Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Tunda Pengesahan RUU Pertanahan, Ada Apa?

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Pakar Kehutanan dari Institute Pertanian Bogor (IPB), Prof Bambang Hero, ikut merespons polemik seputar pembahasan RUU Pertanahan.

Menurutnya, RUU Pertanahan pada awalnya memang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya. Namun, dengan berjalannya waktu, ternyata isi RUU Pertanahan tidak lagi seperti yang diharapkan.

“Tampaknya membenarkan tudingan internasional bahwa kita memang melakukan deforestasi yang selama ini kita bantah dengan berbagai cara, termasuk melalui diplomasi internasional oleh pihak terkait,” kata Prof Bambang Hero, JUmat (26/7).

Bambang mencontohnya Pasal 35 ayat 5 sepertinya memaksa pemegang HGU untuk menyediakan tanah bagi pekebun dan petani atau petambak di sekitar atau yang berdekatan dengan lokasi HGU yang luasnya paling sedikit 20 persen dari luas tanah yang diberikan. Bahkan bila tidak ditemukan seperti pada ayat 6 maka dapat diberikan dalam bentuk lain oleh Menteri dalam hal ini Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN.

Dua ayat tersebut, lanjut Bambang Hero, menunjukkan pelegalan untuk melakukan perubahan fungsi kawasan hutan di seputar areal itu meskipun bukan termasuk hutan produksi konversi seperti disyaratkan oleh UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Pemegang HGU diberi waktu dua tahun sejak diundangkannya UU ini untuk menyiapkan 20 persen itu seperti tercantum pada pasal 150 RUU.

“Yang menjadi persoalan adalah banyak kebun sawit seperti di Riau, Kalteng, dalan lain-lainnya yang berada di dalam kawasan hutan yang belum dialihfungsikan menjadi APL. Hingga hari ini masih terus beroperasi dengan luasan ratusan ribu hingga jutaan ha keseluruhannya,” katanya.

Baca Juga:  STQ Membangun Mental dan Spiritual

Melegalkan yang Ilegal

Bambang menyebutkan Pasal 154 adalah salah satu pasal yang melegalkan tindakan yang selama ini disebut ilegal. Padahal, penegakan hukumnya selama ini dilakukan dengan susah payah tetapi pada akhirnya harus dihentikan karena dilegalkan oleh pasal ini.

Pasal 154 berbunyi: ”Dalam hal pemegang HGU telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan/atau yang diusahakan belum memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh Menteri.

“Bayangkan saja saat ini menurut laporan jikalahari terdapat 1.8 juta ha lahan korporasi sawit dalam kawasan hutan termasuk menanam melebihi HGU, diduga akan dilegalkan melalui pasal ini, karena Menteri akan menetapkan statusnya, meskipun tidak jelas maksud status tersebut. Inilah yang selama ini dikhawatirkan akan terjadi dan harus dicegah, nyatanya akan dilegalkan. Maka kata deforestasi yang selama ini kita bantah dan kita anggap tidak dilakukan ternyata akhirnya harus diakui dan harus ditelan bulat-bulat,” kata Bambang Hero.

Bambang Hero mengungkapkan dirinya tidak tahu bagaimana reaksi terhadap respons dunia intdrnasional yang ternyata akhirnya tahu kalau deforestasi itu memang dilegalkan.

Baca Juga:  MUI Keluarkan Lima Seruan terkait Kasus Video UAS

Bambang sendiri mengaku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kawasan konservasi dan seisinya dengan kehadiran RUU Pertanahan tersebut. Belum lagi dengan nasib masyarakat adat dan tanah ulayatnya maka tidak akan berbeda nasibnya.

“Lihat saja TN Tesso Nilo yang sudah hilang hutannya hingga 70 sampai dengan 80 persen dan sebagian besar berganti sawit, belum lagi TN lain di lokasi lain harus menerima kenyataan bahwa kawasan hutan yang berubah wujud tadi yang kita sebut tindakan ilegal dan harus dihukum ternyata pada akhirnya harus direlakan karena dilegalkan.

Menurut Bambang Hero, setelah melihat kondisi dan ancaman perusakan lingkungan hidup maka dirinya menolaknya atau menunda pengesahannya hingga RUU tersebut kembali kepada niat awalnya.

“Jangan sampai buruk rupa cermin dibelah dan jangan sampai karena nila setitik rusak susu sebelanga, hanya karena sekelompok orang yang mengatasnamakan untuk kepentingan masyarkat dan juga kepada mereka yang menggunakan dalih untuk efisiensi adminisrasi belaka,” kata Bambang.

Selain itu, Bambang juga menyebut tampaknya di pihak pemerintah belum ada kesepakatan karena beberapa kementerian dan instansi terkait belum dimintai masukannya. Sejumlah fraksi seperti PAN, PDIP dan PKB sudah secara terbuka meminta agar RUU Pertanahan tidak disahkan dalam periode ini.(fri)

 

Sumber: JPNN.com
Editor: Deslina

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Pakar Kehutanan dari Institute Pertanian Bogor (IPB), Prof Bambang Hero, ikut merespons polemik seputar pembahasan RUU Pertanahan.

Menurutnya, RUU Pertanahan pada awalnya memang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya. Namun, dengan berjalannya waktu, ternyata isi RUU Pertanahan tidak lagi seperti yang diharapkan.

- Advertisement -

“Tampaknya membenarkan tudingan internasional bahwa kita memang melakukan deforestasi yang selama ini kita bantah dengan berbagai cara, termasuk melalui diplomasi internasional oleh pihak terkait,” kata Prof Bambang Hero, JUmat (26/7).

Bambang mencontohnya Pasal 35 ayat 5 sepertinya memaksa pemegang HGU untuk menyediakan tanah bagi pekebun dan petani atau petambak di sekitar atau yang berdekatan dengan lokasi HGU yang luasnya paling sedikit 20 persen dari luas tanah yang diberikan. Bahkan bila tidak ditemukan seperti pada ayat 6 maka dapat diberikan dalam bentuk lain oleh Menteri dalam hal ini Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN.

- Advertisement -

Dua ayat tersebut, lanjut Bambang Hero, menunjukkan pelegalan untuk melakukan perubahan fungsi kawasan hutan di seputar areal itu meskipun bukan termasuk hutan produksi konversi seperti disyaratkan oleh UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Pemegang HGU diberi waktu dua tahun sejak diundangkannya UU ini untuk menyiapkan 20 persen itu seperti tercantum pada pasal 150 RUU.

“Yang menjadi persoalan adalah banyak kebun sawit seperti di Riau, Kalteng, dalan lain-lainnya yang berada di dalam kawasan hutan yang belum dialihfungsikan menjadi APL. Hingga hari ini masih terus beroperasi dengan luasan ratusan ribu hingga jutaan ha keseluruhannya,” katanya.

Baca Juga:  Donald Trump Terbebas dari Pemakzulan, Gedung Putih Bersorak Girang

Melegalkan yang Ilegal

Bambang menyebutkan Pasal 154 adalah salah satu pasal yang melegalkan tindakan yang selama ini disebut ilegal. Padahal, penegakan hukumnya selama ini dilakukan dengan susah payah tetapi pada akhirnya harus dihentikan karena dilegalkan oleh pasal ini.

Pasal 154 berbunyi: ”Dalam hal pemegang HGU telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan/atau yang diusahakan belum memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh Menteri.

“Bayangkan saja saat ini menurut laporan jikalahari terdapat 1.8 juta ha lahan korporasi sawit dalam kawasan hutan termasuk menanam melebihi HGU, diduga akan dilegalkan melalui pasal ini, karena Menteri akan menetapkan statusnya, meskipun tidak jelas maksud status tersebut. Inilah yang selama ini dikhawatirkan akan terjadi dan harus dicegah, nyatanya akan dilegalkan. Maka kata deforestasi yang selama ini kita bantah dan kita anggap tidak dilakukan ternyata akhirnya harus diakui dan harus ditelan bulat-bulat,” kata Bambang Hero.

Bambang Hero mengungkapkan dirinya tidak tahu bagaimana reaksi terhadap respons dunia intdrnasional yang ternyata akhirnya tahu kalau deforestasi itu memang dilegalkan.

Baca Juga:  PP IPHI Minta Daerah Selenggarakan Bimbingan Manasik Haji Gratis

Bambang sendiri mengaku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kawasan konservasi dan seisinya dengan kehadiran RUU Pertanahan tersebut. Belum lagi dengan nasib masyarakat adat dan tanah ulayatnya maka tidak akan berbeda nasibnya.

“Lihat saja TN Tesso Nilo yang sudah hilang hutannya hingga 70 sampai dengan 80 persen dan sebagian besar berganti sawit, belum lagi TN lain di lokasi lain harus menerima kenyataan bahwa kawasan hutan yang berubah wujud tadi yang kita sebut tindakan ilegal dan harus dihukum ternyata pada akhirnya harus direlakan karena dilegalkan.

Menurut Bambang Hero, setelah melihat kondisi dan ancaman perusakan lingkungan hidup maka dirinya menolaknya atau menunda pengesahannya hingga RUU tersebut kembali kepada niat awalnya.

“Jangan sampai buruk rupa cermin dibelah dan jangan sampai karena nila setitik rusak susu sebelanga, hanya karena sekelompok orang yang mengatasnamakan untuk kepentingan masyarkat dan juga kepada mereka yang menggunakan dalih untuk efisiensi adminisrasi belaka,” kata Bambang.

Selain itu, Bambang juga menyebut tampaknya di pihak pemerintah belum ada kesepakatan karena beberapa kementerian dan instansi terkait belum dimintai masukannya. Sejumlah fraksi seperti PAN, PDIP dan PKB sudah secara terbuka meminta agar RUU Pertanahan tidak disahkan dalam periode ini.(fri)

 

Sumber: JPNN.com
Editor: Deslina

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari