Jumat, 17 Mei 2024

Memahami Kearifan Lokal dalam Pengembangan Bank Syariah

SEBUAH budaya lahir dari keluhuran nilai, kemuliaan sikap, dan keagungan tradisi masyarakat yang berjalan secara kontinyu dan mengakar. Dalam prosesnya, budaya lahir dari adanya interaksi, bahkan akulturasi antara keyakinan religi, sosial dan tradisi masyarakat.

Persentuhan tersebut melahirkan cara pandang, keyakinan, sikap dan ideologi yang heterogen dan dinamis. Oleh karena itu, kerangka yang digunakan untuk memahami budaya dalam komunitas tertentu harus juga memahami cara pandang, sikap, dan ideologi tempat komunitas masyarakat itu berada.

Yamaha

Dalam masyarakat beradab, budaya dibangun atas dasar konsensus nilai-nilai kearifan lokal. Jika kultur dan kearifan lokal dikaitkan dengan aktivitas bisnis,ia menjadi sebuah entitas yang tidak bisa dipisahkan.

Bisnis tidak bisa terlepas dari nilainilai budaya dan kehidupan sosial masyarakat yang dianut. Ia tidak bisa dipertentangkan, tetapi harus direlasikan atau bahkan diintegrasikan.Oleh karena itu, memahami nilai-nilai kearifan kultur lokal menjadi sangat signifikan dalam mengonstruksi fundamental ekonomi syariah.

Sebagai contoh, dalam kultur ekonomi masyarakat Jawa-pedesaan dikenal istilah paroan (dibagi dua), pertelon (dibagi tiga) dan prapatan (dibagi empat). Terminologi tidak hanya menyemangati cara aktivitas ekonomi yang sudah lama mengakar pada masyarakat, yang menjungjung tinggi prinsip-prinsip bagi hasil sebagaimana dipraktikan di bank syariah. Pola bagi hasil yang telah lama tumbuh pada masyarakat, sebenarnya mengarah pada penciptaan keadilan dan memberikan keseimbangan terhadap pelaku ekonomi dengan lingkungannya. Adanya relasi kultur aktivitas ekonomi masyarakat dengan ekonomi syariah seharusnya menjadi energi dan inspirasi,bagaimana para pelaku ekonomi syariah dapat mengejawantahkan semangat kultur pada hubungan ekonomi yang lebih real dan bersinergi.

- Advertisement -
Baca Juga:  Inovasi Berbasis Pengetahuan

Hal yang seing terlupakan dalam pembangunan institusi bisnis adalah kurangnya pemahaman terhadap kultur masyarakat tersebut berada, tidak terkecuali bank syariah yang merupakan bagian dari entitas bisnis. Pemahaman atas kultur masyarakat dan kearifan lokal merupakan salah satu faktor signifikan sebagai prasarat untuk mendesain, menyelaraskan dan mengembangkan bisnis yang kita jalankan.

Dengan demikian, institusi bisnis tidak hanya berorientasi perusahaan, tetapi mempunyai keselarasan sosio-kultur dan tanggung jawab sosial. Salah satu kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas yang tinggi atas lingkungannya. Dalam khazanah sosiologi Islam, Ibnu Khaldun dikenal sebagai peletak dasar teori solidaritas masyarakat atau dikenal dengan teori Ashabiyat.

- Advertisement -

Teori ini merupakan pengejawantahan dari teori harmoni ka al-jasad al-wahid dalam ajaran islam, yang menggambarkan kelaziman saling melindungi dan membantu di antara sesama. Secara fungsional, solidaritas kelompok sebagai dasar kehidupan yang dilandasi oleh iman dan ahlak mulia. dapat memberikan implikasi terhadap tatanan kerjasama kemanusiaan.

Baca Juga:  Tawaf Terbalik

Di Indonesia, pemahaman atas syariah Islam memiliki tafsir yang berbeda, tidak hanya dalam ibadah tetapi persoalan ekonomi. masing- masing memiliki cara pandang dan mazhab sendiri. Sebagai contoh, persoalan dan tafsir atas hukum bunga bank. Ada yang menghalalkan dengan alasan bahwa bunga bank konvensional tidak memberatkan.

Ada juga yang mengharamkan dengan alasan bahwa bunga bank termasuk riba. Faktor pemahaman yang berbeda ini secara tidak langsung berpengaruh pada perilaku masyarakat untuk berinteraksi dan menyimpan dananya di bank syariah. Sejatinya, hal yang harus dilakukan adalah melakukan sosialisasi yang dapat menyeluruh ranah kesadaran seseorang yang timbul dari diri sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.

Saat ini sosialisasi ekonomi syariah dilakukan hanya sebatas simbolik. Indikasinya terlihat dari begitu gencarnya blow up simbol-simbol religi yang bersifat properti. Sosialisasi seperti ini cenderung pada pencitraan dan tidak akan pernah bisa mengubah pola pikir, sikap, perilaku dan menggerakan kesadaran masyarakat untuk aktif mengembangkan ekonomi syariah.

Formulasi sosialisasi hendaknya diorientasikan pada proses penyelarasan dan internalisasi nilainilai syariah ke dalam nilai-nilai kearifan kultur lokal yang di yakini dapat mendorong terjadinya perubahan pola pikir, sikap, ideologi masyarakat secara utuh dalam memahami ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah.***

SEBUAH budaya lahir dari keluhuran nilai, kemuliaan sikap, dan keagungan tradisi masyarakat yang berjalan secara kontinyu dan mengakar. Dalam prosesnya, budaya lahir dari adanya interaksi, bahkan akulturasi antara keyakinan religi, sosial dan tradisi masyarakat.

Persentuhan tersebut melahirkan cara pandang, keyakinan, sikap dan ideologi yang heterogen dan dinamis. Oleh karena itu, kerangka yang digunakan untuk memahami budaya dalam komunitas tertentu harus juga memahami cara pandang, sikap, dan ideologi tempat komunitas masyarakat itu berada.

Dalam masyarakat beradab, budaya dibangun atas dasar konsensus nilai-nilai kearifan lokal. Jika kultur dan kearifan lokal dikaitkan dengan aktivitas bisnis,ia menjadi sebuah entitas yang tidak bisa dipisahkan.

Bisnis tidak bisa terlepas dari nilainilai budaya dan kehidupan sosial masyarakat yang dianut. Ia tidak bisa dipertentangkan, tetapi harus direlasikan atau bahkan diintegrasikan.Oleh karena itu, memahami nilai-nilai kearifan kultur lokal menjadi sangat signifikan dalam mengonstruksi fundamental ekonomi syariah.

Sebagai contoh, dalam kultur ekonomi masyarakat Jawa-pedesaan dikenal istilah paroan (dibagi dua), pertelon (dibagi tiga) dan prapatan (dibagi empat). Terminologi tidak hanya menyemangati cara aktivitas ekonomi yang sudah lama mengakar pada masyarakat, yang menjungjung tinggi prinsip-prinsip bagi hasil sebagaimana dipraktikan di bank syariah. Pola bagi hasil yang telah lama tumbuh pada masyarakat, sebenarnya mengarah pada penciptaan keadilan dan memberikan keseimbangan terhadap pelaku ekonomi dengan lingkungannya. Adanya relasi kultur aktivitas ekonomi masyarakat dengan ekonomi syariah seharusnya menjadi energi dan inspirasi,bagaimana para pelaku ekonomi syariah dapat mengejawantahkan semangat kultur pada hubungan ekonomi yang lebih real dan bersinergi.

Baca Juga:  Ekonomi Riau 2020

Hal yang seing terlupakan dalam pembangunan institusi bisnis adalah kurangnya pemahaman terhadap kultur masyarakat tersebut berada, tidak terkecuali bank syariah yang merupakan bagian dari entitas bisnis. Pemahaman atas kultur masyarakat dan kearifan lokal merupakan salah satu faktor signifikan sebagai prasarat untuk mendesain, menyelaraskan dan mengembangkan bisnis yang kita jalankan.

Dengan demikian, institusi bisnis tidak hanya berorientasi perusahaan, tetapi mempunyai keselarasan sosio-kultur dan tanggung jawab sosial. Salah satu kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas yang tinggi atas lingkungannya. Dalam khazanah sosiologi Islam, Ibnu Khaldun dikenal sebagai peletak dasar teori solidaritas masyarakat atau dikenal dengan teori Ashabiyat.

Teori ini merupakan pengejawantahan dari teori harmoni ka al-jasad al-wahid dalam ajaran islam, yang menggambarkan kelaziman saling melindungi dan membantu di antara sesama. Secara fungsional, solidaritas kelompok sebagai dasar kehidupan yang dilandasi oleh iman dan ahlak mulia. dapat memberikan implikasi terhadap tatanan kerjasama kemanusiaan.

Baca Juga:  Motif Keuntungan dan Sosial

Di Indonesia, pemahaman atas syariah Islam memiliki tafsir yang berbeda, tidak hanya dalam ibadah tetapi persoalan ekonomi. masing- masing memiliki cara pandang dan mazhab sendiri. Sebagai contoh, persoalan dan tafsir atas hukum bunga bank. Ada yang menghalalkan dengan alasan bahwa bunga bank konvensional tidak memberatkan.

Ada juga yang mengharamkan dengan alasan bahwa bunga bank termasuk riba. Faktor pemahaman yang berbeda ini secara tidak langsung berpengaruh pada perilaku masyarakat untuk berinteraksi dan menyimpan dananya di bank syariah. Sejatinya, hal yang harus dilakukan adalah melakukan sosialisasi yang dapat menyeluruh ranah kesadaran seseorang yang timbul dari diri sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.

Saat ini sosialisasi ekonomi syariah dilakukan hanya sebatas simbolik. Indikasinya terlihat dari begitu gencarnya blow up simbol-simbol religi yang bersifat properti. Sosialisasi seperti ini cenderung pada pencitraan dan tidak akan pernah bisa mengubah pola pikir, sikap, perilaku dan menggerakan kesadaran masyarakat untuk aktif mengembangkan ekonomi syariah.

Formulasi sosialisasi hendaknya diorientasikan pada proses penyelarasan dan internalisasi nilainilai syariah ke dalam nilai-nilai kearifan kultur lokal yang di yakini dapat mendorong terjadinya perubahan pola pikir, sikap, ideologi masyarakat secara utuh dalam memahami ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari