Sabtu, 2 November 2024

Mengurai Benang Kusut Kelebihan Penghuni Penjara

- Advertisement -

Kelebihan penghuni penjara (over crowded) narapidana di dalam lembaga pemasyarakatn (Lapas) masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Lapas sebagai tempat menjalani hukuman pidana penjara tidak mempunyai kuasa atas masuknya terpidana baru ke Lapas. Hal ini berkaitan erat dengan apa yang diatur di dalam KUHAP sebagai panduan dalam penerapan sistem peradilan pidana yang terdapat di Indonesia.

Regulasi warisan Belanda itu masih tetap digunakan sampai saat ini oleh aparat penegak hukum kita yakni hukuman penjara yang masih menjadi hukuman utama dalam sistem peradilan pidana kita.  Over crowded ini dapat mempengaruhi proses pembinaan narapidana di dalam Lapas dan juga dapat berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban (Kamtib) bila tidak dikelola dengan baik. Permasalahan lain dari over crowded narapidana di lembaga pemasyarakatan adalah  negara turut dibebankan karena harus mengeluarkan biaya makanan yang tidak sesuai dengan kapasitas penjara seharusnya.

- Advertisement -

 Lapas merupakan bagian terakhir di dalam sistem peradilan pidana tersebut yang dimulai dari penangkapan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, diadili di pengadilan sampai dengan menjadi terdakwa dan ditempatkan ke dalam Lapas. Dalam pelaksanaan hukuman yang di jatuhkan oleh pengadilan Lapas tidak mempunyai kekuasaan untuk mengutak atik isi putusan yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan. Lapas hanya mempunyai kewajiban menghukum terdakwa berdasarkan isi putusan hakim tersebut.

Baca Juga:  Pelestarian Budaya Melalui Integrasi Etnosains dalam Pembelajaran

Beban berat ini ditanggung oleh pemasyarakatan sebagai muara dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Oleh sebab itu perubahan kebijakan dalam sistem peradilan pidana sangatlah penting dan mendesak untuk dilakukan agar permasalahan overcrowded di Lapas dapat terselesaikan. Penyelesaiannya pun harus dilakukan secara holistik mulai dari hulu sampai hilirnya. Arus masuk harus dikendalikan agar berkurang dan arus keluar diperlancar.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain adalah tidak lagi menggunakan pidana penjara sebagai pidana pokok. Harus ada perubahan paradigma untuk mendorong penggunaan alternatif pidana nonpenjara yang harus diperkuat dengan memasukannya dalam RKUHP yang baru. Memang hal ini tentu saja akan menjadi perdebatan yang panjang antara yang pro dengan yang kontra. Kalaupun tetap menggunakan pidana penjara hanya untuk kasus kasus tertentu yang dan sangat menyita perhatian publik.

- Advertisement -

Berikutnya, mengedepankan penerapan Keadilan Restoratif dalam penyelesaian perkara. Penerapan sistem ini tentu saja tidak bisa diterapkan dalam semua kasus tapi pada kasus-kasus tertentu yang tanpa korban atau jumlah kerugian yang ditimbulkan dari sebuah perkara masih realtif kecil dan terukur. Penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif harus berlandasakan kesukarelaan dan memulihkan keadaaan korban.sehingga lebih menerapkan pola win win solution (solusi menang menang).

Baca Juga:  Berkah Macau

Berikutnya terkait dengan regulasi. Seperti kita ketahui bersama kasus narkotika menjadi penyebab utama overcrowded di Lapas/Rutan. Oleh sebab itu, perlu adanya pembaruan Undang-Undang Narkotika. Pendekatan kesehatan harus digunakan dalam kasus narkotika, bukan lagi pendekatan kriminal yang selama ini terbukti tidak menyelesaiakan permasalahan. Sistem peradilan pidana saat ini membuat pengguna narkotika dijerat dengan pasal kepemilikan dan penguasaan narkotika yang digolongkan sebagai bandar.

Penegak hukum sepertinya lebih memilih menjebloskan para pengguna narkotika ke penjara daripada memberikan alternatif pidana lain. Padahal, pidana alternatif seperti rehabilitasi dan pidana bersyarat dengan masa percobaan dirasa lebih tepat dan manusiawi bagi pecandu.
Aparat penegak hukum harus berangkat dari pemahaman yang sama bahwa penanganan kasus narkotika tertuang di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah regulasi bersifat khusus yang berbeda dengan sistem pemidanaan yang berlaku.

Khusus yang dimaksud di sini adalah penerapan sistem dua jalur dimana selain mengatur sanksi pidana juga mengatur tindakan yakni pemberlakuan pidana bagi pengedar narkoba dan tindakan bagi pelaku penyalahgunaan narkoba untuk diri sendiri yakni rehabilitasi.***

Kelebihan penghuni penjara (over crowded) narapidana di dalam lembaga pemasyarakatn (Lapas) masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Lapas sebagai tempat menjalani hukuman pidana penjara tidak mempunyai kuasa atas masuknya terpidana baru ke Lapas. Hal ini berkaitan erat dengan apa yang diatur di dalam KUHAP sebagai panduan dalam penerapan sistem peradilan pidana yang terdapat di Indonesia.

Regulasi warisan Belanda itu masih tetap digunakan sampai saat ini oleh aparat penegak hukum kita yakni hukuman penjara yang masih menjadi hukuman utama dalam sistem peradilan pidana kita.  Over crowded ini dapat mempengaruhi proses pembinaan narapidana di dalam Lapas dan juga dapat berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban (Kamtib) bila tidak dikelola dengan baik. Permasalahan lain dari over crowded narapidana di lembaga pemasyarakatan adalah  negara turut dibebankan karena harus mengeluarkan biaya makanan yang tidak sesuai dengan kapasitas penjara seharusnya.

 Lapas merupakan bagian terakhir di dalam sistem peradilan pidana tersebut yang dimulai dari penangkapan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, diadili di pengadilan sampai dengan menjadi terdakwa dan ditempatkan ke dalam Lapas. Dalam pelaksanaan hukuman yang di jatuhkan oleh pengadilan Lapas tidak mempunyai kekuasaan untuk mengutak atik isi putusan yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan. Lapas hanya mempunyai kewajiban menghukum terdakwa berdasarkan isi putusan hakim tersebut.

Baca Juga:  Berkah Macau

Beban berat ini ditanggung oleh pemasyarakatan sebagai muara dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Oleh sebab itu perubahan kebijakan dalam sistem peradilan pidana sangatlah penting dan mendesak untuk dilakukan agar permasalahan overcrowded di Lapas dapat terselesaikan. Penyelesaiannya pun harus dilakukan secara holistik mulai dari hulu sampai hilirnya. Arus masuk harus dikendalikan agar berkurang dan arus keluar diperlancar.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain adalah tidak lagi menggunakan pidana penjara sebagai pidana pokok. Harus ada perubahan paradigma untuk mendorong penggunaan alternatif pidana nonpenjara yang harus diperkuat dengan memasukannya dalam RKUHP yang baru. Memang hal ini tentu saja akan menjadi perdebatan yang panjang antara yang pro dengan yang kontra. Kalaupun tetap menggunakan pidana penjara hanya untuk kasus kasus tertentu yang dan sangat menyita perhatian publik.

Berikutnya, mengedepankan penerapan Keadilan Restoratif dalam penyelesaian perkara. Penerapan sistem ini tentu saja tidak bisa diterapkan dalam semua kasus tapi pada kasus-kasus tertentu yang tanpa korban atau jumlah kerugian yang ditimbulkan dari sebuah perkara masih realtif kecil dan terukur. Penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif harus berlandasakan kesukarelaan dan memulihkan keadaaan korban.sehingga lebih menerapkan pola win win solution (solusi menang menang).

Baca Juga:  Merawat Fitrah Generasi Muda

Berikutnya terkait dengan regulasi. Seperti kita ketahui bersama kasus narkotika menjadi penyebab utama overcrowded di Lapas/Rutan. Oleh sebab itu, perlu adanya pembaruan Undang-Undang Narkotika. Pendekatan kesehatan harus digunakan dalam kasus narkotika, bukan lagi pendekatan kriminal yang selama ini terbukti tidak menyelesaiakan permasalahan. Sistem peradilan pidana saat ini membuat pengguna narkotika dijerat dengan pasal kepemilikan dan penguasaan narkotika yang digolongkan sebagai bandar.

Penegak hukum sepertinya lebih memilih menjebloskan para pengguna narkotika ke penjara daripada memberikan alternatif pidana lain. Padahal, pidana alternatif seperti rehabilitasi dan pidana bersyarat dengan masa percobaan dirasa lebih tepat dan manusiawi bagi pecandu.
Aparat penegak hukum harus berangkat dari pemahaman yang sama bahwa penanganan kasus narkotika tertuang di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah regulasi bersifat khusus yang berbeda dengan sistem pemidanaan yang berlaku.

Khusus yang dimaksud di sini adalah penerapan sistem dua jalur dimana selain mengatur sanksi pidana juga mengatur tindakan yakni pemberlakuan pidana bagi pengedar narkoba dan tindakan bagi pelaku penyalahgunaan narkoba untuk diri sendiri yakni rehabilitasi.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari