain-lain. Oleh sebab itu, kepentingan rakyat menjadi sasaran utama dalam pelaksanaan tugasnya. Tuntutan untuk memilih tim kerja yang profesional, kredibel dan amanah menjadi keniscayaan, tidak harus dari tim pemenangan atau lingkarannya. Karena tim kerja sangat berpengaruh ke kinerja dan akhirnya sangat berpengaruh pada kepercayaan rakyat.

Ajakan kepala daerah terpilih untuk secara bersama membangun daerah dan melupakan kontestasi politik yang sudah berlalu diharapkan tidak hanya jargon dan slogan. Tetapi benar-benar dilaksanakan dengan sepenuh hati. Karena kepala daerah yang sudah terpilih dan menjabat adalah milik bersama masyarakat di daerah itu. Tidak hanya milik kelompok atau golongan tertentu yang saat kontestasi menjadi tim pemenangan, kader partai pengusung, relawan dan lain-lain. Dan jangan sampai keberadaan orang dalam menjadi kontrapoduktif.

Keempat, masyarakat luas hendaknya kritis dan peduli jika menemukan praktik-praktik pelayanan publik yang tidak adil yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Karena  praktik “orang dalam” merupakan salah satu praktik menguntungkan pihak tertentu. Jika ditemukan fenomena ketidakadilan apalagi karena ada pengaruh “orang dalam”, dapat diadukan pada pihak terkait, seperti Ombudsman atau atasan langsung instansi tersebut.  Tentu saja dengan cukup bukti dan bukan fitnah. Jika memiliki bukti yang cukup dapat juga dipublikasikan ke publik. Sudah banyak kanal atau saluran yang bisa digunakan termasuk media sosial. Selain itu masyarakat juga tidak menggoda petugas untuk melakukan tindakan tidak adil dengan menghubungi pihak tertentu agar prosesnya lebih cepat dan sebagainya.

Kelima, pihak yang berwenang termasuk petugasnya dan dipercaya hendaknya berlaku adil dan tidak menyalahgunakan kewenangan dan kepercayaan itu. Pihak tersebut justru seharusnya membuktikan bahwa kewenangan dan kepercayaan yang diberikan itu menjadi modal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Cara membuktikannya adalah tetap berpedoman pada aturan main, tidak tergoda untuk berlaku tidak adil dan tetap terbuka dengan kritik dan masukan dari pihak lain.

Fenomena “orang dalam” dalam layanan publik dan hubungan lainnya dapat dikaitkan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena fenomena ini dapat menimbulkan korupsi, persekongkolan jahat, suap/gratifikasi dan kerugian negara. Semoga semangat yang digaungkan Presiden Prabowo dalam memberikan pelayanan yang prima dan adil ke masyarakat dapat terwujud tanpa harus terbelenggu dengan keberadaan “orang dalam”. Semoga.***

Hasan Supriyanto, Pemerhati Masalah Sosial Politik

 

 

FENOMENA “orang dalam” terjadi dalam banyak aspek kehidupan. Tulisan ini mencoba membuka ruang pikir publik tentang fenomena “orang dalam” (ordal) dalam beberapa aspek. Orang dalam juga pernah menjadi salah satu isu yang mencuat saat debat calon presiden pada tahun 2024 lalu. Kala itu, disampaikan oleh salah seorang calon presiden yaitu Bapak Anies Baswedan. Disampaikan keprihatinannya akan fenomena orang dalam yang disebutnya sebagai ordal yang sudah masuk ke berbagai aspek.

Walaupun fenomena “orang dalam” saat ini barangkali sudah menjadi atau dianggap biasa. Bahkan beberapa pihak menganggap menjadi sebuah keharusan jika ingin mendapatkan “sesuatu” dari lingkaran atau pihak tertentu, termasuk lingkaran kekuasaan. Segala daya dan upaya pun akan dilakukan untuk menjadi bagian dari “orang dalam”. Jika pun tidak bisa menjadi orang dalam, akan diupayakan untuk bisa dekat atau bisa berkomunikasi dengan “orang dalam”.

Proses politik selama ini, baik pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden dan wakil presiden dan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah mengimplikasikan kemunculan “orang dalam”. Bahkan pemilihan anggota kabinet, pemilihan komisaris/direksi manajemen BUMN/BUMD, pemilihan tenaga ahli atau tim lainnya yang melekat pada tokoh politik atau kekuasaan juga terlihat sangat dominan variabel orang dalamnya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah fenomena ini termasuk salah atau keliru?

Jawabannya adalah sangat tergantung dari beberapa indikator baik indikator proses maupun indikator hasil. Salah satu indikatornya adalah kompetensi dan kapasitas dari “orang dalam” itu. Begitu juga bagaimana prosesnya karena beberapa proses pemilihan posisi tertentu sudah ditentukan dengan peraturan yang mengaturnya. Tetapi beberapa proses pemilihan yang lain terkadang tidak diatur dalam sebuah regulasi. Kalau pun ada sifatnya umum dan tidak teknis atau detail. Peraturan yang mengatur terkadang juga sebatas prosedur atau mekanisme. Pada titik atau fase tertentu indikator “orang dalam” atau faktor lain justru menjadi penentu.

Proses politik atau lebih keren disebut proses demokrasi menyebabkan banyak irisan yang mengikuti proses itu, khususnya bagi yang menang dan akhirnya menjabat. Mulai dari pengurus dan kader partai pengusung, tim pemenangan, tim kampanye, relawan, kelompok pendukung bahkan masyarakat biasa. Irisan inilah yang pada akhirnya merasa paling berjasa dalam proses pemenangan calon. Dan tentu saja ada harapan besar setelah menang untuk menjadi bagian dari tokoh politik yang didukungnya. Kalau harapan tersebut direspon dengan baik oleh tokoh politik yang didukungnya, maka bisa jadi pihak tersebut dapat disebut sebagai “orang dalam”.

Orang dalam yang dimaksud dapat juga dikatakan sebagai orang kepercayaan. Beberapa pihak mengatakan sebagai ring 1 atau bahkan ring 0,1. Pihak-pihak ini pada akhirnya akan menjadi magnet tersendiri bagi pihak lain untuk mendekatinya dalam rangka maksud tertentu. Tentu saja, sasaran utamanya adalah tokoh politik yang sudah dinyatakan berhasil atau menang. Tetapi untuk bisa ke sana, orang dalam ini menjadi penting untuk didekati. Berbagai cara dilakukan untuk dapat berkomunikasi dengan “orang dalam”.  Karena diyakini tanpa melalui “orang dalam” akan sulit untuk dapat berkomunikasi dengan tokoh yang dimaksud.

Baca Juga:  Indonesia Hebat Bersama Umat

Indikasi tersebut sudah kelihatan dan terjadi ketika proses politik pemilu legislatif tahun 2024 lalu. Beberapa anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi lebih sulit dijumpai dan berkomunikasi. Penulis sendiri merasakan kondisi itu, padahal waktu proses pemilu, komunikasi sangat baik dan dapat dengan mudah dan cepat untuk bisa berjumpa. Namun setelah dilantik dan menjabat, komunikasi menjadi terbatas dan tidak leluasa, bahkan harus melalui “orang dalam”.

Bagaimana dengan kepala daerah? Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, situasi yang sama juga terjadi. Keberadaan dan kekuatan “orang dalam” akan menjadi penentu dalam banyak hal termasuk ketika berkomunikasi dan hendak bertemu.

Fenomena “orang dalam” juga terjadi pada banyak sektor tidak hanya penerimaan karyawan atau pegawai. Indikasinya dapat dilihat dari proses ketika masyarakat mengakses layanan publik. Keberadaan “orang dalam” juga memiliki pengaruh yang besar. Sehingga tidak mengherankan ketika banyak pihak yang akan berupaya keras untuk dapat bertemu dengan pihak yang diyakini sebagai “orang dalam”. Seakan-akan hampir tidak mungkin maksud yang akan ditujunya tercapai kalau tidak dibantu oleh “orang dalam”.

Tetapi patut disyukuri pada aspek dan bidang tertentu, pihak terkait masih konsisten dan tegas mengikuti peraturan yang ada dan tidak begitu terpengaruh besar dengan keberadaan “orang dalam”. Pelayanan publik tetap berjalan sesuai mekanisme dan prosedur yang sudah ditentukan. Pada kondisi ini, political will dari pimpinan institusi itu menjadi penting. Karena kalau terjadi juga fenomena orang dalam pada pelayanan  publik, maka banyak pihak yang terdzolimi dan teraniaya.

Jika diidentifikasi lebih lanjut fenomena ini, mungkin masih banyak lagi sektor publik lain yang sangat terkait dan terjadi dengan fenomena “orang dalam”. Namun tulisan ini tidak dalam rangka mengidentifikasi dan membedah satu per satu atau kasus per kasus. Karena menurut penulis, fenomena “orang dalam” ini sudah seperti gurita menyebar dengan cepat dan lekat. Jika tidak dikritisi dan diupayakan penyelesaiannya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap pihak-pihak yang justru seharusnya memberikan pelayanan secara adil kepada masyarakat.

Melalui tulisan ini, penulis mengusulkan beberapa hal agar fenomena “orang dalam” ini dapat berkurang dengan drastis. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, pihak-pihak yang memberikan layanan publik diharapkan membuat prosedur atau mekanisme layanan yang terbuka dan tentu saja didasarkan pada ketentuan yang ada. Prosedur atau mekanisme ini penting dalam rangka prinsip transparansi atau keterbukaan. Melalui prosedur dan mekanisme yang terbuka, diharapkan tidak ada pihak yang mengambil celah memanfaatkannya. Keterbukaan ini bisa dan harus dilakukan dengan banyak cara  termasuk penggunaan teknologi informasi. Sosialisasi tentang prosedur atau mekanisme yang sudah ditentukan juga menjadi penting untuk dilakukan.

Kedua, pelayanan publik dapat menggunakan teknologi informasi atau digital dalam memberikan pelayanannya. Masyarakat yang akan mengakses pelayanan dapat dengan mudah melakukannya, bisa dari rumah, dari kantor atau bahkan cukup menggunakan aplikasi tertentu. Penggunaan teknologi informasi ini sudah banyak dilakukan oleh instansi yang memberikan pelayanan publik. Namun tantangannya adalah bagaimana publik atau masyarakat tahu, mengerti dan dapat melakukannya. Karena pengetahuan dan keterampilan masyarakat sangat beragam dan berbeda yang linear dipengaruhi tingkat pendidikan, umur dan kemampuan ekonomi. Patut dipikirkan untuk penggunaan cara alternatif, tidak hanya penggunaan teknologi informasi.

Baca Juga:  Membumikan Dosen

Ketiga, khusus untuk pejabat publik yang dipilih melalui proses politik seperti pemilu dan pilkada, patut diingat bahwa yang memilih itu adalah rakyat dalam arti luas. Bukan hanya tim pemenangan, kader partai pengusung, relawan dan lain-lain. Oleh sebab itu, kepentingan rakyat menjadi sasaran utama dalam pelaksanaan tugasnya. Tuntutan untuk memilih tim kerja yang profesional, kredibel dan amanah menjadi keniscayaan, tidak harus dari tim pemenangan atau lingkarannya. Karena tim kerja sangat berpengaruh ke kinerja dan akhirnya sangat berpengaruh pada kepercayaan rakyat.

Ajakan kepala daerah terpilih untuk secara bersama membangun daerah dan melupakan kontestasi politik yang sudah berlalu diharapkan tidak hanya jargon dan slogan. Tetapi benar-benar dilaksanakan dengan sepenuh hati. Karena kepala daerah yang sudah terpilih dan menjabat adalah milik bersama masyarakat di daerah itu. Tidak hanya milik kelompok atau golongan tertentu yang saat kontestasi menjadi tim pemenangan, kader partai pengusung, relawan dan lain-lain. Dan jangan sampai keberadaan orang dalam menjadi kontrapoduktif.

Keempat, masyarakat luas hendaknya kritis dan peduli jika menemukan praktik-praktik pelayanan publik yang tidak adil yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Karena  praktik “orang dalam” merupakan salah satu praktik menguntungkan pihak tertentu. Jika ditemukan fenomena ketidakadilan apalagi karena ada pengaruh “orang dalam”, dapat diadukan pada pihak terkait, seperti Ombudsman atau atasan langsung instansi tersebut.  Tentu saja dengan cukup bukti dan bukan fitnah. Jika memiliki bukti yang cukup dapat juga dipublikasikan ke publik. Sudah banyak kanal atau saluran yang bisa digunakan termasuk media sosial. Selain itu masyarakat juga tidak menggoda petugas untuk melakukan tindakan tidak adil dengan menghubungi pihak tertentu agar prosesnya lebih cepat dan sebagainya.

Kelima, pihak yang berwenang termasuk petugasnya dan dipercaya hendaknya berlaku adil dan tidak menyalahgunakan kewenangan dan kepercayaan itu. Pihak tersebut justru seharusnya membuktikan bahwa kewenangan dan kepercayaan yang diberikan itu menjadi modal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Cara membuktikannya adalah tetap berpedoman pada aturan main, tidak tergoda untuk berlaku tidak adil dan tetap terbuka dengan kritik dan masukan dari pihak lain.

Fenomena “orang dalam” dalam layanan publik dan hubungan lainnya dapat dikaitkan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena fenomena ini dapat menimbulkan korupsi, persekongkolan jahat, suap/gratifikasi dan kerugian negara. Semoga semangat yang digaungkan Presiden Prabowo dalam memberikan pelayanan yang prima dan adil ke masyarakat dapat terwujud tanpa harus terbelenggu dengan keberadaan “orang dalam”. Semoga.***

Hasan Supriyanto, Pemerhati Masalah Sosial Politik

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari