Senin, 3 Juni 2024

Akhir Hayat Visi Riau 2020

Tanpa terasa waktu berjalan dan masa bergulir tiada perduli pada sesiapa yang ada. Di fase awal reformasi, Riau yang tidak ingin menjadi provinsi “kaleng-kaleng”, bercita-cita ingin menjadi provinsi terkemuka. Untuk merealisasinya maka dimulai dengan menentukan provinsi seperti apa dan masyarakat yang bagaimana yang akan diwujudkan paling tidak selama dua puluh tahun mendatang. Lalu dirumuskanlah sebuah visi ke depan yang setelah melakukan perdebatan panjang dituangkan dalam Perda No36/2001 yang berbunyi; Terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan bathin di Asia Tenggara Tahun 2020.
Lalu apa yang terjadi ketika kini Riau telah memasuki gerbang waktu tahun 2020? Terwujudkah visi dan misi yang dulu dicetuskan? Sepertinya jauh panggang dari api. Sejak lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Riau justru berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2019 ini saja pertumbuhan ekonomi Riau hanya 2,74 persen. Jauh dibawah pertumbuhan ekonomi Sumatera yang mampu tumbuh sebesar 4,49 persen. Apalagi jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang tumbuh sebesar 5,02 persen. Jangankan menjadi pusat perekonomian di Asia Tenggara menjadi lebih baik di Sumatera saja Riau tidak mampu. Sangat kontradiktif sekali ketika bercita-cita ingin menjadi semakin baik lalu yang terjadi malah semakin buruk. Ketika Visi Riau 2020 dicetuskan pertumbuhan ekonomi Riau justru jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. 
Lebih parah lagi, walaupun sudah dua puluh tahun berjalan tingkat kemandirian daerah di Riau belumlah baik. Meskipun mengalami perbaikan namun prosentasenya masih rendah. Pada tahun 2001 tingkat kemandirian daerah pemerintah Provinsi Riau  hanya sebesar 25,58 persen. Sedangkan pada tahun 2018 naik menjadi 42,92 persen. Artinya, kucuran dana yang mencapai ratusan triliun belum mampu membuat Riau berdiri tegak atas kemampuan sendiri. Masih terdapat 490.720 jiwa penduduk miskin atau 7,08 persen di mana 314.790 jiwa diantaranya hidup di pedesaan. Tingkat pengangguran terbuka 5,97 persen yang merupakan nomor tiga tertinggi di Sumatera setelah Kepri dan Aceh. Lapangan pekerjaan utama penduduk adalah di sektor pertanian yakni 37,88 persen dan profesi utama yang dominan adalah sebagai buruh atau karyawan yang mencapai 43,41 persen. Parahnya lagi adalah kisaran tingkat inflasi yang masih cukup tinggi yakni mencapai 4,02 persen. Dengan Nilai Tambah Petani (NTP) yang rendah keadaan tersebut akan semakin memperdalam dan memperparah kemiskinan rakyat.
Lalu mengapa semua itu bisa terjadi? Pertama, sejak otonomi dan desntralisasi fiskal diterapkan semakin tidak terjadi sinergi kebijakan pembangunan di Riau. Antara provinsi dan kabupaten kota tidak membangun suatu kesepahaman pembangunan bersama yang akan mengungkit kesejahterraan rakyat secara lebih kuat. Masing-masing bergerak secara parsial sehingga multiplier effect nya rendah dan pembangunan daerah tidak berlansung secara holistic. Kedua, Riau tidak kunjung terlepas dari ketergantungan terhadap alam dan segala isinya. Eksploitasinya dilakukan secara berlebihan dan tanpa pengawasan yang tegas. Muaranya adalah kerusakan lingkungan, baik karena Peti dan karhutla. Tidak ada kesadaran bersama untuk membangun inovasi dan kreativitas tanpa merusak alam. Justru dengan bernuansakan irama politik yang tercipta adalah memenuhi keinginan jangka pendek yang mengharu-birukan. 
Ketiga, uang yang diperoleh dari kebijakan otonomi dan desentralisasi tidak digunakan dengan baik. Seakan-akan uang itu tidak memperoleh berkah. Dana sekitar Rp670 triliun yang sudah dicurahkan ke Riau tidak menghasilkan output pembangunan yang bermanfaat tinggi. Marginal cost-nya ternyata lebih tinggi dari marginal revenue-nya. Oleh karena itu tidak mampu mengungkin kesejahteraan rakyat secara signifikan. Pemanfaatan dana tidak diarahkan pada ekonomi kesejahteraan. Arahnya lebih kepada pencitraan dan lebih bernuansa “penggelapan” oleh aparatur pelaksana. Sampai saat ini persoalan transportasi dan air bersih, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan tidak terselesaikan secara memadai dan tepat. Listrik pun masih mengandung masalah yang tak kunjung usai.
Keempat, orientasi pembangunan sumber daya manusia tidak dilakukan secara sistematis dan tepat sasaran. Ada beasiswa untuk generasi penerus namun arah pemberianya tidak pada kebutuhan sumberdaya manusia seperti apa yang perlu dipacu agar Riau kian berkhidmat pada kemajuan manusia seutuhnya. Pendidikan tinggi kurang disentuh hanya atas dasar berlainan kewenangan. Riset-riset unggulan tidak diciptakan untuk membangun inovasi masyarakat dan kewirausahaannya. 
Kelima, pintu gerbang ekonomi dunia yang menganga di Riau tidak dimanfaatkan untuk melakukan diversifikasi nilai tambah ekonomi. Ketergantungan ekonomi pada ekspor komoditas telah menyebabkan ekonomi Riau sangat rentan oleh dinamika ekonomi global. Sawit dan karet serta komoditas pertambangan tidak bisa diandalkan dalam jangka panjang untuk mengurai ketergantungan. Harus ada inovasi untuk menggarap sektor-sektor sekunder dan tersier secara lebih terencana dan serius. Bila tidak maka Riau tetap saja akan menjadi “bulan-bulanan” asing dan aseng. 
Gapura tahun 2020 telah dibuka dan Riau mau atau tidak harus melangkah ke dalamnya. Akhir hayat Visi Riau 2020 telah tiba. Mimpi itu ternyata terlalu indah. Begitu lama terlena dengan mimpi itu sehingga Riau bukannya menjadi vocal point Asia Tenggara, malah menjadi bincit di Sumatera. Bagaimanapun, kita harus tetap membangun cita-cita. Tidak sepantasnya mengulang kesalahan. Itu hanya membuat kita jadi Keledai. Merumuskan harapan adalah sebuah kepatutan dan menggapai harapan adalah sebuah keharusan. Semua itu memerlukan kebersamaan bukan sekadar kepentingan kawan-kawan. Segeralah berbenah. Ontah lah yuang.***
Baca Juga:  Puasa tanpa Kesan
Tanpa terasa waktu berjalan dan masa bergulir tiada perduli pada sesiapa yang ada. Di fase awal reformasi, Riau yang tidak ingin menjadi provinsi “kaleng-kaleng”, bercita-cita ingin menjadi provinsi terkemuka. Untuk merealisasinya maka dimulai dengan menentukan provinsi seperti apa dan masyarakat yang bagaimana yang akan diwujudkan paling tidak selama dua puluh tahun mendatang. Lalu dirumuskanlah sebuah visi ke depan yang setelah melakukan perdebatan panjang dituangkan dalam Perda No36/2001 yang berbunyi; Terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan bathin di Asia Tenggara Tahun 2020.
Lalu apa yang terjadi ketika kini Riau telah memasuki gerbang waktu tahun 2020? Terwujudkah visi dan misi yang dulu dicetuskan? Sepertinya jauh panggang dari api. Sejak lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Riau justru berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2019 ini saja pertumbuhan ekonomi Riau hanya 2,74 persen. Jauh dibawah pertumbuhan ekonomi Sumatera yang mampu tumbuh sebesar 4,49 persen. Apalagi jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang tumbuh sebesar 5,02 persen. Jangankan menjadi pusat perekonomian di Asia Tenggara menjadi lebih baik di Sumatera saja Riau tidak mampu. Sangat kontradiktif sekali ketika bercita-cita ingin menjadi semakin baik lalu yang terjadi malah semakin buruk. Ketika Visi Riau 2020 dicetuskan pertumbuhan ekonomi Riau justru jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. 
Lebih parah lagi, walaupun sudah dua puluh tahun berjalan tingkat kemandirian daerah di Riau belumlah baik. Meskipun mengalami perbaikan namun prosentasenya masih rendah. Pada tahun 2001 tingkat kemandirian daerah pemerintah Provinsi Riau  hanya sebesar 25,58 persen. Sedangkan pada tahun 2018 naik menjadi 42,92 persen. Artinya, kucuran dana yang mencapai ratusan triliun belum mampu membuat Riau berdiri tegak atas kemampuan sendiri. Masih terdapat 490.720 jiwa penduduk miskin atau 7,08 persen di mana 314.790 jiwa diantaranya hidup di pedesaan. Tingkat pengangguran terbuka 5,97 persen yang merupakan nomor tiga tertinggi di Sumatera setelah Kepri dan Aceh. Lapangan pekerjaan utama penduduk adalah di sektor pertanian yakni 37,88 persen dan profesi utama yang dominan adalah sebagai buruh atau karyawan yang mencapai 43,41 persen. Parahnya lagi adalah kisaran tingkat inflasi yang masih cukup tinggi yakni mencapai 4,02 persen. Dengan Nilai Tambah Petani (NTP) yang rendah keadaan tersebut akan semakin memperdalam dan memperparah kemiskinan rakyat.
Lalu mengapa semua itu bisa terjadi? Pertama, sejak otonomi dan desntralisasi fiskal diterapkan semakin tidak terjadi sinergi kebijakan pembangunan di Riau. Antara provinsi dan kabupaten kota tidak membangun suatu kesepahaman pembangunan bersama yang akan mengungkit kesejahterraan rakyat secara lebih kuat. Masing-masing bergerak secara parsial sehingga multiplier effect nya rendah dan pembangunan daerah tidak berlansung secara holistic. Kedua, Riau tidak kunjung terlepas dari ketergantungan terhadap alam dan segala isinya. Eksploitasinya dilakukan secara berlebihan dan tanpa pengawasan yang tegas. Muaranya adalah kerusakan lingkungan, baik karena Peti dan karhutla. Tidak ada kesadaran bersama untuk membangun inovasi dan kreativitas tanpa merusak alam. Justru dengan bernuansakan irama politik yang tercipta adalah memenuhi keinginan jangka pendek yang mengharu-birukan. 
Ketiga, uang yang diperoleh dari kebijakan otonomi dan desentralisasi tidak digunakan dengan baik. Seakan-akan uang itu tidak memperoleh berkah. Dana sekitar Rp670 triliun yang sudah dicurahkan ke Riau tidak menghasilkan output pembangunan yang bermanfaat tinggi. Marginal cost-nya ternyata lebih tinggi dari marginal revenue-nya. Oleh karena itu tidak mampu mengungkin kesejahteraan rakyat secara signifikan. Pemanfaatan dana tidak diarahkan pada ekonomi kesejahteraan. Arahnya lebih kepada pencitraan dan lebih bernuansa “penggelapan” oleh aparatur pelaksana. Sampai saat ini persoalan transportasi dan air bersih, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan tidak terselesaikan secara memadai dan tepat. Listrik pun masih mengandung masalah yang tak kunjung usai.
Keempat, orientasi pembangunan sumber daya manusia tidak dilakukan secara sistematis dan tepat sasaran. Ada beasiswa untuk generasi penerus namun arah pemberianya tidak pada kebutuhan sumberdaya manusia seperti apa yang perlu dipacu agar Riau kian berkhidmat pada kemajuan manusia seutuhnya. Pendidikan tinggi kurang disentuh hanya atas dasar berlainan kewenangan. Riset-riset unggulan tidak diciptakan untuk membangun inovasi masyarakat dan kewirausahaannya. 
Kelima, pintu gerbang ekonomi dunia yang menganga di Riau tidak dimanfaatkan untuk melakukan diversifikasi nilai tambah ekonomi. Ketergantungan ekonomi pada ekspor komoditas telah menyebabkan ekonomi Riau sangat rentan oleh dinamika ekonomi global. Sawit dan karet serta komoditas pertambangan tidak bisa diandalkan dalam jangka panjang untuk mengurai ketergantungan. Harus ada inovasi untuk menggarap sektor-sektor sekunder dan tersier secara lebih terencana dan serius. Bila tidak maka Riau tetap saja akan menjadi “bulan-bulanan” asing dan aseng. 
Gapura tahun 2020 telah dibuka dan Riau mau atau tidak harus melangkah ke dalamnya. Akhir hayat Visi Riau 2020 telah tiba. Mimpi itu ternyata terlalu indah. Begitu lama terlena dengan mimpi itu sehingga Riau bukannya menjadi vocal point Asia Tenggara, malah menjadi bincit di Sumatera. Bagaimanapun, kita harus tetap membangun cita-cita. Tidak sepantasnya mengulang kesalahan. Itu hanya membuat kita jadi Keledai. Merumuskan harapan adalah sebuah kepatutan dan menggapai harapan adalah sebuah keharusan. Semua itu memerlukan kebersamaan bukan sekadar kepentingan kawan-kawan. Segeralah berbenah. Ontah lah yuang.***
Baca Juga:  Mutasi Penyegaran yang (tidak) Segar
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari